Skip to Content

Nada yang Berbisik

Foto Ade Zetri Rahman

Nada yang berbisik



Ketika kau bertanya tentang anak durhaka,jangan menunjuk kearahku.Aku bukan durhaka,hanya aku sedikit kesal saja  pada ayah karena tak suka caranya memperlakukan mimpiku.Perdebatanku dengan Ayah siang tadi masih membekas dihatiku. “Jurusan seni musik?Haa?Sudah berapa kali Ayah bilang tidak?Apa yang kau harap dari itu?”Tiba tiba laki laki yang ku sapa ayah dengan sepenuh keagungan jiwa, pemujaan, permohonan doa dan restu itu  mengaum,bak harimau yang marah pada sang pemburu jalang. “Takkan bisa kau hidup dengan seni,lihatlah dirimu sekarang.Tak punya masa depan.Memetik dawai hingga memantulkan bunyi dari balok kayu itu sama halnya dengan pengamen.Tak usah kuliah” Hatiku bergemuruh,berkecamuk membawa ombak emosi ke otakku mendengar kata Ayah.Tapi tidak,aku takkan melawan.Ku buka sedikit sekat sabar yang sudah sekian lama terlatih dengan sikap keluarga padaku. “Tapi musik memberiku rasa nyaman yah,percayalah.Aku takkan kecewakan Ayah.Izinkan aku mengambil Jurusan Seni Musik,tak bisa lagi rasanya aku melanjutkan kuliah di jurusan Hukum ini yah.Aku tak bisa.Lihatlah aku hancur begini yah” “Hancur?Hanya orang bodoh yang mengatakan kau hancur,sudah dua semester IP mu berturut 3,78.Cukup tinggi.Meski semester ini nilaimu drop.Kau masih bisa perbaiki di semester selanjutnya.Masih ada kesempatan.Kau hanya  belum sadar saja.Lanjutkan kuliahmu,tak ada seni lagi, tak usah membantah Jika kau masih ingin aku anggap anak” Telingaku mendadak panas mendengar kalimat Ayah yang amat memaksaku meniti mimpi menjadi lawyers.Hatiku terbakar.Namun, sepuncak upaya aku berusaha untuk bertenang diri dalam kesabaran untuk menjelaskan ”Cobalah mengerti aku yah.Seni itu indah,musik itu membawa melodi ketenangan dan uang pasti akan mengikuti dibelakangnya yah.” Banyak lagi yang kucoba jelaskan,tetapi Ayah tetap pada pendiriannya.Bahkan,semakin banyak aku berbicara, kian pedas kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Ayah. “Sama saja dengan pengamen” “Masa depan apa macam itu” “Dikuliahkan tinggi tinggi untuk sadar diri,ini malah menyakitkan hati” “Ayah takkan setuju” Kalimat-kalimat ayah terus menelisik bersama angin malam yang tajam.Menusuk sudut hatiku yang paling lemah.Aku terpojok.Sejurus berlalu aku otak atik beberapa tombol di Hp ku dan mengirim pesan pada Fauzan.Ya,Saat genting begini,Fauzanlah sahabat kampusku yang paling mengerti. Sudahlah  Yud,kau takkan bisa melawan.Lagian benar juga kata ayahmu.Tak perlu kau kuliah kalau hanya ingin jadi pemusik yang tak ada masa depannya.Toh skiil gitarmu masih rendahan Bulsit,hatiku panas mempelototi balasan pesan dari sahabat yang biasanya memberi nasehat serta ocehan menjadi akar sebelum aku menuai dan menanam setiap pohon perjalanan hidup.Kini berbeda yang ku dapat sama saja.Cercaan,celaan masih juga datang bersipongang.Akh,aku benci semua ini.Ku lemparkan almamater kampus yang sudah  4 semester ini menjadi pembungkus tubuhku dari simbol pelarian bersama pedati tajam yang sengaja di asah ayah hingga terkadang melukaiku.Tapi tunggu,hanya 2 semester pertama yang aku jalani dengan hati suka,2 semester lainnya lagi hatiku mulai berontak dengan maunya.Aku masuk kampus sesuka hatiku saja malahan aku sibuk dengan jadwal manggung Band yang ku bentuk tanpa sepengetahuan keluarga.Ini hidupku,musikku.Bukan hukum.Dan aku menikmatinya.Tidak ada gunanya aku mengerti mereka,sedangkan mereka tak mengerti mauku.Lalu ku biarkan saja baju kebanggaan kampus itu tergeletak begitu saja karena aku lebih memilih duduk di tepi ranjang lalu menyulut sebatang rokok tapi sayang asap yang ku hembuskan pelan pelan malah membawa bayang wajah Kak Andin,Ayah,Ibu dan di tambah Fauzan seperti semakin menyudutkanku,memotong mimpiku. Yudi,bisakah kau menemaniku saat ini.Ku tunggu di tempat biasa?Tiba tiba  sebuah pesan masuk ke Hpku.Ku baca pengirimnya.Itu dari Maudy,juniorku.Entah apa yang terjadi padanya.Rokok yang hampir menjadi puntung ku campakkan entah kemana.Bergegas ku susuri jalanan dalam detak yang lamban dengan si matic putih ini.Pukul dua belas tengah malam.Angin menusuk gigil.Mencucuk sumsum dan tulang. Aku memasang jaket dan beranjak meninggalkan rumah. Menuju jantung kota kecilku, sekaligus menceburkan diri ke dalam malam.Berpacu di atas lintasan trotoar yang menenggelamkanku ke ruang-ruang lengang melenakan bak Valentino Rossi. Tak lebih dari 35 menit aku berkutat dengan lenggangnya jalan dan curamnya tanjakan Sitinjau Lawik hingga saat memasuki jalanan Gunung Pangilun,lampu motorku menyorot sosok wajah gadis cantik yang sangat ku kenal.Dia sepertinya sengaja menungguku.Ini sudah malam,tapi kenapa wajah cantiknya masih saja bersiliweran disini.Banyak pertanyaan yang mengisi rongga otakku tentangnya. “Kau kenapa Maudy?”Ucapku langsung mematikan motor dan menghampirinya,berusaha mencari bola matanya yang sedari tadi di sembunyikan. “Kenapa?Kau kenapa?”Kataku lebih keras saat kutemukan bola mata itu mengeluarkan  sungai sungai kecil yang tak tahu darimana sumbernya. “Darimanakah kau?Sudah sedari tadi aku menunggumu?”Ujarnya tanpa menjawab pertanyaanku. Kembali bayangan keluarga dan pertentanganku dengan Ayah tadi menyelinap sesaat tapi  ku tepis cepat,jarak 60 KM yang ku tempuh tadi lebih berharga untuk menyelidik bidadariku disini nan tengah tak bersuka hati tanpa perlu mengingat mereka. “Aku dari Solok,kan kau tahu aku kurang nyaman di kost saat minggu begin.Tapi karena kau SMS tengah malam begini,aku bergegas menemui,aku khawatir padamu.” “Maafkan aku Yud” “Tidak mengapa,lebih baik kau ceritakan padaku” “Angga,memutuskanku Yud.Katanya aku tak lagi bisa mengerti dia.Padahal aku sudah berusaha Yud.Lalu dia meninggalkanku di tepi jalan ini” Jawabnya sesegukkan. “Berarti dia tidak baik untukmu Maudy,sudahlah.Tak perlu menangis begini.Ini sudah malam,ayo aku antar kau pulang ke kostmu.” Dia hanya menunduk dan tersedu.Ingin aku memeluk dia,tapi tak mungkin karena aku tak akan menjamahnya walau dengan alasan untuk menenangkan.Agamaku melarang itu.Aku memang seseorang yang tak terlalu fanatik dengan ilmu agama tapi setidaknya Ibu selalu mengingatkanku di setiap ucapannya dulu.Jadi aku hanya mengusap kepala gadis cantik itu. “Terimakasih kau sudah ada untukku Yud”Ucapnya tepat ditelingaku saat motorku baru saja melaju.Tangannya memegang erat pinggangku.Aku kaget,tak ingin juga aku larang dia.Dan lagi,perasaanku semakin tak menentu saat kepalanya di tumpangkan pada bahuku.Tak bisa berkata apa apa.Aku hanya diam dengan pipi yang saat ini aku takut dia tahu.Pipiku merona.Kenapa tidak?Ini pertama kali aku sedekat ini.Biasanya aku hanya mencuri pandang Maudy dari kejauhan,dari balik buku perpustakaan,dari balik punggung punggung mahasiswa yang tengah makan di kantin kampusku.Sudah lama aku mencintainya,menyukainya lebih dari cinta yang biasa ku kenal.Tapi aku tak bernyali mendekatinya.Dia lebih dahulu milik Angga.Teman sekelas dikampusku.Kini Maudy sangat dekat,hanya berjarak beberapa cm saja dari tatapanku.Aku tak percaya,ku curi pandang pada spion yang memantulkan kepala si cantik itu bersender di bahuku.Dan angin malam hanya menyulap kami dalam kebisuan bersama senyum yang tersungging di bibirku. “Aku mencintai Angga karena dia mahir bermain gitar Yud”Katanya saat ku pencet rem ditangan sampai di depan kostnya. Aku berlalu dan otakku bernyanyi dalam oktafnya tertinggi.Entah lagu sendu yang seperti apapun tetap tak bisa melucuti sengau ragaku.Hanya karena gitar?Musik?Aku sudah memilikinya Maudy tapi kau tak tahu.Ujarku dalam hati.Pahit rasanya menutupi jati diriku,aku tak ingin bertingkah sombong dan akan ku biarkan Maudy tahu dengan sendirinya.Tapi jauh lebih sakit saat cinta ini terbungkus oleh kata Sahabat. Siluet rembulan tak terlihat lagi.Sudah sangat malam.Tak mungkin aku berbalik ke Solok.Perlahan ku iring motorku menuju kost yang selama ini menjadi tempat ternyaman saat kuliah menjadi tanggunganku.Eit,tapi itu dulu.Kini kost itu terlalu ramai.Aku sudah jenuh dengannya.Bising karena penghuninya sudah bak vampir yang tak mengenal kata tidur lagi.Berlalu lalang berkeliaran bak babi ngepet yang sedang mencari mangsa,bahkan tak segan memekik di tengah malam persis seperti kuntilanak.Namun kesunyian tiba tiba ku dapat,tak ada suara bising yang biasanya menyambut kedatanganku.Pelan pelan ku langkahkan kaki menuju bilik kost ku.Hanya ada Gio yang tiduran sibuk dengan headsetnya. “Kau tak perlu marah lagi,kini kos sudah sepi.Seperti ini kan maumu?” Glek.Kata katanya meningkatkan adrenalin serigalaku yang mampu menyerang saat hatinya tak senang.Tapi gitar hentikan kemarahan itu.Mulai kugerakkan jari memetik satu persatu dawai balok kayu yang di buat sebaik mungkin itu hingga menimbulkan suara nada pilu dari rintihan jiwaku. “Teman teman menjenguk Ayah Andi dirumah sakit.Ayahnya tiba tiba stroke setelah bersitegang dengan Andi tadi siang.” Jemari ku terhenti,nadaku terpotong.Laguku bahkan kehilangan lirik.Wajah Ayah kembali datang menyeruak di sekitar simphoni ku malam ini.Pertegangan dengan ayah,kemarahanku padanya.Lalu bagaimana keadaan Ayah?Aku bahkan tak pamit.Bukankah ayah punya penyakit jantung yang mungkin saja akan datang bersarang saat emosinya kusulut?Banyak pertanyaan gila beradu jotos di benakku yang jawabannya tak mungkin bisa kuterima. “Aku pulang dulu” “Hey gila kau,baru saja datang sudah pergi lagi.Ini sudah jam 2 malam dan kau mau pulang ke Solok.Bahaya” Gio bersorak  saat pintu gerbang menderit.Namun percuma tak ada yang bisa menahanku.Ibu adalah jawaban penguat langkahku,wajah ibu adalah pengusir rasa takutku melewati jalanan dan rimba angker ini.Jarak yang sama dalam detak jam yang tak berselang lama sudah ku tempuh dalam dua kali tapi dengan tujuan yang berbeda.Bayansg wajah ibu kemudian wajah ayah berlarian di belaian daun di pepohonan sepanjang jalan.Wajah mereka yang telah menggariskan keriput,rambutnya yang sudah memutih,punggung yang sudah bungkuk hingga tak kuat mengangkat beban berat lagi,ayah ibu.Telaga bening dimataku yang sudah lama kering itu kini menjadi penuh terisi,mata air telah terbit disana,melumpuhkan prasangkaku yang selama ini pria takkan menangis.Tangisku semakin pecah meski tak bersuara saat tak kutemukan ibu dan ayah tak ada di tempat tidurnya.Ku cari di dapur tapi juga tak ada.Kemana?Kemana ibu dan ayah?Apa jantung ayah bertingkah lagi,lalu ibu menemani.Ini salahku.Karenaku.Tapi aku mendengar suara tangisan lain.Suara itu berat,tapi itu bukan suaraku. “Maafkan kami ya allah yang tak bisa menjaga amanatmu dengan baik.Selama ini kami hanya mengandalkan keinginan kami padanya,kami tak bermaksud memaksa.Hanya kami tak ingin ia di campakkan di masyarakat karena pendidikannya.Kami mau ia di hargai,menjadi panutan dan tompangan bukan seperti kami ini yang tak tahu apa apa ya allah.Kami tak ingin masa depannya menjadi abu yang akan lenyap seiring waktu dan angin berhembus kencang.Hanya saja mungkin cara kami yang salah ya allah.Kini ia tak tahu kemana,tiba tiba pergi tanpa berita.Selamatkan,sehatkan dan tuntunlah dia,anak kami..Amiin ya rabb” “Amiin” Suara itu sesegukan.Itu ayah dan ibumu tengah menengadahkan  kepala kepada Sang Pencipta dengan mata yang sudah nanar karena ada beberapa lemak nakal bersarang disana hasil dari selama ini tak pernah melemparkan pandangannya pada mall nan megah yang dilihat hanya jalan untuk mencari rezeki biaya kuliahku.Tangan mereka yang menampungkan sembah sudah banyak kerutan hasil selama ini selalu sibuk mengais pundi rupiah.Dan malam ini mereka masih juga terjaga untuk berdoa,khawatir karena kepergianku yang tiba tiba.Tapi selama ini aku buta,aku tuli.Tak pernah melihat derita ibu dan ayah,tak pernah mendengar rintihan kelelahan,sakit dan doa mereka yang tersembunyi di balik ketegaran untuk menguatkanku menuju masa depan. “Aku pulang,maafkan aku bu,yah.”Hanya itu yang keluar dari mulutku.Kusalami mereka lalu beranjak menuju kamarku.Tak ingin aku lihatkan air mata didepan mereka,masih saja terasa enggan jika mereka tahu aku menangis.Ada penyesalan yang selama ini terbingkai oleh emosiku.Almamater yang tadi kubiarkan sebagai lap kaki,kini ku dekap erat.Gitar yang tadi menggantung di kamar juga ku dekap erat.Dua pilihan hidup yang berat menuntunku.Aku takkan memilih.Sudah tersia siakan waktuku karena timpang sebelah selama ini.Sudah aku lepaskan harapan ayah dan ibu,mengganti itu dengan tangis mereka.Aku seperti seorang malin kundang yang penuh dosa.Kata maaf kuruntutkan pada persimpuhanku pada Sang Kuasa. Kini takkan ku biarkan tangisan sendu itu berlagu di mata ibu dan ayah,tapi tak juga bermuara di hatiku.Karena aku akan membungkus indah lagu itu dengan nada yang baru.Nada yang lebih indah dari dulu.Nada yang di lagukan dari gitar  kayu yang telah jadi sahabatku menyusuri jalan masa depanku bukan seperti dulu,gitar menjadi kewajibanku.Ayah ibu,dengarlah dan raasakanlah bersama melodi yang kau dengar dari balik jendela kamar rumah tua kita akan ku lukis senyum bangga dan cinta untuk dirimu yang telah buatku menjadi berharga.Lalu lihatlah,sinar temaram dari rembulan subuh yang pucat keputihan.Kini itu adalah aku.Aku kini akan berubah dan bertahan,dari kebisingin dan keramaian di rantau orang yang menjadi alasan aku tak bisa belajar,lalu aku juga akan bertahan dari cinta yang terkadang menggangguku untuk membawakan kau senyum terhangat dengan ijazah kelulusan yang ibarat kau itu adalah bongkahan emas keberhasilan kau,ayah dan ibu.Aku akan bertahan dengan keindahan dari bayang dan sosok hangat dari mu,percayalah aku takkan seperti dulu.Kan ku jemput toga ku secepat yang ku mampu untuk mempendarkan banggaa di hatimu ayah dan ibu.Dan dengarlah desahan hujan kali ini yang mengusik nakal atap seng rumah kita,dia akan melagukan nyanyiannya bersama jemariku yang bermain diatas dawai gitarku,ku harap sinar nanar matamu terganti dengan suka selayak diriku menyukai lagunya.

Engkau lah nafasku, Yang menjaga didalam hidupku, Kau ajarkan aku menjadi yang terbaik,
Kau tak pernah lelah, Sebagai penompang dalam hidupku, Kau berikan aku semua yang terindah.
Aku hanya memanggilmu ayah, Disaat ku kehilangan arah, Aku hanya mengingatmu ayah, Jika aku t’lah jauh darimu
                            Ayah (Seventeen)

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler