Skip to Content

Lubang Jalan

Foto monas junior

Cerpen: Monas Junior*

 

Istriku sedang terbaring lemah. Wajah jamrudnya bercampur lumpur darah. Bibir delimanya berbaur kubangan lebam. Mata dan hidung mutiaranya berbalut parit kesakitan. Seluruh tubuhnya, ya Tuhan, tak lagi berbinar kristal!

Aku terduduk lesu. Menatap semua kelam yang bercampur sesal di balik penderitaan perempuan yang telah menyerahkan hidupnya itu padaku. Aku meradang, murka, merutuk, menghujat, bercarut-marut. Tapi pada siapa? Bukankah ini salahku sendiri?

 

12 jam lalu, aku terbuai permainan waktu. Setir dan pedal gas menjadi sepasang senjata ampuh yang siap menembak waktu. Begitu inginnya aku mengalahkannya malam itu. Sampai-sampai, perutku yang tak terisi peluru, tak jadi penghalang berarti. Permainan harus dimenangkan. Setengah jam lagi tiba di garis finish, bukankah kemenangan sudah sangat dekat?

“Kita makan di Desa Sungai Abang, habis itu istirahat. Pagi-pagi harus sholat Ied.”

Istriku bergumam. Perempuan besenjata manja di sampingku itu, selalu berhasil mengalahkanku. Tanpa taktik. Tanpa keahlian. Dan, tanpa kekerasan. Dia berhasil mengusik permainanku. Waktu sedikit lebih kencang dariku. Aku marah, meradang, murka, merutuk, menghujat, bercarut-marut dalam hati. Aku tak boleh kalah.

Setir dan pedal kembali kulecut. Memburu waktu yang tingal kurang dari setengah jam, adalah permainan paling mendebarkan.

    Setengah kilometer selepas SPBU di Kota Sarolangun –ibukota salah satu kabupaten di Provinsi Jambi--, aku dengan telak dikalahkan. Waktu dengan pongah menatap mobilku yang berjungkir balik di aspal setelah menghujam lubang menganga. Dia tertawa keras melihat aku susah payah memungut sisa kecantikan istriku di padang kaca. Makin keras lagi saat aku mencari serpihan bahagia di balik himpitan mobil.

    Aku kalah total. Perlawanan seru selama 3 jam sepanjang Jambi-Sarolangun, sama sekali tak menghasilkan apa-apa. Selain kesedihan dan kucuran sesal yang berbau darah.

    Lihat, siapa yang salah? Aku, waktu, atau jalan berlubang akibat dihujam ban truk-truk pengangkut batu bara? 40 persen jalan di provinsi ini memang sudah berlubang sejak tiga tahun lalu. Aktifitas pertambangan dan perkebunan telah menjadikan Jambi produsen CPO dan batubara terbesar di Sumatera.

    Semestinya ini salah Dinas PU. Ya, ini salah pejabat-pejabat yang kian gemuk dengan asupan gizi dari puluhan persen fee proyek di dinas itu. Bukan pengusaha batubara yang salah, bukan pula pengusaha CPO yang keliru, melainkan para kontraktor pemengerja jalan. Jika mereka bekerja dengan baik, jalan beraspal bisa saja disulap jadi lapisan karang, yang tak akan berlubang dan tak akan membunuh masa depan istriku. Jika tak berlubang, semalam aku sudah sukses membuat waktu jadi kurus ceking akibat kalah telak.

    Wajahku berdarah lagi. Sadar ada yang disalahkan, aku memburu kantor Polres Sarolangun dengan bara kemarahan. Dua polisi yang kebagian tugas jaga menerima laporanku tentang kejadian semalam. Dua saksi warga di sekitar lokasi memperlancar. Undang-undang lalu-lintas yang baru direvisi, ikut memperlicin semua tuntutanku.

    “Dinas PU pantas disalahkan. Dalam undang-undang lalu-lintas menuangkan itu. Jika ada korban kecelakaan akibat jalan rusak, PU harus bertanggungjawab karena tidak becus bekerja.”

    Aku mengulang-ulang kalimat itu di depan petugas jaga Polres, berharap mereka cepat mengeluarkan bukti laporan tertulis. Dan, cepat pula membiarkan aku pulang untuk mengecup sebelah pipi istriku yang tak tersentuh luka.

    “Tuntutan ini salah alamat, Pak. Mestinya ditujukan ke Kementrian PU. Soalnya TKP ini Jalan Lintas Sumatera, jalan nasional itu.”

    Astaga! Polisi berbadan kurus dengan tinggi sedang itu benar. Kecelakaan yang merenggut kecantikan istriku itu, memang terjadi di Jalan Lintas Sumatera. Ada 4 kabupaten di Provinsi Jambi yang dilalui jalur naga itu. Liukannya melewati Bungo, Tebo, Merangin dan Sarolangun. Tiap hari, warga setempat berurusan dengan maut. Kecelakaan akibat patukan naga itu, sudah tak terhitung terjadi. Kematian sering tak terhindarkan. Tanpa penawar, tanpa pertanggungjawaban.

    Aku terduduk lesu. Dua petugas jaga, dua warga yang kujadikan saksi, sama-sama mengirim sinyal tanda tanya ke mataku. “Maaf, Pak. Laporannya bisa diubah, kok,” papar polisi itu, mematuk senyum di bibirku yang berat.

    “Sudah lah, Pak. Lebih baik kita pulang saja, sebelum wartawan datang ke sini.”

    “Ya, baiknya relakan saja. Lagian Ibu kan tidak terlalu parah.”

    Dua lelaki yang kujadikan saksi itu, mencoba menawar luka di hatiku. Mereka mengusap-usap bahuku, punggungku, kudukku, seolah-olah meminta aku memuntahkan semua sesal di dada. Lima menit kemudian, aku mulai sembuh. Kumuntahkan sesal, kuobati luka, lalu kuajak mereka pergi dari kantor polisi yang siap melayani masyarakat itu. Aku tak sabar menuju rumah untuk mencerucup pipi istriku pada bagian yang tak tersentuh luka.

***

Sejak kekalahanku yang terakhir, waktu semakin pongah. Tiga pekan terlewat begitu cepat. Detik telah menguasai hari dengan putarannya yang liar, menyisakan lubang di tiap langkah yang ditinggalkannya.

Kemalangan di Sarolangun membuatku mengalirkan pikiran tentang pembangunan yang bijak. Infrastruktur adalah kewajiban, yang lain hanya sunat. Hampir tiap hari aku mengajak orang-orang berpikir dalam arus pikiranku. Kepala daerah, kepala Bappeda, kepala Dinas PU, semua kepala kupaksa berpikir. Aku tak mau mereka tak punya pikiran seperti selama ini. Sudah saatnya semua orang bangun dan melawan arus ketertinggalan.

Dari mudik hingga ke ilir. Dari Kerinci hingga ke Tanjung Tabung Timur. Semua punya endapan masalah yang sama. Jalan berlubang, terputus, sempit dan tak layak pakai, membuat transportasi tak pernah semulus aliran Batanghari. Bertahun-tahun lalu orang-orang kabupaten berakit-rakit untuk sampai ke Jambi. Sekarang pun tak ubahnya begitu.

Jika dulu orang-orang kabupaten yang membawa hasil bumi; karet, kulit manis, kopi, palawija, masih bisa memilih aliran Batanghari sebagai jalan utama menuju Jambi –waktu tempuh mencapai satu minggu dari Sarolangun--, sekarang sudah tidak ada pilihan lagi. Batanghari kini penuh endapan, sedang jalan-jalan darat penuh lubang.

“Setelah pendidikan, perbaikan jalan harus diutamakan,” jeritku di dalam satu forum rapat. Kepala dusun, kepala desa, kepala suku, berkumpul di ruang rapat desa. Semuanya serentak menyuarakan nada bingung.

“APBD tahun depan kita minta diperbanyak untuk infrastruktur. Kita harus sepakat.”

Lagi-lagi hanya bingung yang aku dapat. Melodi pikiranku mulai kacau. Panggung rapat siang itu menghasilkan tepukan sumbang. Tak ada riuh, tak ada hingar bingar semangat. Decitan kursi yang ditarik tergesa-gesa menyisakan sunyi. Tiba-tiba aku merasa sendiri.

Pria muda yang jadi orang kepercayaanku bergegas membawa mobil hitam gagah. Dengan gagah pula dia memerintah aku naik ke mobil itu, lalu melaju ke kabupaten lain untuk mengukur seberapa dalam lubang di negeri ini.

Lubang-lubang di jalan, seperti bekas jerawat yang merata di wajah Jambi. Jalan Lingkar Selatan memiliki bekas bisul yang telah dioperasi. Demikian buruk dan menjijikkan. Tiap melihat, rasanya ingin muntah. Tapi provinsi ini tak mampu mengoperasi jalan itu supaya cantik lagi seperti dulu sebelum diinfeksi puluhan ton truk batu bara dan CPO. Sakitnya masih dan makin parah!

***

Jalan Lingkar Selatan mengidap kanker. Virusnya menyebar cepat. Awalnya hanya warga sekitar, lama-lama, seluruh Jambi mulai lumpuh. Jalur utama perekonomian itu sakitnya tak terobati lagi. Suntikan dana bank dunia satu-satunya harapan, tapi, membeli vaksinnya demikian mahal. Provinsi tak sanggup tawar menawar dengan pemerintah pusat.

Korban mulai berjatuhan. Awalnya warga sekitar lokasi, lama-lama menyusul supir truk pengangkut barang, berikutnya pengusaha batu bara dan CPO. Terakhir, Jambi jatuh ke lubang Jalan Lingkar Selatan yang dalam. Serpihan ekonomi berceceran di himpit kemiskinan.

Aku meradang, murka, merutuk, menghujat, bercarut-marut. Tapi pada siapa? Bukankah ini salahku sendiri?

“Tidak, ini bukan salah provinsi. Bukan salahku. Tapi salahnya pemerintah pusat. Jalan berlubang itu punya mereka, bukan kita.”

Berkali-kali aku mengulang kalimat itu di depan kepala daerah, kepala desa, kepala dusun dan semua kepala yang berpikir buruk tentangku. Ah, ayo lah, aku ini hanya gubernur. Baru menjabat. Apa yang kalian harap dariku?

Tahu-tahu, aku telah jatuh di lubangku sendiri.

***

 

Sarolangun, November 2010


*Penggiat dan penikmat sastra berdomisili di Jambi. Pendiri dan pengelola media Sastra dan Budaya Angsoduo.net hingga kini.

Komentar

Foto monas junior

lagi panas

dah lama ndak buat cerpen

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler