Skip to Content

NOVEL: AKULAH MAYSAROH (BILAH 03)

Foto SIHALOHOLISTICK

GLEZTIA menghentikan laju mobilnya di persimpangan gang menuju rumah Maysaroh. Setelah keluar dari mobilnya, ia berjalan menuju rumah Maysaroh yang melewati gang tersebut.

Tak berapa lama di rumah Maysaroh, mereka segera berangkat ke sekolah. Di dalam mobil mereka asyik mengobrol. Gleztia menceritakan kesediaan papanya untuk membantu percetakan GADAM MEDIA PRESSINDO tapi pimpinannya haruslah menjumpai papanya untuk sedikit berdialog mengenai percetakan yang akan mereka dirikan.

Mendengar hal itu, Maysaroh sangat senang. Maysaroh tidak menyangka kalau Gleztia juga telah berhasil meyakinkan papanya menjadi media patnert bagi percetakan yang mereka rintis.

“Tanggapan tante, gimana, Gle?” tanya Maysaroh dengan cukup antusiasnya.

“Mereka sepenuhnya mempercayakan padaku, apalagi ketika aku mengatakan kalau aku ikut di bagian pengembangan bidang. Mereka hanya mewanti-wanti aku, asal gak buat onar, silakan. Aku kadang gondok, lho. Udahpun tiga tahun berlalu, masih aja diingat-ingat. Padahal aku aja udah lupa.” kata Gleztia menghentikan laju mobil di tempat parkir.

Kejadian itu memang cukup tragis, hampir saja nyawa Gleztia melayang kalau saja saat itu tidak ada Maysaroh yang menolong. Maysaroh yang selama ini bahan ejekan Gleztia tetap tak perduli ketika ia menolong Gleztia. Sementara teman-teman dekat Gleztia semua menjauh dan meninggalkannya sekarat di pinggir jalan. Dengan berpakaian sekolah, Gleztia tergeletak di pinggir jalan setengah sadar yang dikelilingi oleh sahabat-sahabat dekatnya. Dari mulutnya keluar suara minta tolong, namun semua diam menatapnya tak bergeming. Tidak melakukan sesuatu apapun untuk berusaha menolong Gleztia.

Untunglah baginya ketika itu Maysaroh lewat baru pulang berkeliling jualan gorengan dengan basah kuyup, hanya bertudungkan tempat kue yang dibawanya. Semula Maysaroh tidak peduli dengan kerumunan lima orang cewek yang selalu mengejek dan melecehkannya di sekolah. Tapi ketika hampir sampai di dekat kerumunan itu ia tertarik melihat dan tampaklah olehnya tubuh Gleztia yang berusaha menggapai temannya satu persatu dengan suara yang lirih meminta pertolongan.

Tanpa pikir panjang lagi, May segera melemparkan tempat kuenya dan masuk ke tengah kerumunan itu dan menghampiri tubuh Gleztia yang udah sekarat dan tak dapat berbuat apa-apa lagi. Melihat itu, Maysaroh berteriak pada teman-teman Gleztia untuk mencari pertolongan, namun semuanya tetap tak bergeming. Kepanikan Maysaroh malah membuat mereka jadi ketakutan dan akhirnya satu persatu pergi menjauh meninggalkan Maysaroh yang mendekap tubuh Gleztia.

Maysaroh segera menyetop sebuah taksi dan meminta mengantarkannya ke rumah sakit yang hanya berjarak sekitar satu kilometer dari tempat mereka. Untunglah sopir taksi mengenal Maysaroh dan mau membantu mengantarkan Gleztia ke rumah sakit. Maysaroh segera membayar ongkos taksi dengan uang hasil dagangannya kepada sopir taksi dan di rumah sakit sopir itu membantu Maysaroh membawanya Gleztia ke dalam. Para petugas yang sedang berada di rumah sakit segera bergegas mengambil ranjang jalan dan segera membawa ke ruang UGD.

Dokter tidak langsung menangani Gleztia dan menanyakan keluarga pasien untuk terlebih dahulu mengurus administrasi. Maysaroh kembali panik, bagaimana caranya agar Gleztia segera ditangani, dengan tanpa pikir panjang ia meminta sopir taksi mengantarnya ke rumah Gleztia untuk memberi tau orang tuanya. Sopir itu menurut pada permintaan Maysaroh dan di rumah Gleztia segera membuka pintu pagar dan menerobos hujan masuk ke pekarangan rumah Gleztia.

Berulang kali ia memencet bel rumah bahkan sampai mengetok pintu dan berteriak-teriak di depan pintu dengan tubuh yang telah menggigil, barulah setelah ia meneriakkan ‘ibu’ dari mulutnya pintu terbuka dan ia segera melihat seorang wanita paruh baya.

“Bu…!” katanya dengan suara yang menggigil karena menahan dingin. “Apa benar ini rumah Gleztia?”

“Betul! Ada apa, Nak?”

“Gleztia ada di rumah sakit sedang sekarat. Tadi saya menemukannya tergeletak di pinggir jalan, tapi sepertinya bukan kecelakaan karena dari mulutnya keluar buih putih yang baunya menyengat. Saya bawa dia ke rumah sakit, tapi rumah sakit belum mau menanganinya karena harus membayar administrasi dulu. Saya sudah tidak punya uang, sudah habis buat bayar taksi, jadi saya kemari. Saya teman sekolahnya, makanya saya tau rumah ini.” cerita Maysaroh.

Wanita paruh baya itu segera berteriak memanggil suaminya dan dengan gesit, suaminya menghampirinya dan wanita paruh baya itu menceritakan yang telah terjadi pada Gleztia. Tanpa pikir panjang, suaminya berlari ke dalam dan segera keluar kembali menuju bagasi mobil dan segera mereka bertiga berangkat ke rumah sakit. Sopir taksi yang mengantar Maysaroh mengikuti dari belakang.

Setelah sampai di rumah sakit, Maysaroh menghampiri sopir taksi dan meminta agar argonya dibayar besok. Mendengar itu, sopir taksi itupun berangkat dari tempat itu. May kembali masuk ke dalam dengan mendekap kedua tangannya yang mulai mengerut karena dinginnya. Dia mendekat pada kedua orang tua itu di ruang administrasi.

“Pak! Bu! Saya pamit pulang. Mungkin abah dan umi sudah khawatir pada saya!” kata Maysaroh pamit.

“Eh, sebentar, Nak! Biar Om antar kamu pulang!” balasnya sambil menyerahkan kertas yang ada di tangannya pada istrinya meminta untuk melanjutkan pekerjaannya menyelesaikan administrasi dan ia pun menggandeng tangan May keluar dari rumah sakit.

“Rumah kamu jauh, nggak, Nak?”

“Sekitar satu setengah kilometer dari sini, Om, masuk gang ke permukiman kumuh itu, Om.”

“Siapa nama kamu, Nak?”

“Maysaroh, Om.”

“Masih sekolah?”

“Masih, Om. Saya sekelas dengan Gleztia, siang saya jualan gorengan untuk biaya sekolah saya, Om.”

“Besok setelah jualan gorengan, mau nggak kamu menjenguk Gleztia ke rumah sakit?”

“Liat besok, ya, Om.”

“Om, tunggu, ya!”

Laki-laki paruh baya itu, ayah Gleztia, membukakan pintu mobil untuk Maysaroh dan mengantarkan Maysaroh pulang. Tak hanya sampai di mulut gang, ayah Gleztia juga mengantarnya sampai ke rumah dan menjelaskan pada orang tua Maysaroh atas keterlambatannya pulang hari itu.

Esoknya, Maysaroh benar-benar datang menjenguk Gleztia dan sampai Gleztia keluar dari rumah sakit hanya Maysaroh yang ada. Tidak satupun temannya yang menjenguknya selama ia berada di rumah sakit dan mulai saat itulah ia tau siapa sebenarnya sahabat sejati dalam hidupnya. Orang yang selama ini dihinanya karena kemiskinannya, karena penampilannya yang sangat jauh dibanding dirinya.

“Gle…!” panggil Maysaroh setelah lama keluar dari mobil Gleztia sambil kembali membuka pintu mobil. “Gle…!” panggilnya lagi setelah tidak mendengar jawaban dari Gleztia sambil melemparkan tisu yang sudah berbentuk bola yang ada di tangannya.

“Eh…, ng… anu…!” Gleztia kaget.

“Ada apa? Kok pagi-pagi udah ngelamun? Ada masalah?” tanya Maysaroh.

“Ah, nggak ada apa-apa, kok!”

“Masa, sih?” tanya Maysaroh lagi.

“Aku cuma kagum sama kamu, May!  Kamu pantas dapat julukan ‘Muslimah Berhati Emas’!”

“Kaya, dong!”

“Kaya hati, berakhlak mulia. Itu kan kekayaan yang hakiki? Aku pengen banget kek kamu, disuka banyak orang.”

“Gle, percayalah! Suatu saat kamu bakal disuka banyak orang. Sekarang udah mulai ada, buktinya Arifin. Bahkan dia janji bakal ngerubah pola pikir anak-anak soal paham yang kamu anut. Tenang saja, semua butuh proses dan proses yang tidak gampang. Aku liat dia cukup simpatik sama kamu.” kata Maysaroh menenangkan hati Gleztia.

“Tapi, asal kamu tau, May, Arifin sebenarnya naksir kamu. Dia dapat bocoran dari seseorang kalau kehadiran aku bakal jadi penentu diterima atau tidaknya cinta dia. Artinya, dia sedang ngebuktiin perasaannya ke kamu.”

“Maksud kamu?”

“Ya, Arifin merasa kehadiran kamu udah ngerobah pola pikirnya. Kamu udah berpuluh kali menjelma jadi semangat hidup baginya. Ternyata selama ini dia sering mata-matain kita.”

“Dapat bocoran dari mana kamu? Udah mulai iseng nguping pembicaraan orang, ya? Gak baik, lho!” kata Maysaroh menyembunyikan perasaannya yang sejak kemaren udah gak karu-karuan dan semalam, bayangan Arifin membayanginya.

“Rahasia negara. Pastinya dari sumber yang akurat dan dapat dipercaya.” kata Gleztia keluar dari mobil.

Di saat bersamaan suara bising motor Arifin masuk gerbang sekolah yang segera menuju parkir dan menelusup di sisi mobil Gleztia.

“Hai, Assalamu ‘alaikum!” sapa Arifin.

“Wa ‘alaikum salam!” balas Maysaroh dengan sedikit mengulas senyum, hatinya sempat gak karuan, tapi ia mencoba menyembunyikan perasaan itu dan bersikap setenang mungkin.

“Baru nyampe, ya?” tanya Fathir.

“Nggak juga, udah sekitar lima belas menit yang lalu, cuman asyik ngobrol aja, di sini. Lagian sekolahan masih sepi.” jawab Gleztia.

“Kalian udah sarapan? Kayaknya masih ada waktu, nih. Ke kantin, yuk!” ajak Arifin.

“Mm, kalian aja, deh. Kami udah sarapan tadi di tempat May. Kami langsung masuk aja.” balas Gleztia.

“Ya, udah. Kalau gitu kalian duluan, kami ke kantin dulu.” kata Fathir ngajak Arifin. Mereka berpisah. Arifin dan Fathir menuju kantin sedangkan Maysaroh dan Gleztia masuk ke dalam menuju ruangan kelas.

“Ar, kalau gini caranya, aku juga punya peluang nih ama Gleztia.”

“Kamu naksir Gle?”

“Udah lama banget. Bahkan waktu masih ordik aku udah curi-curi pandang ama dia. Cuma aku sering salting kalo udah ketemu mereka berdua jadi terpaksa gue cuekin biar gak ketauan gue naksir Gleztia.”

“Ha…ha…, tampang kamu aja yang kek play boy, nyali lo kacang goreng.”

“Bukannya gitu, Ar. Aku ini orangnya pendiam, sementara mereka berdua itu tukang debat. Kalau belajar aja keduanya gak berhenti nanya-nanya. Bisa kiamat dong aku kalau di skak mati.”

“Oke…oke…! Kamu tenang aja. Aku senang dengar hal ini, setidaknya sambil nyelam minum air. Aku bisa ngebuktiin kalo kata-kataku kemaren bukan isapan jempol semata.”

“Emang kamu udah ngobrol ama mereka? Kamu ngomongin apa?”

“Kebetulan May kemaren gabung ama milis kepenulisan Aa Wandy dan datang ke tempat aku untuk diskusi. Emang benar kata kamu. Maysaroh itu kayaknya gak pernah kehabisan kata-kata dan ide untuk menanyakan banyak hal tentang sejumlah program yang udah di susun Aa Wandy. Aa Wandy jadi optimis dengan kehadiran May di milis kepenulisan itu. Di samping namanya udah malang melintang dari redaksi yang satu ke redaksi yang satunya, sepertinya Maysaroh itu sangat berbakat dengan dunia kepenulisan. Sejumlah program malah direhab oleh Aa Wandy atas usul Maysaroh menuju arah perbaikan. Simpatik aku makin nambah tuh untuk dia. Rasanya hal yang sangat bodoh jika aku menyia-nyiakan untuk meraih perhatian Maysaroh.”

“Mm…, trus kamu bilang apa ama mereka?”

“Aku bakal ngerubah pandangan anak-anak terhadap Gleztia.”

“Yakin? Gak gampang, lho! Anak-anak udah terlanjur menganggapnya komunis, padahal hanya berpaham atheis. Kalo nurut aku emang beda, atheis ama komunis, meskipun selisihnya cukup tipis.”

“Yakin!” balas Arifin. “Buktinya udah ada. Baru kemaren aku bilang hal ini, pagi ini ada cowok pengecut yang curhat tentang simpatiknya ama Gleztia.”

“Sialan, lo! Tapi aku kan simpatiknya udah lama ke dia.”

“Meskipun udah lama, tapi aku lebih dulu mengatakan hal ini ke mereka ketimbang kamu mengatakan ini ke aku. Jadi intinya aku menang selangkah dan ini gak boleh dibilang kesempatan dalam kesempitan. Masalahnya aku duluan yang bilang baru kamu bilang pula. Emang aku tau apa yang ada dalam hati kamu? Gak kan?” kata Arifin sambil senyum bahagia.

Keduanya akhirnya asyik nyantap sabu alias sarapan bubur yang ada di hadapan masing-masing.

Waktu istirahat, Arifin dan Fathir mendatangi tempat yang biasa ditongkrongi Maysaroh dan Gleztia. Di situ mereka gak nemuin dua makhluk manis itu, karena keduanya belum keluar dari kelas.

Maysaroh dan Gleztia keluar dari ruangan A2 dan menuju tempat mereka biasa nongkrong. Dari kejauhan keduanya melihat Arif dan Fathir udah ada di sana sambil bercanda.

“May, sepertinya Arifin udah nunggu gadis impiannya, tuh.” kata Gleztia sambil berbisik.

“Apa-apaan sih kamu?” elak Maysaroh.

“Jadi kamu gak sedikit pun punya feeling dengan sikapnya kemarin dan tadi pagi? Lagian syarat terberat kamu udah dipenuhi.”

“Gle, jangan cepat percaya dengan orang yang baru dikenal, apalagi dia bukan asli sini. Dia itu anak Bandung. Kek gimana kehidupannya di Bandung kita gak tau. Apa alasannya pindah ke sini juga perlu kita tau. Siapa tau dia….” Maysaroh menghentikan ucapannya. “Astaghfirullahaladzim!” ucap Maysaroh cepat menyadari kelalaiannya. “Kok aku jadi suuzzon, ya?”

“Kalau penilaian aku, May, Arifin yang tinggal ama Aa Wandy udah cukup menjawab kalo Arifin itu orang baik-baik.” jelas Gleztia.

“Jangan secepat itu!”

“Jadi kamu gak bisa menangkap raut keseriusan di wajahnya? Katanya mau jadi psikolog, masak masalah gitu aja gak bisa liat.” Gleztia berargumentasi.

“Ah, udah, deh! Mending kita ke sana aja.” ajak Maysaroh.

“Assalamu ‘alaikum!” ucap Maysaroh ketika sampai di tempat itu sambil mengulas senyum.

“Wa ‘alaikum salam!” balas keduanya sambil mengulas senyum pula.

“Silakan duduk!” kata Fathir.

“Ma kasih!” sambut Gleztia sambil duduk di hadapan keduanya diikuti Maysaroh.

“May, kita bisa ngobrol sebentar, nggak?”

“Soal apa?”

“Sesuatu. Tapi nggak di sini.”

“Gimana, ya?”

“Udahlah May, kali aja penting.” kata Gleztia mengerti maksud Arifin.

Maysaroh akhirnya bangkit mengikuti Arifin yang udah berdiri dan keduanya meninggalkan Fathir dan Gleztia.

“Sukses ya, Thir!” teriak Arifin. Fathir hanya menoleh sambil senyum.

“Mau ngomongin apa, Ar?” tanya Maysaroh setelah Arifin duduk di bawah pohon beringin, sekitar lima puluh meter dari tempat Fathir dan Gleztia.

“Soal yang kemaren, May, Aa Wandy minta aku bilangin ini ke kamu karena Aa Wandy merasa kamulah yang pantas mengurus surat izin ke IKAPI soal percetakan yang akan kita rintis itu. Aku harap kamu gak nolak, mungkin kamu bisa ngajak Gleztia.”

“Tapi, apa mesti aku, Ar?”

“Kenapa, May?”

“Karena aku gak punya banyak waktu di luar. Kasihan umi di rumah ngerjain pekerjaan sendiri. Sebenarnya cocoknya ini langsung ama Gleztia dan tepatnya akulah yang bantu dia masalah ini, bukan dia yang bantu aku. Karena dia hampir gak punya kesibukan setelah pulang sekolah, makanya setiap hari bantuin aku di rumah masak dagangan umi.”

“Ya juga, ya!” balas Arifin. “Lain kali aja kita omongin kalau gitu. Kalau kita manggil Gleztia kemari, kasihan Fathir.”

“Maksud kamu?”

“Maksud aku, biarkan dulu mereka ngobrol. Soalnya Fathir udah sejak lama naksir ama Gleztia. Udah sejak kalian di ospek di sekolah ini.”

“Yang benar?”

“Buat apa aku bohong? Ga ada untungnya, kan? Makanya tadi aku bilang sukses ama Fathir, maksudnya, ya itu, sukses ama Gleztia.”

Maysaroh akhirnya senyum pada Arifin setelah menoleh pada Fathir dan Gleztia yang keliatan ngobrol akrab.

“Sedikit pun aku gak nyangka selama ini kalau Fathir itu ada hati sama Gleztia. Soalnya selama ini Fathir selalu cuek bahkan terkesan seperti kebanyakan anak-anak, menatap sinis pada Gleztia.”

“Ya, katanya, sih, gak berani. Dia orangnya pendiam, sementara kalian tukang debat, dia takut di debat abis-abisan. Makanya jadi cewek jangan suka debat. Debat sih boleh tapi gak waktu istirahat juga, kan. Liat sikonnyalah. Sebenarnya, banyak sih yang mau temenan ama kalian, Cuma aku dapat bocoran dari banyak anak-anak cewek, kalau ngobrol ama kalian tegang banget, bahasannya selalu yang berat-berat.”

“Ya, mereka kan bisa protes. Lagian sih, mereka suka bahas seleb-seleb murahan yang doyan kawin cerai. Aku jelas gak nyambunglah. Sementara Gleztia tau kalau aku gak suka bahas aib rumah tangga orang. Jadi otomatislah, pembicaraan kami sekitar pelajaran melulu.”

“Mmm…, May, aku juga dapat bocoran dari Fathir kalau kamu sering nolak cowok yang nembak kamu karena mereka gak suka ama paham yang dianut Gleztia.”

“Jelas aku nolak, Ar. Aku udah lama bersahabat ama Gleztia. Kahadirannya juga yang membuat aku semakin dekat dengan Allah. Bayangin aja, Ar, setiap aku ama dia, aku gak khawatir lalai shalat, sebab setiap waktu shalat dia selalu ngingatin aku, bahkan untuk menunda sepersekian detik aja gak bisa. Apa mungkin aku ngejauhin dia demi cowok yang memang seaqidah tapi punya pemikiran yang picik? Aku pikir nggak, Ar?” terang Maysaroh.

“Ya, kamu benar. Apa yang kamu komitmenkan itu memang layak kamu pertahankan. Belum tentu juga cowok yang bakal dipilih itu bisa memotivasi ibadah kamu.” balas Arifin. “Tapi, gimana kalau suatu saat nanti ada cowok yang memaklumi paham Gleztia?”

“Maksud kamu?”

“Gimana kalau ada seorang cowok yang care banget ama paham Gleztia dan tidak mempermasalahkan kehadiran Gleztia dalam hidup kamu bahkan ia mau akrab dengan Gleztia?”

“Yang jelas dia bukan orang picik seperti yang lewat-lewat.”

“Lantas kamu mau menerima cintanya kalau dia nembak kamu?”

“Ya, lihat sikonnyalah.”

“Emang, sikon yang kek gimana yang kamu mau?”

“Ya, gak terlalu istimewa, sih. Cuma ada dua kesiapan yang harus dimilikinya sebelum nembak aku. Kesiapan yang pertama, siap kecewa dan gak ada aksi teror meneror, intinya berani perang, ya berani kalah pula. Kesiapan yang kedua, siap nerima aku apa adanya. Aku bukan orang sempurna, intinya siap jadi yang kedua, soalnya bagi aku agama dan orang tua adalah prioritas utama dan yang paling penting digarisbawahi adalah ‘aku bukan malaikat’  yang gak punya hasrat dan perasaan.”

“Dor!” Arifin mengarahkan telunjuk dan ibu jarinya membentuk sebuah pistol.

“Apaan sih, Ar?”

“Tembak!”

“Maksudnya?”

“Aku nembak kamu. May, jujur, aku naksir kamu. Hampir setiap hari aku merhatiin kamu dari kantin sana sambil menikmati sebatang rokok. Udah berkali-kali aku pengen datangi kalian ke sini, tapi aku rasa kurang sopan kalau aku tiba-tiba datang ke sini trus minta kenalan. Kemaren aku gak tau gimana mengekspresikan kebahagiaan aku bisa kenalan ama kamu. Semalam aku gak bisa tidur karena gak sabar nunggu siang.”

Arifin berhenti ketika melihat Maysaroh menunduk.

“May, kamu kenapa, kok, sedih begitu?”

“Hm…hm…, gak. Gak papa, kok.”

“May, aku gak pinta kamu jawab sekarang. Aku udah siap kecewa, kok dan satu yang perlu kamu tau May, aku siap nunggu sampai kapanpun, sampai kamu bisa menjawabnya. Dan aku bakal ngebuktiin cinta aku bahwa dalam waktu dekat, Gleztia bakal diterima di sekolah ini dan aku juga bakal buat kehadirannya di sini patut diperhitungkan.”

“Jangan takabur, Ar!”

“Ya, kedengarannya takabur, memang. Tapi tolong beri aku dukungan untuk itu, May! Tolong do’ain aku agar aku bisa dan aku harap kamu mau bantu ngasih pengertian pada saat aku butuh argumen untuk meyakinkan anak-anak.”

“Kalau soal itu pastilah, Ar! Tapi aku minta maaf ama kamu kalau ungkapan cinta kamu gak bisa aku jawab sekarang. Aku butuh waktu untuk memikirkannya, Ar.

“Pasti, May! Aku gak bakal desak kamu. Kamu boleh mikirinnya setenang mungkin. Cuma satu hal, May, meskipun kamu harus nolak aku, jangan enggan negor aku jika kita ketemu di mana pun atau misalnya kita lagi ada di markas milis kepenulisan. Jangan sungkan aku pasti bisa tegar meskipun cintaku bertepuk sebelah tangan. Jangan anggap atau jadikan aku musuhmu!”

“Aku gak sepicik itu, Ar.” sindir Maysaroh.

“Maaf, kalau kamu tersinggung. Aku gak maksud ke sana, hanya saja aku pengen buka peluang seluas-luasnya buat kamu untuk ngenal aku. Aku memang mencintai kamu, meski kedatangan cinta itu relatif singkat, tapi jika buatmu persahabatan lebih baik di antara kita aku juga gak keberatan, May.” ungkap Arifin tulus. “Aku memang berpenampilan begini, karena aku terlahir dari keluarga yang berantakan. Di saat mama aku dengan tulusnya setia pada papa, papa malah membalasnya selingkuh…”

“Ar, aku gak pinta kamu certain aib keluarga kamu!” potong Maysaroh.

“Aku tau, May. Tapi aku pengen curhat ama kamu, bukan untuk membuatmu kasihan ke aku. Aku juga gak mau dikasihani, May. Tapi aku percaya sama kamu dan ini sebagai bahan pemikiran bagi kamu. Jika kamu takut aku seperti papa, kamu gak usah nerima aku. Kamu mau dengar masalah aku, kan?”

“Kalau kamu cukup percaya ke aku, aku juga gak bakal nolak, ya, mudah-mudahan aku bisa bantu kamu.”

“Maksih, May!” ujar Arifin. “Di saat papa selingkuh, mama bukannya menyadarkan papa, mama malah membalasnya selingkuh. Jadilah keluargaku ‘selingkuh versus selingkuh’. Aku udah coba ngasih pengertian ke mereka, tapi mereka malah saling menyalahkan. Aku sangat kecewa tapi mereka gak peduli. Kepedulian mereka hanya terlihat saat mereka berlomba-lomba memberi aku uang saku sepuluh kali lipat dari kebutuhan aku dengan harapan aku milih salah satu dari mereka. Tapi aku membalasnya pula dengan ketidakpedulian, aku mengasyikkan diri dengan duniaku yang penuh hura-hura pula.

Saat bertemu Aa Wandy, ia mampu menyadarkan aku, dia beri aku dorongan untuk kembali mengejar impianku. Dia nyuruh aku kembali sekolah dan memilih sekolah ini untukku, karena dia alumni sekolah ini dan siswa yang sangat disiplin. Karena dia yang ngantar aku ke mari aku diterima. Sebagai balasannya aku mengucurkan dana untuk perkembangan milis kepenulisan yang dirintisnya bersama teman kuliahnya dan aku ikut ambil bagian di sana karena sejak SMP aku juga udah hobi menulis meskipun belum ada tulisan aku yang masuk redaksi, tapi semua tulisan itu masih ada dan sekarang udah aku boyong ke tempat Aa Wandy dan aku ikut kost di sana.

Aku paksa mama dan papa membeli rumah itu dan di atas namakan dengan namaku dengan tujuan kalau mereka nanti hancur dengan kegilaan mereka, rumah itu tak dapat mereka sentuh atau menggadaikannya. Mendengar hal itu, secara bergantian mama dan papa menemui Aa Wandy dan menitipkan aku. Sedang mereka semakin gila dengan perbuatan mereka. Entah siapa yang mampu menyadarkan mereka. Aa Wandy sudah mencoba, tapi tidak berhasil dan aku akhirnya melarang Aa Wandy mengusik dunia mereka.”

“Memprihatinkan!” ungkap Maysaroh dengan wajah yang sedih.

“Maaf, aku udah bikin kamu sedih.” sela Arifin. “Tapi setidaknya aku merasa plong, May setelah nyeritain ini ke kamu.”

“Gak papa, Ar. Biasa, kok. Aku memang orang penghiba. Air mataku sering tak terkendali kalau dengar hal-hal yang seperti kamu alami.” kata Maysaroh. “Kamu yang tabah, ya. Tetap berdo’a untuk mereka. Jangan enggan bangun tengah malam, shalat tahajjud dan minta pentunjuk sama Allah. Dialah Yang Maha Mengetahui segalanya. Semoga dalam waktu dekat mereka bisa tersadar dari apa yang mereka lakukan.” lanjut Maysaroh sambil menatap wajah Arifin dengan lembut.

Sesaat pandangan mereka beradu, keduanya bersitatap dengan lembut. Tak ada yang bicara sepatah katapun.

“Hei…, masuk yuk! Udah bel, tuh!” teriak Gleztia menyadarkan mereka berdua.

“Astaghfirullahaladzim!” ucap keduanya berbarengan.

“Audzubillahiminassyaitanirrojim!” lanjut Maysaroh. Arifin mengikuti lafaz taawuj yang diucapkan Maysaroh.

Keduanya pun bangkit dan mendekati Gleztia dan Fathir yang tertawa renyah. Arifin dan Maysaroh berpandangan sejenak sambil tersenyum melihat keakraban Fathir dan Gleztia.

***

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler