Skip to Content

LUKISAN KUCING BERSERAGAM PERWIRA

Foto eswa achmad

LUKISAN KUCING BERSERAGAM PERWIRA

Cerpen: Sri Wintala Achmad

 

Puput, nama kucingku. Meskipun tak istemewa, nama yang diberikan istriku itu kiranya diterimanya. Setiap istriku menyerukan nama Puput, kucingku yang tengah berburu cicak di rumah tetangga selalu pulang. Ia yang berpikir akan diberi cicak hasil tangkapan istriku itu tampak kecewa. Karena, tak seekor cicak di tangan istriku. Sungguhpun begitu, ia tak pernah berang. Membanting-banting piringnya yang hanya berisi nasi berlauk teri.

Sejak sebulan Puput tinggal di rumahku, tak ada cicak berani nongol di dinding. Hingga istriku tak pernah menangkap seekor cicak dengan sapu lidinya. Pikirku, cicak-cicak itu sembunyi di balik eternit. Takut pada Puput yang berwajah imut, namun senampak monster di mata cicak-cicak. Hingga mereka harus berburu nyamuk dalam kegelapan ruang di balik eternit. Meredam nyali mereka untuk menampakkan diri, meski ribuan laron menyerbu ke dalam rumahku saat pertengahan musim hujan.

Tak hanya cicak-cicak. Tikus-tikus yang dilambangkan orang-orang sebagai sekawanan koruptor itu tak bernyali memasuki rumahku pada malam hari. Mengobrak-abrik makanan di meja makan. Menggerogoti baju dalam almari kayu yang mulai lapuk. Mencacah-cacah beha dan celdam yang telah dua hari dipakai dan bergelantungan di kamar mandi. Berpesta sabun batangan yang mungkin dianggapnya sebagai roti.

Sungguh! Puput telah menjadi pahlawan di rumahku. Namun, jasa kepahlawanannya harus ditukar dengan cicak. Karenanya, istriku harus berburu cicak di rumah tetangga dengan sapu lidi saat senja. Ia tak pulang sebelum berhasil menangkap seekor cicak.

Selepas isyak, istriku baru pulang ke rumah dengan membawa hasil buruannya. Puput melonjak-lonjak kegirangan. Serupa harimau lapar, ia memakan cicak itu dengan lahap. Kepala, tubuh, kaki, dan ekor yang tak sempat dilepaskan cicak itu dimangsanya. Tak ada sisa yang ditinggalkan untuk sekawanan semut.

Serupa bayi kekenyangan sesudah disusui ibunya, Puput tertidur pulas. Tak ada suara piring yang dibanting-banting. Hingga hulu malam yang mengalir ke hilir pagi serasa tenang. Tak seperti sungai yang mengalir di samping rumahku. Selalu membuat keributan besar, bila banjir datang.

***

 

Tak adanya lagi cicak-cicak di rumahku, sungguh tak aku inginkan. Betapun mereka juga pahlawan. Membasmi nyamuk-nyamuk yang selalu mengganggu tidurku. Mengisap darahku dan darah istriku. Dari sini, muncul ide konyolku. Melukis cicak sebesar anak buaya untuk dipajang di dinding ruang tamu. Agar nyamuk-nyamuk tak berani berkeliaran di rumahku.

Hanya butuh waktu sehari, lukisan cicak aku rampungkan. Aku pajang di dinding ruang tamu. Melihat lukisan itu, istriku tampak suka. Puput juga sangat bergairah saat menyaksikan lukisan itu. Betapa lega hatiku. Karena, rumahku akan jauh dari ancaram tikus dan nyamuk.

Selagi aku berbincang dengan istriku tentang lukisan cicak yang belum kering catnya itu, datang seorang lelaki asing yang mengaku sebagai calo lukisan. Ketika melihat lukisan itu, ia bermaksud menjualkannya pada seorang kolektor dengan harga tinggi. Meskipun sedang butuh uang, aku tak berniat menjual lukisan itu. Karena tujuanku, lukisan itu bukan untuk dijual. Melainkan untuk menyelamatkan darahku dan darah istriku dari isapan segerombolan nyamuk. Drakula-drakula mungil yang berkeliaran bebas di malam hari.

Lelaki asing itu meninggalkan ruang tamu dengan kecewa, sesudah aku memutuskan untuk tidak melepaskan lukisanku. Aku tak peduli. Sebagaimana aku tak mempedulikan omelan istriku yang menghendaki lukisan itu untuk dijualkan oleh si lelaki asing. Aku lebih mempedulikan kenyamaan di rumahku daripada banyak uang yang belum tentu dapat membeli kedamaian.

Aku tinggalkan istriku di ruang tamu. Aku tinggalkan Puput yang seolah tahu tentang pertengkaran pendapat di antara kami. Memasuki kamar tidur. Mendekap guling di ranjang sendirian. Karena istriku yang sangat kesal dengan keputusanku itu lebih memilih tidur dengan Puput di kursi sofa ruang tamu.

***

 

Karena semalam susah tidur, aku terbangun kesiangan. Sesudah cuci muka dan gosok gigi di kamar mandi, aku memasuki studio. Hasratku untuk menikmati secangkir kopi dan sebatang sigaret yang biasa dipersiapkan istriku sebelum bekerja sebagai pelukis profesional. Namun hasratku kandas di dasar ruang hampa, karena tak ada kopi dan sigaret tersaji di sana.

Aku pikir kalau istriku masih marah. Karenanya, aku bergegas ke ruang tamu. Siapa tahu, ia masih tidur pulas di samping Puput. Di ruang itu, aku serasa dilempar ke ruang mimpi paling buruk. Tersentak ketika tahu kalau istriku tak ada di sofa. Ketika melihat ruang tamu dengan pintunya terbuka. Ketika menyaksikan sebingkai lukisan cicakku terkapar di lantai dengan kanvas koyak-moyak. Serupa dicakar-cakar kuku-kuku binatang buas.

 Darahku menggelegak sampai ubun kepala. Dengan membabi buta, aku hajar Puput dengan sapu lidi yang biasa digunakan istriku untuk berburu cicak. Sebelum aku memutuskan eksekusi mati pada Puput, berdatangan tetangga kiri-kanan. Mereka mengatakan kalau seorang lelaki tak dikenal bersenjata cutter belum lama keluar dari rumahku. Kata salah seorang dari mereka, kalau ciri-ciri lelaki itu mirip dengan lelaki asing yang semalam bertamu di rumahku.

Belum tuntas aku menyesali laku biadabku, datang istriku yang membawa belanak kesukaan kucingku dari pasar. Menyaksikan Puput yang setengah pingsan terkulai di antara kerumunan tetangga, istriku menjerit histeris. Sambil membopong Puput, istriku menghujatku habis-habisan. Dalam diam, aku ingin menebus kesalahan. Melukis Puput sebagai kucing perkasa yang mengenakan seragam perwira, bertopi baja, berspatu lars, dan memanggul senapan. Sesudah kering catnya, aku pajang lukisan itu di ruang tamu.

Sejak menyaksikan lukisan itu, istriku tak lagi marah-marah. Puput pun tak lagi meminta istriku untuk berburu cicak saat senja. Bahkan, ia tampak membiarkan cicak-cicak itu bebas berburu nyamuk di rumahku. Sebebas dirinya yang setia menjaga rumahku dari ancaman tikus-tikus. Sebebas diriku yang bisa leluasa menghirup udara lewat jendela terbuka.

Cilacap, 14 Mei - 27 Oktober 2015


Sumber: Mingguan "Minggu Pagi", Jum'at 18 Maret 2016.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler