Skip to Content

CERPEN: MENGULIT KENANGAN

Foto SIHALOHOLISTICK
files/user/3199/a.jpg
a.jpg

Tiba-tiba aku teringat ibu setelah sekian lama aku terpisah atau tepatnya memisahkan diri dari mereka. Di mata mereka aku memang bukan anak yang berbakti. Ya, memang begitulah kanyataannya. Aku memang bukan anak yang berbakti. Tapi tentunya ini bukanlah kemauanku juga. Aku tau, apapun yang diharapkan orangtuaku padaku sebenarnya adalah tujuanku juga. Tapi disaat aku asyik mewujudkan harapan ibu dan ayah yang sebenarnya adalah tujuan hidupku juga, sebuah cinta telah membutakan mataku dan menanarkan langkahku, hingga jadilah aku seperti sekarang ini.

Aku dan ibu selalu sejalan dalam segala hal, paling hanya perdebatan kecil yang terjadi antara aku dan ibu. Jika argumenku  diterima ibu, ibu selalu mengalah dan jika argumen ibu bisa kuterima, aku pun mengalah juga.

Sayangnya cinta telah membuat mataku buta. Kebutaan terhadap cinta itupun bukan tanpa alasan. Sebagai orang yang berpendidikan, tentunya aku punya nalar yang cukup tinggi hanya saja aku memang terlalu terbuai dengan mimpi hingga tenggelam di dalamnya. Ini menurut Syam, sahabat kentalku sejak kecil.

“Apa kabar lo sekarang, Syam? Siapa ya yang akhirnya menjadi pendamping hidup lo?” kataku pelan dalam lamunanku. Aku jadi sangat merindukannya. Syam seorang sahabat yang cukup setia dan dialah satu-satunya sahabat yang pernah aku miliki.

Air mataku menetes mengalir hingga ke daguku dan menetes pada kertas koran yang sedang kubaca. Sebuah cerpen Syam yang dimuat di koran. Aku tau, cerita itu tentang aku. Semuanya dinyatakan, namaku, namanya, dan sederet peristiwa-peristiwa yang cukup mengesankan yang masih segar diingatanku. Peristiwa yang pernah diungkitnya ketika beberapa saat sebelum aku menceritakan masalahku saat itu yang esoknya dia mengajakku menikah.

Andai saja saat itu aku tidak sedang positif hamil di luar nikah, hanya ditinggalkan Gery semata, mungkin lamaran itu segera aku sanggupi. Sekian lama aku menunggunya mengungkapkan cintanya padaku. Tapi sampai kehadiran Gery dalam hidupku, mimpi aku yang satu itu tidak pernah terkabul. Ketika Gery mengungkapkan cintanya dan jadilah aku pacaran dengan Gery dan mulai menghapus mimpiku untuk suatu saat jadi pendamping hidup Syam.

Aku juga pernah mendengar ibuku berbincang dengan ayah yang mendambakan Syam sebagai suamiku. Saat itu aku berharap mereka memutuskan untuk mempertunangankan aku dengan Syam, karena aku tau Syam adalah anak yang paling berbakti kepada orangtua yang pernah aku kenal. Sayangnya, pemikiran ayah dan ibu sudah maju dan tak ada dalam kamus mereka masalah jodoh menjodohkan. Mereka sangat demokratis pada semua anak mereka yang membiarkan anak mereka memilih pasangan hidup sendiri.

Mereka tak sedikitpun kecewa dengan pilihan Kak Aulia yang seorang dokter memilih pasangan hidup seorang tukang ojek. Mereka juga tidak menunjukkan kekecewaan ketika Mas Nurman yang menikah dengan janda beranak tiga. Tapi mereka menikah dengan baik-baik dan tidak berbuat yang dilarang agama, itu yang aku tau. Sementara aku, udah melakukan perbuatan dosa, eh, malah ditinggalkan pergi. Meskipun saat ini aku hidup bersamanya, tapi seminggu yang lalu ia ditangkap polisi karena terlibat peredaran Narkoba. Tinggallah aku sendiri saat ini dengan kondisi hamil tua dan tanpa tempat tinggal.

Bagaimana nanti kalau tiba saat melahirkan? Siapa yang akan membantu aku? Siapa yang peduli? Andai saja waktu bisa berputar kembali. Aku tertegun menatap ke kejauhan dari tepatku duduk.

Sebuah mobil berhenti di depanku dan kaca jendelanya terbuka.

“Mbak, sekitar sini ada bengkel, gak?” tanya pengemudi mobil itu.

“Sekitar seratus meter ke depan sana ada bengkel, Pak!” jawabku menunjuk ke tepat yang aku maksud kemudian menoleh padanya.

“Dian…!” teriaknya.

Aku kaget mendengar namaku di panggil pengemudi mobil itu dari dalam mobilnya yang segera keluar. Kutatap wajahnya lekat-lekat, tapi tetap tak dapat kukenali laki-laki itu.

“Aku Syam. Masa lo udah gak kenal aku, Di!” katanya ketika aku mengernyitkan keningku mencoba mengingat-ingat.

“Syam?” pikirku dalam hati.

“Syam siapa, ya?” tanyaku. “Trus kamu tadi manggil aku dengan nama Dian, maksudnya Dian yang mana?”

“Ternyata seorang Gery udah ngeracuni pikiran lo, Di. Persahabatan kita?” katanya sambil meraih koran yang ada di tanganku dan membukanya. “Ini cerpenku dan ada tetes air mata, apa lo masih mau ngelak, kalo lo itu Dian?”

Aku menunduk, tak sanggup menatap pandangan matanya.

“Lebih dua puluh tahun kita bersahabat, Di, gerak-gerikmu udah aku hafal luar kepala. Penampilan lo boleh berganti, ingat sorot mata lo gak bakal bisa lo ubah sedikitpun.” katanya.

Air mataku menetes.

“Kalo lo bukan Dian, kenapa lo nangis?”

“Syam…!”

“Ya, aku, Di. Apa kabarmu?”

“Baik?”

“Mana Gery?”

“Penjara!”

“Kenapa dengannya?”

“Dia seorang pengedar Narkoba.”

“Udah berapa lama dia di penjara?”

“Baru seminggu, aku yang menjebaknya?”

“Kenapa?”

“Aku udah gak tahan diperlakukan seperti binatang.”

“Jadi kamu tinggal di mana sekarang?”

“Aku tidak punya tempat tinggal.”

“Trus?”

“Melanglang buana, sementara aku punya ibu dan ayah, tapi tak mungkin aku kembali. Perbuatanku telah menghina mereka dan meninggalkan luka yang terdalam.” jelasku. “Lo, apa kabar sekarang?”

“Baik!”

“Mana istri lo?”

“Aku belum menikah.”

“Kok belum?”

“Aku…aku… nunggu lo.”

“Untuk apa?”

“Untuk kujadikan istri.”

“Itu tak pantas, Syam.”

“Kenapa?”

“Lo tau siapa aku kan?”

“Lo sahabat aku dan satu-satunya cewek yang pernah aku impikan jadi istri aku.”

“Berhentilah bermimpi, Syam!”

“Udah lama aku berhenti bermimpi, Di, tapi kini lo udah aku temukan dan aku pengen bermimpi lagi.”

“Itu gak mungkin, Syam!”

“Kenapa? Karena lo udah begini? Aku gak peduli!”

“Meski lo ga peduli tapi lo mesti peduli ama Om dan Tante.”

“Andai lo tau gimana marahnya ayah dan ibuku waktu aku certain yang sesungguhnya ke mereka dan nganggap aku sahabat yang gagal karena gak berhasil menahan lo untuk tidak pergi.” jelasnya. “Sekarang, kamu ikut pulang! Bayi yang ada dikandunganmu butuh perhatian!”

“Tidak, Syam! Aku tidak mungkin pulang dengan kondisi begini.”

“Jadi, dengan kondisi begini lo pantasnya melanglang buana di sini, bukan istirahat. Apa peduli lo ama Gery sekarang?”

“Dia ayah dari bayi yang ada dalam kandunganku.”

“Itu anggapan lo, Di. Anggapan dia gak gitu, kan. Dia gak pernah nganggap bayi yang ada dalam kandungan lo itu anaknya.”

“Kok bisa lo ngomong gitu?”

“Di, apa masih kurang buktinya ama lo? Kalau dia nganggap anak yang ada dalam kandungan lo itu anaknya, dia gak mungkin nyia-nyiain lo kek gini. Lo ini aneh, Di, orang yang sayang ama lo, lo malah tinggalin demi orang yang ga sayang ama lo. Aku pikir setelah ngejalani hidup ama dia, lo tau siapa dia, ternyata nggak. Sekali lagi aku bilang ama lo, Di, Gery itu laki-laki brengsek.”

Aku terdiam mendengar kata-kata Syam.

“Apa lagi yang lo pikirin, Di? Sekarang, kalo lo gak mau pulang, ok, aku maklum. Tapi setidaknya lo ikut aku nyari kontrakan buat lo.” katanya menarik tanganku dan membukakan pintu mobilnya untukku. Tak ada pilihan lain, aku tak bisa menolak lagi.

Hampir seharian kami berputar-putar mencari rumah yang bisa dikontrak, baru setelah senja rumah itu kami ketemukan dan ia meninggalkan aku setelah berpesan sesuatu pada pemilik rumah.

***


Andam Dewi

Senin-Rabu, 18-20 April 2011

Pukul 22.44 WIB

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler