Skip to Content

LAKI-LAKI INISIAL HU AH

Foto mahyut z.a. dawari

Pada lelaki mimpi erotis acap memuakkan. Saru. Mimpi itu sering menghadirkan gteman kencan tak membetik selera. Nenek-nenek, waria, bahkan, sesama jenis sering dipasang sebagai sparing partner. Walau kita sadar itu hanya terjadi di dunia mimpi, tapi sering kita dibuat uring-uringan. Menyebalkan memang.

Tetapi aku seorang perempuan. Seseorang, yang hadir dalam mimpiku adalah lelaki berotot liat dan atletis. Aroma tubuhnya menguar khas laki-laki. Maskulin benar. Tatap matanya elang dengan alis tebal hampir bertaut, membuat ketampanannya elegan dalam bingkai wajah tirusnya. Begitu sempurna laki-laki itu dijelmakan mimpi dalam tidur pulasku. Indahnya.

Laki-laki itu jatuh cinta padaku. Juga ia berjanji akan menikah denganku. Hmm, norak! Tapi aku terbuai dan sering diam-diam menanti kesungguhannya. Apa mungkin seseorang itu akan benar-benar dijelmakan mimpiku? Entahlah.  Sebagai perempuan tak kutampik sosok maskulin serupa itu jatuh cinta padaku. Apa ruginya, meski amat disayang, laki-laki penggoda itu tak dapat tertangkap wujud kasatnya untuk dibawa pamer. Apa boleh buat.

Ketika Benga, cinta matiku di bangku kuliah, menggadaikan cintanya pada perempuan lain, aku menutup mata pada laki-laki, memang. Hatiku mengkeret dan kerontang oleh penghianatan Benga. Kuperam dendam diam-diam hingga tanak pada laki-laki walau tak semua laki-laki pecundang seperti Benga.

Lalu datang Oding, teman kerja, bersama sekuntum mawar merah magenta di tangannya. Tipikal laki-laki romantis jaman kini. Oding menyatakan perasaannya lewat kuntum bunga. Tanpa kata. Say it with flower. Hah. Bunga itu mak comblang Oding. Dengan binar mata cerah-ceria Oding mengangsurkan bunga itu padaku. I love you, Tara. Demikian kesan Oding di mataku.

Akan tetapi, bukan salah bunda mengandung. Bunga itu terkapar masuk keranjang sampah. Oding mendelik. Merasa perasaannya disepelekan. Bergerak jakun Oding menelan kecewa. Peduli teuing. Mata Oding geram. Dari sorot mata kecewanya itu aku seolah mendengar serapah Oding. Kusumpahi kau, Tara. Kau tak akan mendapat jodoh seumur hidupmu. Ingat itu! 

Agaknya, sekian tahun ke depan, aku termakan sumpah Oding. Tak ada laki-laki menaruh hati padaku sejak peristiwa yang membuat Oding malu dan geram. Tak seorang pun. Dendamku pada Benga di masa lalu membuat dingin soorot mataku menatap lawan jenis. Begitu dalam goresan luka yang ditinggalkan Benga dan mengendap di palung hatiku. Cukup lama jika diurai dalam deret ukur ala matematika. Bertahun-tahun hingga umurku melampaui usia ideal untuk membangun sebuah pernikahan.

“Umurmu di ambang tiga-tiga, Tara,” keluh Ibu, menuding kesendirianku selama ini.

Kutatap Ibu dengan pendar mata menyimpan rahasia. Perempuan itu mematut sambil menarik napas dalam-dalam. Ah, Ibuku menginginkan seorang menantu tampaknya. Alasan masuk akal. Tak kutampik pendar kekhawatiran pada sorot mata Ibu.

Kepeluk Ibu, merespon kekhawatirannya. Betapa ingin kujelaskan, bahwa telah dimilikinya seorang calon menantu yang memberiku tempat lapang di hatinya. Laki-laki yang tak pernah absen datang dalam mimpiku itu yang kumaksud. Mimpi yang sama, jika terjadi berulang-ulang pada setiap malamnya, bukanlah sebuah kebetulan belaka. Pasti ada sesuatu di balik itu. Dan jodoh adalah mesterius problem, bukan? Tuhan pasti akan menjelmakan laki-laki itu suatu waktu. Aku yakin hal itu terjadi.

Tapi, untuk menjelaskan hal ini pada Ibu sungguh tak mudah. Buntu pikiranku menalarkan kehadiran laki-laki itu pada Ibu. Pasti Ibu memberiku ultimatum yang tak seorang pun sudi mendengarnya. Gila.

Ah, Ibu. Hanya mimpi yang dapat merekam jejaknya. Benmani, demikian menyebut dirinya ketika pertama kali berkunjung dalam tidurku.  Benmani hanya dapat disentuh saat fungsi otak berada pada gelombang delta. Ketika pulas tertidur. Dan, mustahil Ibu akan dapat berkenalan sebagaimana akau berkenalan dengan Benmani.

Maka sesungguhnya tidak diperlukan obat atau semacam bahan kimia tertentu untuk memosisikan otak pada kondisi theta, yang memicu kemunculan Benmani lebih dini dalam mimpiku. Ia memberiku sebuah rahasia. Lafas hu-ah, katanya berbisik pada telingaku, adalah titian yang menghubungkannya dengan diriku secepat lafas itu bermahraj. Mimpiku akan jelmakan dirinya sekian detik ketika lafas itu kurapal sebelum mata terpejam menuju mimpi.

Begitu rahasia yang dibeberkan Benmani padaku. Kusimpan rapat-rapat rahasia itu pada tulang rusukku. Tak seorang pun mengetahuinya. Juga Ibu. Ah, bingung lagi jika Ibu bertanya tentang seorang laki-laki yang diidamkannya menjadi mantu.

Berdosalah rasanya andai tak kujelaskan perihal Benmani secara jujur pada Ibu. Aku perempuan dewasa. Namun, aku tak tega berdebat tentang sosok Benmani yang tak kasat mata. Ibu pasti terpukul. Senewen. Sebab pada kenyataannya selama ini tak ada rahasia antara kami berdua. Sejak Ayah meninggal aku masih kecil. Ibu melakoni single parent. Ia adalah ibu sekaligus ayah bagiku. Ibu berperan ganda. Begitulah Ibu menentukan sebuah pilihan untuk dirinya. Kami share satu sama lain.

“Menikahlah segera jika telah kau dapatkan laki-laki yang cocok. Ibu percaya kau telah menemukannya. Bawalah pada Ibu untuk berkenalan…”

Nah, tuh, kan? Apa katanya. Ibu pingin kenalan pada laki-laki cocok itu. Aku terkesiap. Bingung tak ada habis-habisnya. Jika kuurai jati diri Benmani pada Ibu tentu akan keukeuh mendorongku menjalani terapi jiwa karena dianggap tak waras.

Pada suatu siang kuberi sebuah kejutan yang kusengaja pada Ibu. Pada seorang pandai emas telah kupesan sepasang cincin belah rotan. Pada lingkar dalam cincin itu tertulis inisial nama kami pada salah satunya. T dan B.

Ibu sumringah. Diamatinya sekilas cincin itu. Inisial huruf B membuat jidatnya berkerut.

“Benmani,” kujelaskan kepanjangan inisial itu.

Ibu mengangguk. Senyumnya terulas. Betapa ironis. Mati aku.

“Kapan kalian akan bertunangan?” usut Ibu lebih jauh.

“Segera setelah Benmani merampungkan S3. Sekarang ia sedang menempuh pendidikan di luar negeri. Kami sudah sepakat jika pendidikannya rampung kami akan segera bertunangan,” ucapku tertunduk.

“Pasti laki-laki idaman,” Ibu menggodaku. “Kalau tidak, mana mungkin kamu rela menunggunya sekian lama!”

Aku mengangguk. Hampir terpojok. Segera kuraih tangan Ibu. “Berdoalah buat Tara, Bu, agar kelak kami tak  menemui aral untuk bertunangan,” kataku dengan kemanjaan yang dibuat-buat. Sebuah anomali yang menyeret rasa sangsi akan citra diriku. Syaraf.

“Tentu Ibu akan berdoa buat kalian.” Dibelai rambutku dengan sentuhan kasih seorang ibu.

Benmani. Aku mengerjap. Sosoknya pertama kali hadir dalam mimpiku pada empat bulan lalu. Aku terhipnotis oleh sosoknya. Tanpa perlawanan, kubiarkan aura yang memancar pada sosok itu merasuk ke alam pikiranku dan mengendap di sana. Kuterima ia bulat-bulat layaknya ia kasat seakan penantian yang lama membuatku kehilangan kendali. Kami berpagut dan melampiaskan dendam asmara. Ugh, mimpi basah.

Tapi bukan dosa. Mimpi erotis adalah hal biasa. Nyaris setiap orang tak ada yang luput mengalaminya. Namun, sungguh tak dinyana. Aku kerasukan pesona mimpi itu. Aku menginginkannya lagi. Sinting. Sosok itu tersenyum menebar misteri. Sebarapa banyak  aku menginginkannya ia meladeni hingga aku terpuaskan. Kurangku dia. Benmani mencebik.

“Aku akan hadir setiap kamu menginginkannya.” Benmani menyentuh ujung daguku. Dikecupnya layaknya seseorang yang telah terikat ijab Kabul. “Napasku hu ah. Jika napas itu kau lafaskan, maka aku akan merasa kau menginginkan kehadiranku. Aku akan datang.”

Lalu kemaruk. Saban malam kulafaskan hu ah. Benmani menjelma secepat mata berkedip. Kami berkencan. Kunikmati setiap inci dari sentuhan bergelora itu penuh gairah. Lalu suaraku tertangkap dengar oleh telingaku. Mengejan serupa suara sapi meregang nyawa. Mimpi basah lagi.

Sial. Di kantor aku kena ledek. Persoalan sering keramas dan rambut lepek dijadikan bahan acuan untuk mengejekku. Tanpa disortir kata-kata mereka langsung mendakwaku. Masturbasi. Aku mendelik. Tak terima. Mimpi basah bukan masturbasi. Sayang kata-kata itu hanya bergema dalam hatiku. Ujungnya aku tersenyum masam. Biarlah mereka meledek. Peduli amat.

Tapi akau merasa berdosa. Telah kupecundangi Ibu tentang sepasang cincin belah rotan yang mengukir inisialku dan Benmani. Aku telah berkonspirasi dengan akal tak waras. Lama aku tercenung. Celaka. Aku ragu dengan kepribadianku. Benmani tokoh abstrak tak terjangkau tangan.

Sesuatu merebak dan menarik rasa ingin tahu. Kutelusuri alur mimpiku. Kehadiran Benmani melalu perantara lafas hu ah membuatku tergelitik. Aku bukanlah perempuan berkepribadian ganda. Tapi, mimpi yang menghadirkan sosok sama itu tak pelak membuatku terperosok juga. Dan aku telah terjebak dalam labirin bual mimpi semata. Apakah aku masih waras? Aku ingin berontak.

Benmani tersulut. “Tentu kau masih waras,” katanya dalam mimpiku ketika ia hadir kembali dan aku mendebatnyat. Pada penampakan kali ini Benmani seperti tengah tersandung masalah. Ia tak berselera menyentuhku padahal aku sangat menginginkan hal itu terjadi.

“Ada masalah?” aku melempar tanya. Benmani menggeleng. Mengapa kau tak menyentuhku? usil kubertanya lagi. Rasa inginku di ubun-ubun. Benmani menarik napas. Melirik sejurus ke arahku. Aku penasaran.

“Tidakkah kau ingin menikah denganku?” ia bertanya tiba-tiba.

“Bukankah telah sering kudengar kata-kata itu?” balik aku bertanya.

“Kau belum memberiku jawaban,” tudingnya.

“Apa yang telah kau perbuat padaku selama ini lebih menyerupai sebuah jawaban. Aku tak menolakmu ketika kau ajak aku berkencan. Itu sudah merupakan bukti yang cukup.” Kutatap bola matanya. Benmani menyembunyikan tatap. Asing.

“Aku sangsi,” katanya dalam nada menyimpan keluh. “Menikahlah denganku segera. Itu yang kuharapkan.”

Aku mengangguk. Tak ingin kutolak ajakan manis itu. Perempuan mana tak tersanjung jika diajak menikah laki-laki iadamannya? Kubenamkan kepalaku pada bidang dadanya.

“Telah aku siapkan sepasang cincin belah rotan,” kataku sambil mempermainkan riap-riap bulu dadanya. “Pada salah satunya tertera inisial namaku dan namamu. Maukah kau pakai cincin yang tertera inisial namaku pada jarimu?”

Muka Benmani cerah. Tak ada mendung menggelayut. “Tentu saja cincin itu akan kupakai dengan senang hati.”  Refleks, diangkatnya ujung jariku serta-merta dikecupnya.

“Aku ingin membawamu pada Ibu,” aku merajukinya. “Ibu tentu ingin berkenalan dengan calon menantunya. Tapi aku tak tahu caranya. Bukankah kita bersua hanya dalam mimpi?”

“Benmani menarik napas. “Bawalah aku pada Ibu,” katanya dalam.

“Bagaimana caranya. Bukankah ini di alam mimpi, Ben?” berbinar mataku menatapnya.

Benmani tersenyum renyah. “Besok malam aku akan datang untuk melamarmu pada Ibu,” kata Benmani meyakinkan. “Tapi tolong jaga rahasiaku. Menjelang magrib lafaskanlah hu ah dan aku segera akan datang.”

Aku terlonjak gembira. Terjengkang jatuh dari atas tempat tidur. Sakit badanku. Benmani hilang seketika dalam radius tatapku. Aku tercenung cukup lama.

Benmani akan dating pada Ibu. Benarkah? Menerawang pikiranku mereka-reka pertemuan yang bakal terwujud itu. Sebuah kejutan yang nyaris membuat mataku tak terpicing selepas mimpi itu. Alangkah naïf. Pada keinginan terdahulu sosok Benmani sangat kudambakan wujudnya menjelma kasat. Tidak hanya tersentuh dalam mimpi semata. Tapi mengapa ada keraguan ketika ia benar-benar ingin menampakkan wujud kasatnya?

Bergetar hatiku setiap kusentuh apa saja. Nyaris pekerjaanku di kantor berantakan. Aku terserang rasa grogi yang hebat. Euforia. Tuhan, kuatkan hatiku. Aku mencoba tegar berdiri, tapi tubuhku bergetar serupa orang terkena stroke ringan.

Magrib menjelang. Kupejam mata, fokus pada pemusatan rasa. Hu ah, bergetar bibirku berucap. Detik-detik berlalu. Hampir berlalu waktu magrib. Serupa patung, aku berdiri di bibir pintu ruang tamu. Mengawasi setiap gerak yang melintas. Tak kuberitahukan Ibu tentang kunjungan spesial ini. Biarlah akan jadi kejutan baginya bila Benmani benar-benar datang. Sim salabim.  Hu ah, sekali lagi aku melafaskannya. Tubuhku semakin bergetar saja. Entahlah.

Sesuatu bergerak. Berjalan pasti melewati pintu pagar pekerangan. Dari balik gorden sesosok laki-laki tertangkap tatapku. Di temaram lampu pekerangan sosok itu menebar senyum. Terperenyak aku saat menatapnya. Seulas senyum itu mematikan rasa. Menetak alur nadi yang mengalirkan darah. Jantungku berhenti berpacu.

Laki-laki itu begitu dekat dan nyata. Sangat dapat terengkuh dalam jarak yang semakin mendekat. Akan tetapi, tak ada gerak tercipta. Seinci pun tidak. Sosok itu semakin tampak dan mendekat. Bukan Benmani, tetapi Oding. Laki-laki itu tengah menggosok-gosok cincin berbatu akik di jari tengah tangan kirinya sembari merapal huruf hu ah tiga kali. Tiba-tiba dalam seketika dunia terasa gelap kurasa...

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler