Skip to Content

Kutuk

Foto didit muspratomo

Dulu di bawah pohon mahoni yang subur itu anak-anak berkumpul. Membicarakan satu dua hal tentang rencana-rencana gila permainan mereka. selayaknya anak-anak. 2 X 2 pun bagi mereka kadang-kadang tidak sama dengan 4. Sekawanan mereka bagai srigala yang banyak akal. Buas, nakal, sangat suka mengganggu. Orang-orang kampung sudah hafal tabiat anak-anak kecil itu.

 

Kalau mereka membiarkan perbuatan mereka, itu bukan karena mereka tak peduli. Justru karena mereka peduli bahwa anak-anak seharusnya memang dibiarkan bermain. Setidaknya perbuatan mereka walaupun mengganggu namun tidak pernah membikin keonaran yang memalukan, seperti yang sarimin lakukan.

 

Merampok janda muda yang baru sebulan ditinggal mati suaminya lalu memperkosanya bukan perbuatan biasa bukan ? Sudah selayaknya binatang. Kampung damai yang terkenal soleh itu tiba-tiba runyam, polisi berdatangan mencurigai. Pendatang yang lewat kadang berjalan setengah berlari. Kampung itu ternoda oleh perbuatan yang baru pertama kali dan mungkin satu-satunya perbuatan bejat selama kampung ini berdiri.

 

Perbuatan sarimin segera menjadi gunjingan panjang seluruh warga. Janda yang telah ternoda itu memilih pergi karena trauma. Segera saja upacara ruwatan untuk menghindari kemarahan dewa dilakukan tetua kampung. Kata kepala kampung yang dituakan itu, perbuatan Sarimin sudah melampaui batas kemanusiaan, kalau tidak segera kita bersihkan kampung ini maka dewa tak segan-segan membiarkan desa ini kelaparan. Kerbau terbaik desa ini harus direlakan untuk disembelih, dan kepalanya dipersembahkan kepada dewa yang bersemanyam di dalam gua yang disakralkan. Hanya kepala kampung dan beberapa tetua yang boleh masuk dan membawa sesembahan itu kedalamnya, sementara warga desa berkumpul diluar gua, bersujud di bawah terik matahari yang begitu panasnya, dan berdoa, semoga perbuatan Sarimin tidak sampai membuat sang dewa marah dan membiarkan mereka kelaparan.

 

Anak-anak yang suka berkumpul berbicara rencana kegilaan mereka pun kadang-kadang memainkan sandiwara perbuatan Sarimin, hanya saja mereka tidak tahu apa itu perkosaan, dikiranya hanya tidur disamping sang perempuan sambil memeluknya saja. Kadang perbuatan mereka ditertawakan warga yang kebetulan melintas. Pernah selintas mereka bertanya, apa yang lucu pada sandiwara mereka. pada mereka dikatakan, tidur dan memeluk seorang perempuan saja tidak akan membuat polisi menahan seseorang.

 

Lalu kemarau datang, sungai-sungai kering, tempat penampungan air juga tiba-tiba surut sebegitu cepat. Kampung ini tidak pernah sekalipun dilanda kekeringan. Sungai memang kadang surut, namun hanya beberapa kaki saja. Hutan diseberang sana cukup menampung air hujan dalam akar-akarnya. Ketika kemarau pun padi masih tumbuh dengan leluasa. Sapi dan hewan-hewan peliharaan tak pernah juga kekurangan pakan. Dalam sejarah kampung ini berdiri, tak satu haripun kekurangan air dan kebutuhan untuk hidup. Bahkan pernah pada satu masa kekeringan melanda parah di seluruh negeri, desa ini malah jadi lumbung padi, menolong dan menyumbangkan hasil pertanian mereka untuk kampung-kampung yang dilanda kekeringan.

 

Namun dewa memang sepertinya marah, ketua kampung jadi serba salah. Semakin hari kekeringan semakin memakan habis air dan persediaan pangan. Sudah lama padi tak lagi mau berdiri, tanah-tanah dulu yang berlumpur dan seringkali digunakan anak-anak untuk perang lumpur, sekarang kering, retak-retak, bahkan rumput pun enggan untuk tumbuh. Waduk besar yang dibangun beberapa tahun yang lalu juga menyisakan tulang-tulang ikan di dasarnya yang kering kecoklatan. Sementara lumbung padi sudah semakin menipis saja. Tikus-tikus berebut makan dengan manusia yang juga kelaparan.

 

Kini, dibawah pohon mahoni yang tersisa tinggal batang dan dahan keringnya itu saja, anak-anak masih juga berkumpul. Kali ini mereka juga mengalami penderitaan yang dialami hewan-hewan peliharaan mereka yang mati kelaparan. Tidak seperti dulu yang selalu saja berencana gila, mereka sekarang kelihatan jauh lebih tua wajahnya dari pada usia yang sesungguhnya. Tidak itu saja, seseorang tamu asing yang belum lama tinggal di desa ini juga duduk-duduk tenang di bawah mahoni itu. Awalnya dia hanya duduk diam, memandang sisa-sisa keindahan hutan. Lama-lama anak-anak itu mulai menegurnya. Lama-lama juga ia mulai bercerita.

 

Aku pernah mengunjungi negeri yang juga terkena bencana kekeringan seperti ini, bahkan jauh lebih parah. Tidak seperti kalian yang masih mendapat bantuan dari kampung-kampung lain, negeri itu bahkan tidak tahu harus mengiba ke siapa. Sepanjang jalan yang tersisa hanya tulang belulang hewan dan kadang satu dua manusia mati. Yang hidup pun keadaannya sungguh tidak mengenakan dipandang mata. Satu dua hari aku tinggal, tahulah aku apa penyebabnya. Beberapa bulan sebelum kekeringan ada seorang laki-laki muda negeri seberang yang melamar gadis negeri itu. Anak muda itu sungguh cintanya kepada gadis suci itu. Namun sebab adat melarang gadis desa itu menikah dengan pemuda negeri lain, tak jadilah cinta mereka dipersatukan. Lalu kemarau pun melanda disebabkan anak muda itu tak terima cintanya kandas begitu saja, dia pulang kenegerinya dan menyuruh semua dukun hebat untuk memanggil dewa dan mengutuk negeri itu agar diberi kesengsaraan yang tiada tara. Habis sudah negeri makmur itu dilanda bencana kekeringan hebat. Tiadalah penangkal dari semua kesengsaraan itu. Semua tetua dan dukun-dukun negeri itu tunduk dan tak kuasa kesaktiaannya untuk mengembalikan kutukan itu. Sampai akhirnya mereka menyerah dan memohon akan melakukan apa saja agar kutukan itu terlepas dari negerinya. Sampai akhirnya anak muda itu setuju, satu syarat harus dilakukan negeri itu. Gadis itu harus mati dan dikorbankan untuk mencabut kutukan. Matilah gadis malang itu, dan tercabutlah kutukan itu dari negerinya.

 

Berhari-hari cerita itu diulang-ulang oleh orang asing itu. Mula-mula hanya anak-anak kecil saja yang mendengarnya, bergerombol makin hari makin banyak. Orang-orang yang sudah bosan karena tidak melakukan pekerjaan apa-apa selain menunggu bantuan dari kampung sebelah akhirnya juga tertarik untuk mengikuti cerita orang asing itu. Semakin hari semakin membekas.

 

Hati yang kalut tak beroleh pikiran yang jernih pula. Tiba-tiba satu kesimpulan diambil oleh penduduk kampung itu. Seseorang harus mati dan seseorang itu harus gadis, perawan suci yang menghianati, agar kampung ini tidak lagi dilanda kekeringan yang mematikan seperti ini. Diseretlah seorang gadis kampung suci, atas usulan dan perkataan seorang pemuda yang merasa pernah dikhianati. Segera upacara dilaksanakan. Kepala kampung hanya bisa mengiyakan, kalut.

 

Beberapa hari, dan kering tak kunjung reda. Malah semakin parah saja. Bahkan kini penyakit mulai menyerang. Berton-ton bantuan pangan dan air datang dari kampung sebelah, tak pernah surut, sampai akhirnya sedikit demi sedikit berkurang, karena persediaan bantuan dari kampung sebelah memang sudah berkurang. Di tambah penyakit yang menyerang, gatal-gatal, kudisan, hampir semua penduduk desa terkena dampaknya, anak-anak itu pun tak terkecuali, anehnya orang asing yang masih suka bercerita itu tidak terkena penyakit sama sekali. Kampung sebelah dan beberapa orang yang akan memberikan bantuan merasa enggan untuk masuk kampung itu. Bahkan sudah tersebar kabar kampung itu memang sudah benar-benar terkutuk hingga siapapun yang membantunya akan ikut terkena kutukannya juga.

 

Kepala kampung merasa gerah akan usaha pengorbanan yang gagal itu. Dia menemui orang asing itu lalu memarahinya, mengatakan kalau dia pendusta.

“Bagaimana kau sebut aku pendusta, aku hanya bercerita atas pengalaman saja, kapankah aku pernah menyuruh kalian mengorbankan perawan, itu hanya pikiran yang timbul dari kekalutan kalian saja ?” Benarlah perkataan orang asing itu. Kepala kampung tidak saja merasa bersalah telah memarahinya, dia makin kalut saja. Melihat kondisi penduduk yang semakin sengsara apalagi oleh penyakit terkutuk itu.

 

“Lalu bagaimana ? apa yang harus kita lakukan ? ditambah penyakit terkutuk ini, mengapa tuan tidak sampai terkena penyakit ini juga ? apa yang harus kami lakukan ?”

 

“Entahlah, aku bukan nabi, aku hanya orang asing yang tidak sengaja datang ke kampung ini, dan aku hanya pendongeng, mungkin karena aku bukan bagian dari kampung kalian maka dewa tak sampai menghukumku seperti dia menghukum kalian, aku tak tahu apa yang harus dilakukan, tapi kudengar penduduk sebuah negeri di utara sana pernah mengalami penyakit sama parahnya dengan kampung kalian, dan setelah bertahun-tahun hanya daging orang yang jujur yang dapat menyembuhkan penyakitnya itu, sebab kebohongan yang telah menyebarkan penyakit itu, dan kejujuran yang dapat mengalahkannya, ah tapi itu hanya berita angin belaka, aku tak tahu kepastiannya.”

 

Kepala kampung tak begitu saja mempercayai ceritanya. Namun, dia juga tak punya alasan untuk tidak mempercayainya. Malam itu dengan menahan gatal yang sangat menyiksa dia punya hal lain yang tak kalah menyiksa batinnya, hanya dia yang tahu cerita itu, apakah akan disimpannya, dan bagaimana jika penduduk tahu bahwa sebenarnya kepala kampung tahu obat dari penyakit terkutuk ini dan dia tidak memberitahu ? apalagi orang asing itu masih gemar bercerita di bawah mahoni, bagaimana jika dia sudah menceritakan kepada semua penduduk kampung dan tanpa meminta persetujuannya, penduduk malah sudah mengambil inisiatif sendiri untuk mengorbankan seseorang kembali.

 

Sepagi itu dibawah mahoni itu sudah ramai, bukan, bukan lagi ramai karena mendengarkan cerita, perapian dan tungku besar disiapkan. Hari itu tetua yang terkenal paling jujur sudah dibawa dan diharuskan mengorbankan nyawanya untuk kesembuhan penduduk kampung. Kepala kampung tergopoh-gopoh, entah bagaimana cerita orang asing itu terdengar keseluruh desa. Barangkali angin yang membawanya, ataukah ada penguping atau malah orang asing itu sendiri yang memberitahukan. Sekejap saja, semua orang sudah menikmati daging tetua, sungguh luar biasa nikmatnya.

 

Bagaimana mungkin, ruwatan atas kesalahan Sarimin telah dilakukan, segala pengorbanan juga telah diberikan, dan dewa masih menghukum mereka. siang itu mereka semua mati, semua, tersisa hanya tubuh-tubuh tak bernyawa, dan perapian serta tungku yang masih mengepul. Ada sedikit daging sisa di dalamnya.

 

Orang asing itu bangun kesiangan, malam itu dia tidur larut meminta bahan cerita dari tetua yang terkenal jujur itu, entah bualan atau kejujuran yang diceritakan, dia tak tahu. Meringis oleh mimpi indahnya semalam, oh.. perempuan malang yang jadi korban, tiada juga kutemukan pengganti teman tidur sejak kepergianmu.

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler