Skip to Content

NOVEL: DI SATU SISI HATI (...persahabatan, cinta, dan dendam....) (Bag. 01)

Foto SIHALOHOLISTICK

SATU

 

SUARA  derit ban mobil yang tiba-tiba di rem pengemudinya hampir saja menabrak seorang laki-laki berusia kira-kira enam belas tahun. Laki-laki remaja itu berpakaian sekenanya saja, baju kaos oblong lusuh dan pudar, pakai sandal jepit dan mengenakan celana motif kotak-kotak berwarna hijau pupus. Celananya hanya sampai sebatas lutut saja.

Dia begitu kaget mendengar suara ban yang mencericit dan tanpa pikir panjang ia segera melompat ke depan, bagian sebelah kanan mobil. Akibat kegegabahannya dengkul dan sikunya terkelupas dan mengeluarkan darah. Ia mengerang kesakitan, karena luka itu terasa perih.

Seorang gadis bertubuh semampai, berparas cantik, keluar dari mobil Daihatsu Xenia berwarna silver keluaran tahun lalu. Rambut gadis itu diikat begitu saja, bibirnya dilapisi lipstik warna transparan yang dioles tipis, wajahnya di lapisi dengan make-up yang juga dioles tipis, matanya bulat dan indah. Dia keluar dari mobil dengan menyugingkan senyum pada laki-laki yang masih meringis kesakitan. Dia melangkah mendekati laki-laki itu.

“Heh, kalo mo nyebrang liat-liat dulu, emang lo pikir ini jalan nenek moyang lo, apa? Dasar sialan! Untung lo tadi gak mampus, coba kalo lo mampus, gue juga yang repot. Brengsek! Muncul-muncul bikin bete lo!” umpat gadis itu kasar. “Nyita waktu gue aja, lo.” lanjutnya.

“Maaf Mbak, aku tadi ngelamun, tapi aku gak bermaksud nyita waktu Mbak. Silahkan lanjutin perjalanannya kalau emang buru-buru. Lukanya ringan, hanya terkelupas, ntar juga bisa diobati sendiri.” balas laki-laki itu. “Tapi aku minta jangan ngebut lagi Mbak, ini bukan kota yang spesial ada zebra cross-nya, orang sering nyebrang di sembarang tempat.” lanjutnya dengan lembut.

“Oh ya, ini uang buat ngobati luka lo.” kata gadis itu sambil ngulurin uang dua puluh ribuan. “Lo gak usah nasihati gue, gue bukan orang bego yang butuh nasihat dari orang kampung kek lo. Udah miskin, kotor, sok nasehatin orang lagi. Mending lo dengerin gue, sekarang lo pergi mandi biar lo gak kek kambing.”

Laki-laki itu segera bangkit sambil memegangi dengkulnya yang terkelupas.

“Gak usah, Mbak. Aku gak bisa nerima uang itu, mungkin  lebih   baik  digunakan  buat  hal  lain  yang  lebih bermanfaat semisal panti asuhan, mungkin Tuhan lebih ridho, Mbak ngasih ke situ.” balas laki-laki itu dengan tetap lemah  lembut.  Sebab  ia  sadar,  percuma  melawan  orang kaya, karena sebesar apapun kesalahan orang kaya, orang miskin lebih salah. Sebab, orang kaya bisa menyewa berpuluh-puluh pengacara buat membela dirinya dan bukan rahasia umum lagi kalau keadilan udah masuk bursa efek dan tanpa malu-malu di tawar secara terang-terangan.

“Alah, sok belagu lagi. Udah tau miskin masih aja sok. Lo pikir, lo itu siapa, lo cuman gembel yang gak berarti apa-apa sama sekali. Baru bisa bikin presiden pusing aja udah bangga. Asal lo tau aja, bokap gue bisa nawar harga diri lo. Lagian berapalah harga diri orang kek lo. Palingan rumah lo cuman terbuat dari bilik dan beratap rumbia, seperti kandang kambing. Si Katty aja, anjing kesayangan gue udah di buatin kandang dari batu pualam asli.” kata gadis cantik itu tertawa sinis.

Mendengar hal itu, kesabaran laki-laki tadi habis, amarahnya memuncak hingga ke ubun-ubunnya, giginya gemeretak, mukanya merah padam dan dadanya kembang kempis.

“Eh... orang kaya, simpan aja uang lo, lo pikir semua bisa di beli pake uang? Dasar sombong! Kami emang orang miskin, tapi lo gak bakal bisa beli harga diri kami. Asal lo tau aja , kami bukan orang murahan, mata kami gak bakal merah liat uang banyak, kuping kami gak bakal naik dengar duit ribuan milyar sekalipun. Lo jual negara ini pun gak bakal biasa nawar harga diri kami. Orang kek lo emang taunya cuma duit, duit dan duit. Demi duit kalian menghalalkan segala cara, kalian gak tau menahu apa duit itu hasil korupsi atau nipu yang penting duit ada dan prinsip kalian kasih uang habis perkara.” kata laki-laki itu masih geram. “Tapi lo ingat, lo bisa kek gitu cuma di pengadilan bukan di sini. Ingat satu hal lagi, hidup bukan cuma urusan duit, tapi dengan ini....” kata laki-laki itu lantang menunjuk kepalanya. “... dan ini.” lanjutnya menunjuk dadanya.

“Ah, banyak omong lo, emang lo pikir lo itu siapa, hah? Lo pikir lo bisa hidup dengan isi kepala lo doang trus dengan ati lo? Jangan mimpi, apalagi zaman sekarang. Dasar sombong!” balas gadis itu tak kalah lantangnya.

“Lo yang sombong, lo pikir lo bisa nyaman ama duit korupsi” kata laki-laki itu lebih lantang.

“Heh, siapa yang korupsi?”

“Siapa lagi kalo bukan bokap lo, emang eyang lo masih idup apa, eyang lo udah jadi santapan satpam akhirat. Dasar brengsek, lo! Kalian gak ubahnya kek anjing kudisan.” teriak laki-laki tadi dengan nada suara yang masih lantang.

Gadis itu segera beranjak dari tempatnya sambil melempar uang tadi ke wajah laki-laki itu. Segera ia masuk ke dalam mobil Daihatsu Xenia , setelah mobil menyala , mobil itu melaju dengan kecepatan tinggi.

Laki-laki itu hanya bisa menatap mobil itu dengan tatapan tajam, mobil itu berlalu dengan sisa-sisa asap kesombongannya. Uang tadi di pungutnya dan dimasukkan ke dalam kantong celananya. Dengan agak terpincang-pincang, laki-laki itu melangkah. Meski terasa nyeri dan ngilu, namun tetap dipaksa-paksakannya juga. Di tempat kerjanya ia di tegor oleh bos-nya.

“Kamu kenapa, Ris, kok jalannya beda dari kemarin-kemarin? Ada sensasi baru, nih, kayaknya?”

“Sensasi baru apa, Pak? Yang ada malah sial.” balas Aris dengan sedikit senyum, ia tau Pak Imron, bosnya sedang bercanda.

“Sial gimana, Ris?”

“Gimana gak sial, barusan aku hampir tewas di gilas mobil, untunglah aku masih bisa ngelak secepat mungkin. Trus bukannya malah ditanyai yang mana sakit, eh... malah dimaki-maki lagi. Gadis itu emang sombong, boro-boro, deh, Pak ketemu dia lagi.” balas Aris masih kesal.

“Ya, sudah, yang seperti itu gak usah diladeni, tapi kalo udah keterlaluan terpaksa dilawan. Kita juga orang yang punya harga diri.”

“Inilah tadi, Pak. Dia malah nawar harga diri aku di tengah jalan.”

“Sudahlah, kalo ngomongin orang kek gitu terus, yang ada malah luka lo tambah nyeri. Mendingan kamu bersihkan dan tetesi ama betadine. Abis itu antar pesanan Pak Riko, Bu Ani, dan Teh Wiwik.” kata Pak Imron.

“Ya, Pak.” kata Aris berjalan ke belakang untuk mengurusi lukanya.

Keluar dari situ, ia segera menyiapkan becak yang biasa digunakannya untuk mengantar pesanan. Satu persatu pesanan itu dinaikkan ke atas becak. Setelah menerima bonnya ia pamit.

“Jangan ketukar, Ris!”

“Tentu saja, Pak.” balas Aries. “Pak, besok aku terpaksa datang siang, soalnya besok mulai masuk sekolah.”

“Wah, rupanya besok mulai sekolah, ya?”

“Iya, Pak.” kata Aris menyalakan mesin dan segera tancap gas.

Hanya beberapa kejap saja, ia sudah kembali ke toko sembako tempatnya bekerja dan sampai di situ, kembali ia memuat pesanan ke atas becak dan segera kembali mengantar pesanan-pesanan itu. Hanya selang setengah jam, ia sudah kembali lagi.

Pak Imron sangat senang melihat kerja Aris yang sangat baik. Sudah sejak lama ia ingin mengajak Aris tinggal bersamanya, seandainya Aris mau, ia bersedia menyekolahkan Aris sampai ke perguruan tinggi nanti. Memang dia tak punya anak, ia tak tau siapa yang akan meneruskan usahanya kelak, kalau ia sudah meninggal. Ia berharap Arislah yang melanjutkannya. Sore itu, sebelum Aris pulang, ia mengajak Aris ngobrol sambil menikmati makanan yang dibelinya tadi.

“Ris, bapak lihat kerja kamu kian hari kian baik. Terus terang bapak suka. Pelanggan kita semakin banyak dan semua memuji kamu. Mereka puas akan layanan yang kamu berikan, baik dalam mengantar pesanan maupun yang secara langsung datang kemari. Mereka memuji keramah-tamahan kamu, kesopanan kamu, juga tutur bahasa kamu. Bapak ikut bangga padamu. Pantaslah ibumu begitu menyayangi kamu.”

“Makasih, Pak. Jangan terlalu memuji, semua berkat bapak juga. Bapak yang ajari aku ladeni pembeli. Bapak juga yang bilang kalau pembeli itu raja. Aris juga dapat pengalaman dalam berdagang, ini akan jadi pelajaran berharga dan modal utama bagi Aris untuk masa depan.” balas Aris disela-sela suapannya.

“Itulah, Ris, bapak juga kadang-kadang berpikir, siapa yang bakal nerusin usaha bapak kelak, sementara kamu tau Bapak tak punya anak.”

“Jangan mendahului Gusti Allah, Pak!”

“Tapi kematian itu sebuah kepastian dan tak bisa ditunda-tunda. Kalau sampai waktunya, apapun alasannya harus dilewati juga.”

“Aris ngerti, Pak. Tapi berbicara masalah itu, artinya ingin mendahului takdir Allah.”

“Itulah sebabnya sudah sejak lama bapak ingin mengajak kamu tinggal bersama dan mengangkat kamu jadi anak angkat, biaya sekolah kamu biar bapak yang tanggung bahkan sampai ke Perguruan Tinggi nanti. Tapi ibu kamu pastilah ndak kasih izin. Bapak cuma mau dengar langsung dari kamu. Gimana menurut kamu, Ris?”

“Gimana, ya, Pak...?” kata Aris bimbang. “Aris ndak bisa jawab sendiri. Kalau Aris tinggal sama bapak, siapa yang bantu ibu, sedangkan Lena orangnya bandel, keras kepala dan sedikit gengsian, bisa-bisa ibu kewalahan ngadapi dia, selama ini dia takut karena takut gak dikasih jajan saja dan Ario masih terlalu muda untuk tau semua masalah seperti ini. Seandainya ayah masih ada, mungkin Aris bisa jawab sekarang.”

“Ndak usah buru-buru. Lebih baik bicarakan sama ibumu dulu.”

“Kalau gitu, Aris bicarakan dengan ibu dulu ya, Pak.” katanya sambil membereskan bekas makanan mereka dan mencuci piring yang kotor. Dia keluar setelah selesai cuci piring. “Aris pamit pulang, Pak!”

“O, ya, Ris, ini uang kamu, besok sekolah dan pasti banyak keperluan dan ini sedikit buku untuk kamu dan adik kamu sekedar nambah kekurangannya.”

“Makasih banyak, Pak. Ini juga udah lebih dari cukup. Aris pamit, Pak!” kata Aris bangkit dari duduknya dan meninggalkan Pak Imron yang menatapnya dengan tersenyum dari tempat duduknya.

Di rumah, Aris langsung bersiap mandi setelah keluar dari kamar mengambil perlengkapan mandinya. Selesai mandi ia kembali ke dalam kamar dan keluar lagi setelah memakai baju dan menuju ruang tamu. Ia duduk di atas sofa hasil jerih payah almarhum ayahnya.

Ruang tamu yang teramat sederhana tanpa diisi perabotan apa-apa. Hanya beberapa potret kenangan silam yang bergantungan di situ.

Rumah itu juga teramat sederhana, namun hanya itu satu-satunya barang berharga yang masih dimiliki mereka  dan peninggalan mendiang ayahnya.

Matanya tertuju pada sebuah potret yang berada di dinding dan telah memaksanya berdiri dan mengambil potret itu. Potret merek sekeluarga di depan rumah saat lebaran lima tahun silam, sebelum ayahnya meninggalkan mereka untuk selama-lamanya. Kecelakaan naas itu telah merenggut nyawa ayahnya. Waktu itu Ario, adik bungsunya masih berusia dua tahun dan ia masih kelas enam eS-De.

Ia akhirnya lelap dalam lamunannya, tawaran Pak Imron masih terngiang di telinganya. Tapi, keputusan apapun tak dapat diambilnya. Kalau ia minta izin kepada ibunya pastilah ibunya akan mengembalikan padanya. Tapi, ia tak ingin jauh dari ibunya, meskipun suatu saat ia akan berpisah dengan ibunya, yang pasti bukan secepat itu.

Ia juga teringat pesan dan nasihat almarhum ayahnya, agar ia tetap menjaga ibu dan adik-adiknya dan semua telah diikrarkannya dalam hatinya di saat jenazah ayahnya digotong ke pemakaman umum.

Saat makan malam, ia hanya makan sedikit, ibunya heran melihatnya.

“Kok, makannya sedikit, Ris? Apa masakannya ndak enak? Ini masakan Lena, lho. Atau kamu sakit?”

“Iya, Kak, kok masakan aku gak dimakan banyak? Apa emang gak enak? Enakan, Yo?”

“Lumayan. Mirip masakan ibu, wong, yang ngajari juga ibu.”

“Len, masakannya enak, kok. Kakak sebenarnya udah kenyang, tadi makan dulu di tempat kerja.” kata Aris memberi alasan. “Bu, Aris sehat-sehat aja, kok.”

“Ya, udah kalo gitu. Tapi, bukunya ada kan, Kak.”

“Tenang aja. Gak mungkin kakak lupa, ntar aja selesai makan.” kata Aris. “Baju udah di setrika, kan?”

“Udah, Kak!”

“Bu, Aris ke depan dulu. Badan Aris capek, tadi ngantar pesanan banyak.”

Ibunya mengangguk membalas perkataan Aris. Ibunya kasihan pada anak sulungnya. Masih remaja sudah bekerja, mana waktu belajar, waktu bergaul. Bagaimana bisa mengejar cita-cita kalau terus disibukkan dengan pekerjaan bisik ibunya dalam hati. Namun ia tak bisa menghalangi niat anaknya. Dengan anaknya bekerja, ia bisa menghemat sedikit demi sedikit untuk persiapan yang tak terduga-duga.

Aris kembali larut dalam lamunannya, tawaran Pak Imron kembali mengiang. Di satu sisi ia ingin mengejar impiannya dan mungkin dengan menerima tawaran Pak Imron ia punya sedikit waktu untuk memikirkannya secara tenang. Tapi di sisi lain, ia tak kuat melihat ibunya yang mulai tua, hingga keyakinannya pun dibulatkannya untuk mendampingi ibunya menopang kehidupan yang kian susah.

Merasa tidak nyaman di ruang tamu, ia beranjak keluar rumah, apa lagi cuaca malam itu agak panas. Ia pergi ke teras rumah dan duduk begitu saja di lantai agar orang-orang yang lewat tidak begitu leluasa memperhatikannya, karena terhalang oleh bunga-bunga yang di tanam Lena.

Lagi-lagi ia terlelap dalam lamunannya. Seandainya ayah masih ada, pastilah aku gak akan sesusah ini ngambil keputusan dan ayah pasti memberi kebebasan, katanya dalam hati.

“Ris, kamu di sini toh, Nak?” suara ibunya membuyarkan lamunannya.

“Eh, ibu, sudah selesai makannya, Bu.” Kata Aries menyembunyikan kekagetannya.

“Sudah!” balas ibunya. “Kamu kenapa, Ris, kok dari tadi kamu ibu perhatikan seperti orang gundah saja? Kamu kenapa sebenarnya? Apa ada masalah?”

“Gak ada papa, Bu.”

“Gak ada papa, kok ngelamun gitu, seperti ditinggal mati istri saja. Jangan biasakan ngelamun, ndak baik, Nak.”

Aries terdiam mendengar perkataan ibunya, ia tak mau melihat ibunya sedih.

“Bu...!” katanya akhirnya.

Ibunya hanya menoleh tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, hanya duduk di sampingnya.

“...tadi Pak Imron ajak Aris tinggal dengannya, katanya Aris akan disekolahkan sampai ke Perguruan Tinggi.”

“Lalu, kamu jawab apa?”

“Aris belum jawab apa-apa, Bu. Aris ndak bisa putuskan sendiri, itulah sebabnya Aris ndak yakin. Bagaimana menurut ibu tawaran Pak Imron itu?”

“Kamu seharusnya sudah bisa menentukan yang terbaik untuk kamu.”

“Menentukan hal yang terbaik buat Aris bukan hal yang susah, Bu. Tapi, Aris merasa bukan hal yang terbaik buat Aris saja yang harus Aris pikirkan, tapi keluarga ini juga, untuk Lena, Ario, dan Ibu.”

“Kamu benar, kamu harus bisa memikirkan yang terbaik buat kamu tanpa mengorbankan adik-adikmu. Sebagai anak tertua, kamu gak boleh egois, mengalah lebih baik daripada ribut dengan adik-adikmu.” kata ibunya. “Cuma ibu ndak ingin ngalangi kamu. Kalau kamu mau, ya terima. Tapi, kalau ndak , omongin baik-baik, jangan sampai Pak Imron merasa tersinggung. Ibu ndak larang kamu kalau mau.”

“Kalau maslah mau-ndaknya, Aries malah sangat pengen, Bu. Di situ Aris bisa meluangkan sedikit waktu untuk berpikir secara terbuka tentang masa depan Aris kelak. Tapi, Aris ndak nyesal hidup begini. Cuma menurut Aries, di situ ada jalan yang sedikit terbuka. Di lain sisi, hati Aris menolak, apalagi keadaan kita begini. Ibu semakin tua, tenaga ibu jelas ndak seperti dulu lagi. Siapa yang akan bantu ibu di sini. Hati Aries ndak akan tega melihat ibu berjuang seorang diri, sedang Aris enak-enakan dengan segala kemewahan orang lain.”

“Makasih, Ris. Ibu bangga padamu, Nak.” balas ibunya dengan mata yang berkaca-kaca. “Ndak sia-sia ibu nyekolahin kamu.” lanjut ibunya. Di ingatnya wajah suaminya. ‘Mas Dayat, aku ikhlas kehilanganmu, kini Aris telah dewasa, dia benar-benar sepertimu.’ Bisik ibu Aris dalam hatinya. Dihapusnya kedua pelupuk matanya yang telah digenangi air mata.

“Aris sadari, Bu, suatu saat nanti Aris harus berpisah dengan ibu, apapun alasannya. Tapi, Aris rasa ndak secepat ini, Aris masih butuh kasih sayang ibu, nasihat ibu dan motivasi dari ibu untuk menghadapi hari esok.”

“Ya, sudah kalau begitu, persiapkan diri kamu untuk besok.”

“Ya, Bu.” Kata Aris bangkit dengan hati yang plong.

Ia masuk ke dalam kamar dan membawa buku yang diberikan Pak Imron. Buku itu di bagikan pada adiknya sesuai dengan yang mereka butuhkan dan ia juga memberi adiknya uang jajan.

“Jangan lupa sebagian uang di tabung, jangan asyik mikirin duit, belajar dengan baik. Uang ndak biasa bikin orang kaya, tapi ilmu bisa buat segalanya.”

“Maksudnya, Kak?” tanya Lena.

“Ilmu itu bisa buat orang jadi kaya karena ilmu itu ndak mau habis. Kalau kalian pandai kalian bisa jadi apa saja, bahkan dikejar-kejar duit. Kebayangkan enaknya dikejar duit?”

“Kebayang, dong, Kak!” balas kedua adiknya dengan senyum.

Besoknya ketiganya mereka berangkat ke sekolah bersama, dan Aris sudah berjalan sendiri karena kedua adiknya sudah sampai di sekolah masing-masing.

Di sekolah, Aris melihat sudah banyak anak-anak yang datang begitu juga dengan anak baru. Di depan perpustakaan Aris disambut oleh sahabatnya, Rheiner dengan senyum kebahagiaan sambil menepuk bahu Aris pelan.

“Ris, sepertinya kita gak bisa dipisahin ruang dan waktu. Bayangin aja, sejak eS-De sampai sekarang kita masih saja satu ruangan.”

“Jadi kita satu ruangan? Ruangan berapa?”

“Kali ini kita masuk unggulan. Angan-angan kita tembus, Ris.”

“Misbah?”

Trias Friendship, seiya-sekata, seiring-sejalan, dan sehidup-semati. Artinya kita berhasil dalam kompetisi Road to The Best. Dulu kita sama-sama punya impian masuk unggulan, tapi malah terbuang ke kelas I-7.” kenang Rheiner.

“Misbah udah datang?”

“Gak tau juga, tuh. Aku belum ketemu ama dia, udah kangen juga rasanya. Dua Minggu gak ketemu, rindu rasanya udah seabrek-abrek.”

“Salah sendiri, siapa suruh takut apel ke rumah dia. Lagian apa, sih yang kamu takuti?”

“Yah, kamu ngerti aku lah. Waktu nembak dia aja, perasaaan aku udah bego banget, mana jantung kek bedug lebaran lagi, tangan, kaki semua gemetaran, keringatan lagi.”

“Alah, kamunya aja yang kelewatan.” kata Aris. “Berapa yang masuk kelas unggulkan, Rhei?”

“Empat puluh orang dan sepertinya ada siswa baru namanya cakap, Ris, Yuyun Amalia Qur’ani pasti wajahnya juga cantik dan ini kesempatan buat kamu untuk pedekate sebelum di embat playboy-playboy kabel sini.”

“Males, ah! Aku lagi gak punya mood soal yang begituan.”

“Kapan lagi, Ris? Kamu kuat ngejomblo terus? Gak iri apa liat orang udah pada pacaran?”

“Rhei...Rhei... laki-laki normal mana yang gak iri, cuma untuk saat ini no time for love aja dulu. Lagian di sekolah ini gak ada dan gak bakal pernah ada peraturan yang ngrusin semua siswanya pacaran.”

“Yah, mana mungkinlah, emang panti jomblo apa? Tapi aku heran aja liat cowok secakep kamu gak tertarik ama cewek.”

“Jadi, kamu pikir aku homo?”

“Abisnya, masa gak tertarik ama cewek. Si Rosan yang tampang culun gitu punya pacar secantik Novi . Anehnya lagi, si Novi gak minder apa jalan ama cowok kek Rosan.”

“Kalau Novi yakin Rosan gak bakal ngecewain dia, kenapa mesti minder, coba? Tampang bukan syarat seseorang untuk jatuh cinta ama seseorang. Kamu liat Nina, punya cowok tampan tapi apa, makan ati, kan? Mending jomblo kek aku gak banyak yang dipikirin. Enjoy aja.”

“Kalau boleh tau cewek yang kek gimana, sih, impian kamu? Soalnya kamu susah banget jatuh cinta.”

“Mau cari pacar buat aku. Gak usah. Aku nyadar dirilah, Rhei. Orang susah kek aku gak bakal ada yang mau.”

“Yah, elah. Jangan rendah diri dulu napa. Hidup gak boleh pesimis gitu. Gak selamanya cewek nilai cowok dari materi. Kadang-kadang cewek itu nyari cowok yang miskin harta tapi kaya cinta.”

“Mo jadi Mat Comblang? Mak comblangi, dong...!!!”

“Bukan. Kita kan udah sepakat kalau soal cinta itu urusan napsi-napsi.  Aku cuma mau tau aja.”

“Soal itu gak istimewa-istimewa amat, tampang terakhir, yang penting orangnya baik hati, enak diajak ngobrol, nyambung, keibuan, manja dan gak suka cakap kotor.”

“Ter...la...lu kamu, Ris. Selama aku ngenal cewek, belum ada sesempurna itu. Kalau mimpi jangan ketinggianlah. Bisa stres kamu, mau cari di mana cewek sesempurna itu.”

“Udah, ah. Kita masuk aja.” ajak Aris.

Di ruang kelas mereka disambut bahagia oleh Misbah terlebih setelah keberhasilan mereka dalam festival road to the best. Aris, Misbah dan Rheiner itu sobat paling akrab. Berawal dari acara MOS ketika mereka di plonco. Waktu itu Misbah dikerjai habis-habisan sampai nangis-nangis. Aris dan Rheiner yang mengerti senior itu cari perhatian tapi over akting, berjibaku membela Misbah.

“Kakak sudah keterlaluan memperlakukan peserta seperti ini. MOS ya MOS. Tapi jangan sampai menangis seperti inilah. Dia sudah mengatakan kalau dia kebelet ke toilet, ya sudah. Tidak mungkin dia buang hajat di lapangan ini kan.” bela Aris waktu itu.

“Kamu mau membela orang yang salah? Kamu pikir ini pengadilan, ha?”

“Justru karena ini bukan pengadilan. Sedikit manusiawi kenapa rupanya. Jangan mentang senior jadi sok berkuasa.” timpal Rheiner.

“Asal kalian tahu saja, waktu kami di plonco lebih tidak manusiawi dari ini, tapi kami sadar kalau itu hanya gemblengan biar kami dewasa.”

“Jadi MOS itu ajang balas dendam senior pada siswa baru. Ternyata begini senior menyambut siswa baru tak ada tata kramanya menyambut tamu.”

“Diam!” bentak senior itu. “Teman kalian saja yang cengeng. Baru di suruh push-up lima puluh kali saja tidak sanggup.”

“Kami tidak bisa diam begitu saja. Masa cuma telat lima menit di suruh push-up lima puluh kali.”

“Jadi mau kalian apa?”

“Hukumannya di hapus karena alasannya bisa di terima.” kata Aris tegas.

“Kalau di hapus tidak bisa, kecuali di ralat. Dan kalian akan menggantikannya dihukum sebanyak dua puluh lima kali. Kalian bagi dua hukumannya. Dan kamu....” bentak senior itu. “... kembali ke tempat.”

Aris dan Rheiner terpaksa menjalani hukuman itu, karena senior yang mereka hadapi termasuk panitia MOS.

Sejak saat itulah Aris, Misbah dan Rheiner bersahabat dan menyebut diri mereka Trias Friendship. Mereka sangat bahagia setelah berhasil masuk kelas unggulan dan kompetisi Road to The Best yang mereka buat berhasil total.

Di dalam ruangan itu Aris menemukan seorang gadis  yang kemarin memaki-makinya di tengah jalan. Matanya tak luput dari wajah gadis itu, namun gadis itu gak tau kalau ia lagi ditatap sepasang mata kemarahan seorang laki-laki yang kemarin hampir ditabraknya, trus dimaki dan dihinanya, sebab ia merasa jago karena turun dari mobil mewah. Gadis itu merasa lebih terpandang, sebab kedua orang tuanya adalah pengusaha sukses yang cukup terhormat di kota Bandung. Pengacara pribadi saja ia punya, bokap dan nyokapnya juga punya pengacara dan kuasa hukum sendiri-sendiri. Belum lagi kakak-kakaknya yang punya pengaruh di kota Bandung. Sedang Aris hanya orang miskin berpakaian lusuh dan dekil.

“Ris, kenalin sepupu aku Yuyun Amalia Qur’ani pindahan dari Bandung.” kata Misbah pada Aris. “Dan nih, Yun, Aris Wicaksana yang aku ceritain semalam, sobat dekat aku dan ini Rheiner, kami menyebut diri kami Trias Frienship .”

“Oh...jadi lo rupanya gadis sombong yang mau beli harga diri gue di tengah jalan?” kata Aris sambil merogoh kantongnya dan mengeluarkan uang dua puluh ribuan dari sana. “Nih, duit lo yang kemarin, gue gak butuh duit lo. Lo pikir bisa beli harga diri gue. Dasar sombong! Sayang, orang kaya sekolah di kandang domba begini.” ejek Aris.

“Lho...lho..., kok baru kenal udah kek begini? Trus uang apaan, nih? Jadi bingung aku. Bener, deh, gak ngerti.” kata Misbah sambil memegang uang yang diletakkan Aris di depan Yuyun.

Rheiner hanya bisa bengong melihat sikap Aris yang gak bersahabat ama anak baru, padahal gak biasa Aris kek gitu. Sementara anak baru itu hanya diam dan menunduk.

“Mis, sebesar apa, sih, kekayaan sepupu kamu ini, sempat-sempatnya dia mau beli harga diri aku. Sepertinya OKB banget, ya. Aku nyadar, kok, jadi orang miskin, gak punya apa-apa selain nafas yang aku hirup, tapi harga diri kami bukan mau ditawar-tawar.”

“Udah, deh, Ris. Gak baik marah-marah gak nentu sebab gini. Pamali! Sekarang kamu duduk dulu.” kata Rheiner coba jadi penengah.

“Gak penting banget Rhei. Mo pamali, kek. Mo apa, kek. Aku cuma mau tau aja apa sih maksud cewek sombong sialan ini kemarin.”

“Ris, kamu tenang dulu!”

Mendengar suara Misbah yang lembut, Aris akhirnya luluh juga. Ia beranjak ke tempat duduknya, namun tatapan matanya yang tajam tak luput dari gadis sombong itu.

Seketika dari pengeras suara, terdengar beberapa nama dipanggil ke kantor guru, nama Aris dan Misbah ikut dipanggil.

“Ada apa, nih, Mis?

“Oh ya, kita dipercaya sebagai anggota instruktur MOS tahun ini bersama beberapa anak dari kelas lain.” terang Misbah. “Yok, ntar lagi acara seremonial pembukaan tahun ajaran baru dan sekaligus pembukaan acara MOS.”

Aris segera bangkit dari duduknya.

“Tinggal ya, Rhei. Tapi gak usah dekat ama tuh cewek ntar ketiban sial kamu.”

“Jangan gitu dong, Ris. Norak tau. Takutnya ntar kamu malah jatuh hati ke dia, lo juga yang brabe. Soalnya kriteria cewek idaman yang kamu sebut tadi ada, nih.”

“Jatuh cinta sama dia? Mending aku kawin sama monyet daripada ketiban sial cewek sombong kek dia.” balas Aris seenaknya sambil ngikuti Misbah.

Setelah Aris pergi, Rheiner mendekati gadis itu. “Oh ya, kenalin aku Rheiner, lengkapnya Rheiner Ganda, sobat Aris dari kecil.” ujar Rheiner ngulurin tangannya.

Anak baru itu menyambut tangan Rheiner dengan senyum. “Aku Yuyun, lengkapnya Yuyun Amalia Qur’ani.” balas Yuyun masih tersenyum.

“Maafin sobat aku tadi. Dia emang gitu, suka emosi dan senang banget bawa masalahnya ke sekolah.”

“Gak papa. Lagian aku, kok, yang salah. Kemarin aku terlalu sama dia.”

“Mm... ngomong-ngomong kok pindah dari Bandung? Kenapa? Gak enak, ya?”

Gak juga. Kebetulan aku ditawari ke sini dan aku pengen ganti suasana, sambil refreshing sambil dengerin alam yang bersenandung lewat hembusan angin semilir, sekalian nyari ide buat nulis.”

“Wah, suka nulis juga rupanya? Biasanya orang yang suka nulis itu hatinya lembut apalagi cewek cantik kek kamu. Jadi gak percaya kalau kamu kasar sama Aris.”

“Aku emang senang nulis, tapi gak selamanya orang yang suka nulis itu berhati lembut dan kejadian kemarin emang benar.”

“Ya, udah. Lupain aja.” kata Rheiner. “Tapi kalau nyoal tulis menulis, di sekolah ini yang jago cuma Aris. Dia cukup piawai soal nulis. Terbukti, udah dua kali dia menang lomba nulis puisi yang diadakan OSIS dan banyak guru yang terkaget dan terkagum melihatnya membaca puisi. Waktu itu dia nulis puisi yang judulnya  Kasihan Negeri Ini, gaya baca puisinya juga bikin kita merinding mendengarnya. Sayangnya dia cuma orang miskin dan cita-citanya jadi penulis sering gak terarah.”

“Lho, kok jadi gak nentu, dia kan berhak jadi apa saja. Kek Khalil Gibran, namanya cukup melegenda, dia itu orang miskin, kok.”

“Menulis butuh biaya dan faktor utamanya, dia gak punya waktu luang buat nulis dan ngembangin tulisannya, abis sekolah ia mesti kerja meringankan beban nyokapnya. Anehnya ia gak mau dibantu, jangankan dibantu, dikasih pinjam aja dia nolak, katanya selagi dia masih bisa usaha, bantuan apapun gak bakal ia terima, kecuali kalau ia dapat beasiswa dari sekolah.”

“Gak nyangka Aris kek gitu. Pantas dia marah banget soal kemarin.”

“Yah, itulah dia. Kalau jadi sobat dia paling solid, soal pelajaran dia paling jago karena gak milih-milih pelajaran yang akan dikuasainya, hingga ia mudah ngerti. Kalo kita kan nggak, sering milih-milih. Dia orangnya nyentrik, banyak puisinya yang berisi protes, sindiran dan kritik terhadap kepincangan pemerintah. Dia sangat ngejunjung kebebasan, idealis dan nasionalis, paling benci sama koruptor. Hatinya sebenarnya lembut tapi jangan dihina.”

“Kayaknya banyak yang menarik dari dia. Apa kalian sering kerumahnya?”

“Gak begitu sering, cuma kalau ada tugas kelompok aja. Kalau sering-sering kasihan dia, dia bekerja bukan karena kemauannya tapi karena tekanan ekonomi.”

“Bokap ama nyokapnya, galak nggak?”

“Bokapnya udah gak ada. Inilah yang memaksanya untuk bekerja. Nyokapnya orang baik. Soal galak, Aries lebih galak. Dia menyebut dirinya serigala lapar.”

“Pantas! Kelihatannya dia emosi banget. Justru karena aku merasa bersalahlah aku milih diam.”

“Kamu minta maaf aja, dia itu pemaaf, kok.”

“Lain kali aja, kelihatannya dia masih emosi, takutnya dia salah terima lagi.”

Aris dan Misbah masuk lagi ke dalam ruangan kelas.

“Eh, Rhei, ditawar berapa harga diri kamu?”

“Ris, kamu kenapa, sih? Gak nyangka kamu mau ngomong kek begitu.”

“Kamu gak tau masalahnya, Rhei. Mending kamu jangan ikut campur.”

“Cukup, Ris! Jangan nurutin emosi. Masa cuma gara-gara sepele gitu dipanjang-panjangin. Aku liat aja ntar, seberapa hebat, sih kamu di banding dia.”

“Apa maksud kamu? Mau ngebelain dia, mau ngajak ribut? Enak aja kamu bilang masalah sepele. Buat aku ini bukan masalah hebat atau nggak. Ini masalah kehormatan, Respectable, Rhei. Aku rasa dia lebih tau soal itu. Kalau aku diemin, selamanya orang seperti aku bakal dilecehin lama-lama malah diinjak-injak.”

“Ris, aku mo ngomong sesuatu ama kamu di luar.” kata Misbah lembut.

“Soal apa, Mis?”

“Gak usah banyak tanya, ntar kamu juga bakal tau.” kata Misbah sambil melangkah keluar. Aris mengikuti langkah Misbah dari belakang.

“Kamu sebenarnya kenapa, sih, Ris?” tanya Misbah ketika sampai di luar. “Dari tadi pagi ngomongin harga diri mulu, bosan tau. Lagian gak ada hebatnya, udah basi hari gini ngomongin harga diri. Asal kamu tau aja harga diri itu cuma barang rongsokkan.” kata Misbah menatap Aris dengan lembut. “Ris, kalo kamu lagi ada masalah, kamu cerita ke aku sekarang. Jangan kamu jadiin Yuyun jadi sasaran emosi kamu. Dia anak baru di sini, gak sepantas kamu sambut dia seperti itu. Kamu udah nyoreng nama baik sekolah di mata dia. Kek gini rupanya sambutan siswa sini ama anak baru.”

“Aku gak peduli, Mis. Mo dia suka, mo dia gak suka apa pedulinya aku. Lagian bukan aku yang nyuruh dia sekolah di sini. Aku manusia dan gak pengen di samain  ama anjing. Aku bisa bedain mana yang pantas aku jadiin sebagai pegangan hidup aku. Dan satu hal yang perlu digaris bawahi, buat aku harga diri lebih berharga dari segalanya, bahkan dari nafas yang aku hirup ini, Mis. Jangan kamu nyamain harga diri ama barang rongsokkan di depan aku, Mis. Aku gak suka dengarnya. Kalau kamu nganggap gitu, cukup filosofi itu buat kamu sendiri. Pantas semua orang kaya pengen nawar harga diri kami seenaknya. Asal tau aja, kami bukan mata duitan meski kami sangat butuh duit. Kami gak mau menjilat untuk mendapatkan duit. Tuhan ciptakan kami kuat dan diberi kemampuan untuk berusaha. Betapa berdosanya kami, kalau kami tidak mau berusaha memenuhi kebutuhan hidup kami. Kami memang orang yang gak mampu, orang hina, tapi jangan dihinalah, jangan diinjak-injak oleh kaki-kaki kesombongan orang-orang kek kalian.” kata Aris menahan emosi. “Pak Sudrajat masuk ke kelas, masuk, yuk!” ajak Aris melangkah.

Misbah masih berdiri di tempatnya. Usahanya untuk ngeyakinin Aris malah membuat Aris semakin emosi dan membuatnya kena batunya. Karena malunya, ia tak mampu menatap wajah Aris.

Aries menoleh ke belakang dan melihat Misbah masih berdiri di tempatnya semula. Segera Aries mendekati Misbah kembali.

“Ei..., ayo masuk. Jangan terlalu dipikirkan.” kata Aris sambil menarik tangan Misbah. Misbah hanya bisa menuruti tanpa berusaha melepaskan tangan Aris dari tangannya.

“Udah, deh. Aku minta maaf. Aku gak bermaksud nyudutin kamu.” kata Aris lagi ketika melihat mendung di wajah Misbah.

Di depan kelas, Aris mengetuk pintu, Pak Sudrajat menoleh.

“Dari mana? Kok telat?”

“Maaf, Pak. Kami instruktur MOS. Tadi kami lihat Bapak masuk, jadi kami izin pada ketua panitia.” kata Aris berbohong pada Pak Sudrajat.

“Silahkan masuk!” perintah Pak Sudrajat.

“Terima kasih, Pak.” balas Aris dan beranjak ke tempat duduknya, Misbah juga berjalan ke tempat duduknya.

“Baiklah, anak-anak, Bapak adalah wali kelas kalian, namun ada sedikit perubahan, waktu di kelas satu kita masuk pelajaran Matematika sekarang kita masuk pelajaran Kimia.” kata Pak Sudrajat. “Kebetulan hari ini kita kedatangan siswa baru dan sengaja bergabung di kelas ini karena nilainya memenuhi syarat untuk masuk ruangan ini seperti kalian yang di seleksi menurut nilai yang kalian raih. Bapak bangga pada kalian yang berhasil menempati ruangan yang nyaman dan full-AC ini. Ini merupakan tantangan baru untuk berkompetisi. Dari sekian kalian ada beberapa orang yang cukup membanggakan sekolah kita setelah diadakan survey oleh Dinas Pendidikan sekolah kita meraih nilai tertinggi untuk kategori akhir tahun ajaran se kecamatan ini, mereka itu Aris Wicaksana, Misbah Hayati, dan Rheiner Ganda. Ketiganya berasal dari kelas I7.” terang Pak Sudrajat. “Silahkan maju siswa barunya! Perkenalkan dirimu.”

Yuyun berjalan ke depan. “Selamat Pagi! Perkenalkan nama saya Yuyun Amalia Qur’ani, pindahan dari SMU 5 Bandung. Kelahiran 14 Januari 1996. Anak ke-6 dari 6 bersaudara, alasan kepindahan ingin tinggal di desa mencoba hidup mandiri jauh dari orang tua.” kata Yuyun. “Kalau teman-teman ingin bertanya, saya persilahkan.”

“Udah punya yayang, belom?” tanya sebuah suara terlontar dari belakang. Semua mata mengarah pada suara itu.

“Boleh tau namanya, sebelum saya jawab pertanyaannya?”

“Dimas Suherman!” balas suara itu dengan percaya diri.

“Soal itu belum sempat saya pikirkan, dan belum berani pacaran.”

“Bagaimana tipe cowok idaman kamu?” tanya yang duduk di belakangnya.

“Namanya?”

“Djamil Suherman.”

“Kembar, ya?”

“Kembar tapi beda!”

“Tapi, kok, pertanyaannya ke situ?”

“Siapa tau kami masuk nominasi.”

“Kembar...!” teriak yang lain seperti paduan suara tonsik acara tujuh belasan di lapangan upacara.

“Orangnya jujur, blak-blakan, dan terbuka. Orang seperti kalian pastinya.”

“Kayaknya bakal seru, nih, kelas kita, soalnya kembarkan cool abis. Banyak yang cemburu, nih, kayaknya.” kata salah seorang cewek.

“Ya, iyalah. Kembar gitu, loh.”

“Eh, sudah...sudah! Jangan terlalu ribut!” kata Pak Sudrajat menenangkan siswanya sambil senyum-senyum. “Boleh saja, tapi jadikan pemacu semangat belajar. Malu, dong, kalau dapat nilai jelek, sementara pacarnya dapat nilai bagus.” lanjut Pak Sudrajat kembali membangkitkan keriuhan kelasnya.

Yuyun kembali duduk di tempatnya semula setelah Pak Sudrajat mempersilakan duduk. Sambil melangkah, Yuyun terus memperhatikan Aris yang tetap saja manyun.

“Mis, sepertinya Aris gak suka banget ama aku.”

“Udah, biarkan aja. Dia lagi ada masalah mungkin. Kalo nggak, gak mungkin dia marah-marah. Aku paling tau siapa dia. Ntar juga dia bakal baik sendiri, kok.”

“Begini, berhubung karena masih dalam keadaan orientasi, jadwal belajar pun belum disusun, maka dari pada keluar lebih baik kita mengadakan pemilihan ketua kelas. Bagaimana.”

“Boleh, Pak!” sambut Misbah.

“Kalau begitu, ajukan lima calon di antara kalian!”

“Misbah Hayati!” teriak sebuah suara.

“Laura Candra Kartika!”

“Aris Wicaksana!”

“Djamil Suherman!”

“Eqbal Hakan Erbakan!”

“Baik, sekarang sudah ada lima calon yang diajukan. Silakan berdiri kelima nama yang ada di papan tulis!”

“Instruksi, Pak!” kata Aris mengangkat tangan.

“Silakan!”

“Secara pribadi, saya mengundurkan diri dari daftar calon ini yang ada di papan tulis.”

“Alasan kamu?”

“Begini, Pak, saya pernah berjanji untuk tidak menjadi pemimpin sebuah kesatuan sekecil apapun itu. Jadi, saya mohon maaf. Terima kasih!”

“Baiklah!” kata Pak Sudrajat menghapus nama Aris di papan tulis. “Silakan ajukan satu nama lagi!”

“Rheiner Ganda, Pak!” usul sebuah suara. Dan segera di tulis Pak Sudrajat di papan tulis.

Rheiner berdiri setelah dipersilakan. Pemungutan suara pun dimulai dan akhirnya Rheiner Ganda terpilih sebagai ketua kelas. Djamil Suherman sebagai wakil ketua kelas. Misbah Hayati sebagai sekretaris kelas. Laura Candra Kartika sebagai bendahara kelas. Eqbal Hakan Erbakan sebagai Humas dan koordinasi kelas.

“Baiklah, sekarang sudah clear, tapi jangan pulang dulu siapa tau nanti ada pengumuman penting. Bagi instruktur MOS silakan kembali ke ruang guru!” Pak Sudrajat keluar dari ruangan kelas.

Semua siswa juga segera keluar dari ruangan kelas, Aris dan Misbah lanjut ke ruang guru. Sementara Rheiner dan Yuyun masih ngobrol di ruang kelas.

“Rhei, apa kamu gak punya pacar, ntar masalah lagi liat kita jalan?”

“Gak papa lagi. Lagian Misbah itu kan sepupu kamu. Kelihatannya dia senang liat kita akrab, soalnya dia gak bisa nemani kamu saat ini.”

“Wah, pacaran ama Misbah rupanya, pantas enjoy aja kelihatannya. Sejak kapan, nih?”

“Awal semester dua yang lalu. Kantin, yuk, sambil nunggu Misbah dan Aris, bentar lagi, kok, paling dua jam lagi.”

“Boleh juga, Rhei, rasanya aku udah lapar banget.”

Di kantin keduanya mesan menu kesukaan masing-masing yang di padu ama minuman teh botol Sosro. Yuyun pesan gado-gado, sementara Rhei pesan mie goreng.

“Yun, pernah gak makan gudeg?” tanya Rheiner.

“Sering. Emang kenapa?”

“Nggak, Cuma belum pernah nyoba, aja. Enak, nggak?”

“Terserah ama yang punya lidah juga. Ada juga orang Jogja yang gak suka, malah orang Batak paling doyan.”

“Nurut kamu?”

“Lumayan lah. Tapi yang paling doyan mkan gado-gado. Kalau pake nasi enaknya Panggang Geleng, masakan pesisir.”

“Apa? Panggang Geleng, nama yang aneh, ya?”

“Tepatnya, unik. Konon katanya saking enaknya makan masakan itu kita sambil geleng-geleng kepala, seolah kita gak percaya masakan yang hanya terbuat dari ikan gambolo dan kentang mentega bisa seenak itu.”

“Perasaan kamu waktu makan makanan itu emang gitu?” tanya Rheiner penasaran.

“Lumayanlah. Tapi mungkin hanya sebagai penarik aja kali. Memang orang pesisir ada-ada aja bikin nama masakan, tapi balik ama mereka juga, toh, jadi gak perlu protes kali, terserah mereka bikin nama masakan mereka. Tapi sekarang gak di panggang lagi, tapi digoreng, kalau dipanggang masakannya bisa rusak dan kerjanya lama banget.”

“Jadi penasaran, deh! Panggang Geleng, nama yang unik.”

“Mungkin cuma penarik, doang, bikin orang penasaran gitu, deh.”

“Ngomong-ngomong, pindah kesini ikut orang tua?”

“Gak, kok, cuma gantian ama Mbaknya si Misbah yang masuk ITB. Aku sih oke-oke aja.”

“Kebalik, dong, kalo aku pengenanya sekolah ke kota. Dulu waktu aku masuk SMA, tante aku ajak ke Surabaya, tapi Pak De gak kasih, katanya ntar kalo kuliah.”

“Emang orang tua kamu dimana?”

“Di Manado. Aku pengenanya tinggal di Manado, ngumpul ama keluarga. Tapi nasib kayaknya udah nentuin aku mati di sini. Terkubur bersama seluruh impian aku.”

“Gak boleh ngomong gitu, dong.” balas Yuyun. “Tapi apa kamu gak jeleaus ama Aris lihat jalan ama Misbah?”

“Biasa lagi, Yun. Yang namanya sobat gak perlu curiga-curigaan, positif thinking, aja. Aku gak mungkin larang Aris dekat ama Misbah, soalnya aku tau banget dia suka ama Misbah tapi ketika dengar aku suka ama Misbah dia mundur dan ngasih kesempatan ama aku. Kalau aku batasi kedekatan mereka, terlalu egois rasanya.”

“Iyalah. Tapi, gentlement juga dia, jarang-jarang ada cowok kek dia.”

“Dia itu belum punya pacar dan kelihatannya lagi gak semangat ngomongin masalah itu. Tapi, aku yakin kalau dia butuh seseorang untuk ngasih dia motivasi.”

“Aku dengar tadi kamu ngomongin soal cewek idaman dan itu ada ama aku. Apa, sih, maksudnya?”

“Aris punya tipe cewek idaman dan itu ada ama kamu.”

“Apa aja,tuh?”

“Baik hati, enak diajak ngobrol, nyambung gitu, deh. Keibuan, manja tapi mandiri, gak suka cakap kotor.”

“Trus, soal tampang?”

“Soal itu, dia paling gak suka nilai seseorang dari tampang. Tampang bukan segalanya buat dia, yang penting cewek itu bisa ngertiin dia apa adanya. Dia gak bisa selalu ada di sisi cewek itu. Dia orang miskin yang perlu benar-benar dimengerti dan ia tau gak mudah untuk mengerti dirinya. Makanya ia gak terlalu tertarik untuk pacaran. No time for love-lah, selebihnya, ia lebih memilih minder ketimbang bertahan dengan perasaannya. Prinsipnya, waktu akan menyembuhkan segala luka dan masa akan memahami segala rasa.”

Yuyun hanya mengangguk mendengar cerita Rheiner.

“Yok, ntar kita dikira udah pulang lagi.”

“Ya, udah, panggil aja.” kata Rheiner sambil berdiri, seketika ia berteriak manggil Misbah.

“Pada di sini rupanya? Masih sempat, kan nunggu aku?”

“Boleh. Tapi, Aris kok gak diajak?”

“Dia mau kerja, tadi sempat aku paksa, dia malah mohon-mohon ke aku.”

“Kasihan dia, jadi gak bisa banyak bergaul. Padahal aku mau minta maaf tadi. Aku nyesel banget dengan kejadian kemarin.”

“Iya, nih. Aku juga tadi kena batunya, malu banget rasanya. Aku terlalu maju ngasih pengertian, mana nyamain harga diri lagi ama barang rongsokkan. Aku takut dia bakal benci dan ngindar dari kita, padahal dia teman kita paling baik, ya, Rhei. Aku takut kalau dia minder bergaul ama kita.”

“Gak mungkinlah, Mis. Kata Rhei, si Aris pernah suka ke kamu, dia cuma....”

“Yun, jangan di terusin!” kata Rheiner setengah berbisik. “Nanti Aris marah ama aku. Dia udah bilang kalau itu rahasia kami.” lanjut Rheiner dengan cemas

“Kenapa, Rhei? Kok, kamu ngelarang Yuyun ngasih taunya, trus pake rahasia-rahasia lagi. Rahasia apaan, sih? Aku jadi penasaran, kasih tau, dong!”

“Gak ada apa-apa, kok, Mis. Gak ada rahasia apa-apa.” kata Rheiner agak cemas.

“Gak ada apa-apa, kok kamu cemas banget. Pasti kamu nyembunyiin sesuatu dari aku.”

“Mis, udah selesai kan? Pulang yok! Gak usah dipikirin. Gak ada pake rahasia-rahasiaanlah. Yuyun tau apa, dia aja anak baru.” kata Rheiner cemas. Ia hanya bisa menyesali keteledorannya. Kenapa juga ia harus menceritakan rahasianya dengan Aries pada orang baru seperti Yuyun yang baru dikenalnya beberapa jam yang lalu.

“Aneh, masa anak baru tau masalah itu, jelas karena kamu ceritai. Sebenarnya apa, sih, yang kamu sembunyian dari aku? Kamu emang gak pernah sayang ama aku, gak pernah mencintai aku dengan segala ketulusan dan kerelaan kamu. Jangan-jangan rahasianya ada sangkut pautnya ama aku.”

“Mis, maafin aku. Aku gak bermaksud menyakiti kamu, seujung kuku pun gak pernah. Aku benar-benar tulus mencintai kamu. Aku nyimpan rahasia ini atas permintaan Aris dan kali ini kamu udah terlanjur tau. Aku bakal siap menerima semua keputusan yang bakal kamu ambil saat ini. Aku gak tau, apa kamu masih mencintai aku setelah hari ini.” jelas  Rheiner pelan. “Sebenarnya Aris sangat mencintai kamu, tapi keadaannya membuatnya minder. Dia ngerasa gak  pantas  mencintai kamu  dan ia tau kalau aku mencintai kamu. Awalnya aku gak tau sama sekali, aku tau dari sebuah tulisannya yang aku temuin di kamarnya.”

Misbah hanya terdiam mendengar perkataan Rheiner. Dia tak menyangka Aris begitu berani mengorbankan perasaannya hanya untuk seorang Rheiner.

* * *

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler