Skip to Content

NOVEL: DI SATU SISI HATI (...persahabatan, cinta, dan dendam....) (Bag. 03)

Foto SIHALOHOLISTICK

TIGA

 

DALAM kamarnya, Aris merasa gelisah tak menentu. Sebentar-sebentar ia berbaring, sebentar lagi duduk dan kadang-kadang berdiri. Dalam dadanya ada seberkas penyesalan yang kian menghentak dadanya. Dia baru sadar kalau akhir-akhir ini ia telah terpuruk, prestasinya anjlok, benar-benar ia telah salah langkah.

Didekatinya meja belajarnya, ditariknya kursi lalu ia duduk. Lampu belajarnya dinyalakan. Kertas ulangannya diambil dari dalam tas, beberapa jenak dipandanginya, nilai ulangannya anjlok, menurun drastis. Selama ini kertas-kertas ulangannya selalu dihiasi dengan angka-angka yang cukup memuaskan. Kali ini angka 2, bahkan untuk pelajaran Bahasa Indonesia pun anjlok. Emosinya memuncak buntut dari penyesalannya, kertas itu segera diremuknya dan digenggamnya dengan erat, kemudian meja digebuknya dengan keras.

Diraihnya tas sekolahnya, dikeluarkan rokok Class Mild, dikeluarkannya sebatang sambil mengalihkan pandangannya pada adiknya yang tertidur pulas. Setelah yakin adiknya tidak mendengar suara gaduh yang ditimbulkan  suara hentakan tangannya ke meja. Ia menyelipkan rokok ke bibirnya dan membakar ujungnya. Rokok itu dihisapnya dalam-dalam, kotak rokok dikembalikan ke dalam tas. Seketika dialihkannya pandangannya ke jam dinding.

“Jam dua belas!” katanya pelan. Setelah beberapa hisapan, pikirannya mulai tenang.

Tak berapa lama, bayang-bayang kebodohan dan kebobrokannya akhir-akhir ini terlihat jelas di depan matanya. Kejadian malam renungan MOS beberapa bulan lalu, tanpa sengaja ia mencium Misbah, gara-gara gadis itu ingin menyelamatkannya dari rokok. Tapi, keegoisannya menolak kebaikan gadis itu. Kemudian dini harinya, ia dicium oleh Yuyun, sebuah ketulusan hati seorang gadis yang menginginkannya kembali seperti dulu, tapi keegoisannya tak peduli seperti apapun ketulusan yang dimiliki Yuyun.

Kini disadarinya, kenapa ia seegois itu pada Yuyun. Ia tak pernah berpikir, betapa besarnya ketulusan yang dipersembahkan Yuyun. Dalam benaknya, ia seakan balas dendam atas Misbah, meskipun ia tau ia sendiri yang salah, ia terlalu gampang berkorban tanpa berduli perasaannya.

Perlakuannya pada Yuyun tak beralasan jika dikatakan balas dendam, sebab Yuyun tak pernah menyakitinya. Malah sebaliknya, ia sendiri yang mesti disalahkan andai Yuyun menuntutnya berbuat adil. Ia juga  mesti  bisa  menerima  kenyataan  andai    Yuyun menolak maafnya, membencinya, meninggalkannya dan mesti merelakan Yuyun, yang kini merajai hatinya, harus pula dimiliki orang lain. Yuyun tak bisa disalahkan andai penolakannya membuat Aris kian terpuruk.

Dalam penyesalan dalam hatinya yang terdalam, mulai tumbuh cinta yang mulai mendobrak dinding keegoisannya. Tapi, begitu sajakah datang cinta lahir di hati Aris. Lantas bagaimana, andai esok atau lusa, Yuyun benar-benar menolak maaf Aris dan menolak cinta Aris. Dan apabila penolakan Yuyun  yang selama ini mengikuti aturan Aris, sedang Aris tak mau tau dengan semua pengorbanan Yuyun.

Kembali penyesalan Aris memuncak, saat dirinya menjadi orang ketiga dengan pertanyaan-pertanyaan yang terus mendobrak keegoisannya. Rokok yang masih terselip di jarinya dihisapnya berkali-kali lalu dimatikan dan dibuangnya lewat jelusi jendela kamarnya.

Diambilnya cerpen yang baru diselesaikannya Berawal Dari Kebencian, cerita yang telah menjadi motivasi baginya untuk berubah. Dibacanya cerpen itu dengan pelan, mencoba memahami kemampuannya bercerita meyakinkan pembaca. Setelah selesai, ia merasa tak ada yang perlu diubah, tapi ia tak ingin menjadi juri bagi dirinya sendiri, sebab ia akan membela apa yang telah susah payah dikerjakannya.

Diletakkannya cerpen itu di atas meja dan ia kembali ke ranjangnya. Di situ ia merebahkan badannya yang lelah. Dia telah tersadar setelah ceritanya selesai dan teguran dari wali kelasnya siang tadi.

Pagi-pagi sekali Aris terbangun, penyesalan dari keegoisannya masih tersisa, tapi ia mencoba menepikannya. Disiapkannya dagangan ibunya baru ia berangkat kerja.

Sampai di tempat kerjanya, ia minta maaf pada Pak Imron kalau akhir-akhir ini pekerjaannya sangat buruk dan mengecewakan.

Pak Imron yang sudah mengerti siapa Aris, seorang pekerja yang ulet, ia bertanya kenapa Aris berubah.

“Aris, sebenarnya kamu kenapa?”

“Ntahlah, Pak! Aku juga gak ngerti kenapa denganku. Aku cuma ngerasa kalau aku lagi dendam, dendam dan dendam. Anehnya aku gak tau ama siapa aku dendam, semua gak jelas”.

“Lho, kok gitu, kenapa dendam itu ada tanpa sebab setidaknya ada yang memicu.”

“Yah, Pak. Waktu kelas satu aku suka ama cewek, tapi sahabat aku lebih menyukainya dan aku merelakannya. Tapi kesalahan terbesar, dia ngasih tau cewek itu kalau aku pernah suka. Cewek itu menemui aku dan menanyakan kenapa aku sebodoh itu, satu hal yang gak pernah kuduga. Cewek itu lebih menyukai aku ketimbang sobat aku itu. Namun ketika sobat aku nembak dia, dia menerima karena ia pikir cintanya bertepuk sebelah tangan. Sejak itu semuanya berubah, emosiku gak bisa dikendalikan setiap liat mereka jalan bareng dan penyesalan itu jadi dendam yang aku lampiasin pada setiap cewek, malah kelamaan aku malah kepikir yang nggak-nggak”.

“Jadi, kamu playboy, Ris?”

“Itu pantas aku sandang. Tapi semalam aku sadar, dendam itu telah memurukkan aku, merusak diri dan moral aku juga prestasi aku dan parahnya aku telah akrab dengan rokok. Aku gak tau, dengan apa memulai hari ini tanpa dibayangi kebodohan itu lagi dan bagaimana menebus segalanya itu”.

“Minta maaf dengan tulus, kamu tak perlu takut kalau mereka membencimu. Semua pekerjaan ada resikonya, pekerjaan baik aja ada resikonya apalagi pekerjaan yang tak baik.”

“Makasih, Pak!”

“Tapi usahakan kejadian ini jadi pelajaran bagi kamu. Douwes Dekker bilang orang yang gak pernah jatuh, gak bakal memiliki kesadaran tepat tentang apa yang diperlukan untuk dapat berdiri kokoh.” kata Pak Imron tersenyum. “Oh, ya, Ris, nanti kamu tinggal di sini, Bapak mau pergi menghadiri kondangan teman dengan ibu.”

“Ya, Pak. Tapi Aris bisakan pake komputer, Aris mau ngetik cerpen ini...” kata Aris sambil memperlihatkan cerpen itu.

“Untuk tugas, atau apa?”

“Rencananya buat dikirim ke media massa, siapa tau dimuat dan lumayan buat tambah penghasilan.”

“Bagus itu.” kata Pak Imron meraih cerpen Aries. Setelah ia membaca cerpen itu, dipandangnya Aries dengan tak berkedip.

“Ada apa, Pak?”

“Kamu yang buat ini?”

“Iya, Pak!”

“Bapak tak menyangka kalau kamu bisa sehebat ini. Pemaparan kisah yang sederhana, tapi bobot, bebet dan bibitnya begitu padat dan penuh pelajaran yang berharga. Sifatnya sangat universal. Bapak tertarik sekali dan selama Bapak bekerja sebagai redaktur belum pernah berhadapan dengan naskah cerpen sebagus ini.”

“Terima kasih, Pak!”

“Bapak mau ngasih masukan sedikit, kalau nulis cerpen atau yang lain, kamu harus bisa bikin cerita itu unik, punya gaya tersendiri. Kalau boleh buat perubahan dari corak sastra yang telah ada. Satu hal, semua orang tau kalau semuanya itu bohongan tapi jangan terkesan ada pembohongan atau mengibuli, seperti menceritakan tempat, hati-hati dengan kebetulan itu namanya meniadakan Tuhan. Hati-hati juga dengan penyimpangan tujuan cerita semula. Bila perlu buat outline, agar pedomannya ada, apalagi untuk penulis pemula.”

“Terima kasih banyak, Pak!” kata Aris sambil tersenyum. Setelah Pak Imron pergi, Aris mulai bekerja di depan komputer.

Dua jam pekerjaannya baru selesai, tak lupa ia mencantumkan nama dan alamatnya di bawah bagi para pembaca yang ingin mengkritik tulisannya,  selesai di print Aris memasukkan ke dalam map merah jambu.

Senin, setelah upacara bendera, Aris mengajak Yuyun untuk mengobrol ke belakang sekolah.

“Ada apa, Ris? Kok, ngajak aku ke sini?” tanya Yuyun heran, melihat Aries udah bebeda dengan hari-hari sebelumnya.

“Aku pengen nanya sesuatu ama kamu, soal perasaan kamu ke aku. Apa kamu masih suka ke aku atau sebaliknya, sekarang kamu berbalik benci?” tanya Aris yang membelakangi Yuyun.

“Kamu mau aku pilih yang mana, Ris?” tanya Yuyun memancing reaksi Aris.

“Kamu yang jawab, Yun. Jangan balik nanya aku.”

“Kalau mau jujur, terus terang aku tersiksa dengan keadaan yang begini, Ris. Mencintai tanpa pernah dicintai. Tapi cewek itu selalu setia dengan keyakinan yang dipilihnya. Apapun alasannya, aku mencintai kamu hingga waktunya tiba...”

“Waktu apa, Yun?” potong Aris.

“Jodoh atau ajal.” jawab Yuyun pasti. Mendengar itu Aris berbalik menatap Yuyun. “Aku nyadar, waktu itu aku yang nembak kamu, meski kamu nolak dengan hormat dan menjunjung emansipasi wanita, tapi aku cewek yang pengen di sayang, diperhatikan, dimanja dan dimengerti. Karena Wanita Ingin di Mengerti  itu yang gak kamu lakuin selama ini.”

“Maafin aku, Yun. Keegoisan ini seharusnya gak pernah ada, tapi dendam udah butakan mata hati aku. Padahal gak pantas aku dendam ama cinta yang dimiliki Misbah dan gak pantas pula aku ngelampiasinnya ama kamu dan cewek-cewek lain. Sebenarnya Misbah gak salah, aku yang salah.”

Mendengar penyesalan Aris, hati Yuyun lega.

“Sekarang gimana dengan cewek-cewek yang selama ini jadi pengisi hari-hari kamu, yang bikin kamu bahagia? Apa kamu akan terluka lagi atau menyisih lagi?”

“Aku gak pernah bahagia ngelakuin itu semua, justru aku tersiksa, tiap malam susah tidur, jadi perokok. Sekarang aku nyesal, tapi aku udah terlanjur jadi pemain tunggal sandiwara konyol ini, sandiwara murahan. Tapi sandiwara ini udah kehabisan kesabaran liat aku kian terpuruk.” kata Aris membalikkan tubuhnya pada Yuyun. “Hari ini aku akan mencintai kamu dengan setulusnya, aku akan menjadi kekasihmu dengan seutuhnya, yang akan menyayangimu, memperhatikanmu, memanjamu dan mengerti kamu. Bukan kekasih semu seperti yang kamu jalani selama ini dengan rela.”

“Soal cewek-cewek itu?”

“Aku bakal ngakhiri semua kekonyolan ini.”

“Rhei dan Misbah?”

“Biarkan mereka larut dengan perasaan mereka. Asal mereka gak saling menyakiti, kita gak perlu mengusik mereka. Dan hari ini adalah bukti Berawal Dari Kebencian itu.” kata Aris mengeluarkan map merah jambu dari tasnya dan diberikan pada Yuyun.

Yuyun menerima map merah jambu itu dan segera dibukanya. Sejenak ia larut dengan cerita yang dibuat Aris itu.

“Sempurna!” komentar Yuyun. “Kok, gak dikirim?”

“Ntar, aja pulang sekolah.”

“Aku temani, ya.”

“Boleh! Tapi soal tadi, gimana, Yun?”

“Apa kamu belum yakin, Ris?”

“Ntahlah, Yun. Rasanya gak pentas lagi aku ngomongin ini ke kamu.”

Yuyun mendekati Aris.

“Ries, kamu mesti yakin.” kata Yuyun mencium pipi Aris. Tanpa pikir panjang Aris melingkarkan tangannya ke tubuh mungil Yuyun. Yuyun sempat kaget dan risih dengan perlakuan Aris yang lancang, tapi ia tak berani menolaknya. Takut Aris jadi tersinggung.

Tapi diam Yuyun membuat Aris semakin berani dan leluasa. Aris merapatkan tubuh Yuyun padanya dan mendekap Yuyun erat.

“Makasih, Yun.” bisiknya. Yuyun hanya bergumam.

“Hm...hm...!” sebuah suara membuat Aris kaget dan secara spontan ia melepaskan tubuh Yuyun dari dekapannya.

“Kamu, Mis? Lagi mo ngapain ke sini?” tanya Yuyun sambil memungut map merah jambu milik Aris.

“Kalian ngapain di sini ampe gak belajar?”

“Apa? Belajar?” tanya Yuyun kaget. Dilihatnya jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Jam delapan lewat dua puluh menit. “Uh, gawat, nih, udah habis satu les.” rutuk Yuyun. “Tapi kalian, kok, di sini? Gak belajar juga, ya?”

“Mo ngasih tau kalian ntar lagi wali kelas masuk, jangan ampe gak masuk.” wanti-wanti Rheiner sambil beranjak dari situ.

Yuyun menyerahkan map merah jambu itu pada Aris dan mengikuti Rheiner. Sementara Misbah masih menatap Aris yang bersikap masa bodoh dengan penuh kebencian.

“Apa sandiwara, lo, masih panjang? Berapa episode lagi yang mesti, lo, peranin sampai lo benar-benar ancur?” tanya Misbah menahan emosinya, hingga kata-katanya terdengar kasar. Aris masih tetap berdiri seperti tadi, cuek dan masa bodoh. “Berapa orang lagi yang mesti lo korbanin dalam sandiwara konyol lo itu? Gue heran. Gak nyangka lo bakal kek gini. Selama ini gue ngenal lo sebagai orang baik-baik, ngejunjung tinggi falsafah cinta, bahkan lo punya falsafah cinta yang hebat dan santer di sekolah ini lewat tulisan lo yang selalu nangkring di mading, trus, ke mana perginya filosofi hidup lo yang mampu menarik perhatian orang banyak?” Misbah semakin muak dengan sikap Aris yang masih seperti tadi. “Tapi, thank’s, lo gak ngikutin gue, cuman gue gak terima kalo lo ngelakuin hal kek tadi ama sepupu gue. Gue juga gak setuju kalo lo ngelakuin hal yang sama ama cewek lain. Kami bukan gampangan yang bisa diperlakukan semau lo.”

“Mis, ini bukan sandiwara itu lagi, meskipun...”

“Omong kosong!” potong Misbah dengan cepat. “Lo pikir gue gak liat tadi apa yang kamu lakuin barusan ama Yuyun, apa itu bukan pelecehan? Lantas apa yang udah lo lakuin ama cewek-cewek itu, mungkin lo udah ngancurin masa depan mereka. Cuih..., menjijikkan. Lagian lo cuma penulis ingusan yang sok jadi sutradara dan skenario. Tapi gak apalah, anggap aja lo ngorbanin diri lo demi obsesi lo. Ngajadiin diri sebagai kelinci percobaan itu hal yang baik asal gak ngelibatin orang lain. Puisi kesayangan lo, Akhirnya Aku Tersingkir, bertolak belakang dengan kenyataan. Lo emang tersingkir, tapi tersingkir dari diri lo sendiri. Aneh, kan? Lo juga tersingkir dari filosofi hidup lo, tersingkir dari falsafah cinta lo, tersingkir dari tujuan hidup lo.” kata Misbah ngasih wejangan pada Aris. “Satu hal lagi, sebelum lo kasihan ama negeri ini, kasihani dulu diri lo sendiri. Sepertinya lo lebih bejat dari koruptor-koruptor laknat itu.” kata Misbah semakin emosi. “Dasar miskin!” maki Misbah kehabisan kesabaran.

Mendengar makian itu, Aris jadi emosi, amarahnya memuncak, dadanya kembang kempis, darahnya mendidih.

“Hei, cewek brengsek!”

“Kenapa? Lo marah?” tanya Misbah tertawa sinis. “Lo pikir gue takut, ha?”

“Hei, cewek brengsek, mestinya lo yang gue hancurin, tapi lo terlalu lemah buat gue, kita bukan pesaing yang seimbang. Bersyukurlah, karena masih ada yang kasihan ama lo.”

“Hh... kasihan? Mh...mh...h...! Kasihan atau... lo takut ke gue?” balas Misbah keras.

“Apa? Takut? Asal lo tau aja, gue gak pernah takut ama siapa pun. Apalagi ama Rheiner, cowok lo.”

“Gue jadi penasaran, pengen cepat tau dan lihat, apa sih yang bisa lo lakuin ama dia. Sedang lo orang miskin yang gak berdaya apa-apa.”

“Hei, sepertinya lo nantangin gue? Udah punya nyali lo rupanya?”

“Buat orang kek lo, gak perlu pake nyali-nyalian segalalah.”

“Oke. Oke... kalo lo maunya gitu. Mulai saat ini kita bertarung sampai hancur-hancuran. Kalo gue gak bisa bikin hidup lo ancur dan nangis sambil mohon kemurahan hati Aris dengan bersujud di kaki gue dan sambil menciumnya, jangan panggil gue Aris. Terserah lo mau manggil apa. Lo boleh nyelamatin sepupu dan pacar lo. Tapi waspada, jangan asyik nyelamatin mereka, ingat diri lo, karena salah satu atau sekaligus ketiganya adalah target gue. Mulai sekarang kita bertarung dalam sandiwara baru ini. Lo peran utama, Rheiner dan Yuyun sebagai protagonis dan gue sebagai antagonis. Jadi intinya kita yang bertarung dan siapa yang memohon kemurahan hati di antara kita dialah yang pecundang.” teriak Aris mengiringi kepergian Misbah.

Aris akhirnya beranjak dari tempatnya menuju ruangan kelas. Sambil melirik Misbah, ia berjalan ke tempat duduknya.

“Rhei...” katanya seketika. Rheiner menoleh padanya.

“Maafin aku, aku nyesal ngelakuin ini semua. Aku juga udah pukul kamu gara-gara hal sepele. Maafin aku ya, Rhei.”

“Ris, aku ini sobat kamu. Gak mungkin aku gak maafin kamu. Kita berteman udah dari kecil. Jadi kesalahan kamu adalah kesalahan aku dan kelalaian kita berdua.”

“Tapi, Rhei...?”

“Udah, Ris. Lupain aja.”

“Thanks. Mudah-mudahan aku bisa seperti dulu lagi. Punya impian, punya tujuan hidup, tapi aku butuh bantuan kamu.” kata Aris sambil meletakkan map merah jambunya di atas meja.

“Dengan senang hati.” balas Rheiner meraih map merah jambu milik Aris. “Apaan, nih? Boleh liat?”

“Boleh. Tapi cuma cerpen.”

Rheiner membuka map itu. Berawal Dari Kebencian, baca Rheiner.

“Kok, unik. Ceritanya gimana, nih?”

“Sederhana aja, tapi kesederhanaan itu membuatnya malah lebih menarik. Ceritanya universal, dan gaya bahasanya apik.” jawab Yuyun

“Kok, gak dikirim, Ris. Mubazzir, kan, cerita sebagus ini gak dikirim.”

“Rencananya ntar, balik sekolah. Cerita ini sebenarnya terinspirasi dari sikap dan tingkah aku akhir-akhir ini dan penyelesaiannya nuntut aku kembali hidup normal, aku ikut aja.”

“Wah, hebat kamu, Ris. Kamu bisa berubah lewat cerita kamu sendiri. Ck...ck...ck..., salute to you my friends!

Thank’s you very well above your praise, Yun! Aku cuma terpanggil untuk hidup normal lagi. Boleh, kan?”

Of course! Why not? Semua orang punya hak.”

“Thank’s, ternyata kalian teman-teman sejati aku, meskipun aku pernah salah.”

“Gak perlu disesali, semua udah ada yang atur, kita cuma ngejalaninya aja. Oke...!” kata Rheiner menepuk bahu Aries pelan.

“Tapi...”

“Tapi apa?”

“Sepertinya ada yang gak suka.’

“Siapa?” tanya Yuyun heran.

Aris menoleh pada Misbah kemudian beralih pada Yuyun.

“Misbah maksud kamu. Gak mungkinlah, tadi kalian baru ngobrol di belakang.”

“Ngobrol? Yang ada dia malah maki-maki aku. Terus terang aku gak terima, tapi pepatah udah bilang, sekali lancung ke ujian seumur hidup orang gak percaya.” kata Aris menjelek-jelekkan Misbah di mata Rheiner dan Yuyun.

“Misbah! Kamu, kok, gitu. Udah gila, nih, kayaknya.”

“Iya, nih. Kamu, kok jadi kek gitu ama Aris?” tambah Rheiner. “Mis, Aris ini sahabat kita. Dulu kamu pengen mati-matian nyelamatin dia. Aku sempat cemburu saat itu, cuma aku pikir gak waktunya mikirin hal itu soalnya Aris sahabat aku satu-satunya.”

Aris tersenyum licik pada Misbah, ketika Misbah melirik padanya. Misbah sudah tau, kalo Aris udah memulai permainannya, dan langkah pertamanya adalah merusak reputasinya di mata Rheiner dan Yuyun.

Dalam hatinya Aris berteriak kegirangan. Mampus lo Mis, lo pikir lo berhadapan ama siapa? Aris, Mis. Aris Wicaksana.

“Rhei, Yun....”

“Udahlah, Mis. Lupain aja, moga makian kamu buat aku sadar, jadi orang baik-baik gak gampang, bahkan di mata sobat sendiri pun, tapi itulah tandanya kalian tulus bersahabat dengan aku, kamu nyalahin aku waktu aku salah.” kata Aris menutupi kebusukannya.

“Kamu dengar, Mis, Aris rela nerima makian kamu.” kata Yuyun membela Aris.

Percakapan mereka terhenti dengan kehadiran guru Kimia, wali kelas mereka dan selanjutnya mereka hanyut dengan kewibawaan Pak Sudrajat yang ulet dalam menyampaikan materi pelajaran.

Waktu istirahat, Yuyun dan Rheiner beranjak ke kantin, mereka mengajak Misbah, tapi ditolak karena ia mengira Aris ikut. Aris juga menolak ketika diajak ke kantin dengan alasan ia mau ke perpus.

 Setelah Rheiner dan Yuyun beranjak ke kantin, Misbah keluar. Secara diam-diam Aris mengikuti dari kejauhan. Aris memperhatikan, Misbah masuk ke dalam perpus, segera ia menemui Misbah yang sedang membalik-balik majalah Horison.

“Lha, orang gila, kok, baca di perpus.” kata Aris mengejutkan Misbah. “Sendirian, nih? Oh, ya, orang gila rupanya, lupa gue, mana ada yang mau nemenin orang gelo.”

“Mau apa lo ke sini?” sungut Misbah. “Puas lo sekarang!”

“Lho...lho... orang gelo, kok, galak amat, cepat mati tau, eh... cepat tua.” kata Aris berseloroh. “Eh, gue belom apa-apain lo, permainan kita baru prolog dan kelihaian sutradara handal, Aris Wicaksana, gitu loh, mampu menjadi pameran utama dan lo antagonisnya. Cemon, mana ekspresinya...??? Sebenarnya lo salah ngomong tadi. Aris Wicaksana bukan penulis kelas teri tapi handal. Mas Hanung Bramantyo aja gak bisa bikin film sehebat ini.” kata Aris tertawa bangga. Ia duduk di atas meja persis di depan Misbah.

Orang gila gak cocok baca Horison, ntar Pak Mochtar Lubis, YB.Mangunwijaya, etc...etc... tersinggung. Orang gelo kok baca majalahnya orang sastrawan.” kata Aries menarik majalah dari tangan Misbah. “Orang gelo cocoknya baca ini, Tips Mengatasi Kegilaan Dini.” kata Aris sambil meletakkan buku yang dipegangnya di hadapan Misbah. “Eh, lo dengar, kita masih tahap prolog, tapi lo mesti waspada  dan jangan lupa ngikuti permainan gue, ntar ada episode yang mengerikan di akhirnya. Lo siapin mental, jangan ntar lo gila beneran. Sayang, kan, cantik-cantik, kok gila.”

“Apa maksud, lo?”

“Tunggu aja tanggal mainnya. Kalau gue kasih tau, ntar nilai dramatiknya jadi ilang. Lo siap-siap aja.” Kata Aris melemparkan majalah Horison ke depan Misbah.

Misbah hanya bisa terpaku di tempatnya, dia baru menyadari, kalau Aris serius dengan ucapannya. Tapi di udah terlanjur ngelibatin diri dan sekarang terpaksa dia ikuti. Dia gak tau gimana nyelamatin Yuyun dan Rheiner dari Aris, sementara Yuyun dan Rheiner terlalu percaya pada Aris.

*  *  *

PULANG sekolah, Aris mampir di kantor pos dan mengirimkan naskah cerpennya ke redaksi Warta Aji, setelah selesai, ia segera pulang.

Dari kejauhan, ia melihat sebuah mobil parkir di depan rumahnya. Rasa ingin taunya membuatnya mempercepat langkahnya. Setelah hanya berjarak beberapa meter, ia memperhatikan Escudo Silver itu berplat BB.

“Tapanuli. Tapi siapa?” gumam Aris penasaran sambil memperhatikan mobil itu.

Aris masuk sambil mengucap salam. Yang ada di dalam membalas salam Aris.

“Bah, Nattulang rupanya?” tanya Aris kaget melihat Nattulangnya. “Udah lama Nattulang?” sambung Aris menyalami nattulangnya.

“Jam sepuluh tadi, Ries!” balas nattulangnya. “Ah, sudah besar kali kau rupanya, besar tinggi seperti mendiang Bapakmu kutengok. Kelas berapa kau sudah?”

“Kelas dua SMA, Nattulang !” jawab Aris. “Tak ikut Om, Nattulang? Tak ada kutengok dia?”

“Ikutlah. Kalau tidak, mana mungkin Nattulang bisa bawa mobil. Dia tidur di kamarmu, capek kali dia, semalaman tak tidur.”

“Ini si Nashat? Sudah besar kali dia, ya!” kata Aris. “Kelas berapa kau, Shat?”

“Kelas V, Mas!”

“Bah, sudah mahal kali aku rupanya? Kalau di Medan aku dipanggil Lae, tapi kalau di sini dipanggil Mas, aduh....”

Nashat hanya tertawa mendengar Aris bercanda.

“Sudah makan, Shat?”

“Sudah, Mas!”

Selesai ganti baju, Aris pamit berangkat kerja, tapi ibunya melarangnya. Aris tetap memohon izin paling tidak sebentar minta izin pada Pak Imron. Ibunya terpaksa memberi izin.

Pulang dari tempat Pak Imron, Aris telah melihat Om-nya duduk di teras rumah.

“Sudah bangun, Om?” tanya Aris pada Om-nya.

“Udah, Ris. Kamu dari mana?”

“Dari tempat kerja, izin ama Pak Imron gak kerja selama Om di sini.”

“Kerja di tempat Pak Imron kamu?”

“Iya, Om. Om kenal?”

“Kenal!” jawab Om-nya. “Ris, sebenarnya Om datang ke sini untuk ngajak kalian ke Sidempuan.”

“Tapi, Om...” kata Aris agak kaget, tapi ia menyembunyikan kekagetannya. “...Aris belum selesai sekolah dan pengennya nyelesain di sini, di tanah kelahiran Aris.”

“Aris, Om ingin mengajak kalian ke Sidempuan agar kita semua kumpul. Agar ibumu bisa bantu Nattulang-mu di kebun salak. Om kasihan liat ibumu yang harus banting tulang tiap hari untuk ngidupi kalian, apalagi setelah ayahmu tiada. Ibumu satu-satunya saudara Om yang perempuan, selebihnya laki-laki.”

“Berarti Om Aris masih ada yang lain?”

“Tiga orang lagi. Semua mereka di Jakarta, tapi gak pernah mau lihat ibumu kemari.”

“Kok, gitu, Om?”

“Ceritanya panjang, Ris. Yang pasti mereka sangat mematuhi kediktatoran kakekmu, ayah kami, untuk tidak melihat ibumu kemari. Kami berdua adalah anak yang disingkirkan dari daftar nama keluarga.”

“Kok kakek ngelarang, Om?”

“Karena ibumu dianggap anak durhaka, ibumu selalu membantah perkataan kakek dan nenekmu. Sejak SMP, ibumu sudah pacaran dengan ayahmu yang saat itu sudah jadi wartawan. Terang saja kakekmu melarang karena ibumu masih terlalu kecil, tapi ibumu tak peduli. Berbagai macam cara dilakukan untuk memisahkannya tapi gagal, karena kami sekongkol dengan ibumu. Ketika masuk SMA, ibumu dikirim ke Bandung secara diam-diam, tapi Om memberi tau keberadaan ibumu di Bandung dan tempat tinggal ibumu adalah orang baik. Tamat SMA, ibumu tetap di Bandung melanjutkan kuliah dan ayahmu tetap di Jakarta menekuni profesinya sebagai wartawan dan penulis, agar kakekmu yakin kalau ibumu tetap aman di Bandung. Padahal ayahmu tiap bulan ke Bandung menemui ibumu. Satu hal yang membuat kakekmu tidak menyukai ayahmu, karena asal usul ayahmu tidak jelas, entah siapa ayahmu yang sebenarnya. Sementara kakekmu yang merasa terpandang merasa malu kalau anak perempuan satu-satunya menikah dengan laki-laki seperti ayahmu, meskipun ayah dan ibumu saling mencintai. Tapi demi kehormatan ibumu dikorbankannya. Menjelang ketamatan ibumu, secara diam-diam kakekmu menjodohkannya dengan seorang dokter jebolan Jerman, anak temannya. Saat itu, Om panik gimana ngatasi masalah ini. Sebab Om tau siapa dokter itu, dia bukan orang baik, dia hanya pecandu, pemabuk, pejudi dan sering mendatangi tempat-tempat yang menyediakan ciplek.

Om memberi tau perihal perjodohan ini pada ayahmu dan kami berdua mengatur rencana. Kami berdua berangkat ke Bandung untuk memberi tau Bu De dan Pak De Om, tempat ibumu tinggal.

*   *   *

KEDUA laki-laki itu, Hidayat yang berambut gondrong, seorang wartawan surat kabar Wicara Aji dan satunya lagi, Handoko, seorang mahasiswa semester lima Fakultas Ekonomi, turun dari motor ketika laju motor berhenti di pekarangan rumah yang  sederhana itu.

Keduanya disambut seorang gadis cantik berusia dua puluh tiga tahun. Kedua laki-laki itu dipersilakan masuk ke dalam dan duduk di sebuah sofa. Hati gadis itu seketika  berbunga-bunga melihat kedatangan kedua laki-laki yang disayanginya itu. Handoko adik kandungnya dan Hidayat kekasihnya. Di segera beranjak ke belakang.

Handoko membuka jaketnya, begitu juga dengan Hidayat yang sekaligus mengikat rambutnya yang gondrong.

Gadis itu kembali lagi dengan secangkir kopi dan segelas teh. Kopi dihidangkan pada Hidayat dan teh dihidangkan pada Handoko, adiknya.

“Mbak, Pak De dan Bu De mana?” tanya Handoko.

“Lagi keluar, memangnya kenapa, Han?”

“Masalah perjodohan ini, sepertinya bukan hal yang main-main lagi.”

“Jadi, Isma sudah tau, Han?” tanya Hidayat.

“Sudah, Mas. Aku rasa Bu De dan Pak De juga mesti tau masalah ini, sebab ujung-ujungnya juga bakal melibatkan mereka.” terang Handoko. “Nanti saja dibahas, sekarang Mbak masak dulu. Lapar.”

“Boleh juga usul kamu, Han. Aku juga pengen coba masakan Isma.”

“Tapi kalau gak enak jangan dihina.”

“Ya, iya, nanti aku kasih tau di mana kekurangannya.”

“Benar, ya?”

“Iya...!”

Isma segera berdiri dan beranjak ke dapur. Tak berapa lama sebuah mobil masuk ke pekarangan rumah. Handoko segera berdiri dan berjalan ke luar rumah.

“Pak De... Bu De...!” sapa Handoko dengan hormat sambil menyalami kedua orang tua itu.

“Lha, ada Handoko, sama siapa, Han?”

“Ama Mas Dayat, Pak De!”

“Tumben, datang berdua? Ada apa, ya?”

“Ada yang mau dibicarakan, Pak De!” balas Handoko, sementara Hidayat menyalami kedua orang tua itu.

“Soal apa? Sepertinya serius sekali?” tanya Bu De.

“Rasanya sangat serius. Ini menyangkut masa depan Mbak Isma dan hubungannya dengan perjodohan yang direncanakan Papa. Han sendiri tidak setuju, karena dokter itu bukan orang baik-baik, dia orang yang bejat, dia itu pecandu, pemabuk berat, pejudi, dan yang paling tidak Han suka dia itu penggila seks. Dia suka mempertaruhkan ciplek-ciplek  di meja judi, ia sering menang dan selanjutnya menggandeng ciplek-ciplek itu ke kamar untuk pesta, pesta Narkoba, alkohol dan seks. Bagaimana kalau dokter keparat itu menikahi Mbak Isma dan membawanya ke Jerman, bukan hal mustahil kalau dia akan mempertaruhkan Mbak Isma di meja judi....” kata Handoko. Ia berhenti sejenak mengambil nafas dan meneruskan. “Han punya rencana, Pak De, untuk membantu Mbak Isma dan Mas Dayat lari dari perjodohan yang direncanakan Papa ini dan Han sudah siapkan sebuah tempat, jauh dari Jakarta.”

“Sebentar, Han, Pak De harap larinya jangan dari rumah ini, ini akan merusak hubungan persaudaraan."

“Pak De tak perlu khawatir. Asal Pak De dan Bu De ada di pihak Han, nama Pak De dan Bu De tidak akan terbawa-bawa.”

“Baiklah. Kami akan berada di pihak kalian. Selamatkan Isma dari dokter itu.” kata Pak De.

“Sekarang kalian makan dulu, Isma sudah selesai.” timpal Bu De.

“Iya, Bu De.” Balas Handoko dari duduknya dan mengajak Hidayat.

Di meja makan Handoko memaparkan semua rencananya kepada Mbaknya, Isma.

“Kamu jangan terlalu percaya padaku, Han...” potong Hidayat, ketika mendengar cerita Handoko yang begitu menyanjungnya. “Aku tak tau apakah aku lebih bejat dari dokter itu, kalau kamu bicara  begitu, aku takut tidak bisa membahagiakan Isma,” terang Hidayat.

“Mas Dayat tidak perlu ragu, asal Mas bisa meyakinkan diri Mas, itu sudah cukup.”

“Han, iblis tidak pernah mati dan tidak pernah bosan menggoda manusia.”

“Jadi, Mas Dayat menolak kepercayaan Handoko dan akan membiarkan Isma menikah dengan Emerson, dokter keparat itu, atau Mas Dayat tertarik hidup seperti itu.”

“Bukan tertarik hidup seperti itu, Is. Aku juga bukan menolak kepercayaan Handoko. Malah sebaliknya, dengan kepercayaan ini, rasa tanggung jawabku semakin besar dan tidak menganggap enteng masalah ini, sebab ini untuk masa depan anak-anak kita kelak. Kamu jangan pernah menghancurkan hasratku untuk membahagiakanmu, jangan pernah menyinggung kalau aku menikahimu hanya karena kasihan atau menyelamatkanmu dari                      dr. Emerson. Aku ingin, kamu menerimaku apa adanya, menerima segala kekuranganku, aku tak punya asal usul yang jelas. Siapa aku? Wallahu a’lam bis shawab! Aku tak memberi apa-apa, selain dari diriku sepenuhnya.”

Isma hanya terdiam mendengar perkataan Hidayat dengan segala kerendahan hatinya, dia merasa malu akan ucapannya tadi.

“Baiklah, aku akan menerima Mas apa adanya, harta bisa dicari, sedang ketulusan sulit didapat.”

“Tak perlu berjanji, Is, janji identik dengan ingkar. Berikhtiarlah, mungkin lebih baik dan lebih afdhol.”

“Mas Dayat betul, Mbak.”

Pertemuan itu pun akhirnya terjadi juga, tapi Handoko tidak ikut di sana dengan alasan yang sengaja dibuatnya.

Dalam pertemuan itu, Isma pura-pura malu pada dr. Emerson yang memandangnya dari tadi. Sesekali diulasnya senyum pada dokter itu. Mendapat perlakuan seperti itu, dr. Emerson merasa tersanjung. Ia segera minta izin pada orang tua Isma untuk mengajak Isma makan malam di luar.

“Bagaimana, Isma?” tanya papanya.

“Boleh saja, Pa. Asal....”

“Asal apa, Dek Isma.” potong dr. Emerson tak sabar.

“Asal Isma yang menentukan tempatnya.”

“Memangnya Dek Isma mau makan di mana?”

“Besok saja Isma kasih tau biar sekaligus kejutan buat Mas Dok. Tempatnya tenang, agak sepi dan masakannya paling enak. Tempat itu paling istimewa buat Isma di Jakarta ini. Kita bisa berlama-lama dan mengobrol sepuas hati.”

Malam harinya Isma berdandan di kamarnya, tapi dia telah memberi tau Handoko dan Hidayat tempat yang mereka tuju.

Handoko dan Hidayat bersama dua orang preman segera menuju tempat yang telah diberi tau Isma. Di tempat itu, mereka segera mencari keberadaan dokter itu. Setelah ketemu, kedua preman itu segera mendekati Isma dan dokter itu, sementara Handoko dan Hidayat menjauh.

Kedua preman itu segera menodongkan sepucuk senjata api dan meminta barang-barang berharga milik dr. Emerson, dokter itu mencoba melawan, namun salah satu di antara mereka segera meraih botol dan memukulkannya ke kepala dokter itu sehingga botol itu hancur berkeping-keping, isi botol itu segera membasahi kepala dokter itu dan dia ambruk tak sadarkan diri. Darah segar mengucur dari kepala dokter itu. Kedua preman itu melucuti barang-barang berharga milik dokter itu, baru mereka beralih pada Isma. Segera mereka menampar Isma dan segera membopong ke dalam mobil dan segera melarikannya.

Melihat hal itu Handoko dan Hidayat menjadi emosi, mereka segera mengejar mobil yang mengarah ke arah rumah kosong tempat mereka bertemu tadi.

Sampai di rumah kosong itu, Handoko dan Hidayat langsung membentak kedua preman itu.

“Kenapa kalian memukul Mbak Isma?” bentak Handoko.

“Brengsek, kamu masih menyuruh kami tenang. Bagaimana kami bisa tenang?” balas Hidayat berdiri.

“Tenang dulu, biarkan kami menjelaskannya.” kata preman yang berambut gondrong. “Duduk dulu! Kami memukulnya bukan tanpa alasan.”

“Alasan apa?”

“Kami sudah biasa menangani masalah seperti ini, dan ini pekerjaan kami sehari-hari. Kami menamparnya agar kejadian ini murni sebagai penculikan dengan motif apapun, jadi saudara terlepas dari pendalangan kejadian ini.” terang salah satu preman itu.

Handoko dan Hidayat mengangguk-angguk dengan penjelasan preman itu.

“Terima kasih!” balas Handoko. “Ini bayaran kalian!” lanjut Handoko melempar amplop yang berisi uang.

Yang berambut gondrong itu segera menangkap amplop itu dan memeriksa isinya.

“Barang-barang dokter ini, bagaimana?”

“Itu bonus kalian. Ambil saja.”

Sesaat Isma mengerang, ia telah siuman.

“Mbak, udah sadar? Untunglah kalau begitu.”

“Dimana saya, Han?” tanya Isma sambil duduk.

“Mbak ada di tempat yang aman.”

“Gimana? Apa masih pusing?” tanya salah satu preman sambil menyodorkan sebotol air mineral dan sebuah gelas. “Maaf, saya tak bermaksud memukul, hanya ingin melepaskan saudara Handoko dan Hidayat dari pendalangan kejadian tadi, ini dimaksudkan agar murni penculikan.”

“Han yang nyuruh mereka, Mbak.”

“Dokter itu?”

“Tidak usah dipikirkan, yang penting Mbak selamat.”

“Terima kasih, Han! Mbak berhutang budi padamu.”

“Bukan! Bukan hutang budi tapi kasih sayang seorang adik yang nyelamatin mbak-nya. Ini keharusan. Han sebagai adik harus bisa menjaga mbaknya.”

“Handoko benar, Is, dia adikmu, jadi tidak ada hutang budi antara kalian.” kata Hidayat sambil menuang air mineral ke dalam gelas dan menyodorkan pada Isma.

Isma menerima gelas. “Terima kasih, Mas!” sambut Isma tersenyum.

“Apa sudah terasa membaik, Mbak? Kalau sudah kita berangkat sekarang!”

“Sudah agak lumayan.”

“Kalau begitu kami permisi. Terima kasih atas bantuannya.” kata Handoko berdiri menyalami keduanya diikuti Hidayat dan Isma.

Handoko dan Hidayat segera membawa Isma ke tempat yang mereka rencanakan. Di tempat itu Isma di titipkan dan mereka kembali ke tempat kost-kostan Hidayat.

Esoknya, gemparlah berita penculikan itu dan Hidayat muncul sebagai wartawan di antara puluhan wartawan yang mencari informasi.

Selang beberapa bulan kasus ini mulai mendingin dan hasilnya tetap nihil.

Handoko segera menjalankan rencananya menikahkan keduanya, Hidayat dan Isma.

Serapi apapun seseorang menyimpan kebusukan pasti akan menguap juga. Tapi Handoko cepat membaca situasi yang terus mengarah padanya dan memojokkannya, hingga ia pun segera menghilang dan tinggal di tempat Mas Hidayat dan Mbak Isma.

Hanya sebulan ia tinggal di sana selanjutnya ia pamit ke Sumatera. Waktu itu Isma hamil anak pertama, ia menitipkan nama untuk keponakannya. Aris, jika keponakannya laki-laki dan Irawati Natsir, jika keponakannya perempuan.

Dengan berurai air mata, Isma melepas kepergian adik yang begitu disayanginya. Meski berat hatinya, namun ia terpaksa melepas kepergian adiknya demi masa depannya kelak. Ia hanya berpesan agar adiknya pulang tiap tahun dan berhati-hati dalam  bergaul, jangan sampai terjerumus pada pergaulan bebas.

* * *

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler