Skip to Content

NOVEL: AKULAH MAYSAROH (BILAH 05)

Foto SIHALOHOLISTICK

SEORANG laki-laki keluar dari bandara dan segera menyetop sebuah taksi. Segera ia masuk dan menyebut alamat yang ditujunya. Taksi segera melaju menuju alamat yang sebutkannya. Dalam taksi itu dia asyik melalap sebuah buku yang sejak dari pesawat sudah dilahapnya. Buku itu pemberian temannya yang berkebangsaan Mesir.

Buku itu sangat menarik perhatiannya, begitu juga dengan isinya yang penuh dengan pelajaran spiritual keagamaan. Perlahan ia menyadari apa yang selama ini dialaminya. Ternyata ia baru tau kalau hidup yang selama ini dijalaninya bukanlah kehidupan yang abadi dan bukanlah kehidupan yang sebenarnya. Masih ada kehidupan setelah ini. Ia juga baru menyadari kalau hidup di dunia ini hanyalah sebuah proses menuju ke kehidupan lain sesudahnya, yakni kehidupan akhirat.

Dalam benaknya juga telah kerap terpikir hal yang demikian. ‘Hidup pasti punya tujuan. Semua yang ada di alam ini pasti ada yang menciptakan dan pasti ada manfaatnya. Tapi, siapa dan apa. Tidak mungkin manusia yang menciptakan manusia, menciptakan alam, lautan, langit, bumi dan segala isinya. Manusia hanya memproses penciptaan manusia itu sendiri untuk melanjutkan keturunan. Kalau tidak, mengapa manusia tercipta bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Kalau manusia yang menciptakan manusia, kenapa tidak diciptakan dalam suku dan bangsa yang sama. Semua itu pasti di luar kemampuan manusia. Terlebih apa yang ada di sekelilingnya. Pendirian gedung-gedung yang bertingkat oleh manusia hanyalah sebuah proses.’ Pikiran seperti kerap menjadi beban pikirannya setiap waktu. Bahkan hampir setiap menjelang ia memejamkan matanya diperaduan malamnya pikiran ini hadir.

Sejenak ia terbayang adiknya, Gleztia, adik semata wayangnya. ‘Pasti ia bisa bawa aku pada seseorang yang bisa membuka seluas-luasnya tabir kehidupan ini, seperti apa yang ada dalam buku ini.’ pikirnya. Dia tersenyum.

“Ada apa, Mas? Kok, senyum?” tanya sopir taksi ketika menangkap senyum laki-laki itu lewat kaca spion.

“Oh, tidak ada apa-apa, Pak. Hanya teringat adik saja. Saya sudah sangat begitu rindu dengannya.” balas laki-laki itu.

“Memangnya, sudah berapa lama tidak bertemu?” tanya supir taksi itu lagi.

“Lumayan lama juga. Sudah lebih tujuh tahun. Sejak tamat SMA dan sekarang sudah selesai studi megister.”

“Kuliah di mana?”

“Tidak kuliah di mana-mana, hanya di universitas kecil dan tidak punya nama. Lokasinya pun tidak seperti di Jakarta ini. Hanya ingin mandiri saja, Mas, sekalian ingin membuktikan pada papa kalau aku bisa kuliah dengan biaya sendiri.”

“Bagus itu, Mas.” kata sopir taksi menghentikan laju taksi di depan rumah berpagar besi dengan taman yang luas.

Dia turun dari taksi yang baru saja mengangkutnya dari bandara setelah membayar argo taksi. Sejenak ia menatap ke dalam lewat celah-celah besi pagar, tak ada siapa-siapa. Ia merasa heran, mengapa rumah sesepi itu. Akhirnya ia mendorong pagar setelah membuka pengait di bagian dalam. Ia masuki pekarangan rumah yang luas itu, yang diisi berbagai macam bunga yang terawat rapi dan yang menambah indah taman kecil itu bunga-bunga sedang mekar dengan berbagai warna. Semua masih seperti dulu, seperti ketika ia memutuskan meninggalkan Indonesia dan kuliah ke Amerika melanjutkan studi sarjana dan megister-nya di salah satu universitas terkenal.

Sebenarnya, ia ingin pula melanjutkan studinya sampai mencapai gelar doktor di universitas yang sama, terlebih setelah disarankan oleh dosen pembimbing akademiknya. Namun, papanya meminta untuk mengurus perusahaan beberapa tahun dengan ilmu yang ditimbanya di Amerika. Dengan terpaksa, ia akhirnya menyetujui permintaan papanya dengan berbagai pertimbangan, terlebih kelak ia ingin memuluskan jalannya meraih gelar doktornya sekaligus melakukan riset di perusahaan papanya.

Sejenak diperhatikannya rumah yang kelihatan sepi itu, ia masih merasa heran, kenapa rumah sesepi itu. Kemana adiknya Gleztia yang bandel itu. Tapi menurut cerita papanya ketika ia atau papanya menelpon, adiknya telah berubah seratus persen, bahkan seribu persen gara-gara seseorang yang bernama Maysaroh. Sejak ia tahu hal itu, ingin rasanya ia bertemu Maysaroh untuk mengucapkan rasa terima kasihnya. Rasa penasaran dan keinginannya untuk bertemu gadis bernama Maysaroh itu terpaksa dipendamnya sedalam-dalamnya.

Gatan sangat menyayangi adiknya Gleztia, adik semata wayangnya, satu-satunya saudara yang dimilikinya. Meskipun Gleztia bukan adik yang terlahir dari rahim ibu kandungnya, namun itulah satu-satunya saudaranya, putri papanya.

Papanya memiliki dua orang istri, yang pertama adalah ibu kandungnya. Menurut Gatan, ibunya begitu setia pada papanya. Namun, karena vonis dokter yang mengatakan kalau ibunya tak akan bisa hamil lagi, papanya minta izin untuk menikah lagi. Karena kecintaan ibunya pada papanya, ibunya akhirnya mengizinkan, tapi Gatan yang saat itu beranjak remaja, telah mengerti bagaimana terpukulnya hati ibunya menerima kenyataan itu, meskipun akhirnya ibu menyetujuinya.

Setiap kali Gatan melihat ibunya menangis, rasa bencinya pada istri muda papanya dan kekecewaan pada papanya semakin besar. Ia sama sekali tidak mengerti pikiran papanya sehingga sanggup melakukan perbuatan yang tidak mampu diterima oleh pikiran. Apalagi setelah papanya memutuskan untuk mengajak istri mudanya tinggal di rumah.

Meskipun ibu tirinya cukup mengerti perasaan ibunya dan mencoba memperlakukan ibunya sehormat mungkin, bahkan menganggapnya sebagai saudara. Namun Gatan tidak pernah menegornya. Ketika ibu tirinya menegornya, ia pura-pura tidak mendengar, bahkan masakan ibu tirinya pun tidak pernah disentuhnya sampai ia akan berangkat ke Amerika.

Hardikan papanya tak pernah digubrisnya, malah tamparan dan hajaran papanya bukan malah membuatnya sadar, malah sebaliknya, ia semakin kecewa pada papanya. Bahkan ia membalasnya dengan kata yang menyakitkan hati ibu tirinya.

“Selama ini, papa tidak pernah menampar Gatan, tapi setelah kehadiran pelacur itu, papa jadi menampar anak papa sendiri. Guna-guna apa yang telah diberikannya pada papa sehingga papa jadi buta. Tidak tau lagi menimbang baik buruknya.” kata Gatan saat itu sambil meninggalkan rumah dan lebih sebulan ia tak kembali ke rumah.

Sampai sekarang, kejadian itu belum bisa dilupakannya, namun hubungannya dengan papanya telah membaik yang tanpa disadarinya, ibu tirinyalah yang telah memperbaiki semuanya. Mengembalikan keadaan semula yang tentram dan damai. Ibunya pun telah sering menasehatinya untuk menerima kehadiran ibu tirinya di rumah itu, karena bagaimana pun perempuan itu adalah istri papanya, yang telah melahirkan adik yang ternyata sangat disayanginya.

Gatan alhirnya memencet bel dan selang beberapa saat pintu terbuka dan ia melihat ibu tirinya berada di hadapannya. Ia tetap tidak peduli ketika ibu tirinya tersenyum manis padanya. Ia malah membalikkan tubuhnya meninggalkan rumah itu. ibu tirinya hanya menggeleng melihat tingkahnya yang tetap tidak berubah.

“Mama pikir, setelah belajar di negeri orang sikap kamu akan lebih dewasa dan lebih bertanggung jawab, ternyata sama sekali tidak.” kata-kata itu cukup ampuh membuat Gatan berhenti dan membalikkan tubuhnya kembali.

“Sampai kapan, sih, kamu bisa menerima mama di sini? Apa, sih, yang harus mama lakukan agar kamu benar-benar menganggap mama seorang manusia di rumah ini. Selama ini kamu menganggap mama sebagai binatang di rumah ini, tak ubahnya kucing, malahan kamu lebih peduli dengan binatang dibanding mama. Mungkin juga kamu menganggap Mama sebagai patung atau sama dengan dinding-dinding yang tak ingin berontak diapakan saja. Tapi mama punya hati Gatan. Mama ini manusia yang punya batas kesabaran.”

Gatan masih saja belum menanggapinya meskipun ia telah melihat airmata mengalir di pipi mamanya. Ia malah melewati wanita paruh baya itu dan masuk ke dalam rumah. Ia menghempaskan lelahnya di sofa.

“Mama memang mengakui telah merebut papa dari sisi kalian yang akhirnya papa membagi perhatian dan kasih sayangnya pada mama dan Gleztia, tapi ingat Gatan, kami tidak merampas papa dari kalian. Kamu tau tidak alasan apa mama mau tinggal serumah dengan kalian, ini semua karena mama tau bagaimana hubungan ibumu dengan papamu. Kami tinggal di rumah ini agar papamu kembali ke rumah ini, bukan ke rumah yang lain dan mama siap dinomorduakan.” lanjut ibu tirinya ketika melihat Gatan masih duduk di sofa yang ada di rung tamu.

Masih tetap seperti dulu, Gatan tetap tidak menyahut perkataan ibu tirinya.

“Entah alasan apa lagi, sehingga kamu tetap membenci mama? Mama sering mengalah. Lagi pula, seandainya ibu kamu tidak mendatangi mama dulu, mama juga tidak akan menikah dengan papamu.”

Gatan malah bangkit dari duduknya dan menuju kamar ibunya. Diketuknya beberapa kali, tapi tidak ada sahutan.

Ibu dan papa kamu pergi ke luar kota. Sudah dua hari dan rencananya hari ini pulang, mungkin nanti malam baru sampai. Kalau Gleztia biasanya sore baru pulang. Setiap hari ia berada di rumah temannya yang bernama Maysaroh itu.” kata ibu tirinya memberi tahu meskipun tanpa di minta oleh Gatan. “Kalau mau makan, kebetulan mama baru selesai masak.” lanjut ibu tirinya dan meninggalkannya seorang diri.

Gatan akhirnya melangkah masik menuju kamarnya. Setelah beberapa saat duduk di atas ranjangnya, ia membuka semua pakaiannya dan meraih handuk serta membalutkannya ke pinggangnya. Ia masuk ke kamar mandi dan segera terdengar suaranya yang menjerit-jerit menyanyikan sebuah lagu. Setelah selesai mandi, ia berpakaian yang rapi dan keluar bersama motor kesayangannya yang telah lama tidak dipakainya.

***

GATAN terengah-engah mengikuti laju ranjang jalan yang didorong oleh para tim medis menuju ruang rawat rumah sakit. Seorang laki-laki tua bersimbah darah tak sadarkan diri telah terserempet oleh laju motornya yang tidak terlalu kencang. Kejadian itupun bukan murni kesalahannya, hanya kebetulan saja ia yang menabrak laki-laki yang berumur sekira enam puluhan itu. Terlihat dari wajahnya yang telah keriput serta tenaga yang kelihatan dari lengannya tidak lagi mampu bekerja keras.

Semua ini gara-gara sebuah taksi yang dikemudikan oleh pengemudinya dengan ngebut dan menyalib-nyalib kendaraan lainnya yang membuatnya tidak punya pilihan lain selain meminggir tapi naasnya, tanpa disangkanya laki-laki tua itu muncul dan ia akhirnya menabrak tubuh laki-laki tua itu.

Para suster segera membersihkan luka laki-laki tua itu dan dokter langsung menanganinya setelah Gatan menyelesaikan administrasinya dengan kartu kredit yang dimilikinya. Pihak rumah sakit tidak menemukan kartu identitas dan kartu pengenal lainnya yang dimiliki laki-laki tua itu.

“Dok, siapa pun dia, tolong ditangani sebaik mungkin dan aku tidak ingin orang ini mengalami cacat sedikit pun dan kalau perlu penuhi gizinya sehingga ia bisa sehat dan gemuk lagi.” kata Gatan sambil menatap tubuh dekil laki-laki tua itu.

“Jangan khawatir anak muda! Kami dari pihak rumah sakit akan selalu member-kan pelayanan yang terbaik bagi pasien kami.” balas dokter itu. “Kalau peluang cacat tidak ada. Tapi bagaimanapun usaha kami, kami hanya berusaha, anak muda. Namun keputusannya segalanya kami kembalikan pada Yang Maha Kuasa. Berdo’alah!” kata dokter itu sambil masuk ke ruang rawat.

“Yang Maha Kuasa?” gumam Gatan pelan. “Berdo’a!” lanjutnya dengan menger-nyitkan keningnya. Ditengadahkannya kadua telapak tangannya ke atas menirukan banyak temannya yang sedang berdo’a, tapi setelah ia berbuat demikian ia tidak tahu apa yang akan diucapkannya. Segera diturunkannya kedua tangannya kembali dan beberapa saat kembali diangkatnya kedua tangannya, “Siapa pun laki-laki tua itu, sembuhkanlah dia. Siapa pun yang akan menyembuhkannya, tolong sembuhkan-lah dia. Dia tidak salah, saya…saya lah yang salah…” ucap Gatan dan menyapukan ke-dua tangannya ke wajahnya.

Setelah melakukan hal itu, yang menurutnya begitulah berdo’a, ia menghempaskan tubuhnya di kursi tunggu, diliriknya arloji yang ada dipergelangan tangannya. Pukul setengah lima sore. Baru diingatnya dan dirasanya kalau dari siang ia belum makan. Ia bangkit dan melangkahkan kakinya mencari kantin terdekat.

Meskipun ia berusaha setenang mungkin, namun perasaannya tetap was-was dengan keadaan lelaki tua itu. Apalagi ia tidak tau siapa laki-laki tua itu. Kalau laki-laki tua itu tidak sadar dalam waktu tiga hari ini, tanggung jawabnyalah siang malam menjaga laki-laki tua itu.

Perlahan ia menyadari sikap ibu tirinya selama ini kepadanya, sama sekali tidak berubah meskipun ia telah menyebutnya seorang pelacur. Perempuan yang penuh dengan lemah lembut kepada siapa pun, terlebih kepada ibu kandungnya. Ia memperlakukannya dengan penuh kasih sayang dan santun, seolah ia memperlaku-kan ibunya sendiri. Juga tidak terkecuali sikapnya tadi siang. Wanita itu menangis di hadapannya, baru kali ini ia melihat wanita itu menangis. ‘Apakah ini jawabannya? Durhaka? Apakah ini durhaka juga namanya?’ Gatan menghembuskan nafasnya dengan berat.

Senja mulai turun, Gatan masih saja terduduk di kantin, ia tidak tau harus berbuat apa saat itu. Yang jelas, ia tidak mungkin meninggalkan laki-laki tua yang sedang ter-baring di ruang rawat yang tidak seorang pun mengenalnya. Perlahan ia mening-galkan kantin itu setelah membayar dan berjalan menuju ruang rawat laki-laki itu.

Dalam ruang rawat itu, ia tertegun menatap tubuh ringkih laki-laki tua yang tak sadarkan diri itu. “Siapa gerangan bapak ini? Bagaimana jadinya kalau tidak ada seorang pun yang tau siapa ini? Kalau ia sadar dalam waktu dekat, mungkin bisa diketahui darinya. Bagaimana kalau ia belum sadar dalam waktu tiga hari ini? Akulah yang akan menjaganya selama ia belum sadarkan diri.” ucapnya lirih. Gatan segera menoleh ke arah pintu, dokter yang menangani bapak tua tadi datang menghampirinya.

“Pak, kebetulan kami sudah mengetahui siapa bapak ini. Tadi ada pengunjung yang sempat memperhatikan saat pasien lewat tadi dan saat kami selesai menanganinya, dia menjumpai saya. Singkat kata, ia memberikan alamat ini kepada saya.” kata dok-ter sambil menyerahkan secarik kertas. “Namanya Pak Abdullah!” lanjut dokter itu.

“Baiklah kalau begitu, Dok. Bagaimanapun masalahnya, hal ini harus saya sampaikan pada keluarganya. Tapi saya tidak tau siapa yang akan menjaga bapak ini, sementara saya pergi ke alamat ini. Susah juga kalau terjadi sesuatu dengan bapak ini, Dok.”

“Baiklah, Pak!” balas dokter itu sambil mengulas senyum.

“Panggil saya Gatan, Pak!” minta Gatan sambil mengulurkan tangannya pada dokter itu.

“Oh, ya, Gatan. Saya dokter Nababan.” Balas dokter itu mengenalkan dirinya sambil menerima jabatan tangan Gatan. “Menunggu Dik Gatan ke tempat bapak ini, biarlah sementara petugas jaga yang saya suruh menjaga bapak ini.”

“Kalau begitu saya ucapkan terima kasih dulu, Dok!” kata Gatan meninggalkan ruang rawat itu dengan segera. Ia meninggalkan dokter Nababan dalam ruangan rawat dengan berlari-lari kecil menuju parkir.

***

MAYSAROH dan uminya dari tadi sudah cemas. Sekali-sekali Maysaroh keluar gang memperhatikan setiap orang yang berlalu lalang di jalan raya, berharap abahnya segera pulang karena waktu Maghrib sudah berlalu. Tidak biasanya abahnya belum pulang semalam ini. Biasanya abahnya pulang sebelum waktu Ashar tiba dan biasanya selalu shalat Ashar di rumah.

Namun hari ini, sampai semalam ini abahnya belum pulang juga. Air matanya mulai meleleh dan tangisnya hampir-hampir tak mampu ditahannya lagi. Hal itu memaksanya melangkah ke luar rumah lagi dan menuju mulut gang dan berdiri di sana mematung. Bosan berdiri ia kembali lagi ke rumah dan tangis yang sejak tadi ingin pecah itu akhirnya pecah juga. Ia tidak tau minta tolong kemana saat itu. Hatinya buntu yang membuat hatinya semakin gundah. Sementara untuk minta tolong pada Gleztia, rumah Gleztia terlalu jauh dari tempat tinggalnya dan ia tak dapat menghubungi sahabatnya itu.

“Kok, jadi nangis, May?” tanya uminya tak tahan melihat kesedihan anak semata wayangnya. “Serahkan semuanya pada Allah, Nak! Seperti apapun kita berusaha, semuanya hanyalah milikNya. Percayakan padaNya, Nak.”

Maysaroh segera menghapus air matanya sambil menyadari kealpaannya pada pemilik segala yang ada. Ia bangkit dan menghampiri uminya.

“May takut terjadi sesuatu dengan abah, Mi. Sudah semalam ini, abah belum juga kembali. Pasti terjadi sesuatu dengannya.” kata Maysaroh kembali menangis di pelukan uminya.

“Serahkan pada Allah, May. Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Berkehendak. Tenangkan hatimu, Nak! Banyak-banyaklah beristighfar!” saran uminya. Maysaroh membalasnya dengan anggukan dan beberapa kali lafaz istighfar terucap dari bibirnya dengan pasrah dan bertawaqqal.

Suara ketukan di pintu membuat Maysaroh segera menghambur dari pelukan uminya menuju pintu. Namun ketika pintu terbuka, harapannya kandas. Bukan abahnya yang muncul, melainkan seorang laki-laki yang tak mereka kenal.

“Maaf, Dik, apa benar ini rumahnya Pak Abdullah?” tanya laki-laki yang tak dikenal itu dengan sopan.

“Betul. Saya putrinya dan ini ibu saya. Ada apa, Mas?” tanya Maysaroh tak sabar. Ia berharap laki-laki tak dikenal itu membawa kabar baik tentang abahnya.

“Boleh saya masuk?” Tanya laki-laki yang tak dikenal itu mengabaikan pertanyaan Maysaroh. “Jangan takut, saya tidak berniat jahat.” sambung laki-laki itu. “Apa ada tampang saya seperti orang jahat? Tidak, kan?” cecarnya ketika melihat gelagat pemilik rumah, Maysaroh dan uminya tampak ragu dan bimbang.

“Maaf!” ucap Maysaroh masih tetap menyangsikan laki-laki yang tak dikenalnya itu. “Silahkan masuk!” ajaknya. “Tapi, maaf, rumah kami hanya seperti ini, berantakan dan sempit.”

“Tak apa!” balas laki-laki itu sambil duduk setelah Maysaroh menyuruhnya duduk dengan isyarat tangannya. “Oh, ya, Bu, Dik, mungkin kedatangan saya kemari agak tidak mengenakkan…,”

“Apa maksud, Mas?” tanya Maysaroh telah mendapat gelagat yang tidak mengenakkan.

“Maafkan saya, Bu, Dik, saya memang salah dan kurang berhati-hati. Tadi siang saya menabrak Pak Abdullah…,”

“Apa?!!!?” pekik Maysaroh bangkit dengan tangis yang tidak mampu ditahannya lagi. Tangisnya benar-benar pecah dengan kerasnya. Melihat hal itu, laki-laki itu malah menjadi gugup. Umi Maysaroh melihat kegugupan laki-laki itu dan segera meraih tubuh Maysaroh ke dalam dekapannya.

“Tenangkan hatimu, Nak! Dengarkan dulu ceritanya!” pinta uminya.

“Ya, Dik. Bapak tidak apa-apa. Bapak telah ditangani oleh dokter dan dokter menerangkan kalau luka yang dialami bapak tidak mengkhawatirkan dan dalam waktu seminggu, mungkin bapak telah bisa pulang dari rumah sakit.” terang laki-laki itu. “Tenangkan hatinya, Dek. Jangan buat saya jadi gugup.” lanjutnya dengan se-nyum getir. Ia mengerti sikap gadis yang dihadapinya sekarang sangat membutuh-kan kehadiran Pak Abdullah.”

“Nak, di mana bapak di rawat?” tanya umi Maysaroh dengan cukup tenang mencoba meredam kegugupan yang melanda anak muda yang ada di depannya itu.

“Di rumah sakit PKU, Bu!” jawabnya mulai tenang.

“Rumah sakit PKU?” tanya umi Maysaroh. Ia tau, rumah sakit PKU adalah rumah sakit terkenal dan dia bisa bayangkan bagaimana biaya perobatan di sana.

“Ibu tak usah khawatir. Kesembuhan Pak Abdullah adalah tanggung jawab saya. Jadi, ibu tidak usah memikirkan masalah biaya.” jelas laki-laki itu. “Bu, Dik, kedatangan saya kemari ingin mengajak ibu melihat bapak ke rumah sakit. Berkemaslah, Bu, Dik!”

“Baiklah, Nak. Tunggu sejenak, kami berkemas dulu.” balas Umi Maysaroh. “Ayo May!” ajak uminya pada Maysaroh.

“Baiknya saya tunggu di depan gang saja, Bu.” Kata laki-laki yang tak mereka kenal itu sambil bangkit dari duduknya. Dikeluarkannya rokok dari saku jaketnya dan memasangnya sebatang.

Tak berapa lama ia menunggu di depan gang, Maysaroh dan uminya muncul mendekati laki-laki tadi. Melihat keluarga Pak Abdullah telah tiba, dia segera menyetop sebuah taksi dan mempersilahkan keduanya masuk dan menyebutkan nama rumah sakit tempat Pak Abdullah dirawat. Sementara ia mengikuti taksi dari belakang dengan motornya.

Di rumah sakit, setelah laki-laki itu membayar argo taksi, ia mengajak Maysaroh dan uminya menyusuri rumah sakit. Laki-laki itu berjalan sebelah depan sementara Maysaroh dan uminya berjalan di belakang laki-laki yang tak mereka kenal itu. Laki-laki itu mendorong sebuah pintu dan ia masuk ke dalam. Maysaroh dan uminya juga mengikuti masuk. Terlihatlah oleh Maysaroh, abahnya yang terbaring dengan kepala yang berbalut perban dengan bulatan merah darah di bagian kening sebelah kirinya.

Maysaroh dan uminya mendekati abah dengan perasaan sedih. Mereka melihat abah yang tidak sadarkan diri. Maysaroh menoleh pada laki-laki yang tidak dikenalnya itu.

“Tenang, Dik. Bapak tidak apa-apa atau agar adik percaya biarkan saya panggil dokter yang menangani bapak.” kata laki-laki itu meninggalkan ruangan itu. Tak berapa lama ia kembali dengan dr. Nababan.

“Ibu dan adik, kalian tenangkan diri kalian! Bapak tidak apa-apa. Kami hanya membius bapak karena kami kasihan melihat rintihannya yang sangat perih, terlebih setelah kami berikan obat tetes ke lukanya tadi. Ibu dan adik istirahat saja, itu ranjang untuk keluarga pasien yang menginap. Silahkan, Bu!” kata dokter itu.

“Terima kasih banyak, Dok!” balas Maysaroh.

“Masalah biaya…,” kata dokter itu sambil mengeluarkan tanda pembayaran, “Ibu dan adik tidak usah khawatir, semua sudah diselesaikan Nak Gatan ini.” kata dokter menyerahkan tanda pembayaran pada Maysaroh.

“Terima kasih baanyak, Mas!” kata Maysaroh sambil menganggukkan kepalanya dengan mengulas senyumnya. Gatan terpesona melihat senyum gadis itu, sungguh mempesonanya.

“Kalau begitu, saya permisi dulu, Ibu, Dik dan Dik Gatan, masih ada pekerjaan yang akan saya kerjakan.” kata dr. Nababan. Ketiganya mengangguk dan mengulas senyum mengiring kepergian dr. Nababan.

“Saya minta maaf ya, Bu, Dik, atas apa yang terjadi dengan Bapak. Saya memang salah. Kalau saja saya hati-hati tidak akan begini kejadiannya.” kata Gatan.

“Sudahlah, Nak! Semuanya sudah terjadi, mungkin ada hikmah dari semua ini, baik bagi Nak…”

“Gatan, Bu!”

“… baik buat Nak Gatan sendiri dan bagi kami juga.”

“Mudah-mudahan, Bu.” balas Gatan sambil melirik Maysaroh. ‘Ah, betapa sempurnanya gadis ini!’ pikir Gatan.

Gatan gelagapan sambil menoleh ke arah lain ketika Maysaroh menangkap lirikannya. Digarutnya kepalanya yang tidak gatal. Maysaroh tersenyum melihat tingkah Gatan.

“Bu, saya keluar sebentar. Nanti saya akan kembali lagi.” kata Gatan sambil melangkah keluar ruang rawat Pak Abdullah.

Hati Gatan jadi tidak tenang ketika melihat wajah Maysaroh. Hatinya benar-benar bergetar ketika melihat tatapan mata Maysaroh. Ia berjalan dengan perlahan sambil menikmati wajah Maysaroh yang bermain di benaknya. Dengan sepeda motornya, Gatan meninggalkan rumah sakit dan berjalan menyusuri jalanan yang masih ramai dengan lalu lalang kendaraan.

Hampir jam sebelas malam, ia kembali ke rumah sakit dengan membawa sesuatu dalam kontong plastik hitam berukuran besar. Dia kembali berjalan menyusuri rumah sakit menuju ruang rawat Pak Abdullah. Di tolaknya pintu setelah mengucapkan kata permisi dan yang di dalam mempersilahkan.

“Belum tidur, Bu, Dik?” tanya Gatan

“Kalau kami tidur, siapa yang akan menjaga bapak? Bagaimana kalau terjadi sesuatu?”

“Bu, ini ada nasi, tadi saya beli, mungkin ibu dan Dik May belum makan dari tadi.” kata Gatan.

“Terima kasih, Nak!” jawab umi Maysaroh dengan pelan.

“Lho, kok malah terima kasih, Bu. Sayang lho, udah dibeli tapi gak dimakan. Ayo, Bu, Dik!” ajak Gatan sambil menyodorkan kantong plastik hitam yang berukuran besar tadi setelah mengeluarkan sebungkus untuknya.

“Maaf, Mas! Boleh saya tanga sesuatu?” tanya Maysaroh dengan ragu.

“Aa…, saya ngerti maksud Dik May.” tebak Gatan. “Saya memang bukan muslim, Dik, tapi nasi ini tadi saya beli di rumah makan muslim. Tadi saya belinya di sekitar gang tempat tinggal kalian, ‘RM. BU AJI’.” kata Gatan meyakinkan.

“Maaf ya, Mas! Saya tidak bermaksud menyinggung perasaan, Mas.” kata Maysaroh.

“Ah, tidak apa, Dik, asal nasinya dimakan, ya. Saya yakin kalian belum makan malam.” pinta Gatan dengan sangat harap.

“Terima kasih, Mas.” jawab Maysaroh dengan lembut.

“Iya, Nak. Kami telah banyak menyusahkan.”

“Ah, jangan berkata seperti itu, Bu. Bukankah kita manusia ini harus saling tolong menolong.” kata Gatan sambil membuka nasinya. Perlahan ia menyuap nasinya sambil sesekali melirik Maysaroh yang sudah mulai menyuap nasinya pula.

“Apa pekerjaan bapak sehari-hari, Bu?” tanya Gatan.

“Maaf, Mas, dalam agama Islam kami tidak diperbolehkan ngobrol sedang makan kalau tidak begitu penting. Bagaimana kalau nanti saja kita bahas?”

“Oh, ya, maaf kalau begitu. Saya belum tau.”

Ketiganya larut dalam suapan demi suapan nasi. Meskipun Gatan masih ingin bertanya banyak, namun perkataan Maysaroh tadi membuatnya enggan bertanya lagi. Ia menyelesaikan makannya duluan dan membuang bungkus nasi ke tempat sampah yang tersedia.

“Selesai ini, kalau ibu dan adik mau tidur, tidur saja. Biar saya saja yang jaga bapak. Nanti kalau ada apa-apa, saya bangunkan.” kata Gatan kembali membuka pembicaraan setelah Maysaroh dan uminya menyelesaikan makannya pula.

“Lha, Nak Gatan tidak pulang rupanya? Nanti istri Nak Gatan malah menunggu di rumah.” balas umi Maysaroh.

“Hoo… saya belum menikah, Bu. Saya masih lajang.” sambut  Gatan.

“Atau orangtuanya yang kecarian.” lanjut umi Maysaroh.

“Saya telah biasa tidak pulang ke rumah, Bu, dan mereka tidak akan pernah mencari. Kalau pun mereka mencari pasti nanti di telepon.” Kata Gatan sambil mengeluarkan rokoknya. Beberapa saat asap telah mengepul di ruang rawat itu. Sejenak ia meraih ransel yang dilepasnya tadi. Dari ransel dikeluarkannya sebuah laptop. “Tidurlah, Dik May! Kamu masih sekolahkan?”

“Masih, Mas.”

“Ya, sudah. Lebih baik tidur saja. Besok pasti harus cepat pulang.” katanya dan tenggelam dengan laptop yang telah menyala sambil menikmati cemilan, minuman kaleng, dan rokok. Sesaat ia menoleh pada kedua wanita ibu dan anak itu, di lihatnya keduanya telah berbaring dan kelihatannya hampir terlena ke alam mimpi.

Jaketnya semakin dirapatkan ke tubuhnya ketika udara di rasanya semakin dingin. Dari tempatnya, sesekali ia menoleh pada Maysaroh yang tepat mengarah padanya. Ia kembali terkagum menikmati wajah gadis itu. Wajah yang berkilau ditimpa cahaya lampu dari langit-langit kamar.

Lama-lama akhirnya ia lupa dengan laptopnya dan tenggelam pula pada wajah gadis itu. Semuanya serba menakjubkan hatinya. Sesaat ditepisnya pikiran itu karena ia tahu siapa dirinya, orang yang terlahir dari keluarga yang berlatar belakang tidak mengakui keberadaan Tuhan. Sementara gadis yang sejak pertemuan pertama telah meraja dalam benak dan hatinya adalah orang yang begitu taat menjalankan agama Islam. Ia tahu, orang Islam lebih memilih orang Islam untuk jadi pasangan hidupnya. Dengan berat, dihembuskannya nafasnya. Tidak sanggup menahan sesuatu yang menghentak dalam hatinya.

‘Tapi, aku bisa memilih Islam sebagai pelabuhan terkahirku. Bukankah selama ini aku ingin sekali mengenal Islam. Meyakini adanya Tuhan yang berkuasa atas segala sesuatu yang ada di alam ini dan mengakui keesaan-Nya?’ kata Gatan pelan pada dirinya sendiri. ‘Tapi apa motivasiku memilih Islam? Apakah karena gadis ini? Ah, kenapa aku jadi menyukainya?’

Benaknya berkecamuk dengan segala apa yang dipikirkannya. Kembali dihembuskannya nafasnya dengan berat. Ditolehnya jam dinding, tak terasa telah pukul 04.30 pagi.

Ia meraih ranselnya kembali dan mengeluarkan buku yang kemarin dibacanya dalam taksi. Sambil berbaring di sofa panjang, ia melanjutkan membaca buku itu kembali. Suara musik dari laptopnya dimatikan.

“Masih belum tidur, Mas?” tanya Maysaroh. Suara Maysaroh itu membuatnya menghentikan bacaannya dan menoleh pada Maysaroh.

“Eh, kamu. Belum, nih.” jawab Gatan. “Kok, cepat bangunnya? Kan masih jam setengah lima?”

“Mau shalat Shubuh, Mas!” balas Maysaroh bangkit dari tidurnya dan berjalan menuju kamar kecil yang ada dalam ruang rawat itu. Keluar dari sana, dia bangunkan uminya sambil memakai mukena. Tak berapa lama ia telah larut dalam shalatnya. Mata Gatan tak luput dari gerak-gerik Maysaroh yang sedang menjalankan ibadah itu. Betapa indah dilihatnya gerakan-gerakan Maysaroh, sambil beribadah sambil senam pula.

Selesai shalat, Maysaroh menenggelamkan diri pula dalam bacaan ayat-ayat Al Qur’an yang memang sengaja dibawanya. Mendengar bacaan Maysaroh, Gatan bangkit dan duduk kembali. Ia tertegun mendengar bacaan Maysaroh yang begitu merdu. Hatinya dirasa bergetar dan air matanya berlinang mendengar bacaan yang maha dahsyat itu. Baru kali ini ia mendengar bacaan yang begitu merdu, yang begitu indah, dan bacaan yang benar-benar mampu menggetarkan hatinya dengan dahsyatnya, sampai-sampai air matanya berlinang mendengarnya. Ada rasa takut yang menjalar ke segenap oragan tubuhnya. Tanpa dapat ditahannya, ia terisak.

Maysaroh menghentikan bacaannya ketika mendengar suara isak tangis dan menoleh pada Gatan. Dilihatnya laki-laki itu menghapus air matanya. Maysaroh mengakhiri bacaannya dengan bacaan Alhamdulillahirabbil ‘alamin.

“Ada apa, Mas? Sepertiya, seperti menangis?”

“Ah, tidak apa-apa.” balasnya dengan suara bergetar. “Sesuatu binatang kecil masuk ke dalam mataku dan rasanya perih sekali.” lanjutnya beralasan sambil meletakkan buku yang dipegangnya dengan tertelungkup dan kedua tangannya menghampiri matanya dengan pepura kelilipan.

Meskipun Maysaroh menangkap sesuatu tapi ia tidak lagi bertanya. Matanyanya malah terpaku pada buku yang diletakkan Gatan. Dengan tanpa permisi, ia meraih buku itu dan memperhatikan halaman yang sedang dibaca Gatan tadi. Dialihkannya pandangannya pada Gatan dengan rona tanya yang begitu kelihatan.

“Mas benaran bukan Muslim?” tanya Maysaroh meyakinkan dengan memandang Gatan dan buku yang ada di tangannya bergantian.

“Untuk apa saya menyembunyikan agama saya, Dik?” tanya Gatan membalas pertanyaan Maysaroh.

“Lantas apa maksud buku ini? Bukankah ini bukunya para sufi?” cecar Maysaroh.

“Ya. Itu memang bukunya para sufi. Itu pemberian seorang teman yang berkebangsaan Mesir. Dia tahu saya sangat tertarik dengan cara ibadah orang Islam, terlebih gerakan-gerakan seperti yang Dik May lakukan tadi.” jelasnya.

“Shalat, maksud, Mas?”

“Saya tidak tahu apa namanya. Yang jelas saya sangat tertarik mengenal agama Islam.”

“Kalau bukan muslim, apa agama Mas sebenarnya?” tanya Maysaroh lagi. “Maaf, kalau saya lancang bertanya hal yang sangat pribadi.”

“Taka pa-apa.” balas Gatan sambil mengulas senyum. “Seperti halnya banyak masyarakat Indonesia yang mengikuti agama orangtuanya, demikian dengan saya yang juga mengikuti apa yang telah dianut oleh orang tua saya. Kebetulan orang tua saya memiliki paham yang tidak percaya dengan adanya Tuhan. Dengan kata lain Atheis.” lanjut Gatan.

“Tapi, akhir-akhir ini saya mulai menyadari, kehidupan di dunia ini pasti punya tujuan. Akal sehat saya tidak bisa diam menerima apa yang telah saya terima dari orang tua saya. Betapa tidak masuk akalnya, kalau apa yang kita lakukan di dunia ini tidak ada kelanjutannya. Orang-orang jahat yang bebas dari hukum dunia tidak mungkin akan bernafas enak selamanya dan orang yang terenggut keadilannya di dunia ini betapa tidak logikanya jika ia tidak menerima keadilan setelah hidup di dunia.” terangnya. Dihembuskannya nafasnya dengan ekspresi lega.

“Bisa kita bayangkan, kan, andai saja hidup di dunia ini tidak ada kelanjutannya, buat apa kita rela susah payah di dunia ini, jika tidak mengharapkan sesuatu balasan. Singkatnya, saya ingin memiliki Tuhan. Sangat tidak mungkin pula, kalau alam seluas ini tercipta sendiri atau sangat tidak mungkin alam ini buatan manusia. Jika memang alam ini ciptaan manusia, lantas siapa yang menciptakan manusia. Saya berpendapat, yang menciptakan alam ini adalah sama dengan sesuatu zat yang menciptakan manusia. Buku ini telah menjawab semua pertanyaan yang pernah aku koleksi dalam benakku. Tapi saya belum cukup puas dengan semua ini.”

“Apa yang baru Mas katakan semuanya benar adanya. Alam, manusia, langit, bumi serta seluruhnya sudah pasti mempunyai pencipta dan dalam agama yang kami yakini, agama Islam, Dialah Allah SWT.” terang Maysaroh.

“Tapi saya masih ragu karena ada dua agama yang kelihatannya sangat bertentangan dan bertolak belakang dan masing-masing menyebut dirinya adalah agama yang paling benar. Tapi hati saya sepertinya lebih tertarik dengan agama Islam.”

“Kalau sudah tertarik, kenapa tidak masuk saja, Mas?”

“Saya merasa belum mantap. Lagian saya ingin coba mengajak seluruh anggota keluarga saya untuk meninggalkan kekeliruan yang selama puluhan tahun itu.” jawabnya. “Mari kita cari sarapan di luar, biar ibu yang menunggu sebentar.” ajak Gatan. “Bu, kami cari sarapan keluar, ya!” kata Gatan menoleh pada ibu yang telah selesai shalat. Umi Maysaroh hanya mengangguk sambil senyum.

Melihat persetujuan uminya, Maysaroh bangkit sambil memeluk kedua tangannya kedinginan.

“Kamu dingin?” tanya Gatan sambil membuka jaketnya dan menyodorkan pada Maysaroh. “Nih, pakailah!”

Maysaroh tertegun menatap wajah laki-laki yang bernama Gatan. Ia benar-benar kagum dengan sifat pemuda ini, baik, perhatian, dan punya tanggung jawab yang besar. Maysaroh jadi melayang dengan pikirannya. ‘Ah, andai saja laki-laki ini seorang muslim, alangkah beruntungnya aku mengenalnya.’

“Ada apa, May?” tanya Gatan.

Suara laki-laki itu kembali menghantarnya ke dunia nyata. Dia segera melafazkan istighfar beberapa kali atas kealpaannya. Diterimanya jaket itu dan dipakainya, terasa hangat seluruh tubuhnya.

Keduanya keluar dari ruang rawat dan berjalan ke luar rumah sakit menuju tempat menjual sarapan terdekat. Beberapa makanan hangat dan minuman hangat mereka pesan dan dibawa ke ruang rawat Pak Abdullah. Ketiganya sarapan di sana.

“Umi, May pulang, ya, masih sempat memasak. Umi taka apa-apa kan tinggal sendiri di sini?”

“Tidak apa-apa. Lebih baik kamu memamang pulang dulu dan bersiap ke sekolah.”

“Bu, bagaimana kalau… May saya antar pulang?”

“Nak, kami telah banyak merepotkanmu. Apa tidak lebih baik kamu pulang dan istirahat? Semalaman ini kamu belum tidur, lho, Nak.”

“Saya sudah biasa, Bu, tidak tidur malam, bahkan siangnya saya masuk kuliah.”

“Terserah May saja kalau begitu.” putus umi Maysaroh.

Mendengar itu, Gatan menoleh pada Maysaroh meminta persetujuan sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. May hanya mengangkat kedua bahunya dan kedua tangannya. Melihat hal itu, laki-laki itu bangkit dan mengikuti Maysaroh dari belakang.

***

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler