Skip to Content

NOVEL: DI SATU SISI HATI (...persahabatan, cinta, dan dendam....) (Bag. 04)

Foto SIHALOHOLISTICK

EMPAT

 

SETELAH mendengar cerita Om-nya, barulah Aris tau bagaimana kisah cinta antara ibunya dan ayahnya. Cerita itu terekam di benaknya, hingga sebuah ilham merasuk ke jiwanya. Cinta Kita, itulah yang siap digarapnya.

Malam harinya usai makan malam, mereka berkumpul di ruang depan. Aris duduk di dekat                Om-nya yang sedang asyik menikmati rokok kesukaannya.

“Begini, Mbak....” kata Om Aris kepada Ibu Aris, membuka bicara disela-sela hisapannya.

“Ya, Pak Nashat!” balas Ibu Aris.

“Kedatangan kami ke sini ingin mengajak Mbak Yu dan keluarga ke Sidempuan. Kami sudah pindah ke sana beberapa bulan yang lalu. Aku dan Nai Nashat sepakat mengajak Mbak Yu membantu dan menemani Nai Nashat di kebun salak, kami membeli kebun salak seluas lima hektare. Mungkin penghasilan cukup bahkan lebih dari mencukupi kehidupan Mbak dari pada di sini penghasilan Cuma bergantung pada kue yang cukup minim. Bahkan Aris terpaksa mengorbankan waktunya untuk bekerja. Kasihan Aris, Mbak, saat remaja seperti ini seharusnya ia menggali potensi dirinya, apalagi kelihatannya ia mewarisi bakat almarhum Mas Dayat, ayahnya.”

“Iya, Mbak. Kalau Mbak ikut, kita bisa dekat, kalau terjadi apa-apa kami bisa langsung tau.”

“Pak Nashat... Nai Nashat. Bagaimana Mbak menjawabnya. Rasanya Mbak sangat senang punya saudara seperti kalian, tapi Mbak serahkan saja pada bere kalian. Terlebih mereka sekolah di sini, mengurus surat pindah itu tak gampang apalagi pindah propinsi, harus ke Dinas Catatan Sipil.”

“Soal itu bukan alasan, Mbak. Saya akan urus semua.”

“Ya, mungkin bukan alasan, tapi bagaimana dengan keputusan mereka. Mbak tidak mau memaksakan kehendak.”

“Bagaimana menurut kamu, Ris?” tanya Om-nya menoleh pada Aris.

“Begini Om... Nattulang, dulu waktu Aris menginjakkan  kaki   di   sekolah   SMA   sekarang,  Aris memantapkan niat untuk menyelesaikannya di sini. Aris belum mau pergi dari tanah kelahiran ini minimal sebelum tamat SMA. Aris bukannya menolak, malah Aris  merasa   senang   karena   hanya   Om   yang benar-benar mengakui kami sebagai keponakan di antara tiga saudara ibu yang lain.” kata Aris.

“Aris rasa, waktu satu setengah tahun bukan waktu yang lama.” sambung Aris.

“Berarti kami pulang dengan tangan kosong?”

“Iya, Kak, kita ikut aja ke Sidempuan, di sana kita punya waktu luang dan di sana Kakak masih bisa ngarang, toh.” kata Lena menanggapi perkataan kakaknya.

“Iya, Kak. Di sana Ario bisa nonton televisi ama Bang Nashat.” tambah Ario.

Nattulang tau sekarang. Pasti Aris gak bisa ninggalin hallet-nya disini.” tebak Nattulang-nya.

“Apa benar, Ris?” tanya Om dan ibunya serentak.

“Bukan masalah itu. Aris hanya tak bisa melawan kata hati Aris.” bantah Aris.

“Hanya karena itu, Ris?”

Aris tak menjawab. Ia tak peduli lagi dengan desakan yang ditujukan padanya. Meskipun berkali-kali Nattulang-nya membujuk, ia tetap tak menggubrisnya lagi.

“Sudahlah, kalau memang Aris tak mau,m kalian bersabar dulu. Satu setengah tahun bukan waktu yang lama.” kata Ibu Aris. “Aris ini sedang remaja, jadi ia masih belum bisa dikendalikan, kadang ia mudah di mengerti, tapi kadang malah sebaliknya. Dia sedang memilih sikap untuk masa depannya, kita harus menghormati komitmennya yang sedang memilih sikap untuk pegangannya ke masa depan. Mbak minta maaf, kedatangan kalian jadi sia-sia.”

“Ya, sudah Mbak, kalau Aris emang  gak mau, saya ndak maksa, tapi terus terang saya kecewa.” kata Om Aris sambil mematikan rokoknya ke dalam asbak. Ia bangkit dari duduknya dan masuk ke ruang dalam.

Melihat sikap itu, istrinya bangkit masuk ke dalam.

“Ris, baiknya kamu terima aja, dari pada Om kamu tersinggung menerima sikap kamu.”

“Bu, Aris ndak punya maksud nyinggung perasaan Om.” Balas Aris. “Ibu ingat kan, beberapa bulan yang lalu Pak Imron ngajak Aris tinggal bersamanya. Mungkin inilah kesempatan Aris membalas budi baik Pak Imron. Mungkin tanpa dia, Aris undak akan masuk SMA.”

“Tapi ibu undak mau ninggalin kamu di sini sendirian, sedang ibu jauh di Sidempuan. Hati ibu ndak akan tenang, pasti pikiran ibu akan terus mengingatnya.”

“Ibu tenang dan percaya pada Aris. Titipin Aris pada Tuhan, Bu. Pasti Tuhan akan ngejaga Aris. Cuma satu setengah tahun, Bu. Waktu yang cukup singkat, setelah itu, Aris akan ke Sidempuan. Aris janji gak akan ngecewain Ibu.”

“Kamu yakin dengan keputusan kamu, Ris.”

“Kalau ibu merestuinya, Aris sangat yakin, Bu.” balas Aris menatap.

“Lalu, bagaimana dengan rumah ini, Ris?”

“Kalau boleh Aris ngasih usul, rumah ini jangan di jual, ini satu-satunya peninggalan almarhum ayah. Lebih baik disewakan, uangnya Aris tabung untuk keperluan mendadak atau untuk biaya kuliah Aris.”

“Bagaimana Lena?” ibunya beralih pada adiknya.

“Soal rumah, Lena rasa memang betul, tapi ketinggalan kakak, terserah Ibu saja.”

”Baiklah kalau begitu. Kalau memang Aris merasa lebih baik demikian, Ibu mengalah saja. Sedang untuk menolak untuk permintaan Om kalian, ibu merasa ndak biasa.”

“Ma kasih atas pengertian dan keputusan Ibu. Setiap libur, Aris akan ke Sidempuan.”

“Paggil Om kamu, Len! Biar kita selesaikan malam ini juga.”

“Baik, Bu!”

Lena bangkit dari tempatnya. Tak berapa lama ia muncul bersama Om dan Nattulang-nya.

“Bagaimana jadinya, Mbak? Aris jadi ikut?” tanya Om penuh harap.

“Tetap tidak. Ia akan tinggal bersama Pak Imron. Beberapa bulan lalu Aris diajak Pak Imron tinggal bersamanya, tapi Aris menolak dan kesempatan ini dirasanya cukup baik untuk membalas budi baik Pak Imron. Mungkin tanpa Pak Imron dia tak akan sekolah sampai sekarang.”

“Tapi aku berharap semua ikut, Mbak.”

“Sudahlah jangan paksa bere mu menuruti keinginanmu, itu tak baik. Mungkin ia memang merasa pantas membalas budi baik Pak Imron. Kan tak salah.” balas istrinya.

“Baiklah, tapi bagaimana dengan rumah ini?”

“Rumah ini tak dijual, sebab ini satu-satunya peninggalan mendiang ayah. Menurut Kak Aris di sewakan saja. Uangnya bisa dipergunakan untuk keperluan mendadak atau untuk biaya kuliahnya kelak.” jawab Lena.

“Bagus. Itu pemikiran yang positif.” balas Om-nya. “Kalau begitu, mulai besok Om akan urus surat kepindahan kalian. Semoga tak memakan waktu yang lama, agar kita bisa berangkat secepatnya. Masalah kepindahan dari Dinas Catatan Sipil dan Kependudukan bisa menyusul.”

Esoknya Om Aris mulai mendatangi sekolah Lena dan Ario untuk mengurus segalanya perihal kepindahan kedua keponakannya. Ternyata memang tak semudah yang dibayangkannya untuk mengurus surat kepindahan sekolah itu, malahan sampai berurusan dengan Dinas Pendidikan Provinsi. Namun Om Aris meminta pada pihak sekolah untuk mengurus dengan secepatnya karena waktunya sangat mendesak.

Sepulang dari sekolah, Aris langsung ke toko Pak Imron untuk memberi tau kalau ibunya akan ikut bersama Om-nya. Aris meminta pada Pak Imron agar bisa datang ke rumah mereka sebelum berangkat ke Sidempuan.

Pak Imron langsung mendekap Aris meluapkan kebahagiaannya setelah ia tau Aris bersedia menjadi anak angkatnya. Ia merasa punya sandaran hidup di hari tua kelak dan punya ahli waris yang akan mengurus semua usaha dan hartanya setelah ia meninggal nanti. Ia merasa do’anya telah dikabulkan oleh Allah SWT.

Malam harinya Pak Imron dan istrinya datang ke rumah orang tua Aris.

“Terima kasih Lae Handoko.” kata Pak Imron akhirnya setelah puas berbasa basi dengan keluarga itu. “Saya tak bisa meluapkan kebahagiaan yang besar ini. Rasanya saya dan istri saya punya sandaran hidup di hari tua nanti, bukan itu saja Lae Han dan Bu Dayat, kami juga merasa punya ahli waris yang akan mengurusi dan melanjutkan usaha saya. Saya tak tau harus mengatakan apa pada Lae Han dan Bu Dayat.”

“Terima kasih kembali Pak Imron. Teriama kasih atas kepercayaan yang Pak Imron kepada keponakan saya.” balas Handoko. “Tapi begini Pak Imron, berhubung kami akan pergi jauh, kami titip Aris pada Pak Imron. Kami berharap Pak Imron memberlakukan Aris seperti anak sendiri, kalau dia salah tolong ajari, kalau tak mau marahi atau bila perlu pukul dia. Lindungi dia kalau dapat masalah dari luar. Jika ia punya kesalahan di luaran, jangan membelanya kalau dia memang salah.”

“Benar, Pak Imron dan Bu Imron....” tambah Ibu Aris. “Sebenarnya, terlalu berat bagi saya meninggalkannya sendirian di sini, tapi saya percaya  pada Pak Imron dan Bu Imron akan mengasuh, membimbing dan mengajari Aris.”

“Tentu, Bu Dayat. Tidak mungkin kami membiarkan Aris begitu saja, toh, selama ini juga kami telah membimbingnya, sudah menganggapnya sebagai anak sendiri. Aris sudah jadi tanggung jawab kami lahir dan batin kalau Bu Dayat dan keluarga sudah berangkat ke Sidempuan.” balas Bu Imron.

“Kamu dengar, Ris?” tanya Om-nya. “Kamu jangan mengecewakan Pak Imron dan Bu Imron yang telah menaruh simpatik padamu. Kepercayaan itu tak mudah di dapat. Setelah kami pergi Pak Imron dan Bu Imron adalah orang tuamu pengganti ayah dan ibu kandungmu. Hiduplah dengan jujur, sebab kejujuran adalah modal utama dan termahal dalam hidup ini.”

“Ris, ingat semua pesan mendiang ayahmu, Nak. Jangan pernah menyia-nyiakan harapannya. Kalau ibu sudah berada di Sidempuan, jangan lupa beri kabarmu setiap saat.”

“Iya, Bu!” balas Aris di hadapan ibunya. “Maafkan segala kesalahan Aris, Bu. Do’akan Aris agar berhasil mencapai semua cita-cita Aris dan memenuhi harapan mendiang ayah. Restui semua langkah Aris dalam mengejar cita-cita, restui semua nafas Aris dalam memenuhi harapan mendiang ayah.” katanya sambil terisak di pangkuan ibunya. Ibunya hanya bisa mengecup kepalanya dan mengelus-elus rambutnya dengan penuh kasih sayang.

“Kapan rencana berangkat?”

“Kalau tak ada halangan, hari Jum’at atau paling lama Minggu, menunggu surat-surat selesai.” jawab Handoko.

Hampir tengah malam barulah Pak Imron dan Bu Imron pamit.

Tanpa terasa, hari yang dinantikan akhirnya tiba. Aris mulai mengangkati barang ke dalam mobil. Sementara Pak Imron bersama istrinya mengobrol dengan Handoko dan Bu Dayat di dalam rumah.

Dalam rumah, Aris dan keluarganya menangis melepas ibunya dan adik-adiknya dan menangisi perpisahan mereka. Pak Imron dan Bu Imron menatapi mereka dengan perasaan haru yang tak dapat mereka bendung. Suara mesin mobil yang berbunyi membuat pelukan Aris dan Ibunya semakin erat, kemudian merenggang beberapa jenak. Ibu Aris mengecup anaknya dengan penuh perasan kasih dan sayang. Ibu Aris akhirnya masuk ke dalam mobil dan beberapa jenak mobil akhirnya berjalan dengan sisa keharuan yang mengambang ke angkasa, mobil berjalan diiringi lambaian tangan Aris yang  menatap kepergian keluarganya.

Setelah mobil hilang di tikungan, barulah Aris mengalihkan pandangannya pada rumah peninggalan almarhum ayahnya. Pak Imron dan Bu Imron segera menuntun Aris menuju rumah. Dalam rumah, kedua orang tua itu pun membantu Aris berkemas-kemas. Aris kini tinggal seorang diri di tanah kelahirannya tanpa seorang anak jadi orang tua angkatnya. Ia meminta pada Pak Imron untuk mencari penyewa rumah itu.

Minggu, meski gak sekolah, Aris tetap bangun pagi, dibersihkannya, dirapikan semua terutama tempat tidur yang luas dan empuk. Selesai membersihkan kamarnya, semua kain kotornya dikumpulkan dan dicucinya. Bi Ijah dan Bu Imron sudah melarangnya, tapi Aris menolaknya, karena ia merasa bukan untuk bersenang-senang, tapi untuk belajar hidup mandiri. Selesai itu ia beranjak ke depan membantu Mang Karta menata tanaman di depan dan belakang. Selesai itu, ia baru mandi dan sarapan, barulah berangkat ke toko.

Di toko, Aris mulai mengerjakan pekerjaan yang biasa dilakukannya. Keuletan dan kesungguhannya bekerja membuat Pak Imron semakin senang padanya bahkan semakin sayang.

Siang itu, ia membeli koran Warta Aji yang lewat di depan toko dan segera dicarinya rubrik budaya dan cerpen Berawal Dari Kebencian cerpennya dimuat.

Ketika Pak Imron datang, segera hal itu diberi taunya. Pak Imron memberinya semangat dan berjanji akan membelikannya sebuah komputer untuk mengarang.

Senin pagi ia disambut Rhei dan Yuyun dengan ucapan selamat atas dimuatnya karya perdana Aris di koran Warta Aji. Mereka masuk ruangan kelas bersama.

“Ris, dengar-dengar gosipnya, nyokap ama adik-adik kamu hijrah ke Sidempuan, ya?”

“Iya, Yun. Mereka dijemput Om, awalnya aku diajak, tapi aku nolak dan pilih tinggal di tempat Pak Imron. Aku belum pengen ninggalin kampung halamanku ini secepat itu, terutama SMA ini. Aku ngawalinya di sini dan akan aku akhiri di sini dan hal yang paling penting aku punya kalian di sini. Aku belum tentu dapat sobat kek kalian di sana. Untunglah nyokap ama Om mau ngerti.” kata Aris. “Mm...Misbah mana? Kok gak kelihatan, biasanya barengan?”

“Ntahlah. Aku gak tau. Tadi waktu kita nunggu kamu, dia langsung masuk. Aku heran liat dia, kok terus-terusan negative thinking ke kamu, padahal semua gak jelas. Dia terus berusaha ngejauhin kamu.”

Bunyi bel akhirnya menghentikan obrolan mereka dan mereka segera turun ke lapangan untuk ngikuti upacara bendera.

Saat istirahat Aris bergegas ke kantor guru karena namanya sudah berkali-kali di panggil lewat pengeras suara. Di situ ia menerima sebuah wesel pos dari Warta Aji yang berarti itu honorarium pertamanya. Pulang sekolah ia mampir di kantor pos untuk mencairkan wesel itu.

Selasa waktu istirahat, ia menemui Sheila. Gadis berdarah Batak itu menerima kehadirannya dengan sangat senang. Sudah lama ia tak ngobrol dengan Aris. Karena senangnya, ia pamit pada teman-temannya dan mengikuti ajakan Aris. Aris mengajak ke kantin dan memesan makanan untuk mereka berdua.

Ito hebat, ya. bokap, nyokap dan kakak aku sangat suka ide karangan, Ito.”

“Aduh, thank’s banget atas pujiannya. Titip salam buat mereka, ya. Tapi kasih, dong, kritik biar karya selanjutnya lebih bagus.”

“Ngasih kritik? Sorry, kami bukan dari komunitas kritik sastra.”

“Keluarga kamu kan suka, pastilah tau bagian mana yang kurang tepat.” kata Aris. “Ayo dimakan makanannya! Mumpung lagi honorariumnya masih ada.”

“Ma kasih, Ito!” balas Sheila. “Boleh juga soal kritik mengkritik. Tapi gimana kalo Ito datang aja ke rumah, biar kek dialog gitu.”

“Sepertinya ide yang bagus, tapi aku gak tau kapan, nih, soalnya aku lagi banyak kerja, apalagi pengen siapin outline novel, nih.”

“Bikin novel juga? Judulnya?”

Akhirnya Aku Tersingkir, ya, coba-coba aja, kalau bagus diterbitin.” balas Aris. “Tapi aku gak tau rumah Ito.”

“Rumah aku di Jl Kasuari No.30, yang cat warna pink dan berpagar tinggi.”

“Yang di  samping rumah Pak Rico, ya?”

“Iya! Kok tau Pak Rico, kenal di mana?”

“Langganan Pak Imron. Aku sering ngantar pesanan ke sana, biasanya bulan-bulan muda. Berarti kamu anak dokter Surya Hutabarat, ya?”

“Betul!”

“Oh, ya, To, aku mau nanya sesuatu, nih.”

“Soal apa?”

“Anu... apa Ito suka sama aku, seperti senyum manis yang setiap saat ingin ku lihat dari bibir Ito.”

“Mm... rasanya gak berlebihan kalo seorang gadis menyukai laki-laki seperti Ito yang baik, sopan, cerdas, ramah, dan pandai bergaul. Kalo emang Ito memang gak suka ama aku mungkin wajarlah dan Sheila gak kecewa. Sheila sadar gak bakal bisa melebihi anggunnya gadis imajiner Ito itu.”

“Kok, jadi ngelantur ke situ? Aku gak pernah beda-bedain orang. Cuma aku terlanjur ngasih harapan ama cewek lain, makanya aku tanya soal itu. Aku takut terlanjur pula ngasih harapan hampa sama Ito. Kalau emang udah sempat, aku minta maaf, aku gak punya maksud ke situ.” balas Aris. “Gimana kalu kita bersahabat saja, kita masih bisa ngobrol, curhat dan berbagi cerita.”

“Apa Ito mau bersahabat ama Sheila?”

Why not? Dengan persahabatan kita bisa saling memahami perbedaan.”

“Kalau emang gitu, makasih banget atas kesediaan Ito jadi sobat Sheila.”

“Makasih juga atas pengertian Ito. Makasih atas semua waktunya. Aku masuk duluan.” kata Aris sambil bayar makanan mereka.

Setelah Aris pergi, Sheila gabung lagi ama teman-temannya tadi.

Malamnya, Aris akhirnya memutuskan untuk mendatangi rumah Sheila. Di depan pagar Aris memencet bel. Tak berapa lama Sheila muncul dan membukakan pintu. Dia cukup kaget ketika melihat siapa yang datang, ternyata Aris.

“Lho, Ito, rupanya?” sapa Sheila. Aris hanya mengangguk sambil tersenyum. “Sudah siap rupanya debat ama bokap, nyokap, dan mbakku?” tanya Sheila.

“Gak ada yang perlu didebatin, cuma pengen dengar masukan dan kritik aja, siapa tau berguna, kan.”

Sheila mengajak Aris masuk dan mempersilakan duduk di sofa di ruang tamu, sementara Sheila masuk ke dalam memanggil keluarganya.

“Oo... jadi ini rupanya Aris Ws. yang ngarang cerpen Berawal Dari Kebencian itu? Cakap rupanya, sama kek ide karangannya yang brilliant itu, toh.” kata bokap Sheila pada Aris ketika sampai di ruang tamu bersama anggota keluarga yang lain.

“Ah, biasa aja kok, Om, cuma coba-coba, aja.” balas Aris bangkit dan menyalami semua.

“Masih coba-coba saja sudah begitu, bagaimana kalau sudah mantap dan mapan?” puji bokap Sheila. “Belajar di mana?”

“Nggak belajar di mana-mana, Om. Cuma belajar dari penalaran, pengamatan, logika dan dikembangkan dengan latihan semaksimal mungkin dan secara imajinatif.”

“Berapa jam belajar menulis tiap hari?” tanya Mbak Sinta.

“Kalau ke situ gak ada jadwal, Mbak, soalnya aku gak punya banyak waktu luang. Aris nulis kalau ide datang dan diusahain selesai dalam sekali duduk. Kalau ada waktu luang sementara ide gak ada, tulisan yang udah rampung tadi di obrak-abrik lagi sehingga menjadi lebih baik.”

“Wah, hebat juga. Perencanaannya tetap berkoordinasi meski tanpa jadwal.” balas mbak Sinta.

“Sheila, buatin minumnya, dong!” kata nyokap Sheila padanya. Sheila langsung bangkit dari duduknya.

“Nak Aris, kami sudah dengar dari Sheila kalau Nak Aris butuh kritik atau sejenis masukan, tapi sayangnya kami bukan dari komunitas pengkritik. Cuma sekedar belajar dari pengalaman, Om pikir kamu juga mesti bisa dengar seperti apapun itu kritik yang diberikan orang. Orang yang mau di kritik itu adalah orang yang mau maju. Sekedar itulah yang bisa Om berikan. Kritik orang, ambil baiknya buang buruknya.”

Sementara Sheila muncul dengan beberapa gelas teh bersama kue-kue yang sekedarnya saja.

“Jadi merepotkan!” kata Aris.

“Nggak, kok!” balas Sheila.

“Ayo Nak Aris, dicicipi! Jangan malu-malu!” ajak nyokap Sheila.

“Makasih, Tante.”

“Kalau boleh tau, Nak Aris ini anak siapa, ya?” tanya bokap Sheila.

“Ayah namanya Hidayat dan ibu namanya Isma.”

“Hidayat? Rasanya Tante kenal. Apa nama lengkapnya Hidayat Wicaksana, mantan wartawan Gema Merdeka itu?”

“Betul, Tante!”

“Mm..., apa orangnya besar tinggi dan berambut gondrong?” tambah bokap Sheila.

“Seingat Aris, ayah tak pernah berambut gondrong.”

“Sebentar....” kata bokap Sheila. “Dik. tolong ambilkan album foto yang ada di laci meja!” katanya pada istrinya.

Istrinya segera bangkit dan masuk ke dalam kamar. Sekembalinya dari kamar, istrinya membawa album foto yang besar dan memberikan padanya. Segera album itu di balik mencari sebuah foto, ketika foto yang dicari ketemu, segera diperlihatkan pada Aris.

“Apa ini orangnya, Ris?”

Aris memperhatikan foto itu, foto dua orang pemuda, yang satu berambut gondrong dan satu lagi berseragam polisi.

“Aris gak begitu kenal dengan orang ini, Om, yang Aris ingat ayah punya bulatan hitam di betis sebelah kanan. Seperti ini, Om...!” kata Aris memperlihatkan tanda bulatan hitam yang juga dimilikinya.

“Kalau gitu, gak salah lagi, ayah kamu itu adalah sahabat Om, bahkan di antara kami sudah seperti saudara. Dia sering ke rumah kami, dari nginap, makan, nyusun laporan kejurnalistikannya bahkan membantu tugas kuliah Om. Yang ada di foto ini adalah adik Om. Waktu Om menyelesaikan kuliah dulu, ayahmulah yang membantu Om turun untuk melakukan survey ke lapangan, bahkan yang ngenalin Om dengan tantemu juga beliau. Tantemu ini dulu adalah rekannya Staf Redaksi Suara Nusantara. Dari keseringan ayahmu di rumah, terjalinlah hubungan batin dengan adik Om. Mereka saling mencintai, tapi sayangnya orang tua kami tidak menyetujui. Orang tua Om meminta pada ayahmu untuk menyelesaikan hubungan mereka dan setelah ayahmu menyelesaikannya, ia pamit dari rumah dan berkelana entah sejauh mana.” cerita bokap Sheila terputus, ia menarik nafas panjang.

Aris mendengarkan cerita itu dengan baik, ia ingin mengumpulkan serpihan kehidupan ayahnya yang tidak diketahuinya selama ini.

“Sayang sungguh nasib adik Om...” kata bokap Sheila melanjutkan ceritanya. “...ia mengalami penderitaan batin hingga penderitaan itu merenggut nyawanya. Penyesalan orang tua Om tidak terkata hebatnya, mungkin itulah penyesalan yang terbesar dalam hidupnya. Kenapa ia tak merestuinya saja? Apalagi saat akhir hayatnya, adik Om itu memanggil nama ayahmu tiga kali sekuat dan sekencang-kencangnya. Seminggu setelah meninggal, surat ayahmu datang dan menceritakan kalau beberapa hari belakangan perasaannya tak tenang, apalagi sebelum ia menulis surat malamnya ia bermimpi, telah terjadi sesuatu pada adik Om. Kami mengira-ngira mimpi itu tepat persis ketika adik Om memanggil namanya pada dini hari itu. Di akhir suratnya ia menanyakan keadaan adik Om dan menitipkan salam rindu yang sangat dalam. Di mendo’akan agar adik Om dapat jodoh yang lebih sempurna darinya.” ceritanya terputus.

Aris tak bergeming sedikit pun. Kemudian bokap Sheila melanjutkan ceritanya.

“Bertambah lukalah orang tua Om membaca surat ayahmu, di tambah lagi adik Om yang sekarang menjadi polisi itu menyalahkan orang tua kami sebagai penyebab semua ini. Kenapa mesti di tolak orang sebaik ayahmu, hanya karena asal usul yang tak jelas. Sehingga ayah kami tidak bisa berbicara apa-apa lagi.”

Om mengambil inisiatif untuk membalas surat ayahmu dan memintanya untuk datang dan berita kematian itu masih kami rahasiakan. Ketika ayahmu tiba, ayah kami langsung menangis di hadapan ayahmu, ayahmu terdiam tak dapat berbuat apa-apa. Untunglah ayahmu mau menghibur ayah kami sehingga penyesalan itu berkurang juga. Di saat ayahmu memutuskan kembali ke Jakarta, ayah kami sempat melarang, namun ia tetap bersikeras dan mengatakan kalau pekerjaannya sudah menumpuk. Ayah kami tak bisa melarang hanya berpaesan pada ayahmu untuk sering-sering datang dan menganggap rumah kami adalah rumahnya juga dan ayah kami adalah ayahnya juga. Ayah kami juga berpesan ketika ia ingin meninggal, kalau ayahmu punya hak atas semua yang ditinggalkannya sana seperti hak adik kami yang sudah meninggal dan menganggap anak Mas Dayat adalah keponakan kami.

Namun, sampai sekarang Om tak pernah bertemu dengan ayahmu sejak dua puluh tahun yang lalu. Mungkin ia tak mengenal Sinta lagi, padahal dulu ia sering menggendong-gendongnya. Mana ayahmu,   Ris? Om ingin menyelesaikan amanat orang tua kami.

Aris terdiam, ia tak bisa bicara apa-apa, hanya matanya yang berkaca-kaca. Ia ingat pada almarhum ayahnya.

“Kenapa, Ris?” tanya Sinta melihat wajah Aris berubah.

“Ayah Aris...udah...tiada enam tahun yang lalu...karena kecelakaan.”

“Apa? Sudah meninggal enam tahun yang lalu? Oh...Tuhan, begitu cepat ia pergi. Berarti ayahmu meninggal setelah empat tahun ayah kami meninggal.” Katanya sambil mengusap bulir air matanya yang mengalir. “Ke sinilah, Ris. Dekatlah pada Om, kasihan kamu, Nak.” katanya sambil menyeka air matanya kembali.

Aris berdiri dan mendekat pada bokap Sheila. Begitu ia duduk di samping bokap Sheila, segera ia didekap sambil menangis, nyokap Sheila, Sinta, Sheila bahkan semuanya ikut terisak menyaksikan peristiwa haru itu.

Setelah puas mendekap Aris, dilepaskannya dekapan itu, ia mengusap-usap kepala Aris.

“Mana ibumu, Nak?”

“Ibu ikut Om Handoko ke Sidempuan, baru dua hari yang lalu mereka berangkat. Aris tinggal bersama Pak Imron. Aris memilih untuk menyelesaikan SMA di sini dan Aris merasa di sini bisa mengejar masa depan Aris yang cemerlang.”

“Kalau gitu, mulai hari ini kamu jadi bagian keluarga ini. Kami tak punya anak laki-laki, kami jadi pengganti anak laki-laki Om yang udah tiada.”

“Terima kasih, Om.” ucap Aris.

“Bukan Om, tapi Papa dan Mama. Ini Mbakmu, ini adikmu Sheila, Putri, Dinda, Afni, adikmu juga.”

“Ma kasih Pa...Ma. Ma kasih semua, Aris senang di keluarga ini. Aris seolah berada  di antara Ayah, Ibu, Lena dan Ario. Tapi Aris gak bisa  sering-sering ke sini, Aris pengen memajukan usaha Pak Imron, lagi pula Aris pengen bikin novel yang berjudul Akhirnya Aku Tersingkir, ceritanya, anak seorang penulis miskin yang tersingkir oleh status ekonomi dari keluarga kekasihnya.”

“Gak papa, Nak. Papa gak maksa, yang penting kamu gak merasa sendiri di sini, masih ada mbak Sinta, Sheila, dan adik-adikmu. Kalau butuh pendamping Mbak Sinta mungkin bisa bantu kamu.”

“Ma kasih, Pa. Agaknya novel ini bakal banyak ngadaptasi kebudayaan Batak, jadi Aris bisa tukar pikiran soal kebudayaan Batak itu.”

“Boleh. Bahkan Papa siap jadi patnert, bila perlu. Mendiang ayahmu juga cukup piawai menulis, tapi jiwa kritisnya sangat berpengaruh pada tulisannya, ia lebih suka menulis artikel ketimbang fiksi, tapi karangan fiksinya yang tentu berisi kritikan untuk pemerintahan cukup banyak juga karena ia hidup dari sana. Dulu pernah kebebasan di dunia jurnalistik dibungkam oleh penguasa rezim orde baru, ayahmu dan beberapa rekan seprofesinya terpaksa menggunakan sastra, hal ini di mulai dari penulis handal, cerpenis Seno Gumira Ajidarma dengan semboyannya yang terkenal Ketika Jurnalisme di Bungkam, Sastra Harus Bicara. Hal ini berawal dari cerpenis Seno yang juga berprofesi sebagai wartawan menyaksikan penindasan  dan penyiksaan pada rakyat Timor Timur. Tapi Seno berpikir, kalau ia melaporkan hal ini dalam laporan kejurnalistikannya alamatnya tak lain tempatnya bekerja akan disegel bahkan ditutup dan ia akan dikirim ke Nusa Kambangan dengan status tahanan politik. Namun rasa kemanusiaannya tak bisa melihat penindasan itu, hingga ia mengarang cerpen-cerpen tentang penindasan itu dan dikumpulkan dalam buku dengan judul Saksi Mata. Tapi sekarang para wartawan sudah bebas karena kebebasan pers sudah diberlakukan dengan undang-undang.”

“Kalau gitu, Aris perlu juga, ya, baca buku-buku kek gitu? Seperti buku karangan mantan Presiden  Gusdur yang judulnya....”

Kyai Nyentrik Membela Pemerintah atau Kesusastraan dan Kekuasaan karangan Goenawan Muhammad.” sambung Sinta. “Mbak punya bukunya, cuma lagi dipinjam teman Mbak, minggu depan aja. Kalau butuh buku bacaan berat dan ringan bilang aja ama Mbak, gak usah sungkan-sungkan.”

“Ma kasih, Mbak.” balas Aris. “Kalau gitu, Aris pulang dulu. Kapan-kapan Aris datang lagi.”

“Aris, warisan milik ayahmu adalah hakmu, Nak. Bawa aja sekarang.”

“Papa simpan aja dulu.”

“Terserah kamu, tapi ingat itu hak kamu dan manfaatkan dengan baik.”

“Insya Allah, Pa. Aris pamit. Kalau ada waktu luang Aris sering ke sini.”

“Baiklah, kami tunggu karyamu selanjutnya. Kamu tak perlu sungkan datang ke sini, bukan cuma Pak Imron keluargamu, kami juga keluargamu.”

“Pasti, Ma. Aris gak tau gimana cara ngungkapin bahagia Aris saat ini, cuma terima kasih, Ma. Sekarang Aris pamit.” kata Aris sambil menyalami keluarganya satu persatu.

Seluruhnya mengantarnya ke luar dan Sheila mengantarnya sampai pagar.

“Gak nyangka, To, tadi siang kita jadi sahabat yang siap berbagi cerita dan malam ini jadi saudara.”

Sheila hanya mengangguk sambil tersenyum mengiringi langkah Aris yang berjalan meninggalkan rumahnya.

* * *

SIANG itu, sepulang sekolah, Aris berada di toko, ia asyik membolak-balik surat kabar Harian Warta Aji yang belum sempat dibacanya karena sibuk bekerja. Sebuah berita kecelakaan telah menyedot perhatiannya.

.............................................................................................................................................

ESCUDO VS TRUK

Siantar (Warta Aji). Sebuah Escudo biru metalik tumbang didorong oleh sebuah truk jurusan Sibolga-Siantar, dalam tabrakan itu seorang bocah laki-laki yang berusia 7 tahun yang mengaku dengan nama Ario Wicaksana selamat, bahkan tidak mengalami  lecet sedikit pun, warga setempat sempat menamakan anak ini sebagai Anak Ajaib. Tim Polresta Siantar mengadakan penyidikan ke TKP dan sampai berita   ini diturunkan Polresta Siantar Kompol AKBP Hendry Prasetyo Hutabarat menyimpulkan bahwa kecelakaan ini bukanlah unsur yang lain selain  karena sopir truk berinisial JM (39) dalam keadaan mabuk sedang sopir Escudo berinisial HN (42) diduga sedang mengantuk.

Sopir truk berinisial JM dan rekannya berinisial ML (28) tewas mengenaskan. Sementara sopir Escudo berinisial HN masih bisa di larikan ke RS H Adam Malik Medan dan hingga saat ini masih dalam keadaan koma, sementara penumpang Escudo yang lain Sartika Parapat (38); Isma Sawitri (46);  Magdalena (15) dan Nashat Al Abbas (10) meninggal di TKP dan saat ini berada di kamar mayat RS H Adam Malik  Medan.

Kompol AKBP Hendry Prasetyo Hutabarat, Kapolresta Siantar saat di konfirmasi di RS H Adam Malik Medan membenarkan adanya peristiwa kecelakaan ini. Beliau memaparkan, “Kecelakaan ini menambah deret kasus kecelakaan menjadi 60 kasus sepanjang tahun ini dan lokasi TKP, kami dari pihak Kepolisian Pematang Siantar menyatakan lokasi TKP adalah lokasi rawan kecelakaan.” papar beliau. (TSn)

.............................................................................................................................................

 

Bagaikan disambar petir di terik matahari, Aris begitu kaget membaca berita itu.

“Tidak... tidak mungkin ibu kecelakaan.” teriak Aris tergagap. Seluruh persendiannya melemas, ia hanya terduduk lemas di atas kursi.

“Aris...Aris, ada apa?” teriak Pak Imron.

Aris tak lagi menyahut, keringatnya mengucur deras, segala persendiannya melemas, nafas Aris tak karuan, selang beberapa menit ia kehilangan keseimbangan dan akhirnya roboh. Kursi yang ditempatinya patah, untunglah Pak Imron segera menangkap tubuhnya sehingga tak sampai terbentur ke lantai.

Pak Imron segera mengangkat Aris ke belakang dan membaringkannya di atas ranjang. Pak Imron segera menelepon dokter yang biasa menanganinya bila sakit. Ketika dokter itu tiba, segera diperiksanya Aris.

“Tenang Pak, Aris hanya shock dan kelelahan. Apa yang dikerjakannya tadi sehingga selelah ini.”

“Setau saya hanya membalik-balik koran edisi hari ini.”

“Atau mendengar berita yang tak enak, mungkin?”

“Ah, rasanya tidak, Dok.”

“Coba periksa koran itu, mungkin ada berita yang membuatnya jadi begini.”

Pak Imron segera mengambil koran dan segera memeriksanya, Pak Imron tertegun membaca berita ESCUDO VS TRUK itu.

“Benar, Dok. Berita inilah yang membuatnya jadi shock seperti itu, ini rombongan keluarganya yang pindah ke Sidempuan.” jelas Pak Imron pada Dokter tersebut.

“Bu...Ibu....” suara Aris lemah.

“Ris...kamu tenang. Ris kamu tenang, Nak. Nanti kita siap-siap berangkat ke Medan. Ayah siap mengangkat Ario sebagai anak juga, Om kamu masih ada. Kalau kamu sudah baikan, pulanglah dan langsung siap-siap, bawa koran ini ke rumah kalau ibumu bertanya berikan koran itu. Sementara Ayah ke bank ambil uang untuk keperluan ongkos.”

“Baik, Yah!” kata Aris mencoba bangkit, meski masih terhuyung-huyung ia tetap mencoba bangkit dan berusaha berjalan sekuat mungkin. Untunglah jarak antara toko dengan rumah tidak terlalu jauh. Sampai di rumah, ibunya terheran melihatnya pulang secepat itu dengan wajah lesu dan sedih.

Aris menyodorkan koran itu dengan wajah yang tambah sedih.

“Ada apa dengan koran ini, Ris?” tanya ibunya sambil menatap berita ESCUDO VS TRUK dan membacanya sejenak. “Astaghfirullahalazim!” pekik ibunya kaget dengan segera memeluk Aris. “Ris, tabahkan hatimu, Nak. Serahkan semua pada Gusti Allah, Dia-lah pemilik semuanya dan pada-Nyalah kita semua kembali. Anggap ini cobaan, Nak.”

“Tapi, Bu. Kenapa secepat itu? Aris masih butuh kasih sayang mereka. Tapi Tuhan telah memanggilnya, Tuhan kejam, Bu. Tuhan kejam sama Aris, Tuhan gak sayang sama kami. Aris benci sama Tuhan, Bu.” vonis Aris sambil menangis.

“Aris, jangan benci sama Tuhan, Nak. Istighfarlah! Dia Maha Tahu. Janganlah berburuk sangka pada-Nya, kendalikan emosimu, anggaplah ini cobaan.” katanya mempererat pelukannya pada Aris. “Mana ayahmu, Nak?”

“Ke bank, Bu, mungkin langsung ke bandara ngambil tiket pesawat.”

“Kalau begitu bersiaplah segera agar jangan terburu-buru.” katanya melepas pelukannya.

Aris melangkah ke kamarnya dan segera bersiap-siap.

Sementara Pak Imron datang dengan tergesa-gesa.

“Mana Aris, Bu?”

“Di kamarnya, Pak. Ibu suruh dia beres-beres dan bersiap.”

Pak Imron menuju kamar Aris.

“Ris, kita berangkat jam delapan. Gak jadi naik pesawat, pesawatnya sudah berangkat, jadi naik kapal saja.” jelas ayahnya.

Aris mengangguk menanggapi penjelasan ayahnya. Dalam hatinya, naik apapun terserah, yang penting cepat sampai ke Medan. Di ingatnya Om Handoko yang sedang kritis, lantas Ario entah berada di mana.

Selang sejam, para tetangga berdatangan untuk melayat, para tetangga rupanya sudah pada tau, begitu juga dengan Rheiner, sahabatnya dan Yuyun, pacarnya. Pada keduanya, Aris mengadukan kesedihan hatinya. Kedua sahabatnya menghibur Aris untuk tabah dan bersabar.

Tak berapa lama Papa angkatnya bersama seluruh keluarganya sampai ke rumah Pak Imron, segera mereka menemui Aris dan menghiburnya.

“Sabar, ya, To, yang tabah, Sheila ikut berduka cita atas musibah yang menimpa Ito.”

“Ma kasih, To!”

Ketika Mama angkatnya menyalaminya, Aris memecah tangisnya dan berhambur ke pelukan mamanya.

“Sabar, Nak, ini cobaan!”

“Ario, Ma. Ario....”

“Ario gak papa. Mama siap mengangkatnya sebagai anak. Aris gak usah khawatir.”

“Tapi....”

“Aris gak usah ngomel sama Tuhan, Nak, terima dengan lapang dada. Tuhan sayang sama kita, begitu Dia ngasih cobaan, Dia langsung nolong Aris lewat orang-orang di sekeliling Nak Aris.” terang Mama angkatnya sambil mendekap Aris dengan erat dan sejenak merenggang.

Aris menyapu air matanya dan sesaat mengedarkan pandangannya ke seluruh pelayat yang datang, namun sosok yang dicarinya tak ada. Ia kembali menerima jabat tangan dari para pelayat yang datang dan pergi silih berganti.

Pak Imron bangkit dan berdiri.

“Bapak-bapak, ibu-ibu serta saudara-saudara sekalian, terima kasih atas ucapan duka cita dan turut berbela sungkawanya. Berhubung karena malam ini ada kapal yang berangkat ke Medan, malam ini kami berangkat untuk mengurus jenazah. Awalnya saya, istri saya dan Aris yang akan berangkat, tapi sepertinya istri saya kelihatannya tidak bisa berangkat berhubung semakin banyaknya pelayat yang berdatangan. Mungkin di antara bapak-bapak sekalian ada yang mau ikut, mungkin saya dan Aris akan membutuhkan bantuannya nanti di Medan.”

“Kalau boleh, saya saja, Pak.” Papa angkat Aris bangkit dari duduknya. “Berhubung almarhum Pak Hidayat adalah saudara angkat saya, jadi saya ingin sekali ikut mengurus jenazah keluarganya. Biarlah anak dan istri saya yang menemani istri Pak Imron menerima saudara saudari pelayat yang masih berdatangan.”

“Kalau begitu, kedengarannya sudah sangat tepat.” sambut Pak Lurah.

“Baiklah, di sini saya sebagai ahli bait meminta pertolongan kepada bapak-bapak serta saudara-saudara sekalian untuk berkenan kiranya membantu kami menggali kubur di samping kuburan Pak Hidayat sebanyak empat buah.”

“Dengan senang hati, kami akan siap membantu.” sambut seorang pemuda.

“Terima kasih!” ucap Pak Imron.

“Kamu sudah siap, Ris? Gak bawa apa-apa?” tanya Papa angkatnya.

“Cukup jaket saja, Pa. Besok juga kita balik lagi.”

“Bapak-bapak, Ibu-ibu, saudara-saudara sekalian kami pamit sekarang.” kata Pak Imron.

Ketiganya keluar dari rumah dan naik ke dalam mobil  yang akan diantarkan Mang Karta ke pelabuhan.

Di pelabuhan mereka langsung menaiki kapal, meskipun keberangkatannya ditunda. Bosan menunggu keberangkatan kapal, Aris keluar dan berdiri di tepian kapal sambil memeluk kedua tangannya. Pandangannya kosong dengan perasaan yang berkecamuk.

Dalam hatinya ia memberontak keadilan Tuhan. Keadilan macam apa ini, katanya Tuhan Maha Tahu, ternyata tidak. Dia masih mengambil orang-orang yang masih aku butuhkan, gerutu Aris.

Diingatnya wajah ibunya, wajah Lena, Nattulang-nya dan sepupunya Nashat. Om-nya yang sedang kritis dan adiknya Ario.

Di mana dia sekarang, berada di antara orang-orang yang tak dikenalnya. Apakah dia dipedulikan atau tidak? Dia mungkin ketakutan pada wajah-wajah yang tak bersahabat, katanya dalam hatinya. Tanpa disadarinya, air matanya sudah mengalir.

Bosan berdiri, ia pun duduk di tepian kapal, kakinya dijulurkan ke bawah menggelantung. Di saat seperti itu, ia pun terlelap dalam lamunannya. Lama ia melamun, hingga tanpa disadarinya ayah dan papa angkatnya sudah berada di dekatnya.

“Lagi mikirin apa, Ris?”

“Ario, Yah! Bagaimana keadaannya sekarang di antara orang-orang yang tak dikenalnya? Ario mungkin ketakutan berada di antara orang-orang yang tak bersahabat. Kasihan Ario, Pa!”

“Serahkan segalanya pada Tuhan, Nak! Semua ini cobaan.”

“Tuhan lagi...Tuhan lagi. Persetan dengan Tuhan, Tuhan tak pernah kasihan pada kami. Untuk apa Dia selalu diingat?” kata Aris. “Sebenarnya Tuhan tak perlu ada.”

“Kenapa?”

“Karena Tuhan tak mau bantu manusia. Tuhan telah ambil ayah Aris hingga kami jadi sengsara, miskin dan melarat. Ibu mesti banting tulang menghidupi kami bertiga. Tapi, apa? Ia masih ngambil Ibu, percuma kami selama ini tunggak-tunggik menyembah-Nya.”

“Aris, kamu jangan mau terpengaruh dengan pikiran-pikiran seperti itu, itu pikiran yang akan menyesatkan dirimu sendiri. Tuhan sedang memberimu cobaan, seperti apa keimananmu kapada-Nya. Dia juga sedang menguji kami termasuk orang-orang yang ada di sekelilingmu dan artinya Tuhan menolongmu lewat orang-orang yang peduli padamu. Tuhan tak menimpakan suatu cobaan pada umatnya kalau umatnya tak sanggup menghadapinya. Jadi, Tuhan sudah menganggap kamu dan Ario sanggup menghadapinya. Tuhan punya rencana di balik ini semua dan kita tidak tau apa rencana-Nya.”

“Papa kamu benar, Ris. Ambillah nilai positif dari cobaan ini!” sambung ayah angkatnya. “Sudahlah, ayo kita masuk! Sepertinya sudah mau berangkat.”

Aris tidak menyahut, ia hanya mengikuti kedua orang tua angkatnya ke dalam kapal. Tak berapa lama kapal penumpang segera melaju. Aris langsung pulas karena kelelahan, sedang kedua orang tua itu asyik ngobrol.

Pagi sekali mereka sampai di pelabuhan Belawan. Aris segera dibangunkan dan ketiganya turun dari kapal. Aris segera merapatkan jaketnya ke tubuhnya karena suhu udara yang masih dingin.

Sebelum mereka ke rumah sakit, mereka sarapan di sebuah rumah makan di sekitar pelabuhan. Setelah selesai mereka keluar dari pelabuhan dan menyetop taksi.

“Jalan potong saja, Bang!” pinta Papa angkat Aris.

“Maaf, Pak, Pak Walikota dan Dinas Perhubungan sudah menentukan jalur taksi. Kalau Bapak mau cepat naik becak motor saja, biar bisa motong jalan.”

“Sudahlah, Bang, jalan saja! Sudah sempat naik juga, mungkin sudah rezeki Abang.” sambut Pak Imron. “Rumah Sakit H. Adam Malik, ya, Bang!”

“Ma kasih banyak, Pak!” balas sopir itu sambil melajukan taksi ke arah rumah sakit.

Di rumah sakit, mereka segera menghubungi seorang suster yang bertugas di bagian administrasi. Suster yang ada di bagian administrasi itu menelepon seseorang dan tak berapa lama seorang suster yang mungkin bagian kamar mayat datang menghampiri.

“Sus, tolong antar Bapak-Bapak ini ke kamar mayat, mereka keluarga korban tabrakan yang di Siantar saya segera menghubungi pihak Kepolisian!” perintahnya pada seorang suster yang baru muncul.

“Mari, Pak!” ajak suster yang muncul tadi.

Di kamar mayat, satu per satu Aris membuka kain penutup mayat. Aris kembali menangis ketika melihat tubuh ibunya yang terbujur kaku dengan keadaan tubuh luka parah.

“Biarkan saja Pak Imron! Biarkan ia menangisi kepergian ibunya, asal dia tidak mengambinghitamkan yang di atas.” cegah Pak Surya ketika melihat Pak Imron ingin mendekati Aris. Pak Imron pun mengurungkan niatnya.

Aris beralih pada jenazah adiknya.

“Lena, kamu tinggalin kakak, Dik. Kenapa, Len? Kamu gak sayang ama kakak, padahal kakak ingin nyekolahin kamu setinggi-tingginya. Setelah dewasa nanti, kakak ingin lihat kamu jadi pengantin pangeran impianmu, tapi usiamu hanya sampai di sini.” Kata Aris menyeka air matanya. Terakhir di dekapnya adiknya dan dikecupnya kening adiknya yang hancur.

Aris beralih pada jenazah Nattulang-nya. “Maafin Aris, Nattulang!” hanya itu yang keluar dari mulutnya, begitu juga pada sepupunya.

“Suster, mana adik saya?”

“Adik kamu ada pada pihak Kepolisian, sebentar lagi juga akan tiba, rekan saya tadi sudah menghubunginya.” kata suster itu kaget karena pintu terbuka dan dua orang polisi masuk.

“Selamat pagi, Bapak-Bapak!” sapa komandan polisi itu. “Mas Surya?” komandan polisi itu kaget melihat Pak Surya, kakaknya.

“Kamu, Hen? Tugas di sini?”

“Di Siantar, Mas. Tapi ini adalah kasus yang kami tangani.”

“Sudah berapa lama di Siantar?”

“Hampir dua tahun.”

“Pak Imron, kenalkan ini adik saya, Hendry Prasetyo. Hen, kenalkan ini Pak Imron!”

“Hendry Prasetyo!” kata komandan polisi itu sambil mengulurkan tangannya pada Pak Imron.

“Imron Pujiastuti!” balas Pak Imron menyambut uluran tangan komandan polisi itu dengan sangat bersahabat.

“Kalau nggak salah, mantan redaktur Gema Merdeka itu, kan?”

“Kok, tau.”

“Pak Imron lupa, Pak Imron dulu yang pernah menolong saya dengan Mas Dayat.”

“Ooo..., iya, saya baru ingat.”

“Apa korban kecelakaan ini keluarga Pak Imron?”

“Bukan. Ini keluarga Pak Hidayat bersama adik iparnya.”

“Apa? Keluarga Mas Dayat? Trus, Mas Dayatnya mana?”

“Lho, kamu belum tau rupanya, Mas Dayat sudah meninggal enam tahun yang lalu, empat tahun setelah ayah kita meninggal.”

“Mas Dayat sudah meninggal?” Hendry tidak percaya dengan apa yang dia dengar.

“Ya, ini anaknya Mas Dayat, Aris Wicaksana.” balas Pak Surya. “Ris, ini teman ayahmu yang ada dalam foto yang papa perlihatkan kemarin lusa.” sambung Pak Surya menoleh pada Aris kemudian menoleh lagi pada adiknya. “Seperti amanat Papa, kakak mengangkatnya jadi anak angkat dan kebetulan pula Pak Imron telah mengangkatnya terlebih dahulu, jadi kami berdua adalah ayah angkatnya. Amanah Papa sudah saya beri tau, hanya saja Aris masih belum mau mengganggunya.”

Aris mendekati Hendry dan mengulurkan tangannya.

“Pak, mana Ario adik saya?”

“Sebentar...!” balas Hendry sambil mengeluarkan ponselnya. Setelah selesai menghubungi seseorang di seberang sana, ponselnya dikembalikan ke kantongnya. “Andai saja tak ada yang menjemput Ario, bapak sudah berniat mengangkatnya jadi anak, bapak suka melihat adik kamu, tapi sekarang mungkin kamu tidak akan mengizinkan dia tinggal bersama bapak.”

“Maafkan Aris, Pak! Tak mungkin Aris jauh dari Ario, satu-satunya yang tersisa sebagai bagian dari hidup Aris.”

“Ya, Bapak mengerti. Jadi kamu anak pertama? Kelas berapa?”

“Ya, Pak, Aris anak pertama dan masih kelas dua SMA. Aris tinggal bersama ayah.”

“Di manapun akan sama saja, yang penting kamu tau bahwa kami adalah pengganti orang tua kamu mulai saat ini. Relakan kepergian ibumu. Lapangkan dadamu dan berjiwa ksatrialah kamu apalagi sebagai anak tertua, sekarang kamu akan menjadi contoh bagi adik kamu, jika kamu rapuh maka adikmu akan lebih rapuh. Ingat itu.”

“Pasti, Pak!”

Tak berapa lama, Ario datang bersama seorang anggota polisi.

“Ario...!” pekik Aris melihat adiknya muncul. Mereka saling berpelukan.

“Kak, ibu udah gak ada, Mbak Lena, Nattulang, ama Mas Nashat.” kata adiknya masih tetap mendekapnya.

“Iya, Yo. Kita udah kehilangan mereka semua, tinggal Om yang kritis.” kata Aris merenggangkan dekapannya. Diperiksanya seluruh tubuh adiknya dan keanehan yang diberitakan koran itu kini terlihat olehnya, tak ada satu bekas goresan pun di tubuh adiknya. “Gimana kamu bisa selamat, Yo?”

“Gak tau, Kak!”

“Itulah pertolongan Tuhan, Ris dan itu pertanda Tuhan masih menyayangi kalian.” jawab Pak Surya.

“Sus, antarkan kami ke ruang rawat saudara Handoko!” pinta Pak Imron.

“Mari, silakan!” ajak suster itu.

Di ruang rawat Handoko, Om Aris, mereka menemukan seorang laki-laki berjas hitam sedang mengobrol dengan Handoko. Mereka juga sempat kaget melihat Handoko sudah bisa bicara, karena menurut berita si koran Handoko mengalami luka yang sangat parah dan sangat kritis.

“Om...!”panggil Aris.

“Aris...” balas Om-nya kaget melihat kedatangan Aris. “Sabar, ya, Ris, semua ini cobaan dari Tuhan dan dibalik semua ini pasti ada hikmahnya.”

“Om akan sembuh, kan?”

“Insya Allah, semua akan membaik atas seizin-Nya.” balas Om-nya tersenyum.

“Ini ponakan Bapak yang bernama Aris, yang Bapak ceritakan tadi?” tanya laki-laki yang memakai jas hitam itu sambil menoleh pada Aris. Berkas-berkas yang tadi dipegangnya di masukkan ke dalam tasnya sesuai permintaan Handoko yang memakai bahasa isyarat.

“Benar Pak Asnawi, ini Aris Wicaksana ponakan saya yang paling tua.” jawab Om Handoko. “Selama Om di sini, Pak Asnawi yang akan mengurus semua harta Om.”

Aris menjabat tangan Pak Asnawi dengan hormat. Dari gayanya itu, Pak Asnawi terkesan menyukai kepribadian Aris. Dia sangat simpatik pada Aris.

“Saudara Han, berkenankah saudara jika keempat jenazah kami makamkan di samping kuburan Pak Hidayat?” tanya Pak Imron.

“Dengan senang hati, Pak! Terima kasih atas kepedulian Bapak!”

“Tidak usah berterima kasih sampai seperti itu, itu kewajiban yang masih hidup untuk melaksanakan fardhu kifayahnya.” balas Pak Surya. “Kenalkan, saya saudara angkat Mas Dayat dan ini adik saya Hendry Prasetyo.”

“Alhamdulillah!” balas Handoko tersenyum.

“Aris, keluarlah sebantar, ajak adikmu. Om ingin bicara dengan Pak Imron, Pak Surya dan Pak Hendry!” pinta Om-nya pada Aris.

“Baik, Om.” balas Aris mengajak adiknya keluar.

Pak Hendry segera memerintahkan pada anak buahnya untuk menemani Aris dan Ario.

“Ada apa Pak Han?” tanya Pak Surya setelah Aris dan Ario keluar bersama anak buah adiknya.

“Pak Imron, Pak Surya, Pak Hendry, saya ingin menitipkan Aris dan Ario pada kalian, sebab mereka hanya punya kalian. Didik mereka menjadi anak yang berguna, tuntun mereka dalam menghadapi hidup yang tidak mudah ini. Mungkin saya tak akan hidup lama lagi, dokter telah menjatuhkan vonisnya, saya tak akan mampu bertahan lama mengingat benturan  pada kepala saya membuat rusak semua alat-alat yang vital di bagian tubuh saya. Jika vonis meleset, Alhamdulillah, tapi jika tepat, maka tak ada yang akan membesarkan mereka lagi selain mengharap bantuan bapak-bapak sekalian.” kata Handoko, Om Aris. “Pak Asnawi, tolong keluarkan surat kuasa yang saya tanda tangani tadi, agar salah seorang di antara bapak-bapak ini menjadi wali Aris dan Ario yang sah secara hukum dan dua di antara mereka menjadi saksi.”

Pak Asnawi mengeluarkan surat kuasa tersebut dan menyerahkan pada Pak Handoko.

“Begini Pak Han...,” kata Pak Surya buka bicara. “...menurut hemat saya, yang cocok jadi wali Aris adalah Pak Imron, sebab Aris sudah tinggal bersamanya dan secara otomatis Ario ikut Aris. Namun meskipun demikian, menyoal masalah mendidik saya tak mungkin melepas tangan malah saya ingin sekali menjadikan mereka sebagai anak kandung saya, hanya kebetulan saja Pak Imron lebih dulu dan kebetulan pula Pak Imron tidak punya anak. Kami bertiga sanggup mengemban amanah Pak Handoko.”

“Bagaimana Pak Imron?”

“Kalau menurut saya, Pak Surya lebih tepat, sebab hubungan mereka ternyata lebih dekat, saya hanya teman akrab dengan mendiang Hidayat.” balas Pak Imron.

“Boleh saya memberi pandangan?” tawar Pak Asnawi.

“Kenapa tidak? Bapak kuasa hukum saudara Handoko, malah usul Bapaklah yang mungkin paling jernih, sebab Bapak sudah ahlinya.” ujar Pak Hendry.

“Baiklah. Menurut saya, usul Pak Surya lebih tepat, sebab Aris tinggal di rumah Pak Imron. Jadi, jika terjadi sesuatu pada kedua anak ini, apakah itu masalah sepele atau masalah hukum, orang yang paling pertama dihadapkan adalah orang tua kandung atau orang tempat bernaung kedua anak ini tapi, saya berharap, sebagai kuasa hukum Pak Handoko yang kemungkinan akan menjadi kuasa hukum kedua anak ini sebab kontrak saya dengan Pak Handoko masih sampai sepuluh tahun ke depan, Pak Surya dan Pak Hendry tidak melepas tangan. Artinya, kita berempat sama-sama berperan dalam membimbing anak ini. Apalagi harta yang ditinggalkan Pak Handoko bukan sedikit, jika dinominalkan sampai mencapai dua trilyun dan itu tidak termasuk lagi gaji saya. Gaji saya sudah dibayarkan, belum lagi asuransi jiwa yang dimiliki oleh Pak Handoko. Semua surat kepemilikan ada pada saya dan dalam waktu dekat akan dibaliknamakan atas nama Aris Wicaksana,” terang Pak Asnawi.

“Kalau memang kenyataannya demikian dan Pak Surya serta Pak Hendry setuju saya yang akan menjadi orang tua Aris dan Ario, saya pun tak bisa menolak.” balas Pak Imron. Surat itu diterima dan ditandatangani sebanyak empat rangkap, selanjutnya oleh Pak Surya dan Pak Hendry.

Sementara Handoko, Om Aris, memejamkan matanya, namun di bibirnya tersuging senyum.

“Pak Han...!” panggil Pak Asnawi, tapi tak ada sahutan. Pak Asnawi mencoba memanggil sambil menggoyang tubuh Pak Handoko, namun tetap tak bergeming.

Pak Asnawi segera memencet tombol yang ada ruang rawat itu dan tak berapa lama seorang dokter berusia setengah baya muncul dan segera memeriksa Pak Handoko dengan alat-alat yang ada di ruangan itu. Dokter itu menghembuskan nafasnya dengan berat sambil menggelengkan kepalanya.

“Maaf, Bapak-Bapak, pasien tak dapat diselamatkan, pasien sudah meninggal. Maaf, kami hanya berusaha dan keputusannya ada pada Allah SWT,” ucapnya menyelimuti pasien dengan kain putih. Semua peralatan medis yang melekat  pada tubuh Pak Handoko di lepaskan.

“Kalau begitu, sekarang lebih baik kita menyelesaikan jenazah-jenazah ini dan mengurusnya sampai ke pemakaman.” kata Pak Imron mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Pak Lurah tempatnya tinggal dan meminta menambah kuburan yang di gali karena saudara Handoko sudah meninggal.

“Baiklah! Sekarang kita selesaikan agar cepat sampai dan jangan sempat sore di pemakaman.” terang Pak Surya pula. Ia keluar mencari Aris.

Aris langsung berlari bagai kesetanan begitu mengetahui Om-nya telah meninggal pula.

“Om...!!!” pekiknya ketika menatap tubuh yang tak bernyawa itu lagi. “...bangun, Om. Bangun! Jangan tinggalin Aris! Om udah bilang semua akan baik-baik saja.” teriak Aris keras sambil menggoyang-goyang tubuh yang tak bernyawa itu. Setelah tak mendapat reaksi apa-apa, Aris menatap tubuh Om-nya penuh amarah, emosinya memuncak, darahnya mendidih.

“Bajingan Kau Tuhan! Keluarlah! Hadapi aku! Dasar pengecut! Pecundang...!” teriaknya sambil menatap ke atas.

Pak Surya segera mendekati Aris dan memeluknya. “Cukup, Ris! Cukup! Ini cobaan, Nak!” katanya. “Sadarkah kamu apa yang barusan kamu katakan? Kamu sudah menentang-Nya.”

Aris diam tak menyahut, keringatnya mengucur deras. Dengan isyarat tangan, Pak Surya meminta Pak Imron mengambilkan air dan meminumkannya pada Aris dan membasuh muka Aris.

Setelah Aris membaik segera mereka menyelesaikan kelima jenazah itu.

Pak Asnawi segera mengurus seluruh administrasi di rumah sakit dan menyelesaikan semua keperluan untuk membawa jenazah ke kampung halamannya.

Dengan mobil ambulance, kelima jenazah di bawa ke bandara dan mereka berangkat setelah Pak Imron menghubungi Lurah untuk meminta menanti mereka di bandara.

Sampai di bandara, kelima jenazah dipindahkan ke dalam mobil dan selanjutnya di bawa ke rumah Pak Imron dan kembali dipindahkan ke dalam keranda dan barulah diusung ke pemakaman.

Iringan jenazah cukup panjang, dari sekolah Aris, semua gurunya berhadir dan beberapa teman sekolahnya, ditambah dari sekolah Lena dan Ario.

Satu persatu jenazah dimasukkan ke liang lahat, Aris ikut meletakkan ke limanya dengan tenang.

Selesai prosesi pemakaman, Pak Hendry memimpin do’a dan mengucapkan ribuan terima kasih atas bantuan warga.

Aris masih berdiri di hadapan kelima makam  itu ditemani Rheiner dan Yuyun. Hatinya terasa hancur lebur ditinggal kelima orang yang dihormati dan disayanginya. Air matanya terus mengalir menghadapi kenyataan yang terlalu menyakitkan itu, ia merasa harapannya terkoyak, tercabik-cabik lantas beterbangan ke sana ke mari dihembus angin.

Setelah beberapa kali diajak Rheiner dan Yuyun, barulah ia mau meninggalkan pemakaman.

Di rumah, ia mendapati Pak Asnawi, Pak Imron, Pak Surya dan Pak Hendry untuk menyampaikan amanat yang dibuat Pak Handoko, Om Aris, kepada Aris.

Aris hanya mengangguk mendengar penjelasan Pak Asnawi, sedikit pun ia tidak tertarik pada pembicaraan itu, ia hanya ingin kelima orang keluarganya hidup kembali, bukan uang ratusan milyar itu. Namun ia tetap menandatangani surat itu sebagai tanda ia telah mengetahuinya dan menerimanya.

* * *

SETELAH peristiwa tragis yang mematikan lima orang anggota keluarganya, Aris selalu murung, semangatnya hilang, perasaan tak menentu. Ia berubah drastis, mudah tersinggung dan menjadi lebih sensitif.

Aris lebih suka menyendiri, baik di rumah maupun di sekolah. Rheiner, Yuyun dan Sheila terus menghiburnya.

Keuletan dan kegigihan ketiga sahabatnya membuat Aris tersadar, ia sadar setelah sekian lama terpuruk dalam kesedihannya. Ia sadar, jika ia terus-terusan seperti itu, malah hidupnya tambah rapuh dan akhirnya lepas kendali.

Ia menyadari kalau ia masih punya Ario dan selayaknyalah ia menjadi contoh bagi adiknya, mereka masih punya orang tua angkat yang sangat menyayangi mereka bahkan lebih menyayangi mereka  seperti Pak Imron dan istrinya. Pak Surya dan keluarganya. Pak Hendry dan keluarganya dan sahabat-sahabatnya Rheiner dan Yuyun.

Empat bulan berlalu, kejadian yang menyakitkan itu barulah bisa diterima Aris dengan lapang dada. Ia merasa bodoh jika mengingat apa yang telah diucapkannya di Rumah Sakit Adam Malik.

Waktu luangnya, bersama Pak Imron dan Pak Surya berangkat ke Sidempuan menemui Pak Asnawi kuasa hukumnya hingga sepuluh tahun ke depan.

Dengan bantuan Pak Asnawi, Pak Imron, Pak Surya dan Pak Hendry, Aris menyelesaikan seluruhnya dengan sempurna dan semua harta Om-nya resmi menjadi miliknya.

Dengan sebagian uang yang kini dimilikinya, dibenahinya toko Pak Imron. Toko yang semula hanya berisi Sembako sekarang berubah menjadi toko kelontong yang serba ada. Toko itu di rehab total menjadi permanen dan bertingkat. Di lantai atas dijadikannya tempat pribadinya. Rumah peninggalan orang tuanya pun di rehab total.

* * *

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler