Skip to Content

Ketika Perempuan Itu Meracau di Persimpangan Jalan

Foto Ucha M Sarna

Di ambang pagi, di salah satu sudut perempatan jalan kota kabupaten. Dalam dunianya sendiri, perempuan itu tak henti-hentinya meracau. Sekilas dan memang entah apa yang diucapkannya, karena setiap kalimatnya selalu ngelantur. Hanya umpatan yang dapat disimpulkan meluncur deras dan nyinyir dari mulutnya. Sesekali ia meraung-raung bak anjing liar.

Orang-orang yang kerap melewati jalan itu mungkin telah terbiasa dengan keberadaannya. Atau mungkin sama sekali tak menghiraukannya. Segala racauannya tak ubahnya bunyi toa yang sember dan rombeng. Begitu jalanan dirasa lengang serta-merta perempuan itu beranjak meninggalkan tempatnya semula. Berjalan staccato sambil sesekali tubuhnya berjingkrak.

Sementara pada jarak tertentu, seorang tukang becak selalu mengawasinya. Tak bergeming. Dan sebelum perempuan itu menghilang, tatapannya yang nanar tak pernah berpaling darinya. Kadang kala dalam situasi tertentu ia tak kuasa meneteskan airmata yang tak lagi dapat mengristal. Segaris air mukanya menyiratkan keperihan dan duka yang teramat dalam.

***

Berawal dari kematian anak pertamanya yang pada saat itu belum genap delapan tahun usianya. Sasus yang menyebar lewat mulut ke mulut mengenai kematiannya, konon anaknya dijadikan wadal oleh juragannya. Pada mulanya Rastim tak mempercayai hal itu. Terlepas benar atau tidak, namun beberapa tahun belakangan, memang, setiap tahunnya ada saja bidak (anak buah kapal) majikannya yang meninggal oleh sebab yang kurang masuk akal.

Musibah yang menimpa rekan-rekannya itu mempengaruhi keyakinan Rastim, bahwa apa yang dikabarkan orang-orang mendekati kebenaran. Oleh sebab itu selain merasakan duka yang mendalam, Rastim merasakan pula sakit hati terhadap juragannya. Maka tak lama setelah anaknya meninggal, Rastim memutuskan untuk berhenti kerja padanya.

Untuk kelangsungan hidup keluarganya; istri dan seorang anaknya lagi yang berumur enam tahun, Rastim lalu bekerja sebagai tukang becak. Dari kerabatnya ia mendapatkan becak tersebut dengan status sewa. Berbulan-bulan lamanya ia berusaha untuk melupakan kematian anaknya, termasuk mengubur rasa sakitnya dengan menyibukkan diri pada mata pencaharian barunya. Yang lalu biarlah berlalu, demikian Rastim membatin.

Setahun kemudian istrinya mengandung. Rastim menyambutnya dengan suka cita. Begitu pun dengan si istri dan anak keduanya yang merasa bahagia akan kehadiran adiknya dalam beberapa bulan ke depan. Karenanya Rastim menambah jam kerjanya, yang semula hanya siang hari, menjadi siang dan malam. Hal itu dilakukannya semata-mata demi mendapatkan uang yang lebih dari biasanya yang dia peroleh. Dengan demikian apabila si jabang bayi lahir, segala sesuatunya telah ia siapkan jauh-jauh hari.

Tepat di musim penghujan istrinya mulai ngidam-ngidam. Sebagai bapak yag mengharapkan betul kelahiran anaknya, Rastim selalu memanjakan istrinya—apa pun yang dimintanya selalu diturutinya. Dia menghindari jangan sampai apa yang diinginkan istrinya tidak terpenuhi. Takut nanti calon anaknya doyan ngeces. Amit-amit jabang bayi.

Dan selepas duhur hujan belum juga reda. Di gang-gang maupun di jalanan tak banyak orang yang kelayaban, hanya serombongan anak-anak yang terlihat riang menari-nari di bawah guyuran hujan. Seketika menarik perhatian istri dan anaknya. Dari balik jendela mereka menikmati tingkah anak-anak yang konyol itu. Sementara Rastim sendiri mungkin sedang berteduh di pangkalan sambil menanti calon penumpang. Dalam kondisi hujan, biasanya penumpang berani membayar lebih asalkan dapat terhindari dari kekuyupan.

Tiba-tiba ngidam istrinya kambuh. Ia ingin sekali menyantap gorengan ikan betik selagi masih panas. Dengan membayangkannya membuatnya meliur. Betapa nikmatnya, batin istrinya. Rasa ngidam tak terbendung lagi. Maka mau tak mau ia musti menyusul suaminya di pangkalan untuk memintanya memancing ikan betik tersebut.

“Biarlah saya saja yang menyusulnya, Mak. Saya kasihan nanti dedek kehujanan.” Usul anaknya.

“Lagipula mengapa harus Bapak? Saya juga bisa memancingkannya untuk Emak.” Ujar anaknya yang masih ragu-ragu menyusul bapaknya.

“Kalau saja cuacanya tak seburuk ini, Emak tak akan kawatir mengijinkan kamu memancing sendirian.”

“Untuk dedek aku rela melakukan apa pun. Lagipula saya tahu di mana tempat yang banyak ikan betiknya.”

“Ah, sudahlah, lupakan itu. Jika berniat membantu Emak, sebaiknya kau susul saja Bapakmu di pangkalan.”

Tanpa berkata-kata lagi anaknya kemudian beranjak keluar sambil menenteng payung. Akan tetapi tanpa sepengetahuannya ia menyelinap ke belakang rumah. Mengambil kail.  Sebelum kemudian menghilang ditelan garis-garis hujan yang menderas.

Satu jam berlalu anaknya belum juga kembali. Padahal pangkalan di mana bapaknya berada cukup dekat dari rumahnya. Seketika itu ia mulai merasa cemas dan kawatir akan keselamatannya. Diam-diam telah menyarangi perasaannya. Meskipun demikian ia berusaha menepis berbagai kemungkinan buruk yang samar tergambar dalam benaknya. Untuk mengusirnya ia coba menyetel televisi—mencari-cari acara yang disukainya. Walau sesungguhnya pikirannya masih terkatung-katung pada keadaan anaknya.

Sampailah di ujung siang, ibu yang sedang mengandung itu mulai bertambah cemas. Segala prasangka yang tak karuan tercermin pada kegelisahannya. Duduk tak tenang, berdiri apalagi. Ditambah rasa ngidamnya bertambah menjadi-jadi. Ia tak tahu apa yang harus diperbuatnya selain mondar-mandir di ruang tamu yang sempit sambil sesekali mematung di depan pintu. Berharap anaknya muncul dari perangkap hujan yang tak menentu.

Rasa cemasnya semakin meremang tatkala suaminya datang tanpa disertai anaknya. Tergesa-gesa ia menyambut suaminya. Lalu dengan kalimat yang meluncur terbata-bata ia menanyakan anaknya pada suaminya.

“Bukankah Wendi semenjak pagi bersamamu di rumah?” Tanya Rastim penuh heran.

“Tadi siang saya menyuruhnya untuk menyusulmu ke pangkalan.”

“Lho, memang ada apa?”

“Tiba-tiba ngidamku terasa. Saya ingin sekali makan gorengan betik. Semula saya sendiri yang akan menyusul sampean. Namun kemudian ia mencegahku, katanya ia tak mau dedeknya kehujanan.”

“Ada-ada saja anak itu.” Sepintas wajah Rastim terlihat sedikit bingung.

“Barangkali dia hujan-hujanan bersama kawan-kawannya,” Tanya Rastim.

“Rasanya tidak mungkin ia sampai lupa waktu. Pak, segeralah kau cari anakmu. Saya kawatir terjadi apa-apa padanya.”

Sonder mengganti pakaiannya yang sudah kuyup dan masih tergelayuti perasaan heran, Rastim kemudian pergi mencari-cari anaknya. Semua tetangganya ditanyainya, meskipun tak seorang pun yang tahu keberadaan Suwendi, anaknya. Beberapa tetangga yang merasakan kekawatiran Rastim ikut pula membantu mencarinya. Namun sampai selepas isya dan sudah disatroninya ke segala penjuru mereka belum juga menemukannya.

Dalam keadaan yang tak menentu tiba-tiba seorang anak memberitahukan bahwa ia sempat melihat Wendi tadi siang—di pinggir kali sedang asyik memancing sendirian. Rastim beserta tetangga seperti mendapatkan petunjuk dari keterangan anak itu. Tanpa berpikir panjang lagi mereka kemudian serentak bergegas ke kali. Alangkah kecewanya Rastim, sesampainya di sana ia tak menjumpai siapa-siapa. Bayangan akan sesuatu yang telah menimpa keselamatan anaknya kini mengoyak-ngoyak pikirannya. Seketika sekujur tubuhnya terasa lemas.

“Bagaimana kalau kita selusuri saja sungai ini,” usul salah satu dari mereka yang kemudian disetujui kawan-kawannya yang lain. Rastim sendiri sudah tak dapat berkata apa-apa lagi. Prasangka buruk kembali membuncah dalam benaknya. Dan ia tahu yang sesungguhnya akan kesimpulan para tetangganya; bahwa telah terjadi sesuatu terhadap diri Wendi. Tenggelam misalnya. Hanya saja untuk menjaga perasaannya, mereka tak berani berterus terang untuk berpendapat. Sekonyong-konyong pandangan matanya terasa kabur. Darah seakan-akan mendadak berhenti. Lalu tubuhnya ambruk. Kemudian ia tak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya.

Menjelang subuh Rastim siuman. Ia mendapati rumahnya telah banyak orang berkerumun, termasuk dua orang aparat yang sibuk mengorek keterangan. Ada juga yang kusyuk membaca yasin. Sedangkan dari dalam kamarnya sayup-sayup terdengar isak tangis istrinya. Tetangga yang ikut pula merasakan prihatin berusaha menenangkannya.

Rastim hanya termangu di hadapan jasad anaknya. Untuk kedua kalinya ia merasakan keperihan yang mungkin sulit terobati dengan cara apa pun. Tak kuasa membayangkannya ia pun kembali jatuh pingsan diikuti jerit histeris istrinya. Seketika suasana pun berubah riuh.

***

Suami-istri itu masih mengalami shock atas musibah yang menimpanya. Hari-harinya selalu tersaput kemurungan. Mereka jarang bercengkerama satu-sama lain. Kalaupun dipaksa berbicara itu pun seperlunya saja. Bahkan Rastim cenderung gampang tersinggung. Kesalahan sekecil apa pun yang dilakukan istrinya bisa menyebabkan perselisihan yang hebat. Perubahan sikap satu sama lain pada akhirnya mempengaruhi hubungannya yang semula terasa begitu hangat.

Tak ada lagi gairah untuk saling berbagi. Tak ada lagi senyum yang mengembang menghiasi di setiap percakapan mereka. Lebih dari itu mereka sama-sama merasakan seperti hidup bersama orang asing dalam satu rumah. Satu sama lain berubah menjadi kaku. Dan sebagai perempuan, Suwarsih merasakan betul bagaimana karena hal itu batinya terasa tertekan. Terlebih-lebih ketika Rastim tak lagi memperhatikan kondisinya yang sedang hamil tua. Ia sepertinya lupa pada jabang bayi yang sebentar lagi akan lahir. Dan mungkin kehadirannya paling tidak dapat mengobati kenestapaannya. Namun keduanya tak menyadarinya.

Suatu hari ketika mereka berselisih karena alasan yang sepele, tiba-tiba seekor tikus yang menjijikan menyuruk tepat di kakinya. Rastim begitu sangat terkejut. Karena ingin menghindarinya serta-merta tubuhnya terjerembab. Kekesalan terhadap istrinya seketika beralih—melampiaskannya pada seekor tikus tadi. Dengan geram ia lalu memburunya ke mana pun perginya.

Tikus yang merasa tak bersalah itu menyelinap di balik tumpukan barang-barang rongsokan, di belakang rumah. Kemarahan Rastim yang tak dapat dibendung lagi memaksanya untuk mengobrak-abrik barang-barang rongsokan tersebut. Saat itulah baru ia sadari jika di balik tumpukan itu banyak sekali tikus yang berkeliaran.

Kadung memenuhi emosinya yang sudah meluap-luap. Lalu dengan sebilah kayu balok ia bantai tikus-tikus itu—walau tak satu pun dari mereka yang terpukul. Apalagi sampai meremukan tubuhnya. Niscaya Rastim pun bertambah berang. Diubernya tikus-tikus itu sampai ke liangnya. Emosinya tak terkendali lagi ketika ia sumbat liang-liang itu dengan benda apa pun yang didapatnya.

“Membusuklah kalian di situ!” Kutuk Rastim sambil menginjak-injak benda yang menyumpal liang itu sampai serata tanah.

***

Kelahiran anak ketiganya seolah tak dapat mengais duka yang begitu dalam merundungnya. Tangis orok yang baru lahir itu tak juga mengusik traumanya. Ia tak lagi dapat mencerna sesuatu apa pun yang merupakan kebahagiaan. Mungkin sebagian hidupnya seperti lindap bersama kematian anak keduanya.

Tak ada gairah saat ia menimang jabang bayi itu. Bahkan sampai bidan yang mengurusi kelahirannya memberitahukan keadaan anaknya yang cacat—tak terdapat lubang di duburnya, ia seolah tak bereaksi apa-apa. Hanya kata batinnya yang menjerit perih: “Ya Tuhan cobaan apa lagi yang kautimpahkan terhadap kami.”

Dengan berat hati bidan itu menyarankan agar secepatnya bayinya dioperasi. Sayang tak ada dokter di kota ini yang sanggup mengoperasinya. Mau tak mau harus membawanya ke kota besar, ujar bidan itu lirih. Rastim memejamkan mata. Seolah-olah dengan cara begitu ia bisa menenggelamkan peristiwa yang menambah pedih luka hatinya. Tak lama kemudian dadanya berguncang. Tak kuasa lagi membendung tangisnya.

Dengan bantuan dari pihak keluarga dan beberapa kerabat. Serta pinjaman kendaraan dari tetangganya, Rastim ditemani keluarganya membawa bayinya ke kota besar. Sepanjang perjalanan ia hanya tertunduk menahan guncangan jiwanya. Di sampingnya istrinya tak henti-hentinya menangis dalam dekapan ibunya. Keluarga yang mengiringinya tak mampu berbuat apa-apa. Diam dalam keprihatinan yang juga dirasakannya.

Setengah perjalanan sesungguhnya tak ada yang menyadari jika bayinya menghembuskan napas terakhir.

***

            Perempuan itu berjalan tak tentu tujuan sambil tak henti-hentinya meracau. Sedangkan lelaki yang sedari tadi mengawasinya ikut pula mengikuti di belakangnya.  Tak ada sekalimat yang terucap dari bibirnya, kecuali selintas katanya dalam batin; “Sih, pulanglah…” ****  

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler