Skip to Content

NOVEL: AKULAH MAYSAROH (BILAH 07)

Foto SIHALOHOLISTICK

MAYSAROH bangkit dari duduknya dan membereskan makanan yang masih terletak dilantai. Semuanya diangkat kembali ke dapur yang ukurannya cukup kecil dan berlantai tanah. Sebuah kompor minyak terletak di sudut dapur dan rak piring yang hampir runtuh begitu juga sebuah lemari yang dibuat abahnya dengan sederhana, hanya diperuntuk untuk menyimpan makanan pada malam hari agar terhindar dari serangan tikus.

Abahnya yang baru sebulan keluar dari rumah sakit sudah kelihatan sehat dan tubuhnya kelihatan gemuk karena multivitamin yang diberikan dokter yang mengakibatkan selera makanannya semakin tinggi. Hal ini membuat Maysaroh merasa lega dengan keadaan abahnya. Ia sangat berterima kasih pada Gatan yang telah memberikan perawatan yang terbaik bagi abahnya. Padahal sebelumnya tubuh abahnya kelihatan lebih tua dari usianya yang sebenarnya dan sekarang bahkan lebih muda dari usia yang sebenarnya.

Sehari-hari abahnya tetap menjalani aktivitasnya, menyalurkan dagangan Maysaroh ke langganan mereka dan dari sanalah mereka saat ini bergantung. Abah belum berhasil mendapatkan pekerjaan setelah di PHK tanpa pesangon dari tempat pekerjaannya. Kali ini abah selalu was-was setelah kejadian tabrakan itu. Aktivitas menyalurkan dagangan Maysaroh ini cukup memberi peluang bagi abahnya untuk mencari pekerjaan kembali.

Menunggu waktu Isya, Maysaroh membuka buku pelajarannya. Ia bertekat lulus dengan nilai yang terbaik karena waktu yang tinggal tiga bulan lagi menjelang ujian nasional bukan lagi waktu untuk berleha-leha. Namun, meskipun waktu yang semakin dekatnya, usahanya tetap dijalani dengan pengaturan waktu yang sangat disiplin.

Setelah kesibukannya menjadi Panitia Lomba Seni pada peringatan ulang tahun yayasan yang menaungi sekolah tempatnya menuntut ilmu dan baginya itulah salah satu yang terbaik yang dilakukannya untuk kegiatan rutin tahunan yayasan. Keikutsertaannya di kepanitiaan ulang tahun yayasan membawa dampak positif bagi sekolah tersebut dan ketua yayasan serta kepala sekolah sangat bangga dengan kinerjanya yang telaten.

“Kemana rencana kamu setelah dari sini, May?” tanya ketua yayasan waktu itu ketika mereka sedang dijamu di kantor guru. “Apa ada rencana untuk melanjutkan studi? Rasanya sangat sayang jika pendidikan kamu tidak dilanjutkan.”

“Kalau rencana sudah pasti ada, Pak. Tapi, apa artinya jika keadaan malah berkata lain.” jawab Maysaroh dengan wajah yang berusaha dibuat sebiasa mungkin, namun pendar kesedihan tetap tergambar diwajah cantiknya. “Tidak ada sesuatu apapun yang dapat saya andalkan lagi untuk melanjutkan pendidikan saya. Untuk mengandalkan kemauan saja di tambah kenekatan, rasanya tidak mungkin lagi, Pak. Bagi saya, sanggup menyelesaikan SMA saja sudah pantas saya syukuri dalam hidupku.” lanjutnya. “Sekarang saya hanya berniat mencari pekerjaan, apapun pekerjaannya asal halal dan yang penting abah dan umi bisa saya istirahatkan di rumah. Mereka sudah terlalu tua untuk terus bekerja memenuhi tuntutan hidup. Sekarang saya lah yang harus menghidupi mereka.”

“Betapa mulia hatimu, Nak! Sungguh! Belum pernah bapak mendengar kata-kata yang seperti ini sebelumnya.” balas ketua yayasan terkagum-kagum. “Seandainya saja yayasan ini sedang tidak punya masalah, mungkin bapak bisa mempekerjakan kamu di yayasan ini sambil kuliah, tapi sayangnya yayasan ini sedang bermasalah. Mereka, anak-anak pendiri yayasan ini masing-masing ingin menjadi pewaris yayasan ini. Tidak semua orang tau masalah ini, bahkan kepala sekolah belum bapak beri tahu. Sakarang bapak sedang sibuk menggalang para alumni untuk menyelamatkan yayasan ini.”

“Trus, bagaimana jadinya nanti para siswa, Pak? Apakah tidak memberi dampak yang negatif?” tanya Maysaroh kaget.

“Tentu saja tidak terlalu berpengaruh, May. Inikan masalah intern yayasan. Hanya saja, bila berlarut-larut dan jika tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan, pemerintah akan mengambil tindakan yang mau tak mau harus diterima. Inilah yang sedang bapak usahakan, menyelesaikan sacara kekeluargaan dengan cara mengumpulkan semua para alumni dan donatur.”

“Semoga berhasil, Pak!” ucap Maysaroh. “May, tidak bisa membantu apa-apa.”

“Oh, tidak apa-apa.”

Maysaroh kembali tersadar dengan suara seseorang di luar rumahnya. Segera ia bangkit dan berjalan ke pintu depan. Betapa kaget bercampur bahagia yang disusul rasa gugup ketika ia melihat wajah yang dirindunya ada di hadapannya malam itu. Ia pernah berpikir tak akan pernah lagi bertemu dengan laki-laki itu. Tapi tanpa disangkanya, malam itu wajah itu kembali hadir menghiasi angannya. Lama ia terdiam memandangi laki-laki itu. Matanya terpukau, bibirnya terkatup, hatinya berdegup kencang.

Laki-laki itupun sama dengan apa yang dialami oleh Maysaroh, matanya tak luput dari wajah Maysaroh yang lama bermain di angannya hingga rasa rindu memeluk jiwanya yang kering dengan kasih sayang. Di benaknya, ia membantah perkataan adiknya kalau akan jatuh cinta pada sahabatnya itu. Baginya, May adalah segala kesempurnaan dan akhir semua pengembaraannya. Ia bertekad, apapun yang terjadi ia akan menjadikan May tujuan hidupnya, meskipun ia tahu baginya tidak mudah melumpuhkan hati gadis itu. Gadis yang mempunyai seribu kekokohan yang menopang dirinya.

“Siapa, May?” tanya uminya berdiri di samping Maysaroh.

Betapa kagetnya Maysaroh mendengar suara uminya yang tiba-tiba muncul di sampingnya. Berkali-kali ia istighfar menyembunyikan kekagetannya.

“Saya, Bu. Gatan!” jawab Gatan dari luar.

“Oh, Nak Gatan! Ayo masuk!” ajak umi Maysaroh. Gatan melangkah dan menjabat tangan umi Maysaroh dengan hormat sambil menundukkan kepalanya.

“Bapak ada, Bu?” tanya Gatan sambil duduk setelah dipersilahkan oleh umi Maysaroh dengan isyarat tangannya. Tempat itu juga yang diduduki olehnya ketika pertama sekali datang ke rumah itu.

“Ada! Sebentar ibu panggilkan, ya, Nak!” jawab umi Maysaroh meninggalkan Gatan di ruangan itu.

“Ada apa, Nak?” tanya Pak Abdullah ketika sampai di ruangan tempat Gatan sambil menuju sebuah kursi dan duduk di sana.

“Tidak ada apa-apa, Pak! Hanya ingin menjenguk bapak saja.” jawab Gatan sambil bangkit dari duduknya dan menyalam tangan Pak Abdullah. “Bagaimana keadaan bapak sekarang? Apa sudah lebih baik dari sebelumnya?” lanjutnya sambil kembali duduk di tempatnya.

“Alhamdulillah, Nak!” jawab istrinya. “Beginilah keadaan bapak sekarang. Setelah keluar dari rumah sakit sebulan yang lalu, tubuh bapak sedikit gemuk, mungkin karena multivitamin yang diberikan dokter.”

“Syukurlah kalau begitu, Bu. Saya sangat senang mendengarnya.” balas Gatan menoleh pada Maysaroh yang membawa dua cangkir kopi. “Ah, kok pake repot segala, seperti tamu istimewa saja. Saya hanya sebentar di sini, hanya mampir karena kebetulan lewat saja.” Gatan berbasa-basi.

“Ini sebagai penghormatan kepada tamu, Mas. Karena dalam agama Islam itu wajib menghormati tamu. Jadi, jika kami tidak menghormati dengan menghidangkan sesuatu ala kadarnya kami kan telah mengabaikan perintah agama kami.” balas Maysaroh. “Ya, mungkin hanya ini yang bisa kami lakukan sebagai bentuk bahwa kami menghormati tamu.”

“Ah, ternyata agama Islam itu lebih indah dari apa yang saya bayangkan.” sambut Gatan. “Selama ini, saya hanya beranggapan bahwa agama Islam itu hanya terfokus sebatas hubungan penghambaan dengan Dzat Yang Maha Tinggi yang berupa ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.”

“Tentu saja tidak, dong, Mas!” balas Maysaroh sambil menghidangkan dua cangkir kopi itu. Satu buat abahnya dan satunya buat Gatan. Ia bangkit dan duduk di samping uminya. “Agama Islam itu mengatur segala yang berhubungan dengan kehidupan penganutnya dari hal yang sekecil-kecilnya sampai pada hal yang sebesar-besarnya. Semua memiliki adab, bahkan ke kamar kecil saja ada adab dan do’anya.”

Gatan memanggut-manggut dengan penjelasan May. Disadarinya selama ini bagaimana kehidupannya, hal-hal sepele selalu disepelekannya tanpa peduli boleh atau tidaknya.

“Kalau begitu, menurut Dik May, kehidupan sesuai ajaran Islam itu adalah kehidupan yang bagaimana?” tanya Gatan.

“Kalau itu yang Mas tanyakan, mungkin setiap orang akan menjawab hal yang berbeda-beda, sesuai bagaimana pandangannya terhadap Islam itu sendiri dan dimana ia meletakkan agama yang dianutnya itu, apakah sebagai dasar kehidupan atau hanya sebagai identitas belaka.”

“Kalau ke situ, saya sudah paham, Dik.” balas Gatan setelah merasa pertanyaannya belum terjawab. “Yang saya maksud pendapat Dik May sendiri!”

“Kalau menurut saya, hidup sesuai ajaran Islam itu adalah kehidupan yang sederhana dan sempurna, karena dalam agama Islam kita menemui banyak ketenangan dan ketentraman.”

“Bisa adik perjelas apa yang baru adik katakan tentang sederhana, sempurna, tenang, dan tentram itu?” lanjut Gatan mencoba mencerna jawaban Maysaroh. “Karena, saya semakin merasa dahaga mendengar jawaban Dik May tadi.”

“Kalau dahaga, diminum dulu kopinya, Mas!” kata Maysaroh sambil mengulas senyum.

Mendengar itu, Gatan juga tersenyum dan segera mengangkat cangkir kopinya dan menyeruputnya. Sebungkus rokok dikeluarkan dari saku jaketnya dan menyulut sebatang. Dalam waktu singkat, kepulan asap memenuhi ruangan rumah Maysaroh yang lebih boleh dikatakan sebuah gubuk. Gatan juga mempersilakan pada Pak Abdullah untuk mengisap rokoknya. Pak Abdullah menerima tawaran Gatan.

“Saya tidak bisa memilah keempatnya dan menjelaskan secara terpisah.” jawab Maysaroh. “Kesederhanaan dan kesempurnaan itu akan berhubungan erat dengan ketenangan dan ketentraman karena merupakan hasil dari kesederhanaan dan kesempurnaan itu. Hidup yang sederhana dan sempurna itu saya jalani dengan tanpa membebani hidup dengan berbagai problem dalam hidup karena keyakinan saya bahwa ‘Allah tidak akan menimpakan sebuah cobaan kepada ummatnya di luar kemampuan ummatnya.’ Apabila saya menemui masalah dalam kehidupan ini semuanya saya kembalikan kepada Allah SWT yang berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Sesuai dengan wasiat Rasullullah yang mengatakan ‘Aku tinggalkan bagimu dua perkara yang apabila kamu berpegang teguh kepadanya selama-lamanya kamu akan selamat dunia dan akhirat, yakni Al-Qur’an dan Sunnah.’ Sangat sederhana dan sempurna dan dari sanalah saya menemui ketenangan dan ketentraman. Tapi, walaupun demikian tidak lalu berarti saya cukup berpangku tangan saja, karena Allah memperingatkan ‘Aku tidak akan merobah nasib seseorang atau segolongan umat sebelum mereka merobahnya sendiri.’

Kembali Gatan memangut-mangut mendengar penjelasan Maysaroh. Penjelasan itu begitu mudah diterimanya. “Saya mengerti sekarang!”

“Sejak kapan nak Gatan tertarik dengan agama Islam?” tanya Pak Abdullah.

“Sudah sangat lama, Pak. Waktu saya kuliah dulu, kebetulan aku bersahabat dengan seorang laki-laki yang bernama Sobry. Aku sering mengikutinya ke pengajian-pengajian yang diisinya. Dari sanalah ia membiayai kuliahnya.”

“Nak Gatan kuliah di mana?” tanya umi Maysaroh.

“Di California, Bu.”

“California? Di mana itu?”

“Amerika, Bu! Luar negeri!”

“Jauh, ya!”

“Kalau jalan kaki, sih, iya, Bu.” jawab Gatan tertawa ringan. Ketiganya ikut terse-nyum mendengar perkataan Gatan. “Pak, apa pekerjaan bapak sehari-hari?”

“Bapak tidak memiliki lagi setelah di PHK tanpa pesangon dari tempat bapak bekerja. Sehari-hari hanya mengantarkan dagangan Maysaroh ke beberapa kedai.”

“Di PHK tanpa pesangon? Mengapa bapak tidak menuntutnya? Seharusnya perusahaan memberikan pesangon untuk karyawan yang di PHK.” balas Gatan heran. “Di perusahaan mana bapak bekerja, rupanya?”

“Bapak pikir itu bukan kesalahan perusahaan. Mereka memberhentikan semua karyawan karena mereka memang gulung tikar. Kami juga tidak menuntut karena selama bekerja di sana kami merasa diperhatikan. Sebenarnya bukan di PHK, Nak, tapi diberhentikan secara hormat dan mereka hanya bisa mengucapkan terima kasih telah bekerja sama selama ini.”

“Maukah bapak dan ibu bekerja sama dengan kantor saya?” tawar Gatan pada Pak Abdullah.

“Apa yang bisa kami kerjakan yang sudah tua ini, Nak Gatan?”

“Menyediakan makan siang untuk lima puluh pegawai kantor saya, karena jasa catering yang selama ini menanganinya kewalahan harus menyediakan sampai seratus lima puluh pegawai setiap hari.”

“Apa menunya, Nak?”

“Ayam. Terserah mau digule, goreng, rendang atau masakan khas lainnya yang bapak dan ibu bisa, yang pasti diselang-selingi. Kalau bapak dan ibu bisa menuan-sainya dengan aneka macam-macamnya, juga sangat bagus.” jawab Gatan. “Bagaima-na, Pak, Bu?”

“Bagaimana, Bu?” tanya Pak Abdullah menoleh pada istrinya.

“Bagaimana menurut kamu, May?” uminya malah menanya pendapat Maysaroh.

“Terserah abah dan umi saja. Kalau abah dan umi sanggup, May siap membantu.”

“Mulai kapan, Nak?” tanya umi Maysaroh.

“Yang pasti bukan besoklah, Bu. Bapak dan ibu kan butuh persiapan. Bagaimana kalau mulai tanggal satu bulan depan?”

“Baiklah, Nak. Insya Allah kami sanggup!”

“Terima kasih atas kesedian bapak dan ibu.” kata Gatan mengeluarkan dompetnya dan mengeluarkan uang sebanyak lima ratus ribu. “Ini, Pak, saya kasih pinjaman lunak untuk modal awal membeli beberapa perlengkapan yang mungkin dibutuhkan.” kata Gatan meletakkan uang itu di atas meja.

“Kami yang seharusnya berterima kasih pada Nak Gatan. Karena bantuan Nak Gatan, sepertinya anak kami May tidak perlu serepot kemarin lagi untuk membiayai sekolahnya sendiri. Dengan tawaran Nak Gatan ini, dia jadi punya banyak waktu untuk belajar dan mengejar cita-citanya. Apalagi sebentar lagi dia akan menghadap ujian akhir.”

“Semoga saja semua mendapat berkah, Pak. Dik May juga bisa melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi.” balas Gatan. “Apa cita-cita, Dik May?” tanya Gatan menoleh pada Maysaroh.

“Dulu saya bercita-cita ingin menjadi seorang psikolog, tapi sekarang saya tidak tau lagi bagaimana mewujudkan cita-cita itu. Mungkin saya pilih jadi ekonom saja.”

“Mengapa berubah pikiran, Dik?”

“Karena menurut saya pribadi, seorang psikolog itu terlalu banyak memiliki waktu luang, sementara saya ingin tetap bekerja dan terus bekerja.”

“Pilihan dan alasan yang bagus!” kata Gatan sambil kembali meneguk kopinya sampai habis. Rokok yang terselip dijarinya dihisap dan kemudian diletakkan di asbak yang terletak di atas meja. “Pak, Bu, Dik May, sepertinya malam sudah agak larut dan sepertinya lebih baik saya pamit saja. Saya telah mengganggu waktu istirahat bapak dan ibu serta mengganggu waktu belajar Dik May.” lanjut Gatan bangkit dari duduknya. “Sebenarnya saya masih ingin berlama-lama di sini sambil bertukar pikiran dan bertanya banyak hal tentang Islam pada Dik May, tapi kasihan Dik May jadi terganggu belajarnya.”

“Ah, tidak juga, Mas!” sambut Maysaroh.

“Nak Gatan, kami sangat berterima kasih atas tawaran yang Nak Gatan berikan kepada kami. Semoga saja masakan kami sesuai dengan selera para pegawai kantor Nak Gatan dan membuat yang lain iri ingin mencicipinya juga, sehingga tawaran itu bertambah banyak.” kata Pak Abdullah menyambut jabat tangan Gatan. Gatan beralih menjabat tangan Bu Abdullah dan selanjutnya Maysaroh.

“Kami tidak keberatan jika Nak Gatan sering-sering kemari sambil memenuhi dahaga Nak Gatan tentang agama Islam itu, karena bagi kami merupakan suatu berkah yang tak ternilai jika keinginan Nak Gatan memilih Islam itu melalui perantaraan kami dan itu lebih sangat berharga bagi kami dari apapun yang kami usahakan di atas dunia ini.”

“Kalau saya, sih, sangat senang diperbolehkan datang kemari setiap malam, hanya saja saya tidak boleh egois juga, dong, Bu. Kasihan Dik May yang harus belajar lebih giat lagi menjelang ujian akhirnya. Saya tidak mau menjadi penyebab Dik May gagal mencapai targetnya di sekolah.”

“Kalau setiap malam, sih, jujur saja saya keberatan, Mas. Tapi jika sekali seminggu mungkin saya bisa meluangkan waktu satu sampai tiga jam dan menyampaikan banyak hal pada Mas Gatan.”

“Benarkah? Suatu penghormatan bagi saya!” balas Gatan dengan senangnya. “Mungkin setiap malam libur saya bisa kemari, ya?”

“Begitu juga boleh!” jawab Maysaroh dengan hati yang senang.

“Kalau begitu, saya pamit dulu.” kata Gatan melangkah meninggalkan rumah itu dengan hati yang tak terlukiskan olehnya. Ia melihat betapa senangnya May melihatnya dan ia tahu kalau May juga bisa melihat kebahagiaannya ketika ia melihat May. “Ini langkah awal!” katanya pelan pada dirinya setelah berada di jalan raya. Tak berapa lama ia telah melaju menuju rumahnya sambil bersiul-siul lagu bahagia sepanjang jalan.

Dibenaknya saat itu hanya ada wajah gadis manis itu, meski usianya terpaut jauh, tapi ia yakin ia jatuh cinta pada gadis itu dan ia yakin seyakin-yakinnya pula kalau gadis itu menaruh perhatian padanya.

***

PAGI itu, Gatan melangkah menuju ruangannya dengan beberapa dokumen penting perusahaan di tangannya. Ia melangkah dengan sangat buru-buru, sehingga ia tidak sadar kalau sepasang mata indah seorang karyawati dikantornya memperhatikannya. Sampai ia menghilang ke dalam ruangan kerjanya, mata indah itu masih tetap memperhatikannya.

Dokumen yang dibawanya tadi segera diletakkannya di atas meja kerjanya dan segera memeriksanya. Sebuah pensil diraihnya dari sebuah gelas yang terletak di sudut mejanya. Beberapa dokumen itu mulai diperbaikinya. Tak cukup lama, konsentrasinya akhirnya buyar dengan bayangan gadis yang bernama May itu. Pensil yang tadi diputar-putarnya diletakkan di atas meja. Tubuhnya disandarkan pada sandaran kursi dan kedua telapak tangannya menyapu wajahnya yang terasa berminyak.

Sejenak ia bangkit menuju toilet yang ada di ruangannya. Dalam toilet ia mencuci mukanya dengan cream pembersih wajah. Meski ia sudah merasa segar kembali, namun wajah May malah kian menari-nari dalam benaknya. Ada rasa rindu yang menelusup ke relung hatinya. Rindu pada gadis yang benar-benar telah memberinya warna dalam hidupnya. Bahkan ia semakin mantap untuk masuk dan memeluk agama Islam. Ia benar-benar ingin bermetamorfosis kembali secara sempurna. Karena metamorfosis yang selama ini dijalani dalam hidupnya begitu kering tanpa ada sebuah tujuan yang benar-benar menjadi tujuan hidup.

Jam dipergelangan tangannya diliriknya, masih jam sepuluh. Berarti ia mesti bersabar lebih lama lagi untuk bisa kembali bertemu dengan May, gadis impiannya sementara rasa rindu dalam hatinya benar-benar membuatnya tidak berdaya. Ia keluar kembali dari toilet menuju meja kerjanya. Kembali diperhatikannya dokumen yang dikerjakannya tadi, pensil yang terletak di atas dokumen itu diraihnya dan kembali ia membenamkan dirinya pada dokumen itu.

Di waktu yang sama, di sekolah, Maysaroh keluar dari ruangan kelasnya bersama Gleztia. Seperti biasanya, keduanya segera menuju tempat yang biasa mereka singgahi ketika istirahat. Panggilan Arifin membuat langkah mereka terhenti dan menoleh ke arah suara.

“Kebetulan, Fin, aku mau ngomong sama kamu.” kata Maysaroh ketika Arifin dan Fathir telah mendekat.

“Soal apa, May?” tanya Arifin pura-pura tidak mengerti.

“Ada sesuatu yang mesti aku sampaikan ama kamu, tapi orang berdua ini gak usah tau kali, ya.”

“Boleh. Kalau gitu, kita ke sana aja!” tunjuk Arifin ke arah pohon akasia.

Gleztia dan Fathir menuju tempat yang biasa mereka tempati itu, sementara Arifin dan Maysaroh memisahkan diri ke tempat yang disebutkan Arifin tadi.

“Ada apa, May?” tanya Arifin setelah sampai di bawah pohon akasia sambil duduk di sebuah bangku. Maysaroh duduk di bangku yang ada di depannya.

“Fin, aku mau minta maaf sama kamu.” kata Maysaroh sambil menunduk.

“Maaf untuk apa, May?”

“Aku tak tau bicara dari mana dan harus bagaimana menjelaskannya padamu.” lanjut Maysaroh sambil memainkan jari jemarinya.

“Ah, May. Aku makin bingung!”

“Fin, aku telah mencoba, tapi aku tak mampu. Aku telah minta petunjuk Allah dan berkali-kali melakukan shalat istikharah, tapi perasaanku semakin tak karuan. Aku telah berpikir sematang mungkin tapi tetap semua berkata lain. Semua tak bisa aku paksakan dan tak bisa aku jalani. Entah alasan apa yang bisa aku berikan untuk menjelaskan semua ini padamu.”

“Aku mengerti, May.” jawab Arifin dengan optimis. “Ya mungkin seperti yang aku katakan dulu, seperti apapun jawaban kamu aku telah siap, sesiap-siapnya. Kamu pernah katakan ke aku kalau berani tempur berarti berani kalah, tapi aku tak menganggap ini kekalahan, kita masih bisa bersahabat, kita masih bisa bekerja sama memajukan milis kepenulisan yang dirintis Aa Wandy. Memang, cinta tak bisa dipaksakan karena aku tau prinsip kamu seperti yang pernah kamu tulis dalam cerpen kamu, cinta itu adalah takdir, karena Allah lah yang menentukan hati manusia kepada siapa ia bisa jatuh cinta dan hati yang mana bisa menerima cinta itu. Aku hanya berharap agar kamu gak perlu menghindari aku kapan dan bagaimanapun situasinya nanti, karena milis itu akan membuat kita sering bersama. Bersikap santai saja! Anggap semuanya hal biasa dan memang hal biasa, kan?”

Maysaroh mengangguk sambil mengangkat wajahnya menatap wajah Arifin. Mata Arifin begitu teduh menatapnya, penuh persahabatan. Ia tau, hati Arifin perih menerima keputusannya, tapi di matanya tak sedikitpun menampakkan kepedihan itu. Ditatapnya wajah Arifin dengan lekat-lekat, tak ada sedikitpun getar apa-apa dalam hatinya. Degub jantungnya pun normal-normal saja. Ia semakin mantap kalau keputusannya adalah yang terbaik.

“Tapi, May…, apa aku boleh tau…?”

“Apa, Fin?”

“Apa ada seseorang yang membuat hatimu bergetar. Apakah ada laki-laki yang membuatmu mantap membuat keputusan ini?”

Maysaroh tidak langsung menjawab. Ia menatap wajah Arifin sedemikian rupa dan mencoba menembus bathin laki-laki yang ada di depannya sehingga ia ingin tau dengan isi hati laki-laki itu.

“Maaf, May! Aku tidak bermaksud mengetahui hal yang sangat pribadi bagimu! Memang, cinta susah ditebak.”

“Ada, Fin!”

Arifin terdiam mendengar jawaban Maysaroh. Jawaban itu telah diduganya sebelumnya. Sebenarnya ia ingin tau siapa gerangan laki-laki yang telah berhasil mencuri hati gadis impiannya itu, tapi ia tidak ingin bertanya lagi. Suatu saat ia pasti akan tau, siapa laki-laki itu. Pastinya, laki-laki itulah yang terbaik menurutnya jika dibandingkan dirinya. Ia hanya seorang anak yang terlahir dari keluarga yang berantakan, tapi ia tidak menyesal menceritakan itu pada Maysaroh. Sudah barang tentu Maysaroh akan sependapat dengan pepatah yang mengatakan: Air cucuran atap akan turun ke bawah.

“Aku juga belum mengenalnya, Fin!” ucap Maysaroh ketika menemukan tanda tanya yang begitu besarnya di mata Arifin.

“Bagaimana bisa, May?” tanya Arifin akhirnya dengan nada heran.

“Aku juga tak mengerti, Fin. Setiap kali melihatnya hatiku benar-benar bergetar dahsyat, bahkan aku selalu merindukannya ketika aku berusaha memejamkan mataku. Telah berulang kali aku meminta petunjuk Allah, tapi apa yang aku hadapi, wajah laki-laki itu semakin meraja dalam hidupku.”

“Kamu aneh, May!”

“Ya. Aku memang aneh! Tapi, pada siapa lagi aku harus mengadu. Aku telah curhat pada Gle, tapi ia juga tak dapat berbuat banyak dan hanya berpesan, semoga hatiku tak mengantar aku pada murka-Nya. Pada umi, aku belum berani menceritakan hal ini.”

“Di mana kamu melihatnya?” tanya Arifin berganti prihatin.

“Dia pernah menabrak abah sampai masuk rumah sakit dan harus dirawat beberapa hari. Saat itulah aku mengenalnya. Namanya Gatan, seorang yang berpaham atheis dan ingin masuk Islam serta belum menikah. Aku hanya tau sampai di situ, selebihnya aku tak tau bagaimana kehidupannya sebelumnya dan sehari-hari.”

“Tapi, mengapa kamu seyakin itu, May?”

“Aku telah mengadu pada-Nya, tapi Dia malah menetapkan hatiku pada laki-laki itu. Yang pasti aku ingin membantunya mengenal Islam lebih jauh, Fin. Aku juga ingin membuatnya bersyahadat dengan keyakinan dan keikhlasannya menerima Islam sebagai agama yang haq serta menyingkirkan keraguannya yang selama ini malah membuatnya terombang-ambing dalam ketidaktahuannya.”

 “Andai kata, ia ingin masuk Islam hanya karena mendapatkan cintamu bagaimana? Ini umpamanya, May!”

“Itu berarti ia membohongi dirinya sendiri dan aku tidak akan menerima hal yang demikian itu. Dirinya saja sudah ia bohongi, bagaimana dengan aku nanti?”

“Baguslah kalau begitu!”

“Aku pengen meraup ridho-Nya seluas-luasnya, Fin!”

“Insya Allah kamu akan mendapatkan itu, May! Kebeningan nuranimu, keputihan hatimu dan kesucian jiwamu akan menjembatani semuanya.”

Dari tempat mereka, Gleztia dan Fathir, menatap ke arah Maysaroh dan Arifin.

“Sebenarnya, perasaan May ke Arifin itu gimana, sih, Gle? Keliatannya mereka gak kek orang pacaran!” tanya Fathir.

“Itukan bukan urusan kita. Kita sebagai sahabat hanya mewanti mereka jangan sampai salah kaprah dalam cinta. Biarkan saja mereka membuat cinta seperti apa mereka suka, asal gak melewati batas.”

“Kamu betul. Tapi aku merasa aneh aja.”

“Aneh apanya? Pacaran bukan berarti harus mesra-mesraan di depan umum kek gini kan? Aku rasa wajar aja mereka bersikap demikian. Lagian dalam Islam kan laki-laki dan perempuan yang tidak muhrim haram bersentuhan. Kek gak kenal May aja, kamu, Thir.”

“Ngomongin kami?” suara Maysaroh tiba-tiba muncul di belakang keduanya.

“Ya, kira-kira gitulah! Aneh, tau nggak!” Fathir menyahut.

“Aneh apanya?” tanya Maysaroh.

“Kalian gak kek orang pacaran aja kayaknya.”

“Siapa juga yang pacaran?”

“Jadi…?”

“Ya. Persahabatan itu lebih indah kali dari sekedar pacaran. Kalau pacaran, brantem langsung brabe, nyakitin hati. Tapi, kalau sobatan masih bisa diperbaiki, ego gak ada.”

“Gak salah dengar, nih, Fin?”

“Kalau May udah bilang gitu, ngapain lagi nanya aku. Keknya kamu nganggap Maysaroh ini pembual aja.”

“Kalau cerita kamu yang lewat, udah gini udah gitu.”

“Hayo…, dia cerita apa yang lewat soal aku? Berarti diam-diam kalian sering ngomongin aku, ya? Tanpa izin dulu.”

“Cowok, kalo ngomongin cewek, itu hal lumrah, May!”

“Iya. Tapi, yang diomongin apaan?”

“Yah, ceritanya Arifin dah optimis banget jadi pacarnya kamu. Bahkan udah ngomongin nikah, lho.”

“Fin…?” Maysaroh menoleh pada Arifin.

“May, ada pepatah yang bilang gini: gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang di langit. Aku nganggap kamu sesuatu yang istimewa buat aku, sesuatu yang sempurna dan aku pikir, jika itu Allah ridhoi untuk aku, apa salah, aku bercita-cita sejauh itu, setinggi itu? Nggak, kan?”

“Iya, tapi akhirnya kamu kecewakan ngedapati hal yang gak sama dengan mimpi itu?”

“Kecewa itu pasti, May. Tapi, gak berarti aku kalah. Justru dengan kejadian ini aku makin sadar kalau aku itu siapa, kamu itu siapa. Aku memang harusnya sadar kalau aku itu berasal dari keluarga yang berantakan.”

“Nah, ini nih yang aku paling gak suka. Kamu gak ikhlas nerima semuanya, padahal keikhlasan itu salah satu syarat keimanan seseorang. Kamu tau kan rukun iman yang ke lima, Percaya kepada qadar baik dan buruk datangnya dari Allah. Kalau kamu masih berpikir ke sana, kamu akan semakin tersiksa kalau setiap ketemu ama aku. Sementara lingkungan kita gak bisa dipisahin. Organisasi kepenulisan itu akan tetap membuat kita bersama, Fin. Jadi, aku pikir berusahalah ikhlas menerima kenyataan biar beban kamu menjalani hidup ini gak berat. Allah gak akan merubah nasib kamu kalau kamu gak berusaha ngerubahnya.” jelas Maysaroh. “Bisakan, Fin?” May meyakinkan Arifin sambil membuka kotak bekalnya.

“Insya Allah, May!” jawab Arifin dengan nada ragu.

“Yakinkanlah, Fin! Biar kamu gak merasa tertekan dengan perasaan itu. Bagaimana kamu bisa melahirkan karya-karya yang mungkin bisa merubah peradaban sekarang menjadi perdaban yang lebih baik sementara kamu membelenggu jiwamu dengan pikiran yang akhirnya akan menjatuhkan kamu juga.” kata Maysaroh. Kue yang ada dikotaknya diambilnya satu dan kotaknya digeser ke depan Arifin.

Arifin memejamkan matanya sambil menghirup udara sebanyak-banyaknya dan menghembuskannya dengan sangat perlahan.

“Insya Allah, May!” jawabnya mantap.

“Terima kasih, Fin!” balas Maysaroh. “Nih, dicicipi!” lanjut Maysaroh kembali mendekatkan kotak kuenya ke hadapan Arifin. “Fin, ada tiga rahasia yang gak bisa kita pecahkan dalam hidup ini; rejeki, jodoh, dan maut. Sampai dimana pun kita berjalan, pada siapa pun kita bertanya, buku manapun yang menjadi referensi kita, tetap saja ketiga rahasia ini tidak bisa kita pecahkan. Karena itu adalah rahasia Allah. Kalau ada orang yang mengaku bisa memecahkan salah satu atau sekaligus ketiganya, perlu kita ragukan keimanan orang tersebut.”

“Ya. Itu artinya kamu masih berpeluang, Fin. Jika sekarang kamu masih yakin dengan perasaan kamu, maka kamu masih bisa berharap pada Allah. Berdo’alah yang banyak, beribadahlah dengan ikhlas, insya Allah, Allah akan menunjukkan jalan. Kamu harus yakin, jodoh itu di tangan Allah.” kata Fathir.

“Insya Allah!” ucap Arifin.

“Gimana perkembangan milis kepenulisan kita, Fin?”

“Untuk sementara keliatannya masih pakum, belum ada saran apa-apa dari anggota. Aa Wandy sangat menyayangkan ketidakhadiran kalian waktu pertemuan itu. Aa Wandy berpikir, dari kalian lah ide-ide cemerlang itu yang pada waktunya akan memajukan milis kita. Tapi aku juga gak bisa ngasih alasan ketidakhadiran kalian waktu itu, karena kalian tidak mau memberi tahu.”

“Maafkan kami!” sela Gleztia. “Waktu itu abah Maysaroh masuk rumah sakit.”

“Ya, sudahlah! Tapi, Aa Wandy berharap pertemuan bulan ini kalian hadir, karena ada beberapa program yang akan kita bicarakan. Harusnya, sih, sudah dibicarakan pertemuan yang lalu, tapi karena kalian gak datang, Aa Wandy menundanya ke pertemuan bulan ini.”

“Insya Allah, pertemuan nanti kami datang, karena beberapa hari yang lalu abah dan umi sudah dapat pekerjaan tetap dari sebuah perusahaan, menyediakan makan siang untuk lima puluh pegawai dan itu artinya aku sudah tidak sesibuk dulu, waktu abah menganggur.”

Pembicaraan mereka terhenti karena bel masuk telah berbunyi. mereka bergegas meninggalkan tempat itu dan masuk ke kelas masing-masing. Maysaroh dan Gleztia masuk ke kelas IPA-2 sementara Arifin dan Fathir masuk ke kelas IPS-1.

***

GATAN tersenyum melihat para pegawainya yang berebut masakan Pak Abdullah, sampai-sampai dus tempat nasi kotak milik Pak Abdullah tak berbentuk lagi, sementara dus nasi kotak yang satunya sepertinya enggan mereka dekati. Masakan tanpa label nama itu ternyata lebih disukai oleh pegawainya daripada masakan dengan label nama yang sudah mahsyur, bahkan sudah sekian lama menjadi menu makan siang mereka.

Dari ruangannya yang dibatasi oleh kaca gelap yang hanya bisa melihat dari dalam ruangannya keluar, Gatan masih melihat ada beberapa kotak nasi yang tersisa dalam dus milik Pak Abdullah, sementara dus yang satu lagi belum disentuh oleh para pegawainya. Dalam hati ia menghitung pegawainya yang sedang sibuk dengan santap siangnya sambil mengobrol dengan rekan kerja yang lain. Ada empat puluh dua orang pegawai yang berada di ruang makan saat itu, berarti ada sekitar lima puluh delapan orang pegawai staf utama lagi yang masih belum makan siang.

Gatan akhirnya ke luar dari ruangannya dan melangkah mendekati para pegawainya yang sedang asyik menikmati makan siang.

“Ehmmmm,…!” Gatan mendehem. Serentak semua menoleh pada Gatan. “Bagaimana menu makan siang hari ini?” tanya Gatan. Ini hari ketiga masakan Pak Abdullah menjajal lidah para pegawainya.

“Wah, mantap tenan, Pak!” sahut kepala personalianya yang berusia jauh di atasnya.

“Bapak mau coba?” tanya Angel, sekretarisnya mencoba mencari perhatian bos muda itu sambil bangkit dari duduknya dan menarik sebuah kursi yang berada di sampingnya. “Silakan, Pak!” tawarnya.

“Boleh! Sepertinya memang enak, keliatan dari dus yang satunya yang belum disentuh.” balas Gatan sambil duduk di kursi yang disodorkan Angel.

Angel melangkah ke arah dus yang sudah tak berbentuk itu lagi. Dia mengambil sekotak bersama sebuah aqua botol dan dengan sangat hormat meletakkannya di hadapan Gatan.

“Makasih!” ucap Gatan sambil senyum. “Yang lain mana? Kok belum pada makan siang?” Gatan menoleh pada kepala personalianya.

“Mereka pada shalat, Pak!”

“Oh…, bagus itu. Sebaiknya memang begitu. Selesaikan dulu kewajiban, baru kalau mau makan ya makan. Saya sangat senang melihatnya, meskipun saya bukan muslim, tapi saya bangga melihat orang yang religius, agamais. Dan, jangan lupa do’akan juga kemajuan perusahaan kita, karena kemajuan perusahaan kita akan berpengaruh dengan kesejahteraan kita semua.”

“Pak, saya pikir bapak sudah pantas untuk berkeluarga.” saran kepala bagian keuangan perusahaan.

“Saya setuju, Bu! Dari tempat duduk saya ini saya melihat Dik Angel sangat serasi dengan bapak. Cantik, pinter, baik, disiplin kerjanya tinggi dan banyak keunggulan lainnya.”

Mendengar itu, hati Angel merasa mekar dan wajahnya bersemu merah mendengar godaan rekan kepala personalia. Rekan yang satu itu memang tempatnya curhat tentang perasaannya pada direktur muda itu.

“Jangan berlebihan, Pak Sisyo. Saya tidak seistimewa yang kalian kira. Masih banyak kekurangan saya dalam hidup ini. Hanya kebetulan saja saya anak pemilik perusahaan ini yang tentunya adalah pewaris. Kalau masalah ilmu dan pengalaman, saya belum apa-apanya bagi kalian.”

“Justru malah bapak yang berlebihan. Bapak menimba ilmu ke luar negeri kok dibilang belum ada apa-apanya dibanding kami. Jelas ada, Pak. Dari segi tempatnya saja sudah beda, bagaimana pula dengan kualitas dan kuantitasnya, jelas ketinggalan.”

“Jangan menilai seseorang dari penampilan luarnya saja karena penampilan bukan jaminan bagi seseorang untuk sukses.”

“Tapi, ngomong-ngomong seperti apa, sih, pendamping yang bapak impikan? Siapa tau kami bisa membantu bapak.” kembali kepala bagian keuangan berbicara.

“Masalah itu, saya tidak memilih orang yang terlalu istimewa, saya mengharapkan orang yang sederhana tapi pemikirannya bisa melampaui eksistensinya sendiri, berpikiran maju dan cerdas….” terang Gatan sambil meminum air dan mencuci tangannya.

Pak Sisyo mengurai senyumnya pada Angel yang saat itu menoleh padanya. Angel membalas dengan senyuman bahagia.

“… dan yang paling penting,” kata Gatan melanjutkan sambil mengeluarkan rokok dari saku celananya. “… wanita itu adalah seorang muslim berhati emas.”

Wajah Angel segera kecut mendengar kelanjutan kata-kata Gatan, air mukanya berubah menjadi keruh karena kata-kata Gatan telah melemparkannya dari impiannya menjadi istri Gatan. Ia bukan seorang muslim dan itu berarti bukan dia yang menjadi istri impian direktur muda itu. Matanya tertuju pada Pak Sisyo yang juga sangat kaget mendengar perkataan Gatan. Matanya tak sanggup mendengar tatapan mata Angel yang bebias kekecewaan.

“Apa saya tidak salah dengar, Pak?” tanya Pak Sisyo meyakinkan Gatan.

“Tentu saja tidak. Saya sudah lama tertarik dengan Islam dan itulah yang akan menjadi pilihan saya. Saat keyakinan saya pada Islam begitu teguhnya saya dipertemukan dengan seorang wanita yang membuat saya malah ketakutan dengan kehidupan yang selama ini saya jalani. Ketakutan karena selama ini saya bermetamorfosis pada jalan yang keliru dan gadis itulah yang saya impikan saat ini.” jawab Gatan mantap.

“Tapi direktur besar, orangtua Pak Gatan adalah orang yang berpaham atheis. Apa beliau memberikan restu kalau bapak ingin masuk Islam?”

“Papa orangnya demokratis dan saya yakin beliau pasti merestuinya. Lagian beliau itu orangnya sangat menjunjung azas Pancasila dan UUD 1945. Saya hanya ingin mencari kebenaran dalam hidup ini dan saya menemui kebenaran yang sesuai dengan hati nurani saya dalam Islam. Tapi bukan berarti saya mengatakan agama yang kalian anut itu salah. Ini hanya pendapat saya semata-mata.”

Angel bangkit dari duduknya dengan perasaan yang hancur berantakan. Semua yang pernah menjadi impiannya dalam sekejap tak lagi berbentuk. Kekecewaan yang dirasakannya tak lagi terperikan olehnya.

“Sebentar, Ngel! Apa ada jadwal penting untuk hari Senin?” tanya Gatan mencegat Angel meninggalkan tempatnya sambil mematik korek gas dan menghisap rokoknya dalam-dalam. Mendengar itu, Angel kembali duduk di tempatnya dan membuka agendanya.

“Tidak ada, Pak. Hari Selasa baru ada pertemuan dengan staf PT. Sihaloho Media Group membahas agenda kerja sama yang sempat tertunda beberapa waktu lalu.” terang Angel.

“Baiklah kalau begitu.” kata Gatan bangkit dari tempatnya dan meninggalkan semua pegawainya yang masih betah di ruang makan dan ada beberapa pegawai yang baru masuk untuk makan setelah selesai shalat dzuhur.

Gatan kembali masuk ke dalam ruangan kerjanya. Beberapa pekerjaan yang dibutuhkannya untuk melanjutkan pertemuannya dengan staf PT. Sihaloho Media Group dan dimasukkan ke dalam tas kerjanya. Di rumah ia mempersiapkan segala yang dibutuhkannya untuk menjalin kerja sama dengan PT. Sihaloho Media Group.

***

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler