Skip to Content

NOVEL: AKULAH MAYSAROH (BILAH 01)

Foto SIHALOHOLISTICK

MAYSAROH, gadis berkerudung  itu berjalan tergesa-gesa menuju ruang kelas. Biasaya ia selalu bersama Gleztia, tapi pagi itu Gleztia pun diantar orangtuanya. Hampir sepuluh menit ia terlambat dan ia tadi dicegat oleh guru piket, untung saja guru piket itu sangat tau siapa Maysaroh, siswa yang sangat disiplin dan inilah pertama kalinya ia terlambat. Alasan keterlambatannya pun segera dimaklumi oleh guru piket tersebut.

Di depan kelas, Maysaroh mengetuk pintu dengan cemas, tapi tak ada jawaban. Dengan sedikit keberanian, ia membuka pintu dan ternyata guru bahasa Indonesia belum masuk. Dengan perasaan lega, ia menuju tempat duduknya.

Maysaroh, seorang siswa yang cukup diperhitungkan oleh rivalnya di sekolah itu, bidang apa saja kecuali ekonomi keluarganya. Selebihnya, mulai dari kecantikannya, agamanya, budi pekertinya semua di atas rata-rata terlebih masalah pelajaran. Karena kemampuannya dan budi pekertinya, semua guru sangat menyukainya. Gleztia, yang teman sebangkunya juga sahabat dekatnya juga mengakuinya.

Padahal jika dibandingkan, keduanya sangat jauh berbeda. Gleztia terlahir dari keluarga yang berlebihan, orang tuanya dari kalangan terpelajar dan terpandang. Segala fasilitas belajarnya dicukupi orang tuanya yang ternyata sangat peduli pula dengan pendidikan anaknya. Kakak laki-laki Gleztia diijinkan menuntut ilmu Ekonomi ke Amrik dan sebentar lagi akan menyelesaikan gelar S2-nya di sana.

Sementara Maysaroh hanya terlahir dari keluarga sederhana, bahkan sangat sederhana. Untuk bersekolah pun, Maysaroh hanya bermodalkan keinginan yang kuat, bahkan boleh dikatakan nekat. Betapa tidak, abahnya yang hanya seorang buruh kasar di sebuah pabrik sepatu yang pabrik sepatu itupun bernafas dengan megap-megap dan bermodalkan pas-pasan. Omset yang dikerjakan pun tidak menentu. Sedang ibunya hanya seorang pedagang kue keliling.

Meskipun dia anak satu-satunya, namun kebutuhan mereka terkadang sering tak terpenuhi. Kedua orang tuanya hanyalah korban dari impian yang terlalu tinggi berharap kehidupan yang layak di kota besar sebesar Jakarta. Hingga, dengan tanpa bermodalkan keterampilan apa-apa akhirnya tersingkir ke pinggiran kota, hidup di pemukiman kumuh, bergabung dengan orang-orang yang bernasib sama dengan mereka. Untuk kembali ke kampung halaman sudah tak punya sepeser uang pun.

Persahabatannya dengan Gleztia-lah yang sedikit membuatnya bisa belajar dengan giat, karena Gleztia memberi kesempatan bagi Maysaroh untuk menggunakan berbagai fasilitas pendidikan yang disediakan oleh ayahnya. Maysaroh selalu diberi pinjaman buku-buku yang setiap kali dibeli Gleztia. Bahkan internet bukan lagi hal yang asing baginya. Hampir setiap hari ia menggunakannya jika ia mau dan kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Maysaroh. Dari internet ia terus mencari ilmu sebanyak-banyaknya.

Gleztia pun cukup tau keadaan Maysaroh, rasa prihatinnya membuatnya senang membantu Maysaroh, hanya saja Maysaroh kerap menolak bantuannya yang berupa materi. Kesediaan Gleztia mengizinkannya memakai fasilitas belajar rasanya sudah cukup bagi Maysaroh.

Maysaroh pernah menjaga jarak dari Gleztia karena kebaikan Gleztia sudah berlebihan menurutnya. Ia takut kalau kebaikan Gleztia mengharap sesuatu darinya. Namun pikiran itu segera ditepisnya setelah Gleztia curhat padanya tentang perasaannya menyukai seorang lelaki muslim.

Maysaroh sudah lama tau dan menilai kalau Gleztia sebenarnya tertarik pada Islam dan kesempatan itu digunakan Maysaroh untuk mengenalkan agama Islam dari yang sekecil-kecilnya melalui perbuatannya. Sehingga Maysaroh tidak merasa khawatir lalai dengan shalat kalau sedang bersama Gleztia, karena dalam situasi bagaimanapun Gleztia pasti mengingatkannya. Hanya saja ketertarikan Gleztia belum pernah diungkapkan secara langsung pada Maysaroh. Padahal ia sangat ingin mendengar ungkapan itu dari Gleztia sendiri. Menurutnya terlalu sayang orang sebaik Gleztia tidak punya agama.

Gleztia mengulas senyum padanya ketika ia duduk di bangkunya.

“Kok telat, May? Gak biasanya? Kamu kan paling alergi langgar peraturan.”

“Iya, nih. Tadi keliatannya Umi kurang sehat. Habis shalat Shubuh, kembali berbaring. Aku terpaksa ngerjain kerjaan Umi dan Abah yang keliling.”

“Ooo…, tapi gak papa kan? Kalau sakit bawa aja ke klinik, soal biaya kamu gak usah pikirin.”

“Gak papa, kok, cuma pusing dikit, mungkin kecapean.”

“May, sampai kapan, sih, kamu nolak aku bantu. Padahal kamu sendiri yang bilang kalau hidup ini harus saling tolong menolong, tapi kamu gak pernah mau aku tolong.”

Maysaroh senyum menatap Gleztia.

“Gle, kamu udah terlalu banyak nolong aku. Kamu juga mesti tau, masih banyak yang lebih pantas kamu bantu, bukan cuma aku.”

“Tapi lebih baik orang terdekat kita, kan? Kamu juga pernah bilang ke aku ‘Lindungilah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka.’ Dan tujuannya orang yang terdekat dengan kita lebih diutamakan. Bagi aku, orang itu adalah kamu dan kedua orang tuamu, May.”

Maysaroh kembali tersenyum mendengar perkataan Gleztia.

“Ma kasih, Gle!”

“Okey, dan itu artinya kamu setuju. Ntar kita antar umi ke klinik.”

Maysaroh hanya diam. Kalau sudah begitu artinya Gleztia tak ingin ditolak lagi. Ia tau benar siapa Gleztia, wanita keras kepala yang pernah ditemuinya.

“Ngomong-ngomong, setelah ini kamu kuliah di mana, Gle? Nyusul kakak kamu ke Amrik atau tetap di sini?”

“Aku masih pikir-pikir, May. Tapi kayaknya mending di sini aja, deh. Kalau mo ambil S2 juga baru ke Amrik.”

Maysaroh kembali tersenyum, kali ini keliatan getir. Ia menyadari, dirinya tak seberuntung Gleztia yang masih bisa mengenyam bangku kuliah, sedang dirinya cukup sampai SMA saja. Perjuangan Umi dan Abah menyekolahkannya sampai selesai SMA baginya sudah lebih dari cukup. Setelah ini ia ingin nyari kerja. Keadaan sudah tak memungkinkan lagi baginya untuk nekat mengenyam bangku kuliah. Meskipun ada pepatah mengatakan di mana ada kemauan di situ ada jalan tapi baginya malah sebaliknya, di mana ada kemauan semakin banyak penghalang yang menghadang. Tapi ia masih ragu, kerjaan apa ia kelak, sementara ia hanya tamatan SMA, yang berijazah sarjana saja banyak yang nganggur.

“Kamu kenapa, May? Kok, jadi bengong, gitu?”

“Gak papa, Gle!”

“Kalau kamu cerita, mungkin aku bisa bantu pecahin masalah kamu. Ayolah, kamu cerita saja.”

“Anu…, Gle, kamu beruntung banget, ya, masih bisa kuliah, sementara aku, mungkin cari kerja saja. Meskipun aku gak tau kerjaan apa yang mungkin akan aku dapatkan. Ya, untuk sementara mungkin aku lebih tekun aja kali sebagai free-lanch.

“Gini aja, May, gimana kalo kamu kerja di kantor papa, sambil kamu kuliah. Kamu itu punya otak brilliant, sayangkan kalo cuma sampe SMA. Kalo kamu mau, biar aku ngomong ke papa.”

“Kalo aku sih mau banget, Gle, tapi urusannyakan bukan sebatas kemauan aku saja, mau nggak Om nerima aku yang gak tahu menahu soal bisnis.”

“Kamu tenang, May. Papa pasti setuju dengan usul aku.”

“Kalau buat kamu, sih, ya jelas Om setuju. Tapi ini buat aku.”

“May, kamu ga boleh pesimis, papa care banget kok ke kamu karena kehadiran kamu udah ngerobah anaknya.”

“Kamu kok bilang gitu, Gle? Kamu itu berubah karena keinginan kamu, bukan aku.”

“Ya, tapi karena ada kamu. Yang penting sekarang kamu banyak-banyak berdo’a semoga jalan masih ada. Masalah ngeyakinin papa, mungkin hanya karena kamu masih sekolah saja dia belum manggil kamu, coba kalau udah selesai, mungkin dia udah buat surat panggilan kerja. Kalau pekerjaan itu gak kamu miliki, jangan panggil aku Gleztia.”

Maysaroh mengulas senyum. Ia yakin, kalau Gleztia sudah bilang begitu tandanya ia bakal berjuang habis-habisan. Ia berjanji, jika pekerjaan itu ia dapatkan, orang tuanya tak akan banting tulang lagi bekerja, hanya sebatas nyari kesibukan saja.

***

SEBUAH mobil Daihatsu Xenia Silver memasuki pekarangan sebuah rumah mewah. Mobil itu langsung masuk bagasi dan Gleztia turun dari sana. Hampir senja ia baru sampai di rumah dan selalu begitu. Habis sekolah ia selalu ke rumah Maysaroh dan pulang setelah senja hampir tiba.

Banyak hal yang dikerjakannya di rumah Maysaroh dan tadi siang ia bantu Maysaroh masak kue kering yang bakal dititipin ke banyak warung makanan.

“Papa udah pulang?” sapanya ketika liat papanya sedang baca koran sore.

“Iya, baru sampai. Kamu baru pulang?”

“Iya, Pa. Gak papa, kan?”

“Boleh-boleh aja, asal gak bikin masalah di luar dan malam harus di rumah kecuali permisi dulu.”

“Gak, kok. Aku dari rumah Maysaroh bantu dia bikin kue. Sekarang dia nyibukin diri dengan usaha itu untuk menambah penghasilannya.”

“Hebat dia, ya. Andai aja kamu bisa kek dia, ngasilin uang untuk biayai sekolah.”

“Kenapa nggak, Pa? Gle bisa kok kek dia, makanya Gle sering ke sana bantu dia, tapi keuntungan dia gak mungkin Gle terima.” cerita Gle. “Kasihan dia, Pa, pengen kuliah tapi gak punya biaya. Papa bisa bantu dia gak, ngasih kerjaan apa, kek. Sayang lho, otak sebrilliant itu tapi gak dimanfaatin. Gle yakin, dengan adanya dia pasti usaha Papa makin maju. Orangnya telaten.”

“Gimana, ya?”

“Tolongin, dong, Pa!”

“Liat nanti aja, deh. Tapi kerjaan apa ya yang cocok ama dia?”

“Yang pastinya sesuai dengan kemampuan dia, bukan kualifikasi pendidikannya. Kalau dia sanggup sebagai kepala bagian, kenapa nggak. Satu hal rahasia yang papa harus tau tentang dia, selain pintar dia orang yang paling disiplin. Papa bisa bayangin, selama hampir tiga tahun baru tadi pagi ia telat, karena gantiin uminya masak kue, kebetulan uminya kurang sehat.”

“Masa, sih?”

“Yah, gak percaya! Papa boleh cek ke sekolah di buku piket.”

“Okey, sepertinya papa tertarik. Kalau boleh tau, hal apa yang paling disukainya? Keuangan, pemasaran atau hal lain?”

“Dari segi pengalamannya menulis dan bekerja, kayaknya jadi sekretaris pun dia kayaknya sanggup. Pemasaran juga oke. Keuangan pun gak kalah, Pa. Tapi besok aja deh aku tanyain.” jawab Gleztia. “Oke, Pa. Gle masuk dulu.”

Gleztia melangkah ke dalam rumah dengan perasaan senang. Ia merasa senang dan bahagia setelah berhasil membantu sahabatnya, Maysaroh. Sekarang tinggal mengatur strategi perkuliahan dan bekerja.

***

 

MAYSAROH mendekati uminya yang sedang berbaring di atas dipan. Tadi siang, ia dan Gleztia telah mengantar uminya ke klinik. Ia tak tau harus dengan apa membalas kebaikan Gleztia kelak.

Itu jugalah sebabnya ia menolak cinta Hafidz, kakak kelas mereka yang sekarang udah kuliah tingkat dua. Meskipun ia bersimpatik, tapi ia menolaknya karena ia tau Gleztia bersimpatik pada Hafidz.

“May, kamu menolak bukan dari hati kamu, kan? Ini semua karena persahabatan kamu dengan Gleztia. Aku tau May, Gleztia terlalu banyak membantu kamu dan keluarga kamu, tapi bukan berarti kamu ngorbanin perasaan kamu untuk membalas semuanya.”

“Maaf, Kak. Aku nolak bukan karena siapa-siapa, tapi aku emang gak ingin pacaran secepat ini.”

“May, please, aku mencintai kamu dan aku pengen kamu jadi pacar aku.”

“Kak, tolong ngertiin aku, dong. Kakak juga mesti tau kalau cinta gak boleh dipaksain.”

“Oke, May. Aku terima penolakan kamu tapi bagaimanapun usaha kamu, kamu gak bakal bisa buat aku suka sama wanita lain termasuk dengan wanita tak bertuhan seperti Gleztia.”

“Kak!” teriak Maysaroh. “Selama ini aku ngenal kakak sebagai laki-laki baik, tapi ucapan kakak tadi membuat aku sadar dan buka mata aku kalau kakak itu cuman baik di luar, doang. Asal kakak tau aja, meskipun dia tak beragama, dialah yang membuat aku semakin dekat dengan Allah. Dia selalu ngingatin aku untuk shalat tepat waktu, bahkan untuk menundanya sepersekian detik saja aku tidak bisa.” kata Maysaroh meninggalkan Hafidz, segera rasa simpatiknya ditanggalkan saat itu juga.

“May….” suara uminya menyadarkan lamunannya.

“Ada apa, Mi?”

“Kamu kenapa, Nak? Kok, melamun? Tidak baik melamun senja begini. Lebih baik ambil wudhu’ dan shalat trus ngaji. Kalau ada masalah, ngadu sama Gusti Allah, biar semua selesai.”

“Baik, Umi.”

Maysaroh bangkit dari duduknya dan segera melaksanakan apa yang disuruh uminya. Uminya masih berbaring tetapi beberapa jenak berusaha bangkit dan menuju sumur untuk mengambil wudhu’ pula. Ketiganya, abah, umi, dan Maysaroh shalat Maghrib berjamaah.

“Abah, Umi, kemungkinan selesai SMA ini, May langsung cari kerja sambil menulis juga. Katanya Gleztia ingin minta Om Kusno ngasih pekerjaan sama May, Bah, Mi. kalau May sudah bekerja, abah dan umi tidak usah bekerja lagi.”

“Syukurlah, May. Kamu patut bersyukur akan semua ini. Ternyata di balik semua kekurangan ini, masih ada orang yang peduli dengan kamu.”

“Abah, umi, ini semua berkat do’a abah dan umi siang dan malam tanpa henti. Tanpa perjuangan abah dan umi, mungkin Maysaroh tak seperti saat ini.”

“Sebagai orang tua, itu sudah tanggung jawab kami, May. Kamu satu-satunya harapan kami untuk merubah semua keadaan ini. Meski pun kami tidak mampu menguliahkan kamu, tapi kamu tidak usah berkecil hati, ya.”

“Tidak, Bah, Mi, May tidak berkecil hati. Abah dan Umi kan bukannya tidak mau, tapi memang keadaan yang udah begini.” balas Maysaroh menyenangkan hati kedua orang tuanya. “Sekarang kita makan malam, ya!” lanjut Maysaroh bangkit dan membereskan sajadah dan mukenanya. Ia beranjak ke dapur menyiapkan makan malam.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler