Skip to Content

MALAM TAK PERNAH HABIS

Foto zulkifli niode

G

erak malam tidak terhambat oleh siapapun. Angin berhembus mengandung air, meninggalkan titik embun dan menetes dari ujung daun. Memberi tahu bahwa pagi tinggal beberapa jam lagi.

Sementara bayang merambat mengikuti perjalanan gelap yang kian memanjang. Tidak peduli pada siapa yang lewat, duduk atau yang telah terbaring di atas pafling disudut tanah lapang temaram.

Dari salah satu sisi kita dapat melihat jelas dua penjaga malam sebuah perpustakaan. Bangunan megah itu persis berseberangan dengan tanah lapang yang jika malam dipakai para remaja untuk berkumpul berbagi cerita tentang hal yang hampir tak berguna bagi kehidupan.

Parigi, kota kecil yang panas ini tak punya tempat untuk bersenang-senang yang layak apalagi buat keluarga. Keramaian remaja didorong oleh rasa kekecewaan kaum dewasa yang tak mampu memberikan hal yang menarik di rumah-rumah mereka. Dan itu adalah pengamatan sementara tanpa menilik latar kemauan mereka masing-masing.

“Setiap malam tak ada yang berubah”

“Sepertinya begitu”. Cetus laki-laki penjaga yang pendek.

“Anak-anak itu akan datang satu persatu lalu pergi bergerombol, kembali dan pergi lagi …”. Penjaga jangkung menghela nafas kebosanan.

“Apa yang menarik lagi dari tiap keluhanmu ? tetap sama dengan keadaan anak-anak itu”. Penjaga pendek memandang serius kepada temannya.

“Aku prihatin terhadap diriku”

“Separah apa hatimu … ?”

“Yah, aku tak tahu apa yang terjadi pada diriku bila suatu malam aku duduk disini sambil melihat kelakuan anak-anakku di depan sana”. Diam. “Busyet !!”.

“Ha..ha.., kau benar-benar menyesali dirimu. Hingga kau sadari kenapa harus menikah dan punya anak di kota kecil ini. Iya,kan ?”. Penjaga pendek meremas perutnya untuk mengatur napas akibat menahan tawa. “Sudahlah kawan, sebentar lagi malam habis dan kau tak perlu menyesal untuk esok harinya”.

“Tidak seperti itu”

“Sudahlah…”

Tak berapa lama, penjaga pendek berdiri merapikan jaket berbahan katunnya lalu berjalan pergi sebentar untuk mengelilingi gedung megah itu, kadang-kadang menyalakan lampu senternya. Berdiri sesaat di sudut pagar di bawah sebuah pohon besar yang hampir tak satupun orang di kota ini mengenal pasti nama dan jenis pohon tersebut kecuali pengetahuan bahwa itu merupakan salah satu jejak penjajah yang belum dirusak. Sangat keterlaluan memang.

Sehelai daun jatuh pelan tidak menimbulkan suara hanya ujudnya yang ditemukan esok hari. Tanpa mengganggu kita yang tidak mau memperhatikannya kecuali deru sepeda motor atau teriakan para remaja di jalanan mengingatkan kenakalan, candu, alcohol bahkan onani dan HIV yang lupa dibahas malam ini.

“Mau kopi ?” . Sambut penjaga jangkung kepada temannya.

“Setengah cangkir saja”. Penjaga pendek menarik kursi agak menjauh dan menyulut rokok,menghembuskannya keras-keras. “Besok, pegawai disini kerja keras menyapu di depan sana, banyak sampahnya”. Asap putih kebiruan menyelinap diantara kumis jarangnya.

“Akan begitu seterusnya”. Menyerahkan cangkir kopi “Sampai ada tempat buat remaja-remaja itu dan anakmu juga jika kau mau menikah lagi”.

“Apa ada lelucon yang baik lagi buat pria mandul sepertiku ?”.Menghembuskan asap rokok lagi.

“Tidak, kau saja yang tentukan apakah kau ingin punya anak dan nantinya akan mengamati mereka dari kursimu itu lalu menyuruhnya pulang untuk belajar, cuci kaki dan tidur tanpa ditemani”.

“Aturan yang memuakkan, membuatku lompat keluar dari jendela menghindari mercury untuk merasakan kebebasan, menghirup udara malam sampai tandas”.

“Pola pegaulan yang ditiru anak-anak kita”.

Belasan sepeda motor digenjot. Remaja-remaja itu pulang meninggalkan kegaduhan, hampir menabrak pedagang kacang rebus keliling yang sempat menengok ke arah dua penjaga malam itu. Mereka pulang karena tak ada lagi yang dapat dicicipi, usai sudah kisah tadi siang, dan cara jitu untuk menghindar dari kegamangan.

“Kasihan si Pedangang itu, hampir masuk ICU … ”. Iba penjaga jangkung.

“Tidak, dia tak akan sedih jika masuk ICU”. Potong penjaga pendek “Dia sudah punya uang yang cukup setelah lama meninggalkan tempat kelahirannya untuk merantau dan berjualan kacang rebus atau sekedar berobat saja, punya istri cantik yang merawat dan rumah yang mapan untuk kebutuhan selama sakit”. Membuang rokok yang hampir habis “Tambah lagi dia tak punya anak, seperti diriku. Mandul”. Berdiri dan mengambil remote control, mencari sesuatu pada tiap saluran TV yang kiranya menarik. Namun tak ada.

“Beruntung diriku tidak sepertinya yang selalu meninggalkan istri cantik di rumah sendirian”. Celetuk penjaga jangkung.

“Hhmm” menghembuskan asap rokok “Dan kau lupa jika tiba dirumahnya si pedagang kacang tadi akan menerobos selimut istrinya setelah cuci kaki dan tangan, minta dipijat sampai hilang pegalnya dan bercerita tentang istri kita yang tidur sendiri sampai pagi. Itu cukup membuatnya bangga memiliki istri cantik yang jarang ke pasar, namun berbeda jelas dengan para istri lain di kota asalnya”.

“Seperti istri-istri cantik yang tak pernah terpenuhi kebutuhan rasanya di kota besar itu, akan ramai bergerombol di mal-mall, bar room hotel berbintang, atau bahkan di jalanan seperti remaja-remaja tadi. Akankah seperti itu nanti kejadiannya di kota kecil ini ?. Apa pendapatmu ?” Penjaga jangkung lalu menggaruk kopi kentalnya.

“Bila itu terjadi, aku tak tahu. Tapi bila tiba masanya kau tak akan lagi mengawasi anak mu melainkan istrimu atau istrimu turut malam lain”

“Ha..ha..kau terlalu menikmati masamu hingga tidak memperdulikan keadaan”.

“Selalu, aku selalu memperhatikannya. Melihat apakah ada debu di balik gagang pintu rumah setelah aku tinggalkan, menengok air di kamar kecil umum setelah terpakai semalam, mengetok pintu kamar dan memeriksa bau selimut sebelum tercuci pagi berikut”.

“Sudah pasti di rumah itu cuma ada aroma tubuhmu dan istrimu, kecuali kau adopsi anak yang tiap libur jaga kau ajak mereka ke sini untuk melihat koleksi komik terbaru atau sekedar melihat orang lalu seperti kita sekarang”.

“Sudahlah bicaramu tentang anak. Tak pernah Tuhan akan rela berbagi kuasa dengan orang macam kau untuk memberiku pengertian pentingnya punya anak”. Penjaga pendek menyulut rokok yang baru diambilnya dari saku baju.

“Iya, aku akan tidur sebentar bila telah selesaikan sendiri urusan kita sejak mulai malam tadi yang membebani kepalaku dan membuat bantal tidurku makin kempis”

Malam akan segera tergantikan cahaya merah pagi. 

“Giliranmu berkeliling, setelah itu kita pulang”. Penjaga pendek menghabiskan sisa kopi dari gelasnya.

Jika cahaya matahari baru muncul bagi mereka yang menyemangati hidupnya adalah perjalanan singkat yang harus segera dilayani. Tidak bagi mereka yang menghabiskan separuh hidupnya untuk malam, bagai phyton akan menyeruduk ilalang hutan tropis untuk tidur jika memungkinkan.

Pagi makin menampakkan rerumputan dan bau tanah yang segar. Dua penjaga malam itu menyelesaikan sisa pekerjaannya sebelum meninggalkan pos jaganya. Berjalan beiringan setelah malam benar-benar usai.

“Apakah kau akan mampir ke rumahku untuk minum segelas kopi panas buatan istriku sebelum pergi tidur ?” Tanya penjaga jangkung kepada temannya.

“Tidak. Aku segera pulang untuk memperbaiki pintu kamar kecil umum di belakang rumahku. Mungkin itu berguna untuk peredaran darah setelah duduk sepanjang malam tadi”.

“Aku akan segera tidur, tak sanggup lama lututku menahan beban kantuk dan kemauan dalam kepalaku yang pasti tak sempat kusampaikan kepada keluargaku pagi ini, demikian juga cerita tentang sampah yang ditinggalkan remaja-remaja itu tadi malam dan banyaknya orang yang baru sadar atas kesehatannya dengan berlari pagi sepanjang tanah lapang tadi”.

“Malam seperti itu telah kita lalui dan akan terulang bagai de ja vu”.

“Kadang membosankan”

“Karena kita akan selalu melaluinya sampai habis”

“Di simpang depan sana, kita akan berpisah kawan”.

“Hmm”

“Salamku untuk istrimu”

“Demikian untuk keluargamu”

Matahari mulai naik. Lalu lintas mulai ramai oleh kenderaan dan anak-anak yang pergi ke sekolah. Kehidupan baru dimulai lagi seperti kemarin dengan masalah berbeda. Dua penjaga malam itu berpisah disimpang jalan. Membawa serta cerita malam yang akan dilanjuti tanpa perlu dibagi kepada orang lain. Karena itu tidak begitu penting bagi mereka yang jarang menikmati cahaya matahari pagi.

 

 

----------------------

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler