Skip to Content

NOVEL: DI SATU SISI HATI (...persahabatan, cinta, dan dendam....) (Bag. 07)

Foto SIHALOHOLISTICK

TUJUH

 

SEKITAR pukul lima pagi, sebuah truk melaju dari arah luar kota. Truk itu membawa alat-alat bangunan dan beberapa jenis Sembako. Tapi, tiba-tiba truk itu berhenti ketika berada hampir di tengah kota. Lampu truk itu menerpa sesuatu benda yang terletak di tengah jalan.

Kedua pengemudi truk itu mencoba mengamat-amati sesuatu benda yang tergeletak itu. Rasa penasaran membuat mereka turun dari truk dan memeriksanya. Betapa kagetnya mereka, ketika mereka mengetahui itu tubuh manusia dan beberapa meter dari tubuh itu, di luar badan jalan, mereka melihat sebuah motor Kawasaki Ninja. Seorang di antaranya memperhatikan motor itu, sepertinya dia mengenali motor itu.

“Bang! Sepertinya aku kenal motor itu.”

“Iya, sepertinya....”

“Aris...!” kata mereka berbarengan dan bergegas mendekati sosok tubuh itu dan keduanya membalikkan tubuh itu dan ternyata memang Aris. Darah yang keluar dari mulut Aris sudah mulai mengental, begitu juga dengan darah yang ada di aspal.

Mereka segera melarikan Aris ke rumah sakit dengan truk tersebut dan seorang di antara mereka mengurus motor Aris dan menyusul ke rumah sakit. Di rumah sakit, pihak rumah sakit segera membersihkan tubuh Aris dan membawanya ke ruang UGD, untuk menjalani perawatan intensif.

Kedua pengemudi itu segera mendekati dokter yang baru keluar dari ruang UGD.

“Bagaimana keadaannya, Dok?”

“Cukup kritis! Kami belum bisa menangani selain pertolongan pertama. Pasien butuh darah bergolongan A, tapi persediaannya tidak ada.” terang dokter itu. “Kedua Bapak ini siapanya pasien?”

“Dia anak toke kami, Dok!”

“Ini barang-barangnya. Tolong hubungi keluarganya, kalau terlambat, pasien kemungkinan tak akan tertolong lagi.”

“Kebetulan, Dok, darah saya bergolongan A, saya bersedia mendonorkannya.”

“Kalau Anda bersedia boleh. Lebih cepat lebih baik. Mari ikut saya!” ajak dokter itu dengan bergegas memasuki sebuah ruangan. Di ruangan itu, dokter mempersilakan duduk, sementara dokter itu mengeluarkan sehelai kertas. Ketika seorang suster masuk ruangan itu, laki-laki itu dipersilakan ke sebuah ranjang dan diminta berbaring untuk pengecekan ulang, pihak rumah sakit tidak ingin ambil resiko. Sambil diperiksa, dokter itu menanyai identitasnya.

“Nama Anda?”

“Andrianus.”

“Usia?”

“Tiga puluh lima tahun.”

“Pekerjaan?”

“Pengemudi.”

“Alamat?”

“Jalan Palem Barat Nomor 31-C RT 03 RW 05.”

“Bagaimana, Sus?” dokter itu beralih pada suster untuk mengetahui hasil pemeriksaan.

“Bapak ini benar.”

Kalau begitu persiapkan alat untuk transfusi darah!” perintah dokter itu pada suster. “Boleh liat KTP anda?”

Tanpa menjawab, laki-laki yang bernama Adrianus itu mengeluarkan dompetnya, dari dompet itu ia mengeluarkan sebuah KTP dan menyodorkan pada dokter itu.

“Mari ikut saya!” ajak dokter itu sambil mengembalikan KTP Adrianus.

Satu jam telah berlalu, proses transfusi darah berlangsung, sementara sopir satu lagi menunggui di luar ruang UGD. Suara nada dering Setengah Hati-nya Ada Band terdengar dari tempat yang tadi diberikan oleh dokter tadi. Laki-laki itu mengeluarkan  ponsel dan menekan tombol ‘OK’, ponsel itu didekatkan ke telinganya.

“Halo...!” sapanya.

“Siapa ini? Sepertinya bukan Aris? Arisnya mana?”

“Adek ini siapa, ya?”

“Aku teman Aris. Arisnya ada, Mas?”

“Maaf, Dek. Arisnya ada di rumah sakit dan masuk ruang UGD.”

“Apa? Kenapa dengannya?”

“Kami gak tau persis, cuma sekitar jam lima tadi, kami menemukannya tergeletak di tengah jalan. Sekarang dia udah menerima transfusi darah dari rekan saya. Kami anak buah Pak Imron, ayah angkatnya Aris.”

“Baik, Mas. Saya segera ke sana.” kata Misbah memutuskan hubungan ponselnya dengan ponsel Aris.

Misbah menemui ibunya dan pamit ke rumah sakit, dia mengatakan Aris masuk rumah sakit.

Di rumah sakit, dia bergegas menuju ruang UGD. Dia hanya bisa melihat Aris dari kaca pintu, disaksikannya tubuh Aris yang kritis tergeletak di ranjang rawat.

“Keluarganya udah tau, Mas?”

“Belum!”

“Ponsel Aris mana?”

“Ini, Dek!” katanya menyodorkan ponsel dan kantong tempat barang-barang Aris.

Misbah menerimanya. Segera dihubunginya Pak Imron lewat ponsel Aris.

“Halo! Ada apa, Ris?”

“Maaf, Pak. Ini bukan Aris, temannya. Sekarang Aris ada di rumah sakit. Tapi Bapak gak usah khawatir, dia udah ditangani oleh dokter, lukanya hanya luka ringan.

“Kenapa dengan Aris?”

“Hanya kecelakaan ringan.” balas Misbah menenangkan orang tua itu. “Dia sedang pulas akibat pengaruh bius yang diberikan dokter.”

“Baiklah, saya segera ke sana.” balas Pak Imron.

Tak berapa lama Pak Imron dan istrinya sampai di rumah sakit.

“Apa sebenarnya yang terjadi dengan Aris? Kok, masuk UGD segala?” tanya Pak Imron khawatir setelah tau Aris masuk UGD.

“Bapak tenang, semua udah beres. Aku hanya gak pengen Bapak mikir macam-macam di jalan yang akhirnya bakal kecelakaan pula. Sekarang Bapak sudah lihat dan silakan tanyakan Mas ini, dia yang lebih tau.”

“Gimana kejadiannya, Prast?”

Orang yang ditanya menceritakan sejak mereka melihat sesosok tubuh yang tergeletak di tengah jalan sampai mereka membawa Aris dan temannya mendonorkan darah pada Aris.

“Syukurlah kalau begitu.” kata Pak Imron mendengar cerita sopirnya.

Dokter dan suster masuk ke ruang UGD. Pak Imron dan yang lain hanya bisa melihat lewat pintu yang setengahnya terbuat dari kaca. Dua suster itu melepaskan hubungan transfusi darah dan Adrianus bangkit dari ranjang dan keempatnya keluar ruang UGD.

“Bagaimana anak saya, Dok?” tanya Pak Imron mencegat dokter yang keluar dari ruang UGD tersebut.

“Semua baik-baik saja. Kami hanya menunggu perkembangan berikutnya sampai dia siuman.”

“Terima kasih, Dok!”

“Bapak lebih pantas berterima kasih peda Pak Adrianus, kami hanya menjalankan mekanismenya.” kata dokter itu sambil pamit meninggalkan mereka.

“Adrian, Bapak berhutang nyawa padamu. Bapak tak tau harus membalas dengan apa.”

“Semua ini belum seberapa dibanding apa yang telah Aris berikan pada saya dan keluarga saya.

“Pak, Bapak pulang dulu, ajak Adrian sama Prast ke rumah, suruh Ijah bikin telor setengah matang.” kata istrinya.

“Baiklah, Bu!” kata Pak Imron mengajak kedua sopirnya.

Misbah mendekati ibu Aris. “Kenalkan, Bu, aku Misbah, teman Aris!” kata Misbah ngulurin tangannya.

Ibu Aris menerima uluran tangan Misbah. “Kamu tau dari mana Aris masuk rumah sakit?”

“Misbah tadi nelpon tapi yang angkat Mas yang tadi, yang namanya Prast, dia bilang Aris masuk UGD. Misbah kaget soalnya semalam kita jalan, Bu. Misbah pun langsung ke sini.” terang Misbah. “Ini, Bu, barang-barang Aris dari Mas Prast tadi.”

“Kamu pulang dulu, mungkin mau mandi dan sarapan.” balas Bu Imron menerima barang-barang Aris.

“Ibu gimana?”

“Ibu nanti aja, kalau Ario ke sini ama Ijah.”

“Kalau begitu Misbah duluan, ya, Bu. Ntar, Misbah balik ke sini lagi.” kata Misbah meninggalkan Bu Imron.

Sampai di rumah, Misbah segera diinterogasi oleh mamanya. Mau tidak mau, Misbah terpaksa menjawab semua pertanyaan mamanya. Selesai diinterogasi, Misbah segera mandi dan sarapan kemudian bergegas kembali ke rumah sakit. Di tengah jalan dia memberi tau Rheiner kalau Aris masuk ruang UGD.

Misbah segera mendekati Bu Imron.

“Lho, udah nyampe, Nak? Mandi ama sarapannya kejar tayang, ya?”

“Emangnya film, Bu, pake kejar tayang segala. Kebetulan aja rumahnya gak begitu jauh dari sini.” balas Misbah. “Sekarang kita gantian, ibu balik saja dulu. Kalau ada apa-apa dengan Aris aku telepon ibu. Ponsel Aris tinggalin aja, Bu!”

Bu Imron menyodorkan ponsel Aris pada Misbah.

“Ibu pulang dulu!”

“Ya, Bu!”

Bu Imron segera meninggalkan Misbah di tempat duduknya di depan ruang UGD tempat Aris mendapatkan perawatan yang intensif. Tak berapa lama, Misbah menghubungi Sheila lewat ponsel Aris dan memberi tau kalau Aris mengalami kecelakaan dan terpaksa menginap di rumah sakit, tapi tetap saja Misbah merahasiakan kalau Aris masuk ruang UGD.

Misbah kaget dengan kemunculan Rheiner yang tiba-tiba.

“Eh, kira-kira, dong datangnya, bikin aku jantungan aja, kalau aku pingsan kan tambah deh urusannya, udah tau aku jantungan masih aja ngagetin. Kamu senang banget kayaknya bikin aku mati berdiri.” omel Misbah.

Rheiner hanya tersenyum mendengar omelan Misbah. “Kamu kek nenek-nenek aja. Masa kek gitu aja kaget.” balas Rheiner. “Gimana kabar Aris?” tanya Rheiner sambil berdiri di depan pintu ruang UGD dan menoleh pada Aris yang terbaring di ranjang rawat.

“Seperti yang kamu liat!”

“Kejadiannya gimana, sih, ampe terjadi gini?”

“I don’t no!”

“Kamu tau dari mana?”

 “Tadi aku calling, tapi yang angkat Mas Prast, sopir Pak Imron yang nemuin Aris di tengah jalan.” jawab Misbah. “Kamu aja yang ngasih tau Yuyun, ya!”

“Ponsel aku error, gak tau diapain Tyo.”

“Nih pake ponsel Aris.”

“Emang Yuyun di mana?”

“Bandung. Nyokapnya nyuruh dia pulang.

Setelah tersambung, Rheiner memberi tau Yuyun kalau Aris masuk ruang UGD, tapi sayang, Yuyun gak bisa datang menjenguk Aris dan hubungan terputus.

Tak berapa lama muncul pula Sheila dan keluarga besarnya untuk menjenguk Aris.

Dua hari dua malam Aris terbaring di rumah sakit, namun di belum sadar juga. Malam ketiga, hampir tengah malam. Misbah belum tidur, dia masih setia menjaga Aris. Sementara Rheiner, Sheila dan Mbak Sinta sudah terlelap. Ketika hampir seperempat jam ia terlelap dia kembali terbangun, dia merasa tangan Aris yang digenggamnya bergerak-gerak.

Dia mengangkat kepalanya dan menatap Aris. Mata Aris terbuka, kembali terpejam dan terbuka kembali. Misbah memperhatikan Aris yang akhirnya meringis kesakitan.

“Ris, kamu kenapa?”

Mendengar suaranya, mata Aris menoleh padanya, namun tak mengeluarkan satu patah kata pun.

“Ris, ini aku, Misbah!” kata Misbah penuh harap semoga Aris tak hilang ingatan.

“Misbah...?” tanya Aris.

“Deg...ser...!” jantung Misbah berdegub kencang, kekhawatirannya memuncak, wajahnya pucat pasi.

“Dimana kita, Mis? Di pelabuhan, kan?”

Mendengar pertanyaan Aris barusan, hatinya lega.

“Kita di rumah sakit. Kamu kecelakaan pulang dari pelabuhan abis ngantar aku pulang. Kamu udah dua hari dua malam gak sadar. Semua khawatir sama kamu. Rheiner, Sheila, dan Mbak Sinta udah pulas. Pak Imron dan Bu Imron udah balik ama Ario. Papa dan mama Sheila udah balik juga.” terang Misbah panjang lebar. Dia ingin meyakinkan kalau ingatan Aris tidak terganggu.

“Yuyun?”

Pertanyaan itu semakin melegakan hatinya. Ia semakin yakin kalau ingatan Aris tidak terganggu sama sekali.

“Dia gak bisa datang, dia balik ke Bandung.” jawab Misbah. “Tapi dia udah tau, kok, dia minta maaf ama kamu soalnya gak bisa jenguk kamu.” lanjut Misbah. “Gimana perasaan kamu?”

“Kepala aku, Mis. Pusing!”

“Kepala kamu ngalami benturan yang agak serius.”

“Mis, makasih ya. Kamu udah rela jagain aku sampe rela begadang.” kata Aris mencoba bangkit.

“Eh, kamu gak boleh banyak bergerak dulu, keadaan kamu masih kritis. Ntar lagi sekolah, lho. Kamu masih dipilih jadi panitia MOS dan kayaknya tahun ini kamu jadi moderator.”

“Kapan aku bisa keluar.”

“Ya, nggak tau. Mungkin seminggu, dua Minggu atau malah besok.”

“Mis...!”

“Apa, Ris?”

“Haus!”

“Sebentar aku ambil!” kata Misbah sambil mengambil air yang ada dalam gelas, dibantunya Aris minum.

“Pelan-pelan...!”

“Ha...?”

“Pelan-pelan...!”

Selesai itu, gelas di kembalikan, kepala Aris kembali diletakkan dengan perlahan di atas bantal. Misbah mengusap rambut Aris dengan lembut dan penuh kasih sayang. Dia ingin, Aris merasa dimanjakan dan di sayangi dengan tulus, dia ingin Aris merasa bahagia ketika dia ada.

Aris yang mendapat perlakuan seperti itu hanya bisa menatap wajah Misbah dengan lekat-lekat, matanya tak sedikit pun berkedip.

Mata Misbah yang bening dengan alis mata yang begitu indah, ternyata sangat memesona.

Lama mereka saling pandang, sehingga degub jantung mereka kian kencang. Misbah menyimpulkan senyum, di saat senyum itu mengembang, dua lesung pipit yang sangat dikagumi Aris itu begitu memesona Aris. Tanpa mereka sadari, bibir mereka pun bertemu dengan begitu lembut dan kembali berpisah dengan lembut pula.

Kembali Misbah tersenyum pada Aris. “Ris, aku mencintai kamu setulus dan serela-relanya. Bagainya relanya kelam menjadi bagian malam.”

“Sebegitu hebatnyakah?”

Misbah mengangguk dan tersenyum lagi. Mata mereka beradu pandang mencoba menyelami sanubari antara mereka. Aris mencoba mencari ketulusan Misbah, sedangkan Misbah mencoba menelusuri kebesaran dan keluasan cinta Aris.

“Kami kok mandang aku kek gitu, Ris?”

“Aku pengen lihat ketulusan kamu di situ.”

“Ketemu?”

“Ketemu!”

“Gak Mungkin!”

“Kenapa?”

“Ketulusan itu ada di sini, Ris!” kata Misbah sambil menempelkan tangan Aris ke dadanya.

“Oo...iya, ya.” gumam Aris. “Tapi benar, ketulusan itu aku lihat dari sorot matamu yang berbinar-binar.” sambung Aris. “Aku dapat ide dari sana, Mis, tentang perjalanan kita hingga menemui cinta yang kita rasakan saat ini.”

“Judulnya?”

“Cocoknya apa?”

“Gak tau!”

“Masa gak tau?”

“Aku bukan penulis!”

“Emang mesti penulis yang tau?”

“Ya..., gitu, deh...!”

“Ya..., gitu, deh..., gimana? Ayo dong!”

“Gak tau!”

“Pasti tau!”

“Ntar gak cocok!”

“Cocok!”

“Gimana kalau... Di Sini Ada Cinta?

Di Sini Ada Setan, kali!”

“Kan, ngeledek!”

“Yang lain, dong!”

“Gak mau, ntar kamu ledek lagi!”

“Nggak!”

Cinta Kita.”

“Udah ada!”

“Atau...!”

“Atau, apa? Ayo, dong!”

Sedang Ingin Bercinta.”

“Kok, nyeplak?”

“Gak tau, ah!”

“Tau!”

“Tau apanya?”

“Apa aja!”

“Malas, ah!”

“Please! Demi Aris, nih!”

“Mm...Pelabuhan Dua Hati.”

Pelabuhan Dua Hati?”

“Gimana?”

“Boleh juga.” jawab Aris. “Ambilin kertas sekalian ama pulpen!”

“Kamu gak boleh banyak pikiran dulu. Lagian masih sakit, juga.”

“Biar aja. Biar aku bisa di samping kamu siang malam.”

“Lama-lama masuk UGD juga, nih kayaknya.”

“Gak mau atau gimana?”

“Kok, nanya gitu, Ris?”

Aris tertawa terbahak-bahak, tapi sesaat kemudian Aris mengerang kesakitan sambil memegangi kepalanya.

“Aduh, Mis. Sakit!”

Sheila yang dari tadi sudah bangun mendengar canda keduanya segera bangkit dan mendekati kakaknya.

“Ris, kamu kenapa?” tanya Misbah panik. “Panggil dokter, Shei! Cepat!”

Sheila segera berlari keluar memanggil dokter. Sheila kembali masuk setelah dokter masuk dengan bergegas.

Dokter segera memberi Aris obat penenang dan selanjutnya memeriksa kepala Aris dengan sangat hati-hati.

“Bagaimana, Dok?” tanya Misbah setelah dokter selesai memeriksanya.

“Bagian kepala yang mengalami benturan keras itu sedikit terganggu. Seharusnya, begitu dia sadar beri tau kami agar diadakan penindaklanjutan dari lukanya. Sekarang dia sudah tenang, kalian tidak perlu khawatir, penenangnya akan habis sekitar delapan jam dan besok begitu dia sadar langsung beri tau kami.”

“Baik, Dok. Saya memang salah, tadi saya mengajaknya ngobrol dan bercanda.”

“Sekali-kali jangan. Bagaimana jika saya tadi tidak ada, suster jaga tidak akan berani menanganinya dan yang perlu diketahui, kalau terlambat saja tadi pasien bisa celaka.” jelas dokter itu. “Permisi!”

“Maafkan saya, Dok!”

“Sudahlah. Jangan sampai jadi beban pikiran. Kalian istirahat saja.”

Keduanya mengangguk mengiring kepergian dokter itu. Misbah kembali ke tempatnya dengan wajah penuh penyesalan.

“Udahlah, Kak! Kak Aris gak kenapa-napa.” kata Sheila menghibur Misbah sambil mendekatinya.

“Maafin Kakak, Shei!”

“Udah! Kak Aris udah ditangani dokter. Lagian Kak Aris yang gak bisa dikasih tau. Aku dengar semuanya. Semoga cinta kalian abadi, meski Kak Rheiner dan Kak Yuyun ada di antara kalian. Mendengar percakapan kalian tadi, aku yakin cinta kalian adalah perasaan  yang keluar dari dasar hati yang terdalam. Meskipun kehadirannya gak seperti yang kalian harapkan.”

“Ma kasih, Shei!” kata Misbah. Mereka pun akhirnya mengobrol.

Tak berapa lama, Sheila kembali mencoba untuk tidur, sedangkan Misbah masih ingin menjaga Aris. Dilihatnya jam dinding, jam setengah tiga.

Satu bulan Aris menjalani perawatan di rumah sakit. Misbah selalu menyempatkan diri untuk menjenguk Aris sepulang sekolah, dia ingin menyuapi Aris makan dan menghiburnya.

Untunglah Rheiner jarang ke rumah sakit, sehingga Misbah merasa bebas dan leluasa bercanda dengan Aris, meskipun Pak Imron dan Bu Imron kadang ada di situ, tapi Misbah seolah tak peduli. Dia merasa, inilah saat yang tepat untuk menyayangi Aris.

Sekarang Aris udah keluar dari rumah sakit, tapi baru Senin depan dia masuk sekolah. Tiga hari ini, dia ingin memulihkan stamina dan tenaganya. Setelah keluar dari rumah sakit, tubuh Aris tambah gemuk dan kulitnya jadi putih.

Aris kini beraktivitas dengan lebih semangat, karena Misbah selalu mendukung dan memotivasi semua aktivitasnya. Novelnya yang sempat terbengkalai, karena dia dirawat di rumah sakit sekarang sudah selesai. Sambil mengedit, ia minta Misbah baca novelnya untuk dikoreksi.

Setelah Misbah selesai membacanya, Misbah memberikan banyak masukan. Pada cerita Aris, ia banyak menemukan kisah yang terpotong, artinya kisahnya langsung melompat pada bagian lain tanpa ada bagian yang menghubungkannya, selanjutnya Aris kurang memperhatikan peralihan dari sorot balik pada kisah semula, sehingga banyak kesan kebetulan di dalam cerita Aris yang kadang gak bisa di terima gitu aja.

Mendengar masukan dari Misbah, Aris kini memahami di mana kekurangan dan kejanggalan tulisannya. Dia memperbaiki tulisannya dengan bantuan Misbah.

Di sekolah, Aris disambut oleh seluruh teman-temannya, begitu juga dengan gurunya. Mereka sangat menyayangkan dan cukup kecewa karena Aris yang seharusnya menjadi moderator MOS tidak bisa ikut, karena harus dirawat di rumah sakit.

Aris sempat heran ketika masuk kelas, di situ ada Misbah, padahal kelasnya itu III IPS3. Setaunya Misbah lebih jago di ilmu pasti. Ketika Aris bertanya, Misbah menjawab kalau dia ingin masuk Perbankan di universitas kelak dan akhirnya dia menjawab kalau dia tak bisa berpisah dengan Aris.

“Udah pandai ngegomabal kamu rupanya! Waktu milih jurusan kita lagi konflik.”

“Secara harfiah, itu memang benar, tapi secara naluriah, kita saling terikat. Feeling aku udah nangkap sinyal hati kamu, semuanya bakal berakhir menyenangkan.”

“Gombalan kamu cukup menyanjung,” balas Aris. “Rheiner mana, Mis, kok dari upacara tadi aku gak liat?”

“Gak tau juga, ya.”

Pembicaraan mereka terhenti dengan kehadiran guru Bahasa dan Sastra Indonesia, Aris cukup senang ketika dia masuk langsung belajar Bahasa dan sastra Indonesia, pelajaran yang paling disukainya.

Seperti biasa, Aris mengikuti pelajaran satu ini dengan begitu semangat, terlebih saat itu jadwal mereka belajar sastra dan membahas Periodisasi Sastra Indonesia: Angkatan ’45. Setiap pertanyaan yang diajukan guru mengenai Angkatan ’45 dijawab Aris dengan baik, terlebih mengenai kehidupan tokoh pelopor Angkatan ’45, Chairil Anwar, Aris sangat menyukai vitalitas yang dimiliki oleh penyair satu ini, semangat hidup yang dimiliki oleh Chairil Anwar sangat terasa olehnya, dan ia sering mengarang dengan berangkat dari vitalitas yang dimiliki oleh penyair satu ini.

* * *

MALAM ini, Aris ngajak Misbah makan di sebuah restoran sederhana namun unik, tempatnya begitu spesial, berada di atas laut. Restoran itu tidak begitu mewah, begitu juga dengan menu yang disajikan, namun khas.

Di situ tak ada yang namanya Chinese Food, Japanese Food, Italianes Food dan Europanes Food, yang ada hanya makanan khas daerah seluruh daerah yang ada di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Semua masakan daerahnya lengkap.

Nusantara Reustaurant, namanya sesuai dengan menu yang disajikan dan pemiliknya adalah orang Batak bermarga Simanjuntak.

“Pesan apa, Mis?” tanya Aris setelah duduk di sebuah tempat yang agak jauh ke tengah laut dan hiruk pikuk pun tak terlalu mengganggu, hanya desau angin yang berhembus saja yang terdengar.

“Enaknya apa ya, Ris?” balas Misbah membuka buku menu yang ada di atas meja.

“Kalau aku pesan masakan pesisir plus just avocad."

“Aku masakan Madura dan minumnya sama, just avocad.”

Aris memanggil seorang pelayan.

“Pesan apa, Ris?” tanya pelayan itu.

Aris segera menoleh pada pelayan itu dan segera kaget, Mbak Sisy?”

“Ya!”

“Kerja di sini, Mbak?”

“Ya!”

“Sejak kapan?”

“Sejak lulus SMA!”

“Oo...!” gumam Aris mengangguk. “Aku pesan Pesisir dan Misbah pesan Madura tambah dua just avocad.”

“Ini Misbah? Tambah cantik, ya? Kalian pacaran rupanya. Pantas waktu MOS kamu berjibaku banget nolong Misbah.”

“Sebenarnya masih pedekate, Mbak, masih penjajakan. Ceritanya sama-sama selingkuh dari pacar masing-masing.”

“Kok, selingkuh? Tak selamanya selingkuh itu indah, lho.”

“Abisnya, Mbak gak ngerespon ungkapan cinta Aris waktu itu. Kecewa banget, lho, Mbak, sempat frustrasi.”

“Masih ingat kamu, Ris?”

“Masih, dong. Kenangan yang gak bakal aku lupain, soalnya itu pertama kali aku nembak cewek dan ternyata aku dikerjai ama Kak Bayu. Ternyata dia yang suka ama, Mbak.”

Pelayan itu hanya senyum. “O, ya, kalau kalian pesan Pesisir ama Madura gak ada yang ngangkatin, masakannya aja, ya?”

Aris tertawa mengingat apa yang dipesannya tadi, Pesisir dan Madura. “Aku tadi pesan Pesisir ama Madura, ya, Mbak? Ya ampun, gede banget, ya? Maksudnya masakannya.” balas Aris dengan tetap tertawa dengan renyah.

“Oke. Pesanannya segera diantar.” kata pelayan itu berlalu.

“Ris, Mbak Sisy yang mana, sih? Kok aku gak kenal?”

“Bukan gak kenal, tapi lupa. Itu yang ngerjain kita abis-abisan ama Kak Bayu yang super cakap itu. Sempat dapat julukan instruktur yang sok kecakapan.”

“Oo..., aku ingat, itu Mas Bayu yang sering ngegodain Rani yang akhirnya ketahuan cari perhatian Mbak Sisy.”

Pembicaraan mereka terhenti ketika orang yang mereka bicarakan datang dengan pesanan mereka.

“Kak Bayu udah dimana, Mbak?”

“Kuliah di UI ngambil jurusan Fakultas Sospol.”

“Kesepian, dong, yayangnya ada di Jakarta sana.”

“Dibikin enak aja, enjoy aja lagi. Kalau dia kecantol ama cewek lain di Jakarta, itu haknya dia.”

“Gak mungkinlah, nurut Aris, Kak Bayu itu tipe cowok setia mengingat gimana ia berjuang mendapatkan cintanya Mbak, ...walaupun bidadari yang datang menggoda, tak sedikit pun goyah imanku.....” Aris mendendangkan lagu yang dipopulerkan Imam S. Arifin.

Kembali pelayan itu tersenyum. “Oke. Selamat berselingkuh dengan Pesisir dan Maduranya.” katanya dan meninggalkan Aris dan Misbah.

“Ma kasih, Mbak.” balas Aris.

“Ris, apa kamu gak punya niat jadiin aku pacar kamu, kok jawabnya selingkuh mulu, malas dengarnya tau.”

“Emang kenyataannya gitu kan? Kamu ama Rheiner belum bubaran.”

“Ya, sih, tapi....”

“Nurut kamu, sikap aku akhir-akhir ini kek gimana?”

“Ditanya kok malah nanya. Ya, aku nggak yakin. Siapa tau kamu lagi ngerencanain sesuatu untuk ngancurin aku dengan cara yang lebih menyakitkan.”

Aris meletakkan sendok yang hampir sampai di mulutnya karena mendengar ucapan Misbah. Diraihnya tangan Misbah yang asyik ngaduk-aduk makanannya dengan sendok. Misbah melepaskan sendok dan membiarkan Aris menggenggam jemarinya.

“Kok, kamu ngomong gitu, Mis? Sejak dulu aku pengen banget ngejadiin kamu sebagai pacar aku. Kalau aku masih dendam, cara yang dulu rasanya lebih ampuh untuk sekedar ngancurin idup kamu, bahkan bukan cuma idup kamu yang ancur, tapi keluarga kamu juga. Aku gak bisa bermanis-manis untuk ngancurin orang.”

“Maafin aku, Ris!”

“Kamu udah aku maafin, Mis. Aku cuma pengen kamu ngikis semua keraguan kamu. Gimana aku bisa mencintai kamu kalau kamu terus was-was ngerespon semua sikap aku. Aku pengen siapin diri untuk ngadapi Rheiner, ini yang aku takuti. Aku gak pengen dia ngobati kekecewaannya dengan hal-hal yang negatif. Aku juga lagi nyiapin kata-kata untuk aku ungkapin ke kamu.”

“Sebegitunya?”

“Ya. Kalau kamu ngizinin, aku pengen ngungkapinnya di depan orang tua kamu.”

“Jangan, Ris!”

“Apa gak lebih baik gitu. Agar mereka bisa nyari aku kalau terjadi apa-apa sama kamu.”

“Gak, Ris. Aku pikir itu udah terlalu jauh dan agak terkesan keliru dan bodoh.”

“Bukan kebodohan juga bukan kekeliruan, tapi ketulusan yang harus aku persembahkan ke kamu. Cinta bukan sekedar suka, Mis, tapi dibalik itu ada kerelaan. Di rumah sakit itu, aku udah nitipin semuanya ke kamu, bawalah semuanya itu ke manapun kamu pergi. Jangan simpan semuanya itu dalam genggamanmu, dalam tasmu, dalam saku bajumu, dalam senyummu atau dalam pandangan matamu, semua itu gak bakal abadi. Tapi simpanlah semuanya itu dalam hatimu agar tumbuh menjadi kecambah abadi. Cinta itu sebuah jawab tanpa tanya dan kepatuhan tanpa alasan. Aku pengen kamu melindunginya dengan segala sikap yang berbentuk kerelaan.”

“Ris, bantu aku ngelakuinnya!”

“Dengan apa, Mis?”

“Dengan apapun. Aku pengen kamu selalu ada setiap aku butuh kamu. Kata-kata itu mestinya sejak dulu aku dengar dari kamu. Tapi aku gak habis pikir kenapa kamu menundanya.”

“Sebenarnya aku gak nunda, kalau kamu bisa ngerespon semua puisi aku yang mencoba mengukur seberapa berartikah aku bagi kamu. Ternyata kamu hanya komentar ‘bagus, kok gak dijual’ jawaban yang sama terus aku koleksi hingga ratusan kali ‘bukan untuk urusan komersial. Ini perasaan aku, aku gak mungkin jual perasaan aku’  dan percayakah kamu, empat puisi yang kupikir cukup menjadi diriku untuk semua itu gak pernah aku jual. Kamu mungkin ingat syairnya Demokrasi Cinta, Kembara Penuh Luka, Rindu yang Tak Terlerai, dan Syahadat Cinta. Aku putuskan memilih  diam atas semua komentar kamu, sampai akhirnya Rheiner curhat ke aku kalau dia mencintai kamu. Pupus, pikirku. Semua tambah menyakitkan ketika kamu benar-benar menerimanya. Aku pikir, mungkin karena aku orang miskin. Awalnya Rheiner gak tau perasaan aku, tapi dia memang benar-benar sahabat yang baik dan dari sorot mataku dia menemukan luka itu dan aku tak bisa menolak dan berkata tidak lagi ketika ia memvonis aku mencintai kamu. Dia sempat ingin mundur tapi aku berhasil meyakinkan dia kalau aku gak apa-apa.” kenang Aris panjang lebar.

“Ris...!” suara Misbah bergetar.

Aris melongo.

“Gak usah sedih gitu lah, buat cowok itu soal biasa. Saat itu aku juga belum ngerti hakikat cinta, aku ngerasa cinta itu adalah milik orang dewasa, sedang aku masih bocah ingusan.”

“Sekarang?”

“Dewasa, sih, belum. Cuma bukan bocah ingusan lagi, udah bisa mikir secara rasional dan berpikir logika. Aku pengen semua berubah sesuai alur waktu dan kenyataannya aku udah hampir dewasa dan yang pasti sebelum aku benar-benar tersingkir dari hati ....” Aris tak sempat melanjutkan kata-katanya karena Misbah menempelkan telunjuknya ke bibir Aris.

“Gak, Ris. Itu gak bakalan terjadi lagi. Aku kapok. Lebih baik aku putus ama Rheiner, ketimbang nyingkirin kamu.”

“Mis, ngomongnya baik-baik, ya, jangan ada kesan pemutusan secara sepihak. Dia gak salah, aku takut dia kecewa dan akhirnya terjerumus pada hal yang nggak-nggak. Gimanapun dia sobat kita, kalau dia salah kita juga yang harus mengingatkannya. Kita gak boleh egois dan ceroboh, kita mesti mikir dengan matang, agar dia bisa nerima kenyataan ini.”

“Do’ain, semoga semua berjalan dengan baik, ya Ris.”

“Pasti!” balas Aris mantap. “Kita pulang, ya, besok aku banyak kerjaan, kamu bantu jadi penyunting naskah biar Senin udah bisa dikirim.”

“Kalau itu, sih no problem, cuman ini kan malam Minggu, lagian masih jam sembilan, aku belum ngantuk trus di rumah gak ada kerjaan. Malas nengok bokap ama nyokap malam mingguan di depan televisi sambil nonton FA Cup Barclay.”

“Abis, mo kemana lagi, Mis?”

“Mm..., gimana kalo ke pelabuhan?”

“Ngapain?”

“Ngapain aja!”

“Contohnya?”

“Contohnya... mm...apa ya... x2  + y – z = 0.”

Aris tertawa mendengar contoh yang diberikan Misbah. “Jadi cuman mo nyelesaiin pertidaksamaan itu? Emang Bu Veronica, ada?”

“Ih, telmi banget, sih! Emang cuma Matematika yang ada pertidaksamaannya, cinta juga ada, kali.”

Aris ngangguk. Dipanggilnya pelayan restoran dan membayar sebanyak yang disebutkan. Aris kemudian berdiri sambil memungut kunci motornya. Digamitnya tangan kanan Misbah dan menggandengnya.

“Kamu yang bawa motor, ya?”

“Kok, aku?”

“Emang napa? Gak bisa?”

“Bisa, sih, tapi....”

“Jangan banyak alasan.” kata Aris sambil meremas tangan Misbah.

Akhirnya Misbah menerima kunci motor dari Aris. Motor melaju dengan perlahan. Di pelabuhan, Misbah menghentikan laju motor dan memarkirnya di tempat di mana banyak motor yang lain parkir, meskipun bukan tempat parkir.

Tak hanya mereka yang ada di situ, banyak pasangan muda-mudi yang menjadikan pelabuhan itu sebagai tempat ketemuan, mengikat janji atau ada juga yang mengakhiri kisah cinta di sana.

Aris dan Misbah melangkah menapaki pelataran pelabuhan menuju ujung pelataran. Mereka duduk di sana berdekatan dengan kaki menjuntai ke bawah. Aris melingkarkan tangannya ke tubuh Misbah sambil menyandarkan kepalanya pada Misbah dan Misbah menyandarkan tubuhnya pada Aris.

Keduanya tak merasa risih dengan tatap-tatap mata yang memperhatikan mereka. Toh, gak ada yang ngelarang kalo sekedar begitu, asal saja gak berbuat mesum, gak ada hal yang mesti dihindari, berpelukan, berciuman atau yang lainnya itu hal lumrah bagi pasangan-pasangan anak muda yang ada di situ.

Dari kesemuan yang ada di situ, hanya mereka berdualah yang paling mesra. Mengobrol, tertawa, merayu dan menggombal. Anehnya, tak hanya Aris yang merayu dan menggombal, Misbah juga ikut merayu dan menggombal Aris. Jika orang gak mengenal mereka, pastilah orang mengira mereka suami istri yang baru menikah, bulan madu.

Selain itu, kebanyakan yang lain hanya sekedar bolak-balik dari ujung ke ujung, ada yang sekedar mengobrol dan ada juga yang berkumpul dengan teman gank ngerumpi bareng sambil memainkan gitar dan nyanyi bareng pula.

Ibarat ini cafe, merekalah penghibur para pengunjung. Lagu Mas Iwan Fals dibabat abis oleh mereka. Sebagian ada mereka yang ganti syairnya dengan anekdot-anekdot yang gak kalah konyolnya dengan anekdot-anekdot konyol yang ditulis oleh Mas Iwan sendiri untuk ngritik pemerintahan yang morat-marit.

Dari anekdot-anekdot yang mereka buat itu, seolah-olah mereka ingin unjuk kebolehan, kalau mereka gak kalah kreatifnya dari Mas Iwan, seolah-olah mereka udah jadi Iwan Fals’u.

Ketika mereka menyanyikan lagu Surat Untuk Wakil Rakyat, Aris menoleh pada mereka sambil tersenyum mendengar syair, ...sanak family... diganti dengan, ...pengumbar seks....

Jam sebelas, Aris mengajak Misbah pulang, dia takut orang tua Misbah marah. Dia masih ingat pesan nyokap Misbah agar bokap Misbah jangan sampai tau. Sedangkan saat ini bokapnya Misbah ada di rumah dan tadi berpesan agar pulang sebelum jam setengah duabelas.

Aris segera menyalakan motor dan menyuruh Misbah naik. Motor pun segera melaju membelah keramaian jalan yang selalu begitu setiap malam Minggu.

Di depan rumah Misbah, Aris menghentikan laju motor. Aris mengantar Misbah  ke dalam sambil pamit pada kedua orang tua Misbah.

Misbah mengantar Aris sampai pagar dan berpesan untuk hati-hati, jangan sampai terjadi kecelakaan untuk kedua kalinya. Aris berjanji akan segera pulang. Sambil menggenggam jemari Misbah dengan lembut, dikecupnya kening dan kedua belah pipi Misbah dan terakhir dikecupnya jemari Misbah dengan lembut. Aris naik ke atas motor dan melaju.

Misbah kembali masuk dan bergabung dengan kedua orang tuanya yang sedang asyik menyaksikan FA Cup Barclay sambil menantikan pertandingan Liga Itali Seri A,                    AC Milan vs Juventus, dini hari nanti. Misbah paham betul kebiasaan kedua orang tuanya yang melewati malam Minggu tanpa tidur semalaman hanya untuk nonton pertandingan sepak bola. Anehnya, jika pertandingan sedang tak ada, keduanya malah bela-belain main Play Station.

Misbah sangat mengagumi kesetiaan mamanya pada papanya, terlebih kesetiaan papanya. Jika dipikir, kalau papanya menikah lagi mungkin bukan hal sulit baginya mendapatkan yang lebih muda dan lebih cantik, tapi papanya tak pernah berpikir ke situ. Hal inilah yang membuat Misbah mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan hubungan kedua orang tuanya.

“Mis, sini dulu dekat papa. Papa kangen banget ama anak papa. Papa pulang, eh, kamunya malah pergi.”

“Tapi waktu minta izin, Papa ngasih. Yang konsisten dong neken perizinannya. Jangan kek pemerintah, sebentar gini, sebentar gitu. Apa kata dunia?”

“Lha, kok ngomong gitu? Ntar ada yang dengar bisa ditangkap, nih anak Papa.”

“Emang zaman Orde Baru apa, main tangkap aja. Sekarang udah Reformasi, undang-undang juga di reformasi. Makanya, Pa, kalau langganan koran dibaca, jangan sibuk ngurusi bisnis mulu.”

“Wah...wah..., udah pandai ngomong, ya. Udah kelas tiga SMA lagian. Gak terasa. Rasanya baru kemarin papa kenal mama dan jadian, tapi sekarang udah mau jadi opa-opa. Anak bungsu aja udah pacaran trus married, deh.”

“Ih, Papa kok ngledek. Siapa yang pacaran, kita cuma teman, kok.”

“Bohong, ya, Ma! Tadi aja kita intipin pake cium pipi cium kening segala. Mesra banget lagi.”

“Ih, Papa kok ngintipin, sih, kayak gak pernah muda, aja.” balas Misbah nyengir.

“Justru karena pernah, jadi papa pengen tau, kek gimana, sih pacaran zaman sekarang. Ternyata gak beda ama yang dulu.”

“Pa, ceritain dong love story-nya ama mama. Kenalan, pedekate trus jadian.”

“Itu rahasia berdua. Gak ada yang boleh tau, sekalipun anak sendiri.”

“Ih, kok pake rahasia segala?”

“Itu harus. Tak semuanya anak mesti tau kehidupan orangtuanya. Kamu boleh tau banyak hal dari Papa, tapi tidak dengan itu dan jangan bawel. Ngerti!”

“Iya...iya...!”

“Udah sejauh mana hubungan kamu dengan Aris?”

“Rahasia, dong, Pa!” balas Misbah.

“Mm..., kayaknya balas dendam, nih. Tapi asal tau, orang tua berhak tau itu. Apalagi setau papa, Aris itu pacaran ama Yuyun.”

“Emang benar. Tapi udah sejak lama kami saling memendam perasaan. Cuma kami gak ngerti, arti Aris buat Misbah dan sebaliknya. Sejak di orientasi kami udah bersahabat. Aris udah mencoba mempelajarinya lewat puisi-puisinya yang setiap hari Misbah baca, tapi Misbah gak pernah ngerti. Sampai akhirnya Rheiner curhat ke dia dan bilang kalau suka sama Misbah. Mendengar itu, Aris pun dengan perlahan mengubur perasaannya. Dia pikir Misbah emang gak suka ama dia dan Misbah juga pikir gitu. Rheiner emang mencintai Misbah, tapi malasnya Misbah, Rheiner itu gak mau ambil resiko, gak berani apel kemari hanya karena takut papa ama mama marah dan ngelarang hubungan kami. Padahal papa dan mama cukup demokratis untuk soal cinta.”

“Mis, Papa gak larang kamu pacaran ama siapa pun, termasuk Aris. Papa memang senang  sama dia, dia sopan dan pandai membawa diri, tapi belajar tetap jadi prioritas utama.” terang Papanya. “Satu hal, dalam pacaran, pengorbanan itu penting.... Kita ngomongnya transparan aja, gak perlu sungkan dan papa gak pengen jaga jarak sama anak papa. Kamu maklum aja, kalau papa ngomong gak ada istilah, kiasan, perumpamaan ataupun idiom, jadi langsung pada topik pembicaraan.” jelas Papanya.

“Seperti Papa bilang tadi, pacaran menuntut banyak pengorbanan dan papa udah ngerti sejak dulu, pengorbanan yang bersifat jiwa dan raga. Dalam cinta, hal sepele bisa jadi rumit dan hal rumit jadi sepele. Dari itu papa minta sama kamu untuk menjaga nama baik keluarga yang udah papa dan mama jaga sekian lama. Papa kasih tau sebelum terlambat. Papa gak mau dengar alasan apapun yang bakal kamu ungkapin kelak, gak itu terpaksa, terjebak atau seribu macam alasan. Ingat! Jangan sampai ngorbanin satu hal, apapun alasannya, yakni kehormatan kamu sebagai seorang gadis, apalagi sampai hamil di luar nikah. Jangan kecewa jika sampai ini terjadi. Papa gak akan anggap kamu sebagai anak. Karena selama ini papa dan mama selalu saling menjaga untuk tidak melakukannya. Mungkin karena dorongan itu, sampai sekarang kamu lihat seperti apa kami dalam sehari-hari.” terang Pppanya. “Atau kamu udah sempat pernah melakukannya?” selidik papanya.

“Insya Allah, Pa, Misbah masih suci. Mungkin kalau bukan Aris orangnya, semua sudah terlanjur.” jawab Misbah menangis, dia segera menghambur ke pelukan papanya. “Itulah sebabnya, mengapa Misbah begitu mencintainya. Aris menolaknya, benar-benar menolaknya dan meminta pada Misbah untuk menghadiahkannya pada suami Misbah kelak sebagai kado pernikahan. Dia juga meminta kalau kami berjodoh, aku diminta untuk menjaganya untuknya.” terang Misbah.

“Syukurlah, kalau begitu. Sungguh mulia laki-laki yang sanggup menolaknya. Papa kagum sama Aris.”

“Lalu, bagaimana hubunganmu dengan Rheiner?” tanya mamanya.

“Misbah memilih putus, tapi Aris menyarankan untuk mengatakannya secara baik-baik, jangan ada kesan pemutusan secara sepihak. Aris takut kalau Rheiner kecewa dan melakukan hal-hal yang konyol dan keliru untuk mengobati kekecewaannya.” jawab Misbah. “Aris dan Misbah memang belum resmi jadian, dia pengen ungkapin perasaannya di depan papa dan mama. Tapi Misbah menolak.”

“Itu memang gak perlu dan kedengarannya kurang etis. Meski kedengarannya sah-sah saja, tapi kurang pada tempatnya.”

“Iya, Misbah juga menilai begitu. Sebab yang gituan udah terlalu jauh urusannya dan udah boleh dikatakan melamar, tapi dikatakan pun melamar seharusnya yang ngurus atau nyampaikan itu adalah orang tuanya, bukan dia.”

“Sekarang kamu tidur, udah terlalu larut, tapi buatin kopi buat papa, papa mau nyoba kopi buatan anak papa sebelum buatin untuk suaminya.”

“Papa kamu selalu aja gitu kalau ada maunya. Udah, kamu tidur aja sana, biar mama aja yang buatin!”

“Misbah aja, Ma. Sekalian untuk mama juga biar nonton bolanya sedikit nyaman.” kata Misbah bangkit. Tak berapa lama, Misbah kembali dengan dua cangkir kopi dan dihidangkan di depan kedua orang tuanya. “Selamat bermalam Minggu sambil nonton Liga Itali Seri A !” ucap Misbah.

“Selamat tidur anak papa! Semoga bermimpi indah dengan kekasih pujaannya!”

“Papa, apaan, sih?” balas Misbah manja. Kedua orang tuanya tersenyum.

Di kamarnya Misbah ngeluarin ponselnya sambil membaringkan tubuhnya di atas ranjangnya. Di calling-nya Aris.

“Halo! Belum tidur, ya?”

“Belum, Yaang! Gi ngapain, nih?”

“Lagi ngapain, ya...mm...ini ber-munajat cinta ala  The Rock.”

“Katanya gak suka nyepalak?”

“Gak gitu, ini kan cuma ritual sebelum tidur untuk para Baladewa. Lagian permohonannya beda. The Rock pengen kekasih yang baik hati yang mencintai apa adanya, aku beda, kekasihnya udah dapat, tinggal kepastian jodoh ampe hari H-nya.”

“Amin...!” balas Misbah. “Selamat ber-munajat cinta, semoga yang Kuasa mengabulkan.”

“Ma kasih, ya, Sayang!” sambut Aris. “Oke, besok kita sambung, ya! Selamat bobo!”

Hubungan pun terputus setelah Misbah memutuskan hubungannya.

* * *

HARI Senin, Aris dan Misbah bertemu di sekolah dan keduanya bareng masuk ke kelas. Bel apel pagi berbunyi tak berapa lama setelah mereka masuk ruangan kelas dan upacara bendera pun di laksanakan dengan khidmat.

Semua siswa memusatkan perhatiannya pada pelajaran setelah selesai upacara bendera tadi, semua mengikuti materi yang disampaikan oleh guru dengan serius. Namun Misbah tak sanggup memusatkan perhatiannya pada materi pelajaran.

Pikirannya terus dibayangi oleh Rheiner, waktu upacara tadi ia sempat menoleh pada Rheiner dan banyak yang berubah dari Rheiner. Badannya lebih kurus, mukanya pucat, matanya kemerahan dan pendiam. Rheiner punya kebiasaan aneh, suka mengusap lubang hidungnya dengan menarik nafas dalam-dalam dan memejamkan mata, seolah dia merasakan sebuah kenikmatan dari kebiasaan barunya.

Misbah mulai curiga, kalau Rheiner terlanjur tau hubungannya dengan Aris. Ke sekolah biasanya rapi, tapi tadi penampilannya uring-uringan.

“Misbah...!” teriak guru yang sedang menyampaikan materi.

“I...i...ya..., Bu!” jawabnya tergagap.

“Sebutkan macam-macam aliran sastra!”

“Memangnya sastra punya aliran? Aliran apa? Aliran sesat?” kata Misbah dengan bingung tak tau harus menjawab apa.

Mendengar jawaban Misbah, semua siswa tertawa sehingga kelas jadi riuh.

“Sudah! Sudah!” guru itu menenangkan siswa yang riuh. “Misbah, ke depan!”

Misbah bangkit dari tempat duduknya dan maju ke depan dengan sedikit kesal pada dirinya sendiri.

“Apa yang kamu kerjakan tadi?”

“Tidak mengerjakan apa-apa, Bu!”

“Mana mungkin! Kalau tidak, kenapa kamu tidak tahu apa-apa saja aliran sastra, padahal baru saja Ibu terangkan.”

“Maaf, Bu, saya kurang enak badan dan meriang, jadi kurang konsentrasi!” jawab Misbah berbohong mencoba meredakan kemarahan gurunya.

“Kalau kurang sehat, kenapa masih sekolah?”

“Ibu saya tidak memberi izin untuk tidak masuk. Katanya kalau masih bisa dibawakan, tidak usah libur.”

“Masih bisa mengikuti pelajaran?”

“Mudah-mudahan masih bisa, Bu!” balas Misbah.

“Sudah! Duduk sana!”

“Terima kasih, Bu!” kata Misbah dengan  segera berbalik menuju tempat duduknya.

Bel istirahat kembali membuyarkan lamunan Misbah tentang Rheiner. Dia bangkit dan mendekati Aris.

“Ris, do’ain aku biar bisa ngomongin semuanya pada Rheiner.”

“So pastilah, Mis! Aku pasti do’ain kamu. Kita bareng aja sekalian.”

“Gak usah, Ris, ini terlalu pribadi untuk kamu campuri. Bukan maksud apa-apa, tapi aku takut Rheiner salah terima.”

“Oke, deh kalau gitu! Ntar kalau udah kelar, ke perpus, ya, aku tungguin!”

Misbah mengangguk dan berlalu dari hadapan Aris. Di luar dia mencari Rheiner, namun gak ketemu, padahal semua tempat udah di datanginya, tapi sosok Rheiner tak ditemuinya.

Misbah mengaktifkan ponselnya dan dicobanya menghubungi ponsel Rheiner, namun beberapa kali dihubunginya tetap tak ada jawaban. Misbah segera melangkah ke perpus menemui Aris.

“Rheinernya gak ketemu, Ris. Aku udah coba calling namun gak diangkat-angkat.”

“Biar aku yang coba calling.” kata Aris mengeluarkan ponselnya dan dicallingnya Rheiner, namun tetap gak ada jawaban. “Sama aja, Mis, gak diangkat.” kata Aris.

“Trus, gimana, dong, Ris? Kalau gini terus kan susah juga. Jangan-jangan dia udah tau hubungan kita, hingga dia sengaja ngindari kita.”

“Kamu tenang, dong, Mis. Gak usah panik gitu. Biar aku yang ngatasinya, ntar malam aku ke rumah Pak De-nya.” kata Aris menenangkan hati Misbah.

Meskipun begitu, hati Misbah tak mau tenag begitu saja. Kebiasaan aneh Rheiner membuat hati Misbah kian kacau, karena kebiasaan seperti ini biasanya dilakukan orang yang kecanduan narkoba. Hati Misbah jadi miris jika kenyataan itu benar.

Malamnya Aris mendatangi rumah Pak De Rheiner. Aris mengetuk pintu dan pintu dibukakan Bu De Rheiner.

“Eh, Nak Aris! Apa kabar?”

“Baik, Tante!”

“Udah lama gak main ke sini, ke mana aja?”

“Gak ke mana-mana, kok, Tante. Cuma abis dari rumah sakit, Aris di rumah aja.” balas Aris. “Rheinernya ada, Tante?”

“Wah, baru aja keluar!”

“Kemana, Tante?”

“Katanya ke rumah teman, Tante pikir ke tempat Aris.”

“Gak ada, tuh.”

“Memang ada yang perlu?”

“Cuma mau ngajak nginap di rumah, kok, Tante.”

“Telepon, aja!”

“Gak aktif. Makanya Aris ke sini.” balas Aris. “Kalau gitu, Aris susul aja, siapa tau ketemu.”

“Oo...iya.”

“Permisi, Tante!” kata Aris pamit.

Sejak malam itu, Aris gak pernah bicara dengan Rheiner lagi, walaupun hanya lewat ponsel. Dia pernah melihat Rheiner melintas di depan kelas, tapi waktu itu mereka pas lagi ulangan harian dan tak diperbolehkan untuk permisi.

Begitu juga dengan Misbah, dia tak pernah ketemu dengan Rheiner lagi. Setiap dihubungi selalu aja mailbox, sepertinya Rheiner udah ganti nomor.

Dia pernah melihat Rheiner dari jauh ketika dia sedang berbelanja di pusat perbelanjaan. Dia melihat Rheiner bersama seorang laki-laki berperawakan jangkung, tinggi dan kurus. Laki-laki yang bersama Rheiner itu pakai anting hingga beberapa buah di telinganya sebelah kiri. Ketika Misbah ingin memanggil, keduanya sudah berlalu.

Rheiner memang sudah berubah, dia tak pernah lagi bersama Aris dan Misbah, bahkan ke sekolah pun sudah jarang. Dia sepertinya sengaja menghindar dari kedua sahabatnya.

Keadaan ini tak langsung dipergunakan Aris dan Misbah untuk leluasa dan nyaman menjalin hubungan mereka. Justru hubungan mereka menjadi tak menentu karena asyik mengkhawatirkan keadaan Rheiner.

Aris mulai curiga pada Rheiner, dia sependapat dengan Misbah kalau Rheiner telah terlibat dengan sindikat peredaran narkoba yang sedang diincar pihak kepolisian.

Secara diam-diam, Aris dan Misbah mencoba mencari tau ke mana Rheiner pergi setiap malam, bersama siapa dan apa yang mereka lakukan.

* * *

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler