Skip to Content

Nina Bobok

Foto Tio Margono

 

Basah. Rumah baru yang baru saja satu jam kutempati, basah digenangi air hujan. Hujan yang entah dari mana saja datangnya. Bukan hanya rumahku, seluruh tubuhku pun ternyata basah kuyup, karena gerujug air hujan yang begitu derasnya. Dalam keheningan yang sedang kueja, kudengar derap langkah dari sepasang kaki. Semakin dekat. Dekat. Dekat dan semakin dekat. Merasuk ke dalam telingaku yang dingin beku.

 

            Oh, ternyata seorang gadis kecil yang berjalan di bawah lindungan payung dan jas hujan. Ia mendekati rumahku. Jelas terlihat, meskipun aku berada di dalam rumahku. Dengan tiba-tiba ia duduk meringkuk di depan halaman rumahku. Ia juga terlihat sangat beku dan berwajah pucat pasi. Layu. Tampak seikat rangkaian bunga di dalam genggaman tangannya. Begitu erat ia menggenggam bunga tersebut. Matanya pun berbinar-binar serta meneteskan duka.

 

            Beberapa pertanyaan telah berhasil mengunci otakku; siapa bocah ini? Mengapa ia tidak mengetuk pintu rumahku atau setidaknya memberi salam untukku? Ingin kudekati lalu mendekap tubuhnya yang menggigil. Namun, apa daya, tubuhku pun tak berdaya lagi. Beku, kaku, terkurung di dalam ruangan yang di penuhi dengan udara dan suasana yang sangat dingin. Padahal, ini adalah rumah baruku.

 

            Aku mendengar suara getaran dari giginya yang saling berbenturan, bahkan seluruh tubuhnya bergetar. Suaranya masih jernih kudengar, ia memanggilku; Ibu. Setiap kali kumencoba memanggil dan menyapanya dengan berbagai sebutan, ia tetap saja tak memberikan tanggapan untukku. Dan sekali lagi, siapa gadis kecil tersebut?

 

            Sudah hampir 20 menit ia duduk meringkuk menekuk lutut di depan halaman rumahku. Tidak sedikit pun kulihat perubahan gerak-gerik darinya. Masih tetap sama seperti saat kali pertama kumelihatnya. Namun, tidak lama kemudian, ia menggeletakkan seikat rangkaian bunga dalam genggamannya di atas tanah rumahku yang saat itu sedang basah. Aku semakin tidak mengerti apa maksut dan tujuan dari gadis kecil itu. Lebih herannya lagi, satu-satunya payung yang tadi dibawanya, ditancapkan di atas rumahku. Hingga akhirnya hujan pun tidak terus menerus membasahi tubuh dan rumahku.  Namun, gadis kecil yang mungil itu semakin menggigil di terjang oleh butiran air hujan yang datang beramai-ramai. Kasihan.

***

 

            Sendiri, sepi, sunyi, dan senyap juga gelap. Di dalam rumahku yang sederhana ini, tak ada lagi orang selain diriku. Hanya gelap yang setia menemaniku, dari mulai pagi-siang-malam hingga kembali lagi ke pagi hari. Aku memiliki tetangga, tapi sepertinya mereka pun senasib dengan diriku. Kami tak pernah bertegur sapa dan tak pernah saling bertanya-menjawab. Hanya saja sesekali kurasakan guncangan dari rumah tetanggaku. Guncangan yang seperti sebuah gempa bumi, bahkan lebih dari itu.

 

            Kemarin, sebelum gadis kecil itu datang ke halaman rumahku, ada dua sosok yang tak kuketahui itu siapa, datang dan banyak melontarkan pertanyaan kepadaku. Setiap kali pertanyaan darinya tak bisa kujawab, sosok tersebut memukulku hingga aku benar-benar terkulai lemah dan rumahku pun berguncang dengan begitu dahsyatnya. Dan di hari ini, sosok tersebut dan seorang gadis kecil mungil itu belum singgah di dalam mataku. Entahlah, siapa sebenarnya mereka.

 

            Tiba pada jam ke 48 aku menempati rumah baruku, gadis kecil itu terlintas lagi di depan mataku. Ia membawa seikat rangkaian bunga dan meletakkannya di atas tanah rumahku. Dan lagi, ia memanggilku; Ibu. Setelah kuamat-amati, ternyata gadis tersebut tidak seperti gadis lainnya. Ia memiliki mata yang berbeda dengan mata manusia normal pada umumnya. Kedua bola matanya berwarna putih, tanpa ada sedikit pun lingkaran hitam di dalam matanya. Dan di lehernya, menggantung sebuah kalung dengan bandul bertuliskan Nina. Sepertinya nama itu adalah namanya. Sama seperti namaku; Nina. Ya, Nina!

 

            Apakah jangan-jangan ia adalah janin yang dulu kugugurkan ketika aku masih SMA? Ah, entahlah, aku tak paham itu.

***

 

Malam harinya kulihat lagi gadis kecil itu datang dan singgah di rumah baruku. Ia mengeluh dan memintaku melakukan sesuatu. Ah!

 

            “Ibu, nyanyikan lagu Nina Bobok untukku. Aku mohon.” ucapnya.

 

            Permintaannya bisa saja kupenuhi, tapi bukankah ia tidak bisa mendengar suaraku? Entah sebab apa, aku tak tahu. Akan kucoba penuhi maunya, meski ia tak mendengar suaraku.

 

            “Nina bobok. Oh, Nina bobok. Kalau tidak bobok, digigit nyamuk. Nina bobok. Oh, Nina bobok. Kalau tidak bobok, digigit nyamuk.”

 

            Kunyanyikan lagu itu hingga berulang kali. Tiba pada putaran lagu yang entah ke berapa puluh, wajahnya semakin sayu. Seperti orang yang sedang mengantuk. Kukira ia akan tertidur pulas karena mendengarkanku menyanyikan lagu tersebut. Tapi, apa yang terjadi? Ketika kusedang melantunkan lagu Nina Bobok, ia malah membuka pintu rumahku secara perlahan-lahan. Bukan hal mudah untuk membuka pintu dan memasuki rumahku. Sebab, rumah baruku di lapisi dengan dua pintu. Tapi, ia tidak menyerah begitu saja. Ia terus menerus berusaha membuka pintu rumahku, hingga akhirnya ia berhasil membuka pintu pertama yang ada di rumahku.

 

            Dan, pada pintu ke dua, ia dengan mudah membuka dan masuk ke rumahku. Ia menyentuh tubuhku yang kaku dan membiru. Ia mengecup keningku dan memanggilku; Ibu. Lalu, tanpa ia minta terlebih dahulu, aku langsung menyanyikan lagu Nina Bobok. Tubuhnya ada di atas tubuhku, matanya ada di depan mataku, ia tidur bersamaku. Pulas.

***

 

            Ke esokkan harinya, berbondong-bondong orang datang menghampiri rumah Bu Nina. Bermacam-macam jenis pertanyaan saling bergantungan di udara, tanpa ada jawaban pasti yang mereka dapati.

 

            Mereka saling tolong menolong untuk membenahi rumah tersebut dengan menggunakan peralatan seadanya. Hingga akhirnya mereka telah selesai memperbaiki rumah itu dan payung yang berada di halaman rumah itu pun tak lupa diletakkan tepat di atas rumah Bu Nina. Lebih tepatnya lagi diikat dan ditancapkan bersama dengan kayu berbentuk persegi panjang yang bertuliskan;

            Nina Renina

            Bin

            Mugio

            Wafat

            2013

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler