Skip to Content

Koruptor Itu Bersembunyi di Dalam TV

Foto Laeli Zulaiha Nadhiroh

Dingin sisa semalam menggigilkan mimpiku yang tercecer di ambang fatamorgana. Belum sepenuhnya kesadaranku  terpanggil, masih ingin saja kuselami dataran mimpi di atas kasur yang keras karena telah dua minggu tak dijemur.  Sayup-sayup terdengar suara nyanyian lagu kebangsaan yang merdu. Suara yang menjadi alasan agar aku tahu bahwa telah tiba waktunya untuk membuka mataku. Itu pasti ibuku, ia memang aneh. Ketika Ibuku bangun di pagi  yang hampir buta, ia memasak sambil menyanyikan lagu. Bukan lagu dangdut dengan musik yang semrawut atau lagu pop yang sedang ngetop, tetapi lagu kebangsaan yang menjunjung tinggi negara Indonesia. Sebuah pertanyaan terlintas di benakku, adakah orang yang mencintai lagu kebangsaan seperti Ibuku?. Entahlah, akupun tak suka lagu kebangsaan. Aku hafal bukan karena suka tapi karena terlampau sering mendengarnya. Aku membuka mataku dan duduk di tepi ranjang sambil melayangkan pikiranku ke udara mencoba menostalgia mimpi semalam. Tiba-tiba indra penciumanku menangkap bau yang tak asing lagi di hidungku, dan bau inilah yang mebuatku reflek berteriak,

Noniiiiii…..!!. Noni adiku yang masih kelas satu SD itu membuka matanya, kemudian ia mempersembahkan cengiran kuda untukku.

Dasar tukang ngompol..!!. Ia memberikan reaksi yang sama, nyengir kuda untuk yang kedua kalinya. Aku melirik ke ranjang sebelah, Kak Fatmah masih tidur dengan dengkuran yang menggatalkan telinga. Aku segera membangunkannya untuk sholat shubuh.

“Ayah.,kenapa lauk hari ini sama dengan kemarin..?” Adiku yang paling kecil protes dengan lauk sarapan hari ini.

“Baiklah,memangnya kamu mau lauk apa besok?” Tanya ayah dengan nada rendah disertai senyum yang ramah.

“Aku mau tahu yah?”.Jawab Noni dengan suara dibuat-buat agar terlihat dramatis.

Kalau begitu apakah kakakmu setuju kalau lauk hari besok adalah tahu?. Aku tercenung. Jawaban Ayah kali ini mencerminkan sifatnya yang terlampau demokratis. Bukankah negara kita adalah negara yang menggalakkan demokrasi?. Bukankah demokrasi memberikan hak yang setara kepada semua orang untuk bersuara?. Tapi mengapa orang-orang yang mengagungkan demokrasi terkadang lupa tata cara dalam berbicara,sampai-sampai terkadang mereka  melahirkan demo-demo kotor dari rahim demokrasi yang suci. Sebenarnya aku juga suka demo pada Ayah, atas dana pembayaran  sekolah yang tak kunjung turun ke tanganku atau tentang mengapa ayah terlalu sering membeli lauk ikan asin. Noni juga suka protes masalah lauk pada Ayah, tapi ia belum pernah protes masalah uang saku ataupun hal lain. Meskipun aku sering protes, tapi Ayah bilang Ayah menyukai sifatku yang jujur dan pemberani dalam mengemukakan pendapat. Aku yakin jika suatu saat nanti Ayahku jadi pejabat negara pasti ia tak akan pernah korupsi dan pasti Ayah akan mampu menjadi pemimpin yang adil. Tak seperti pejabat-pejabat yang suka masuk berita di TV karena kasus korupsi. Aku sangat kagum pada Ayah. Seusai sarapan aku dan kakakku segera bergegas ke sekolah,sedang si Noni yang manja itu di hantar ibu ke SD.

                                                                  ***

Rumah kami memang sederhana, lebih tepatnya sangat sederhana sekali. Selain lampu neon yang menerangi setiap ruang, kami hanya punya satu buah taperekorder yang suaranya mulai fals. Telah menjadi kebiasaan kami di sore hari, berkumpul di ruang tengah dan duduk bersama di atas tikar yang terhampar lumayan lebar. Biasanya kami mengobrol hal-hal yang menarik sambil mengerjakan aktifitas kecil. Ayah adalah yang paling humoris diantara kami ia selalu mampu memecahkan batu kebekuan yang menggunung di wajah kami. Tapi sore ini Noni belum juga pulang dari main. Beberapa saat kemudian adikku satu-satunya yang berambut lumayan keriting itu menyembul di ambang pintu dengan mata berair, ingusnya nampak mengalir dari kedua lubang  hidungnya yang samasekali tidak mancung membentuk angka satu yang tidak sama panjang. Ia sesenggukan dengan nada yang begitu memilukan. Seluruh penghuni ruang tamu mengamatinya dengan seksama. Sejurus kemudian Noni menghapus air matanya dan juga menghapus ingusnya dengan lengan bajunya. Airmuka Noni berubah menjadi serius ,ia menarik nafas dalam-dalam dan ..”Akuu ingin beli TV…..!! Noni menjerit sekuat tenaga dan kemudian ia menangis lagi. Seisi ruang tamu terkejut, tapi itu adalah hal yang maklum diinginkan oleh anak seusia Noni, mungkin ia ingin melihat film-film kartun seperti yang di ceritakan teman-temannya. Entah mengapa mulut Ayah menganga lebih lama dari kami, ia tampak seperti habis menerima berita yang sangat mengherankan. Aku juga sedikit terkejut tapi bukankah aku dan kak Fatmah juga menginginkan televisi dan mungkin inilah kesempatan bagi kami untuk mengungkapkan keinginan kami. Sekejap, batinku dan batin kak Fatmah terkontak, kemudian pandangan kami bertemu dan dengan tegas secara serempak kami meganggukkan kepala.

“Iya benar aku setuju dengan Noni, kalau kita punya televisi pasti setiap hari aku bisa melihat siaran berita di TV.” Kak Fatmah berkata dengan lantang dan berapi-api, ia memang bercita-cita menjadi penyiar berita di TV tapi selama ini ia lebih sering melihat berita di koran karena hanya saat-saat tertentu saja ia bisa melihat TV dan itu menjadi kesempatan langka baginya.

“Benar!! Aku juga ingin TV agar aku bisa melihat film-film dan sinetron seperti yang di ceritakan teman-temanku”. Ungkapku tak kalah semangat. Setelah aku selesai bicara Ibu berdiri, semua mata tertuju pada Ibu. Alisnya berkerut menguatkan kemesteriusan maksud Ibu.

“Ehm..ehm..”Ibu berdehem dua kali untuk mempersiapkan apa yang akan ia ungkapkan.

“Baiklah , maka pada hari ini telah terjadi sebuah kesepakatan bahwa kita akan membeli TV dalam  waktu sesingkat-singkatnya”. Ucap Ibu dengan mimik seperti Ir.Soekarno ketika membaca Proklamasi. Sontak kami bertiga bertepuk tangan begitu meriah, layaknya rakyat miskin yang mendengarkan pidato jaminan kesejahteraan dari calon Gubernur. Kami tertawa girang, tapi Ayah tak ikut tertawa Ia seperti ingin memberontak atas keinginan kami.

“Ayah..Ayah bilang keluarga kita harus menganut asas demokrasi untuk memutuskan suatu masalah . Sebagai Presiden di keluarga ini seharusnya Ayah merealisasikan tuntutan rakyat yang telah bersatu untuk berdemonstrasi demi kesejahteraannya.” Aku berkata layaknya orang dewasa, meskipun dalam hati aku berujar ucapanku tadi benar atau tidak?

Tampaknya Ayah ingin segera merespon ucapanku, matanya dilayangkan sejenak pada aku, Noni, kak Fatmah, dan Ibu.

“Semua wargaku yang berbahagia, disebabkan karena keadaan anggaran pembelanjaan yang selalu pas-pasan maka jalan satu-satunya agar kita bisa membeli TV adalah menabung. Nah, maka dari itu uang saku kalian akan di potong karena itulah satu-satunya sumber dana yang memungkinkan.”Jawab Ayah tanpa senyum dan wajah serius.

“Baiklah,itu tak masalah”.,jawabku diikuti anggukan kepala kedua saudaraku.

Sejak hari pertama menabung, jam terasa begitu lama merayapi hari. Terkadang aku dan kedua saudaraku sama sekali tak jajan agar kotak celengan itu cepat penuh dan akhirnya kita bisa segera memiliki TV. Si Noni adiku yang paling kecil itu rajin sekali mencari iklan-iklan barang elektronik di koran milik Ayah yang tertumpuk rapi. Lalu dengan gaya seperti sales ia memamerkan beberapa merk TV yang ia temui di koran, tak lupa si Noni menunjukkan harganya disaat promosi. Sebenarnya apa yang dilakukan Noni itu benar juga, kami bertiga mulai memusyawarahkan TV merk apa yang nanti akan kita beli dan berapa harganya. Bahkan ,akhir-akhir ini Ayah jadi jarang membeli koran, ia memasukkan uang tiga ribunya yang biasanya ia gunakan untuk membeli koran.Susah juga menentukan merk TV yang akan kami beli, karena kami harus mempertimbangkan harganya dan juga harus mendapat persetujuan dari semua pihak, baik Ayah, Ibu, dan tentunya kami bertiga. Dengan musyawarah yang berlangsung satu jam akhirnya membuahkan kesepakatan juga, merk TV sudah ditentukan dan harganya pun sudah kami sanggupi. Di sore yang lain di ruang tengah,terjadi pertengkaran antara aku dengan kedua saudaraku.Pertengkaran yang menurutku begitu bodoh.Bukankah tak berlebihan jika dikatakan bodoh bila kami bertiga beradu mulut memperebutkan acara yang akan kami tonton jika kami punya TV nanti. Jika di chanel A sedang  siaran berita, lalu di chanel B sedang sinetron, dan di chanel C asedang film kartun, acara manakah yang harus kita tonton?. Sebenarnya hal yang dipersoalkan Noni itu benar juga,agar nantinya tidak terjadi perebutan remot TV jika kami punya TV nanti, karena kesukaan kami berbeda-beda. Dan karena perbedaan inilah akhirnya kami tidak mencapai mufakat dan kami bertengkar hebat. Pertengakaran reda ketika Ayah menengahi dan memberikan pengertian kepada kami.

            Malam semakin menyelam, tapi seperti ada ganjalan pada pikiranku yang membuat mataku menolak untuk dipejamkan. Aku tak tahu apa kiranya yang mengganjal di pikiranku. Pukul 01.00, aku masih juga terjaga dengan kedua mata yang siaga. Tiba-tiba aku mendengar suara yang mencurigakan dari ruang tengah, dengan langkah tak bersuara aku menuju sumber suara sambil mengendap-endap. Aku merasa janggal dengan apa yang ku temukan disana, tapi aku berusaha untuk tak terkejut. Aku mengikuti langkah orang itu dan aku menyaksikan suatu peristiwa yang membuatku tercengang. Aku buru-buru pulang sebelum orang itu tahu jika aku mengikutinya. Sesampainya di rumah aku hampir pingsan, ada ribuan jarum menusuki ulu hatiku tanpa ampun. Sakit, batinku terpenggal oleh kebohongan yang memalukan. Aku tak tidur sampai pagi. Matahari mulai meninggi, menghunus embun-embun yang berkeliaran diatas daun dan rerumputan.

“Fatmaah…!!.Ibu berteriak histeris,”celengan kita hilang”!!

Kak Fatmah segera berlari menghampiri Ibu, Noni adiku langsung menangis  tak kalah histeris.Tubuh kak Fatmah seketika menjadi lemas, ia terduduk di atas tikar dengan pandangan menyiratkan kekecewaan yang begitu dalam. Kemudian Ayah muncul dengan raut muka seperti tak percaya dengan apa yang terjadi. Tapi ia mencoba tenang dan menenangkan kedua saudaraku yang masih belum bisa menerima apa yang terjadi. Ayah merangkul kami bertiga.

“Padahal sudah tiga bulan kita menabung dan tak sampai seminggu lagi kita bisa membeli televisi”.Ibu berkata dengan mata menerawang menembus dinding mimpi yang kemarin telah di bangun.

“Bersabarlah,mungkin belum saatnya kita punya televisi.Kita kan masih bisa menabung lagi.”Ucap Ayah sambil mengelus pundak Ibu.

Aku serasa di tampar bekali-kali mendengar ucapan Ayah tadi. Ada gejolak api yang tersulut dan oleh ucapan Ayah tadi api  itu seperti tersiram bensin. Membara sebesar-besarnya membakar emosiku. Tiba-tiba aku menyaksikan jarak yang menghampar sampai ke langit antara aku dan Ayah. Harapanku rebah ke atas tanah dan terkubur sejauh jutaan mil. Dengan ikhlas hati aku mengubur segala kekagumanku pada Ayah. Sumpah serapah terlontar tanpa kendali dalam batinku yang berteriak. Aku tak menyangka Ayah yang demokratis itu bisa korupsi. Ia mengorupsi uang rakyat dengan tanpa penyesalan yang mewarnai wajahnya yang kini bagiku wajah itu menjelma seperti monster yang menjijikan. Sejak malam itu aku tahu jika Ayah punya selingkuhan, ia memberikan sebagian uang kami kepada wanita selingkuhannya yang sedang hamil untuk biaya persalinannya. Dan aku melihat Ayah memasukkan sisa uang itu kedalam saku bajunya. Aku tak tahu apakah Ayah sudah menikah dengan wanita itu atau belum, yang aku tahu rasa benciku pada pada Ayah terpupuk subur karenanya. Aku telah hancur, dan aku tak akan pernah sampai hati menghancurkan Ibu dan kedua saudaraku. Aku menyimpan rapi kehancuran ini pada hatiku yang sekarat. Aku ingin agar mereka tetap bangga pada Ayah. Aku tak ingin ada yang membenci Ayah lagi selain aku, agar Noni, kak Fatmah dan Ibu masih bisa tertawa karena kehumorisan Ayah. Aku tak tahu apa yang akan terjadi jika suatu saat nanti mereka tahu dengan sendirinya, paling tidak untuk saat ini aku masih bisa melihat keluarga kami yang bahagia tanpa ada kabut yang menjadikannya keruh. Ayah masih merangkul Noni dan kak Fatmah, pandangan Ayah dilayangkan padaku ia mengagumi ketenanganku saat ini karena hanya akulah yang masih tetap tenang dan menerimanya tanpa kecewa. Ayah tersenyum padaku, dan aku membalasnya dengan senyuman sinis yang mengandung kepahitan. Dalam jiwaku yang meronta-ronta,batinku berteriak sekeras angin, Ayah pencuri..!Ayah pendusta..!dan Ayah koruptor..!!. Koruptor!!

 

 

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler