Skip to Content

Monolog yang Terdustai

Foto Diyan Fauziyah


Malam ini berisik. Namun hanya di telingaku rasa-rasanya. Suara-suara orang tentang damainya cinta yang tengah membooming di bumi mereka masing-masing. Juga kisah-kisah liris mereka yang berhiaskan jujurnya kasih saying. Sudah sepatutnya membuatku iri dan riskan. Tapi, ah, apa peduliku kemudian?

Berdengunglah lagi cerita-cerita-cerita orang . . .

Tak ketinggalan, dongeng-dongeng ritmik mereka . . .

Mencuri dengar, setidaknya hal itu yang kini tengah ku lakukan. Konyol.  Tapi, apa yang mereka ujar-ujarkan saat ini, sepertinya tak asing lagi di ruang dengarku
Layaknya tengah menelanjangi hatiku. Dengan sangat gaduh berceloteh sana-sini. Menelanjangi pencitraanku. Dengan kebisingan yang sangat diam. Huh, benar-benar menyiksakan.

Bagaimana tidak? Bagaimana? Aku, diriku, jiwaku, hatiku, nuraniku, akalku, merintih pilu, ketika suatu waktu yang dulu,

Cinta menyapaku.

Cinta membawaku.

Cinta menyanderaku.

Cinta terbangkan aku.

Dan cinta pergi tanpa kusadari. Beralih menjadi sosok dusta yang merobohkan angan-anganku. Di injak-injaknya harapan yang lama ku untai sepanjang titian cinta yang melenakan, oleh sosok dusta itu. Dipisah-pisahkannya segala mimpiku dari penantian akan hidup yang baru. Di telannya kerinduan-kerinduanku yang selalu kutujukan padamu, cinta . . .

Di hempasnya aku ke dalam ruang kehampaan. Di cobanya mematikan aku dengan racun pengkhianatan. Di cobanya membunuhku. Menjeritlah aku di buatnya. Menggeleparlah aku akhirnya. Tersudut pasrah.

“Cinta . . . kemanakah kau bersembunyi kali ini? Aku butuh pelukmu. Sosok dusta ini, menjadikan tubuhku koyak tanpa makna.
Kemanakah kau, Cinta? Oh, kemanakah . . .”

“Cinta . . . dimanakah engkau memandangku? Aku butuh sentuhan kasihmu. Sosok dusta ini menjadikan nuraniku terburai-burai. Hampir sekarat aku di buatnya.
Kemarilah, bawa aku pergi dari kematianku. Kemarilah Cinta, kemari . . . “

“Cinta, ku mohon, dimanakah kesejatianmu kini? Sosok ini tak henti-hentinya menyiksa jiwaku. Sudah tanpa daya aku di buatnya. Kemarilah Cinta, tengoklah aku disini, tak kurang hina kah aku begini? Tak kurang menyedihkan kah wujudku kali ini?”

Cinta, sesuatu apakah itu? Mengapa hadirnya tak sesejuk senyum yang kau lukiskan di wajahku? Cinta, sesuatu apakah itu? Mengapa hadirnya tak setenang genggamanku yang dulunya kau masih disini? Cinta, sesutau apakah itu? Mengapa hadirnya tak selembut tanganmu yang kau usapkan pada pipi-piku yang berlinang duka? Cinta, sesuatu apakah itu? Mengapa dia tak henti-hentinya menakutkanku? Mengapa dia menghanyutkanku dalam aliran keputusasaan? Mengapa dia penuh kegelapan? Mengapa senyumya penuh muslihat licik? Dan . . . dan mengapa dia mengarahkan pedangnya pada leherku? Mengapa dia menebas habis nafas-nafas rinduku? Darahku tercecar dimana-mana. Menganak sungai kemana-mana.

Aku tak mampu melihat apapun lagi. Serba gelap. Dadaku terbakar, karna tak mampu lagi ku gapai udara kehidupan. Sampai kudapati tubuhku lumpuh satu persatu.

Cinta, tegakah engkau terhadapku setelah sekian lama dulunya kita selalu bersama? Aku sudah meregang nyawa. Tak berdaya.
Cinta, tolonglah aku . . . aku tiada lagi sanggup temukan dirimu yang dulu. Telah tak mampu.
Nafasku tinggal satu.

“ Cinta, kembalilah . . . “

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler