Skip to Content

MENJELANG LEBARAN

Foto Balya Nur
files/Menjelang_lebaran_1.jpg
Menjelang_lebaran.jpg

Suami istri itu masih termangu di balik jendela yang sengaja dibuka. Padahal seharusnya jendela itu ditutup rapat agar pemandangan  memilukan yang terbentang di depannya tidak nampak. Pemandangan itu bagaikan sebuah film iklan mobil mewah. Dia cuma dapat nikmat memandangnya tanpa dapat meraihnya.

 

Pemandangan seperti itu setahun sekali saja datangnya. Belum pernah dalam satu tahun pun terlewat dalam merarih kegembiraan itu. Dari tahun ke tahun dia selalu menceuburkan diri ke dalam arus kegembiraan. Kegembiran menjelang lebaran!

 

Keduanya masih termangu. Di luar beberapa orang berhamburan keluar rumah beragabung dengan orang-orang lainnya di pasar-pasar. Ada diantaranya yang baru kembali dari sana membawa sejumlah barang yang terbungkus dengan aneka macam kantong plastik.

 

Suami istri itu bertambah pilu hatinya ketika melihat keceriaan beberapa anak-anak kecil dituntun orang tuanya. Tentu mereka akan membelikan baju baru untuk anak-anaknya

Keduanya menghela nafas panjang berbarengan. Entah sudah berapa lama keduanya mematung seperti ini. Ketiga anaknya masih tidur lelap. Tadi ibunya menyuruh mereka tidur siang. “ Ayo siapa yang mau beli sepatu baru? Baju baru? Ayo tidur dulu, entar sore bangun, kita ke pasar..”

 

Ketika suaminya tadi pulang dengan wajah lesu, ibu tiga anak itu hatinya diliputi berbagai prasangka buruk. Ketika  suaminya duduk termangu di ruang tamu, dia merasa prasangkanya itu sudah terjawab.

“ Kemana anak-anak. Tidur?” tanya suaminya sambil memijit-mijit kepalanya. Dia mengangguk pelan. Suaminya membuka jendela, beberapa kali menghela nafas panjang sebelum mengucapkan, “ Kita hanya bisa memandang kesibukan diluar dari balik jendela ini.”

“ Kenapa?”

“ Amblas! Sewaktu akan membayar kue kering, aku terkejut. Darahku rasanya beku. Dompetku tidak ada.Dicopet atau jatuh. Entahlah!  Amblas! “

 

Keduanya berpegangan pada bingkai jendela. Iringan semut yang melintasi  jendela itu agak sedikit tersusik.Berpencaran mencari jalan masing-masing. Barangkali semut-semut itu menyangka ada tangan raksasa yang akan membelokan jalan hidupnya.

Sepasang suami istri itu merasa ada suara di belakangnya. Keduanya menoleh berbarengan. Ketiga anaknya menyembulkan kepala mereka dari  gordyn ruang tamu. Cuma kepala meraka saja yang nampak.lucu sekali kelihatannya. Mata meraka nampak minta pengertian kepada Ibunya.

 

“ Ibu kan tadi bilang, jangan bangun sebelum ibu bangunkan. Ayo balik lagi ke tempat tidur!”

“ Sudahlah.  Ayo, anak-anak. Satu dua..tiga...” Ayah ketiga anak itu membungkukkan badan. Tangannya disongsongkan ke depan. Setelah teriakan ketiga, ketiga anak yang lucu-lucu itu berhamburan mengerubuti ayahnya dengan suara gaduh oleh keceriaan.

“Ayo sekarang kalian mandi, kita beli baju baru. Oke? ”

Ketiga anak itu berebutan lari ke dalam dengan kegaduhan ceria yang sama.

“ Setelah di pasar, anak-anak  akan kau apakan?”  Tanya istrinya.

“ Setelah aampai  di pasar aku akan bilang uangnya ketinggalan di rumah,sampai di rumah aku akan bilang ketinggalan di kantor..”

“ Sampai di kantor?”


“ Bagaiamana nanti sajalah.”

 

Seperti yang telah direncanakan, setelah sampai di pasar, dia berpura-pura uangnya tertinggal  di rumah. Pada mulanya anak-nakanya tidak mau mengerti. Susah payah dia membujuk anaknya. Sesampainya di rumah, ada tamu yang menunggunya. Tamu itu sepasang suami istri beserta dua orang anaknya. Dia merasa tidak mengenalnya.

 

“ Perkenalkan. Nama saya  Amran. Ini  istri saya dan ini anak saya. Begini. Saya tidak akan lama di sini. Bapak tahu kan, bagaimana pusingnya orang tua menjelang lebaran? Terutama saya yang kena PHK sejak tujuh bulan lalu. Sampai saat ini saya belum mendapatkan pekerjaan tetap. Saya betul-betul bingung. Saya cuma dapat bengong saja melihat orang-orang pada belanja di pasar. Kebetulan waktu itu saya melihat ada dompet yang menyembul di kantong belakang celna seseorang yang berada di toko kue. Badan saya gemetar. Ada keinginan mengambil dompet itu dan rasa takut. Tapi suara rengekan anak saya dalam imajinasi saya rupanya menenggelamkan rasa takut saya. Dengan sekali sambar, dompet itu sudah berpindah tangan. Sampai di rumah, saya hitung uang itu. Astaga! Banyak sekali. Jangan-jangan pemilik dompet ini baru saja mengambil tabungannya selama setahun khusus untuk lebaran. Mungkin tidak ada lagi sisa uang di rumahnya..”  Tamu itu menghentikan kata- katanya. Tuan rumah menduga apa yang  sebenarnya terjadi.

 

“ Lama sekali saya dan istri saya bimbang. Kami termangu di  jendela. Kami berfikir, tentu pemilik dompet ini kalang kabut. Tentu anak dan istrinya akan menangis sepanjang lebaran ini. Setelah kami timbang-timbang akhirnya kami sepakat mengembalikan saja dompet ini. Biarlah kami menikmati lebaran tahun ini apa adanya. Untuk apa kami berbahagia di atas penderitaan orang lain?  Untung saja di dompet ini ada KTPnya. Ini dompet bapak saya kembalikan.Silakan hitung lagi uangnya. Belum saya pakai sepeser pun.. “ Tamu itu meletakan dompet di atas meja.

Tuan rumah mengambil dompet itu. “Saya percaya dengan kejujujuran Bapak. Tidakperlu lagi saya hitung. Saya juga turut merasakan apa yang bapak dan keluarga rasakan. Dari tahun ke tahun suasana seperti ini memang kerap kita alami seperrti warisan para leluluhur. Syukurlah, rupanya Tuhan mengetuk hati bapak .”

Tuan rumah mengambil dua lembar uang berwarna merah dari dalam dompetnya.Menyodorkannya kepada tamunya. “ Ini bukan imbalan. Saya sedekah. Terimalah pemberian saya ini.”

“ Apa pantas saya menerimanya? Saya yang mengambil dompet bapak, bukan menemukan.”

“Anggap saja ini pemberian Allah atas kesadaran Bapak mengembalikan barang yang bukan hak bapak. Bapak telah memenangkan pertarungan melawan hawa nafsu. Ini hadiahnya.”

Dengan tangan gemetar, tamu itu menerima lembaran uang.

 

 

 

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler