Skip to Content

Musuh Politik

Foto Aslam Dhena Maysar

MUSUH POLITIK

Karya Aslam Dhena Maysar

 

 

Berita-berita di televisi maupun di media cetak melaporkan bahwa Indonesia akan mengalami kemarau panjang sampai awal tahun nanti. Selain berita cuaca, suasana Pilkada serentak juga meramaikan dunia berita di negara ini. Aku tak begitu tertarik pada politik, entah mengapa—rasanya politik itu mengajarkan persaingan dengan menyelinap ke celah-celah yang tak aman. Beberapa kali aku dicalonkan menjadi kader partai oleh beberapa orang, tetapi aku berusaha menolak dengan halus, dengan alasan ini-itu.

Beberapa minggu ini aku sedang betah di rumah, sesekali ke teras tetangga atau ke warung untuk menyimak gosip atau berita terbaru tentang kampungku. Banyak hal yang terlewat ketika aku bekerja di luar kota, maka perlu rasanya untuk kembali bersosialisasi dengan masyarakat di kampungku ini. Biasanya di momen politik seperti sekarang ini aku acap dicari beberapa kordinator partai atau calon. Sebab aku bisa dibilang tokoh pemuda. Yah, mereka ada butuhnya.

Aku mulai memesan segelas kopi dan seorang teman menemaniku sore ini. Ia memberi kabar bahwa ia akan menikah minggu depan dan ia mengundangku untuk kesana; ke rumah mempelai wanitanya. Kemudian obrolan mulai mengarah ke perceraian beberapa teman sebayaku di kampung, ternyata mereka telah menduda.

“Mudah-mudahan ini pernikahan pertama dan terakhir, Ban.” Kata si Dabel temanku.

“Memang lagi musim kawin-cerai yah?”

“Ya begitulah. Kalau tidak cerai, ya istrinya meninggal.”

Tak seperti biasanya, Mang Abang mantan ketua RW di kampungku menyela di tengah percakapanku dengan Dabel.

“Tidak kemana-mana, Ban?”

“Ah Mang, kebetulan masih libur jadi saya ada di rumah belakangan ini.”

Mang Abang menahan percakapannya, ia menyuruh cucu yang digendongnya untuk bermain kemudian ia duduk dihadapanku dengan mata yang menyiratkan ia memberanikan diri untuk berkata.

“Begini, sekarang kan bulan Agustus jadi kampung kita mesti ramai memperingati Hari Kemerdekaan tahun ini, jangan seperti tahun-tahun sebelumnya. Ada masukan dari Abang. Sekarang kebetulan sedanga hangatnya Pilkada dan Pilkades. Nah, bagaimana untuk masukan dana tambahan selain iuran bersama warga, kita datangi mereka. Masalah pilihan mah masalah nurani. Kita manfaatkan saja hajat mereka itu. Bagaimana?” ujar Mang Abang dengan mengakhiri bicaranya dengan senyum dan mata optimis.

“Kalau saya sih ikut saja Mang asalkan memang jelas dananya. Biat kita kan baik untuk memperingati Agustusan.” Balasku.

“Nah, kalau begitu nanti kita menghadap ke rumah Kang Cileung sekedar silaturahmi dan cari buat rokok sih ada. Tunggu, Abang telepon si Acuy dulu.”

Aku tak mengerti mengapa harus menghadap ke Kang Cileung. Seharusnya kan menghadap ke ketua RW. Mang Cileung kan orang kampung sebelah; mantan preman. Tak lama kemudian Mang Acuy datang.

“Wah... Jiban kemana saja. Kemarin itu Pak Jaja calon bupati itu bertanya tentangmu. Kamu sudah masuk ke daftarnya. Nanti kapan-kapan kita menghadap ke beliau.” Kata Mang Acuy sambil menepuk-nepup pundakku.

“Sebentar.” Mang Abang menyela. “Cuy, kita menghadap dulu ke si Cileung. Dia bertanya terus tentangmu Ban. Sepertinya ia ingin bertemu denganmu.”

“Betul Ban. Sebaiknya mumpung masih sore kita sowan saja ke dia sekarang. Tak perlu bawa motor, kita pakai jalan sawah saja, dekat kok.”

Aku menghargai ajakan kedua orang sepuh itu dan aku pun pergi bersama mereka menuju rumah Kang Cileung.

*

Sepanjang galeng sawah aku menyamankan diriku dengan mereka juga politik yang dibicarakannya. Kampungku memang tak jauh ke kampung Kang Cileung. Hanya terhalang beberapa luas kotak sawah. Rumahnya pun terlihat dari kampungku. Di tengah perjalanan bergabunglah Mang Jenguk yang kebetulan juga akan sowan ke Kang Cileung.

Setibanya di rumah Kang Cileung, Mang Acuy memperkenalkanku dengannya.

“Ini Jiban, jangan sampai tahu nama tak tahu rupa, Kang.”

“Oh iya, mari mau ngobrol dimana?”

“Di saung Bah Komar saja Kang, di pinggir kebun sepertinya agak enak sambil ngangin.”

“Yasudah kalian duluan saja, saya pesan kopi dulu.”

Kami pun bergegas ke saung Bah Komar, kebetulan disana ada Kang Idul sedang duduk santai. Ukuran saung yang tebilang sempit hanya muat untuk empat orang. Kang Idul mempersilahkan aku duduk di panggung saung diikuti mereka: Mang Acuy, Mang Abang, Lalu Mang Buce. Tak lama Kang Cileung datang diikuti kopi dan suguhan kue-kue diantar tukang warung. Mang Abang mulai membuka percakapan dengan memberi tahu hajat kampung kita di bulan Agustus. Kang Cileung menyambut dengan antusias.

“Kalau begitu saya akan bicarakan dengan Pak Jaja tentang hajat kalian. Saya coba undang beliau juga agar bisa bicara di podium walau sebentar. Toh beliau kan juga butuh suara.” Ujar Kang Cileung.

“Nah, lumayan kan buat tambah-tambah dana Agustusan. Pilihan tak akan kemana-mana kang. Kita tidak mungkin pilih orang yang tak kenal.” Kata Mang Acuy.

“Masalah saya sih gampang. Pencalonan saya di desa kan masih lumayan lama, Pilkades itu selesai Pilkada. Jadi, kita dukung saja Pak Jaja sebagai bupati terpilih. Kebetulan kontrak politik saya dengan beliau sangat kuat. Sama-sama punya kepentingan.” Balas Kang Cileung diakhiri dengan tertawa.

Di kejauhan—di tengah pematang sawah tampak Mang Dedet sedang bernyanyi-nyanyi tak karuan.

“Nah itu dia si Dedet.” Kata Mang Jenguk.

“Deeet...”

Mang Dedet menghampiri kumpulan kami. Sore itu ia berdandan ala jagoan tahun 80-an; dengan pakaian serba jeans dan topi army, tak lupa sepatu but hitam ala satpam dan gesper ala koboi Texas. Memang Mang Dedet selalu nyentrik kalau urusan syle, meskipun kulit di lehernya telah berlipat-lipat seperti kertas semen yang kusut serta kumisnya baplang ala Friedrich Nietzsche sebagian telah beruban meskipun ia sendiri tak tahu siapa Friedrich Nietzsche tapi ia tahu Freddie Mercury.

“Wah... nampaknya ada perkumpulan sindikat disini. Kebetulan sekali aku kesini, kalau tidak aku ketinggalan informasi seputar konspirasi pergerakan ini. Maaf, bukannya tak menyahut ajakanmu tadi Bang, sebelum Jumatan tadi aku sempat berdebat dengan istrku. Kata dia aku bakal dikutuk kalau terus-terusan bernyanyi. Aku bilang tidak ada dalil shahih menyatakan dosa pada orang yang bernyanyi sebelum Jumatan. Eh dia malah terus ngoceh, mau lapor ajengan ini lah, mualim itu lah. Sesukaku dong, masa saja kalah sama koruptor.” Kata Mang Dedet sambil berpose ala Robert de Niro di film The Godfather II. Disela kami memperhatikan Mang Dedet dan tertawa, Mang Jenguk membuka topik baru.

“Kemarin pas malam Takbiran kubu si Caleg: si Kumis dan si Batak asik main kartu, apa itu bisa disebut tim sukses yang baik, betul kan Det?”

“Betul. Aduh mereka membuat ulah saja. Oke kalau main kartu di waktu yang tepat, tapi kalau waktunya tidak tepat bakal menyoreng citra mereka sebagai tim sukses si Caleg ditambah mereka kaki tangan—orang pilihan ketua RW yang baru.” Mang Dedet berpendapat.

“Begini, biarkan saja itu urusan mereka. Nanti kan kena getahnya juga. Masyarakat akan tahu siapa yang unggul dan yang jeblok moralnya. Kita jangan ikut-ikutan seperti mereka, tenang saja.” Kang Cileung mencoba bijaksana.

“Pokoknya kami sepakat mendukung Kang Cileung sebagai Kepala Desa dan Pak Jaja sebagai Bupati.” Kata Mang Jenguk.

“Terima kasih. Masalah dana Insya Allah saya dan pak Jaja akan membantu.” Balas Kang Cileung.

“Jadi Ban, sengaja kami ajak kamu kesini supaya kamu tahu hajat Kang Cileung. Jatuhkan pilihanmu ke orang yang tepat. Kamu bisa ajak para pemuda di kampung untuk dukung satu calon saja. Kalaupun nanti ada yang menawarkan bantuan danan kita terima saja, tetapi pilihan jangan jatuh ke siapa-siapa.” Ujar Mang Acuy mencoba menasihati.

Dua jam di saung ini aku hanya diam dan mengangguk saja. Kemudian aku pamit dengan alasan ada janji dengan seseorang karena aku sudah cukup mual dengan obrolan politik mereka yang tak sejalan denganku.

(Juli, 2015)

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler