Skip to Content

NOVEL: AKULAH MAYSAROH (BILAH 02)

Foto SIHALOHOLISTICK

BEL istirahat tanda pelajaran dihentikan selama lima belas menit akhirnya berbunyi juga. Semua siswa bersorak menyambut kebebasannya. Begitulah tiap-tiap bel panjang berbunyi tiga kali berturut-turut diikuti suara guru piket dari pengeras suara memanggil para ketua kelas untuk melaporkan absensi kelas hari ini di meja piket.

Maysaroh dan Gleztia pun tak luput dari rasa ceria itu, namun keduanya tidak sampai mengeluarkan suara yang berlebihan untuk mengekspresikan keceriaan mereka, mereka hanya bersikap wajar. Istirahat, ya, istirahat tak perlu pakai teriak segala.

Keduanya keluar dari ruangan kelas sambil membawa bekal dan menuju tempat yang biasa mereka tongkrongi setiap istirahat, di bawah pohon akasia di pojok selatan sekolah. Tempat yang jarang dikunjungi anak-anak.

“May, ada kabar gembira buat kamu dari papa, papa siap nerima kamu menjadi pegawai di kantornya.” kata Gleztia setelah tiba di tempat yang dituju.

“Yang benar, Gle?” tanya Maysaroh tak mampu menyembunyikan kebahagiannya. Matanya berkaca-kaca ketika mendengar berita itu, reflex ia menutup mulutnya dan sesaat kemudian berhambur ke pelukan Gleztia.

“Masa aku bohong, sih ama kamu. Kamu kan pernah bilang, bohong itu dosa.” jawab Gleztia mendekap Maysaroh sahabatnya. Ia ikut bahagia melihat kebahagiaan sahabatnya. Sesaat kemudian pelukan keduanya merenggang. “…tapi, papa nanya, kamu mau ditempatin di mana? Pilih keuangan, pemasaran atau yang laen?”

“Gle, di tempatin di mana pun aku siap, bahkan jika Om menempatin aku di gudang sekalipun aku juga gak bakal nolak, asal aku bisa kerja. Kasihan abah dan umi udah setua itu masih saja membanting tulang untuk menghidupi keluarga. Semestinya mereka yang dengan keadaan mereka mulai sakit-sakitan udah lebih banyak beristirahat. Jadi untuk itu, aku gak pilih mau kerja apaan, asal aku bisa bantu meringankan beban abah dan umi, itu aja, Gle.” balas Maysaroh.

“Tapi aku gak setuju kamu kerja di gudang. Kamu apa-apaan, sih? Di gudang itu tempat nongkrongnya para sopir truk, nanti kamu bakal setiap hari digodain, dicolek-colek, atau bahkan dilecehkan. Pokoknya aku gak setuju kalau kamu ditempatin di gudang. Lagian papa aku bukan orang bodoh, May. Papa rugi, dong, kalau orang sebrilliant kamu di tempatin di gudang. Kapan majunya perusahaan?” balas Gleztia membuka bekalnya.

“Ya, aku kan cuman ngantongi ijazah SMA, mana mungkin kerja di kantor. Orang bijak bilang gini Semakin tinggi kualifikasi pendidikan seseorang akan semakin tinggi pula penghargaan kerja untuknya. Buat aku kerja apapun nggak apa-apa. Yang mesti aku sadari, Gle, nyari kerja di Jakarta itu gak segampang yang dikira. Jadi, kalo Om hanya mampu mempekerjakan aku di gudang, aku gak mungkin nolak. Masalah sopir-sopir itu, jadikan saja sebagai pengukur keimanan aku pada Allah. Sanggupkah aku?” kata Maysaroh sambil membuka bekalnya pula.

“Kalau kamu masih ngomongin soal gudang, tak jitak nih kepala kamu.” kata Gleztia menghentikan suapannya. “Gini, kamu dengar baik-baik, bentar lagi Kak Gatan selesai di Amrik, sekitar dua atau tiga bulan lagi dia diwisuda dan papa minta dia break dulu dua sampai tiga tahun untuk menghendel perusahaan. Setelah berhasil, baru dia berangkat lagi menyelesaikan S3-nya. Kalau Gleztia, sahabat kamu yang imut ini gak bisa jadiin kamu sebagai sekretarisnya, jangan panggil aku Gleztia. Oke!”

“Gak ngarep, kali!” balas Maysaroh menggoda Gleztia. “Lagian belum tentu Kak Gatan setuju!”

“Jadi, kamu mau ngetes aku, nih? Kamu liat aja ntar, jangan-jangan dia yang malah ngarep dan nyuruh aku ngebujuk kamu jadi sekretarisnya.” balas Gleztia. “Kamu juga perlu tau, kalau Kak Gatan itu care banget ama kamu, kalau bukan di Amrik, dia udah pulang pengen ketemu ama kamu. Pernah dia mau pulang, tapi untunglah waktu itu mereka ada acara di kampusnya.”

“Gak segitunya kali, Gle. Jangan berlebihan.” kata Maysaroh menatap Gleztia.

“Kalau dia setuju, gak papa kan, May?” balas Gleztia menatap Maysaroh.

“Ma kasih, Gle. Aku gak tau gimana caranya aku dan keluarga aku ngebalas kebaikan kamu. Udah terlalu banyak, Gle.”

“May, untuk kali ini kamu jangan pikirkan hal itu. Suatu saat kamu pasti tau gimana caranya.”

“Maksud kamu, Gle?”

“Eh, jangan negatif thinking dulu. aku gak punya niat macam-macam ama kamu. Maksud aku, kamu balas semua itu dengan tanpa terpaksa, tapi aku tau kamu bakal ikhlas. Pastinya, gak bakal menggadaikan keimanan kamu.”

Maysaroh mengernyitkan keningnya. Ia tak bisa mengerti arah tujuan dari perkataan Gleztia.

“Udah, May! Kamu gak usah terlalu mikirin itu dulu.” kata Gleztia. “Mmm…, gimana cerpen kamu? Udah rampung?”

“Hampir, tapi anehnya, kali ini aku semangat banget dengan cerpen satu ini, lho. Gak tau napa.”

“Mungkin aja kamu lagi senang, bahagia atau gimana, gitu.”

“Mungkin juga, ya. Dari keberhasilan kamu ngeyakinin Om untuk ngasih aku kerjaan, betapa tidak, Gle, aku bakal bisa bantu abah dan umi untuk ngeringanin beban mereka.” balas Maysaroh. “Satu lagi, Gle, sepertinya aku bakal gabung dengan sebuah milis kepenulisan.”

“Hmm, aku setuju itu, May. Keputusan kamu ini sangat tepat. Intinya, tulisan kamu bakal terarah, bakal punya taste, kek iklan di tv. Banyak, lho, penulis yang ingin hebat menempuh jalan itu. Memang kedengarannya agak liciklah, tapi kembali ke jati diri karyanya juga.” kata Gleztia. “Cuma, yang aku sayangkan itu, kalau mau masuk milis kepenulisan juga, kenapa gak dari dulu-dulu, May. Coba aja kalau kamu mulai kepikiran sejak SMP, mungkin semua udah berubah.”

“Udahlah! Semuanya udah ada yang atur.”

“Iya, sih. Kita hanya berusaha.” lanjut Gleztia. “Ngomong-ngomong, apa nama milis kepenulisan yang bakal kamu masuki?”

“Milis Gelanggang Dunia Anak Muda. Aku tertarik dengan programnya yang lumayan bagus. Temanya bernafaskan Islam, jadi aku bisa sambil dakwah lewat tulisan aku.” jawab Maysaroh. “Gimana, kalau kita nanti langsung ke sana?”

“Boleh! Kalau aku, sih, oke-oke aja. Kadang aku pengen ngajak kamu refreshing barang dua tiga jam keliling-keliling, tapi aku takut nyita waktu kamu, sementara semenit pun sangat berharga bagimu. Buatmu waktu itu benar-benar uang, karena dengan itulah sampai sekarang kamu bisa bertahan hampir selesai SMA.” balas Gleztia. “Mm…, gimana hubungan kamu ama Dewa?”

“Ah, laki-laki picik itu. Aku benci padanya. Aku tau dia gak tulus dan ingin menghinaku yang miskin ini. Meliat mukanya aja aku muak, mentang-mentang bokapnya kaya, pejabat dan entahlah, Gle. Apapun yang ia lakukan untuk membuktikan cintanya ke aku, aku gak bakal terima cintanya, terlebih dia telah ngina kamu. Aku benci semua orang yang mempermasalahkan masalah ketuhanan seseorang. Bukankah di negeri ini kita diberi kebebasan uantuk menentukan apa yang terbaik bagi kita selama tidak mengganggu ketenangan orang menjalankan agamanya. Sementara bagiku, kamu udah jadi motivasi bagi aku untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya.”

“May, maafin aku. Gara-gara aku, banyak cowok yang mundur untuk jadi pacar kamu.”

“Gle, kok kamu jadi lebay gitu. Udahlah kamu gak usah pikirin hal itu. Belum tentu juga mereka tulus dan jadi suami aku kelak, tapi persahabatan kita akan kita pertahankan sampai anak cucu kita. Keyakinan dan aqidah kita boleh gak sama dan gak sejalan, karena bukan itu ukuran sebuah persahabatan. Bagi aku, sahabat itu adalah orang yang mengatakan aku salah ketika aku memang salah. Malah sikap mereka yang tidak menerima paham kamu membuat aku berpikir seribu kali sebelum menerima cinta mereka. Ngaku orang beragama, orang baik-baik, tapi kok hatinya picik begitu, yang benar aja?”

It’s OK! I like it. Aku kagum ama pemikiran kamu yang sebenarnya melebihi eksistensimu sebagai seorang siswi SMA. Pantas semua orang kagum dengan hasil tulisan kamu. Di sekolah ini, kamulah satu-satunya yang bisa nerima siapa aku adanya. Makasih, May. Mungkin, kalau kamu gak ada, entah bagaimana aku di sini.”

Pembicaraan keduanya akhirnya terhenti ketika bel tanda istirahat usai, berbunyi. Kaduanya segera bergegas masuk ke ruangan kelas untuk mengikuti pelajaran selanjutnya.

Sementara dari kejauhan, seorang laki-laki tak luput memperhatikan keduanya. Sejak masuk ke sekolah itu, ia begitu tertarik pada keduanya, terlebih pada gadis berkerudung itu. Ketika ia melihat senyum gadis berkerudung itu, secercah kedamaian merasuki sanubarinya.

“Kamu liatin apa, Ar?” tanya sebuah suara di belakangnya.

“Ng…, nggak! Nggak lagi liatin apa-apa.” balasnya. Arifin cepat berpaling sambil kembali menghisap rokok yang terselip di jarinya.

“Mmm, aku tau, pasti kamu lagi liatin dua cewek cantik itu, kan?” tebak temannya. “Kenapa? Naksir? Ternyata selera kamu tinggi juga. Naksir yang mana, nih? Yang pake kerudung atau yang satunya?”

“Apa-apaan, sih?”

“Ga usah munafiklah, Ar. Aku bisa ngerti, kok! Dari cara kamu mandang mereka keliatan optimis banget, seolah ada sebuah harapan yang tumbuh dalam dada kamu. Kalau kamu suka ama, May, gadis yang pake kerudung, kamu harus terima cewek yang satunya lagi. Kalau nggak, siap-siap aja ditolak.”

“Maksud kamu? Mesti macarin dua-duanya?” tanya Arifin.

“Hei, nafsu banget, kamu. Kalau gitu, sih siapa yang gak antri. Enak sama kamu, dong. Maksud aku, mereka gak bakal bisa dipisahkan. Udah banyak yang nyoba ngedekati Maysaroh dan bahkan ada yang udah nembak dia, tapi ditolak karena berusaha misahin Maysaroh dari Gleztia. Si Dewa, orangnya. Satu lagi ada alumni sini namanya Hafidz.”

“Emang Gle itu siapa, sampai mereka gak suka?”

“Gle itu seorang yang lahir dari keluarga berpaham Atheis. Intinya, kalau kamu fine-fine aja ama pahamnya Gle, kamu silakan dekati mereka.”

“Kalau Atheis, emang napa?”

“Ya, nurut aku emang gak papa. Cuma, kebanyakan orang yang berusaha mendekati May aja yang kelewat fanatik. Emang, sih, May itu orangnya taat beragama dan banyak yang gak ngerti, kok orang yang gak bertuhan bisa dekat dan sejalan dengan orang yang mengutamakan keberadaan Tuhan.” terang temanya. “Masuk, yuk!”

Arifin mengikuti  temannya dari belakang. Hatinya sedikit lega mendengar keterangan temannya yang agak lumayan tentang gadis yang sedang meraja di benaknya. Berkali-kali ia mengucapkan nama May dalam hatinya, dengan perasaan optimis.

***

MAYSAROH dan Gleztia keluar dari mobil dan memasuki pekarangan sebuah rumah berpagar besi. Sekitar setengah meter dari gerbang rumah itu ada sebuah plang yang bertuliskan MILIS KEPENULISAN GADAM (Gelanggang Dunia Anak Muda). Keduanya segera masuk setelah basa basi dengan seseorang di depan pintu dan akhirnya mereka diantar ke sebuah ruangan. Ruangan itu sedang banyak orang yang berbincang-bincang. Pembicaraan mereka berkisar tentang dunia kepenulisan dan hubungannya dengan milis kepenulisan yang telah berdiri sejak tiga tahun silam.

Milis ini milik seorang mahasiswa Fakultas Hukum semester akhir di Universitas Muhammadiyah Jakarta, Wandy Fathonah Hasyimi, nama lengkapnya atau sering disapa dengan panggilan Aa Wandy. Dalam sebuah karyanya ia dikenal dengan nama Hasyimi. Seorang laki-laki yang tidak memiliki asal usul dan sepertinya itulah dia sebenarnya.

Seorang laki-laki dengan jenggotnya yang teratur, bertubuh kekar memakai kaca mata minus dan kupluk menempel di kepalanya menutupi rambutnya. Di hadapannya ada sebuah laptop.

“Silakan duduk, saudariku!” kata laki-laki itu mempersilakan mereka duduk. “Kenalkan, saya pemimpin milis ini, nama saya Wandy. Tentunya kedatangan saudari ke sini ingin bergabung dengan kami di sini dengan jiwa keislaman yang tidak menyimpang dari Al Qur’an dan As Sunnah.”

“Benar sekali, Kak.” balas Gleztia. “Tapi yang bergabung di sini hanya teman saya ini. Kebetulan saya tidak gandrung dalam hal menulis, hanya sekedar suka membaca saja dan kebetulan pula saya bukan seorang muslim. Orang tua saya orang yang berpaham Atheis dan secara langsung tentunya saya ikuti.”

“Oo… begitu, tapi maaf kalau kami lebih banyak bicara mengenai agama Islam.” balasnya.

“Silkan, Kak! Tapi gak papa kan, kalau saya dengar obrolan kalian?”

“Kalau suka dengarnya, gak papa.” balas Wandy.

“Maaf, ya, Kak!” Maysaroh buka bicara. “Meskipun teman saya ini bukan seorang muslim, tapi dia bukan musuh kita, kami sudah bersahabat lama bahkan kehadirannyalah yang telah membantu saya selalu mengerjakan shalat dan hal-hal lain. Setiap waktu shalat, sesibuk dan sepenting apapun pekerjaan kami dia selalu nyuruh aku shalat dulu dan untuk menunda sepersekian detik saja gak boleh. Mungkin hanya kebetulan saja ia terlahir dari keluarga yang berpaham Atheis atau tidak mempercayai Tuhan. Sehari-harinya ia tetap menganggap Tuhan itu ada.”

“Gak papa. Kakak malah senang mendengarnya. Siapa tau kan dia tertarik dengan agama kita, ….” Wandy menoleh pada Gleztia. “Ya, Dek, apa gak tertarik dengan Islam? Kalau tertarik, milis kepenulisan ini sangat senang menuntun.”

Gleztia hanya tersenyum membalas pertanyaan Wandy, namun ia tak menjawab.

Selanjutnya Wandy asyik melayani sejumlah pertanyaan yang diajukan Maysaroh dan sebaliknya, mereka saling bertukar pikiran tentang dunia kepenulisan terlebih yang menyangkut agama Islam. Sementara Gleztia hanya mendengarkan saja.

“Ada anggota baru, Aa?” tanya sebuah suara dari arah pintu dan ketiganya, Aa Wandy, Maysaroh, dan Gleztia serentak menoleh ke pemilik suara.

Laki-laki itu cukup kaget ketika tau siapa tamu Aa Wandy hari ini. Ternyata gadis yang dikaguminya. Gadis yang sering ditatapnya dengan perasaan yang tumbuh menjadi kekuatan bagi hidupnya, yang menjelma menjadi nafas baru dalam setiap tulisannya.

“Eh, Arifin. Iya, mereka mau bergabung dan ternyata kali ini kita dapat anggota yang udah malang melintang di berbagai media dengan sejumlah tulisannya yag cukup mengagumkan banyak orang. Sepertinya program kita akan berjalan mulus dengan kehadiran saudari Maysaroh.”

“Syukurlah, Aa.” kata Arifin mendekat.

“O ya, May, kenalin ini Arifin, orang yang berpengaruh dalam Milis kita ini dan dia jugalah yang akan mendanai program kita ini meskipun sebenarnya bukan dia tapi melalui dialah kita terhubung dengan kedua orang tuanya.”

May mengulurkan tangannya menyambut uluran tangan Arifin sambil menyebut namanya menirukan apa yang dilakukan oleh Arifin. Maysaroh mengenalkan Gleztia pada Arifin.

“Sekolah di Perguruan Nusa Bangsa juga, kan?”

“Iya, tapi kok bisa tau?”

“Aku juga sekolah di sana, baru memang, pindahan dari Bandung. Aku sering liat kalian di bawah pohon Akasia di pojokan sekolah sebelah Selatan.”

“Kok, kami gak pernah liat, ya?” celetuk Gleztia.

“So pasti nggaklah. Kalian kan jarang ke kantin. Aku memang dapat informasi dari anak-anak kalau kamu gak begitu disukai hanya karena paham yang kamu anut. Aku ikut prihatin, ternyata di negeri ini masih banyak yang memiliki pikiran sempit seperti itu. Tapi, gak usah khawatir, perkenalan kita hari ini akan bikin kita sering bareng di sekolah. Aku anak S2. Kalian anak A1 kan?”

“Ya. Tapi, apa kamu gak takut dijauhi anak-anak yang lain?”

“Justru itu yang bakal aku coba ngasih pengertian ama anak-anak.” kata Arifin. “Aku akan usaha agar mereka membuang pikiran sempit dan picik mereka.”

“Wah, sepertinya baik itu. Selama ini udah aku coba, tapi aku gak bisa berbuat banyak.” celetuk Maysaroh.

“Jadi, selama ini, Dek Gleztia dikucilkan di sekolah?”

“Ya, begitulah, Aa! Mereka nganggap aku itu komunis seperti yang mereka kenal di sejarah tahun 1965 itu.”

“Padahal konsep mereka hanya sok nasionalis, aja, Aa!” tambah Maysaroh.

Keempatnya, akhirnya terlibat dalam pembicaraan yang asyik. Mereka malah tidak sadar kalau dari tadi tempat itu sudah sepi. Arifin malah mesan makanan di luar dan tambah serulah pembicaraan mereka mengenai sejumlah program yang akan mereka lakukan.

Kalau bukan karena mengingat pekerjaannya di rumah, mungkin Maysaroh masih betah berlama-lama di situ, mengobrol dengan Aa Wandy dan Arifin. Gleztia juga akhirnya bergabung dengan mereka atas permintaan Arifin dan Aa Wandy dan dijadikan sebagai penanggung jawab program percetakan yang sedang mereka coba untuk merintisnya. Gleztia juga menyarankan kepada Aa Wandy dan Arifin membuat proposal ke papanya dan ia jamin akan terkabul karena ia tau, papanya juga simpatik dengan Islam.

Maysaroh dan Gleztia akhirnya pamit dari markas GADAM yang sebentar lagi akan membuka usaha percetakan dengan nama GADAM MEDIA PRESSINDO yang saat ini sedang mempersiapkan sejumlah surat permohonan ijin kepada yang berwenang akan hal itu.

***

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler