Skip to Content

NOVEL: MAGHDALENA (13/14)

Foto SIHALOHOLISTICK

TIGA BELAS

 

SENIN siang, pukul 12.00, SMA Pelita Bangsa menghentikan proses belajar mengajar, namun semua siswa belum diizinkan untuk pulang dan diminta untuk mempersiapkan lapangan  sekolah yang akan dijadikan tempat jumpa pers oleh pihak Ramona Entertainment.

Hari ini, SMA Pelita Bangsa di datangi tamu istimewa, sebuah perusahaan film yang akan menjadikannya sebagai lokasi syuting sebuah film layar lebar bertema remaja.

Berita ini di sambut baik oleh seluruh siswa yang bersekolah di situ dan menjadi kebanggaan tersendiri bagi mereka yang bersekolah di sekolah yang memiliki reputasi terbaik di kota Hamburgas dan punya segudang prestasi yang dicapai sekolah itu. Beberapa buah mobil yang berlogo RAMONA ENTERTAINMENT sudah parkir di tempat parkir SMA Pelita Bangsa sejak pukul 10.00 Wib tadi.

Para wartawan pun tidak mau ketinggalan meliput acara jumpa pers oleh pihak Ramona Entertainment dengan sekolah dan masyarakat setempat.

Unsur pemerintah kota dan pemerintah setempat mulai berdatangan satu persatu. Pak walikota bersama beberapa stafnya sudah hadir dan sedang berada di ruang kepala sekolah bersama pihak Ramona Entertainment, pihak yayasan yang dipimpin oleh Edi Erianto sedang asyik mengobrol.

Semula jumpa pers akan di adakan di aula, tapi aula tidak mampu menampung undangan yang akan hadir, hingga diputuskan di lapangan agar para undangan bisa ditampung lebih banyak.

Sementara Bayu dan teman-temannya anak IPA2 mempersiapkan band yang akan menghibur para undangan bersama The Parlement, group band pentolan SMA Pelita Bangsa.

Bayu segera menemui sobat-sobatnya yang sedang bersiap dengan pakaian kebanggaan mereka. Sementara dari panggung, Pak Handoko sedang menguji sound system.

“Kepada The Parlement, diharap naik ke atas panggung untuk menyumbangkan beberapa buah lagu untuk menghibur para siswa yang sedang sibuk mempersiapkan segala sesuatunya, sebelum acara kita mulai tepat pukul 14.00 WIB, nanti.” kata Pak Handoko lewat pengeras suara.

Mereka berlima datang dengan pakaian yang mereka pakai saat mengikuti festival. Maghdalena menyandang gitar tuanya.

Di atas panggung, mereka menempati posisi masing-masing. Tanpa perlu di komando, Lucky segera menggebuk drum dengan sangat bringas menunjukkan aliran musik mereka. Aida melanjutkan dengan libasan bass setelah Lucky berhenti. Melani mengambil alih dengan dentingan melody yang agresif setelah Aida berhenti. Maghdalena dan Bayu memulai dengan serentak setelah Melani berhenti. Maghdalena dan Bayu pun berhenti dan mereka diam beberapa kejap dan kembali memulai dengan serentak. Lagu Untuk Sepasang Kekasih segera mengalun.

Mereka mampu menembus babak final dengan lagu tersebut yang dinyanyikan Maghdalena dan di final mereka berhasil dengan lagu Karma milik Cokelat dan Merpati Tak Bersayap milik mereka dan berhasil meraih posisi runner-up setelah Power Woman menunjukkan keperkasaannya di Kota Hamburgas.

Mereka berlima sudah cukup dikenal dengan album perdana mereka yang berisi sepuluh lagu dan salah satunya adalah hits single Untuk Sepasang Kekasih dengan video clip yang dibintangi dan disutradarai oleh Maghdalena sendiri.

Pukul 14.00 WIB, setelah kehadiran pengarang novel yang akan dijadikan film yang diberi judul Plis, Gue Cinta Lo karangan A.A.Nugroho dan Sapta Setyowaty.

Acara dibuka oleh Pak Handoko Heriadi. Dan diawali dengan sambutan Kepala Sekolah, Drs.Suyitno Hambali, SPd.

Dalam sambutannya, kepala sekolah mengucapkan terima kasih pada pihak Ramona Entertainment, karena telah menjadikan SMA Pelita Bangsa yang dipimpinnya sebagai lokasi syuting dan ia berharap sekolah yang dipimpinnya di bawah naungan Yayasan Pelita Bangsa bisa lebih memiliki mutu, bukan dari segi pendidikan saja, tapi beliau juga berharap, semua siswa lulusan dari sekolah ini adalah siswa-siswa yang memiliki potensi dan atensi yang baik sehingga bisa melanjutkan cita-cita perjuangan bangsa dan negara. Beliau juga berharap, hal ini mampu memotivasi siswa untuk  memiliki jiwa kompetisi dalam mengharumkan nama SMA Pelita Bangsa.

Selanjutnya sambutan dari Ketua Yayasan Pelita Bangsa, Frof.Dr.Ir.Edi Erianto,SH,MH. Dalam sambutannya, ia memberikan pujian pada kepala sekolah yang telah membawa sekolah lebih baik dan dikenal oleh masyarakat luas. Secara humoris, ia berterima kasih kepada pihak Ramona Entertainment karena secara tidak langsung telah mempromosikan sekolah itu pada seluruh rakyat Indonesia.

Walikota Ir.Asnawi Mahmudin,SH,MH banyak memuji kehebatan SMA Pelita Bangsa dalam sambutannya. Setelah berhasil mengusung sebuah group band, kali ini dijadikan sebagai lokasi syuting dan ia bersyukur banyak. Mengutip ungkapan pimpinan yayasan, walikota mengatakan dengan diadakannya syuting di SMA Pelita Bangsa, secara tidak langsung pula mempromosikan kota Hamburgas ke seluruh penjuru nusantara, karena ini kali pertamanya. Sebagai penutup, walikota berharap pada sekolah-sekolah lain untuk mengikuti kesuksesan SMA Pelita Bangsa. Beliau bukan ingin memilah-milah sesuai prestasi, namun semua dianggap sama. Punya prestasi atau tidak, pemerintah kota  tidak menganggap sekolah yang tidak memiliki prestasi itu tidak layak dikunjungi.

Selanjutnya sambutan dari ketua DPRD dan Kadis Pendidikan Kotamadya Hamburgas. Dilanjutkan selingan oleh The Parlement.

Selesai selingan itu, Bayu dan sobat-sobatnya menyisih dari panggung dan Pak Handoko kembali berdiri.

“Selanjutnya kita panggilkan sineas kita yang berperan sebagai sutradara dalam pembuatan film di sekolah kita ini yang kebetulan sekali beliau juga termasuk salah satu alumni sekolah ini Angkatan 1975, pada waktu itu sekolah kita ini masih bernama SMA Pribumi. Kebetulan pula beliau seangkatan dengan pimpinan yayasan yang menaungi sekolah kita ini. kita panggilkan Bapak S.A.Ramona. kepada Bapak, waktu dan tempat kami persilakan dengan hormat.” kata Pak Handoko dengan mantap.

Seorang laki-laki berpenampilan berewok bangkit dari duduknya dan berjalan menuju panggung. Di atas panggung ia mengucap salam dan mengenalkan dirinya serta kru Ramona Entertainment.

“Para hadirin dan undangan sekalian, jauh sebelumnya saya pernah berjanji akan kembali ke sekolah kita ini dengan sebuah niat yang besar dan saya berharap inilah jawaban dari niat itu. Di balik itu, mungkin saya sekalian bereuni dengan rekan pimpinan yayasan dan ada beberapa teman seangkatan saya yang hadir. Meskipun tidak lengkap tiga puluh orang, namun tidak apalah.

Film ini sebenarnya adalah sebuah novel yang kami sesuaikan dengan format film. Novel yang dikarang A.A.Nugroho dan Sapta Setyowaty, pemenang Seminar Forum Komunikasi Komplotan Penyair dan Penulis Pemula Abad 21 yang berjudul Plis! Gue Cinta Lo. Kebetulan pula, pengarang kita ini akan melangsungkan pernikahan mereka setelah penggarapan film ini selesai. Sebenarnya merekalah yang mengusulkan film ini syuting di sekolah kita ini, karena mereka juga alumni sekolah ini.

Kesempatan ini, juga merupakan kabar gembira bagi The Parlement, atas usul asisten sutradara, yang kebetulan keponakan saya, Sekjen FK KP3 dan Redaktur Majalah Leksikon, Merry Pavlova, beberapa lagu dalam album Parlement Cinta akan dijadikan sebagai soundtrack film ini. album ini juga akan dicopy ulang sebanyak-banyaknya oleh kami agar pasarannya merata ke seluruh Indonesia.” papar S.A.Ramona panjang lebar.

“Sebenarnya di sekolah kita ini, ada seorang penulis yang dua cerpennya meraih juara I dan juara III dalam LMCP dan salah satu cerpen itu dijadikan sebagai judul kumpulan cerpen tersebut Potret Dua Cinta: Maghdalena,dkk. Kami pernah berharap dia bergabung dengan                    FK-KP3 dengan mengisi formulir yang kami sediakan di majalah Leksikon, tapi sampai sekarang ia tidak kunjung bergabung dengan FK-KP3.” katanya lagi. “Saya minta, Maghdalena naik ke atas panggung ini!” pintanya.

Maghdalena segera bangkit dari duduknya sambil memakai peci dan memperbaiki dasinya. Di atas panggung, Pak Handoko mengulurkan sebuah micerofon padanya.

“Nah, inilah orangnya. Maghdalena Setiawan dengan pakaian kebesaran The Parlement.” kata S.A.Ramona setelah Maghdalena berdiri di sampingnya. “Sudah terima hadiahnya, Nak?”

“Sudah, Pak!” balasnya senyum.

“Kalau boleh tau, ke mana hadiahnya dipergunakan?”

“Berhubung karena kedua cerpen itu dikirim atas keinginan sobat-sobat saya, saya jadikan hadiahnya sebagai milik The Parlement.”

“Oo..., tapi, apa gak pengen gabung dengan FK-KP3?”

“Maaf, Pak. Saya bukan pelanggan Majalah Leksikon, hingga nama FK-KP3 baru saya dengar kali ini. Saya juga belum tau apa programnya.”

“Pantas, dong! Tapi, kalau udah tau, mau gabungkan? Sayang, lho, kamu hebat menulis. Kalau kami fokus ke sana, mungkin kamu bisa sehebat Gola Gong. Apalagi Bapak dengar, kamu sutradara video clips yang kamu bintangi sendiri. Bapak gak nyangka kamu sehebat itu. Bapak saja yang makan dari hasil sutradara gak bisa sekaligus jadi bintang utama. Di Indonesia, mungkin hanya Pak Dedi Mizwar saja yang bisa.”

‘Terima kasih atas pujiannya, Pak. Tapi, soal bergabung dengan FK-KP3, saya belum bisa jawab sekarang, karena beberapa bulan ke depan, kami akan mengikuti Ujian Nasional. Cerpen yang lewat mungkin hanya luapan emosi yang tak terbendung, hingga dari pada nangis, mending curhat lewat cerpen. Hingga Bayu, saudara Mas A.A.nugroho, memaksa saya mengirimkannya ke panitia LMCP. Saya juga kaget mendengar Potret Dua Cinta jadi judul dan pengarangnya atas nama saya.”

“Jadi, kamu belum punya buku itu?”

“Belum, Pak!”

“Nanti Bapak kasih gratis sama kamu.” balas S.A.Ramona. “Tadi kamu bilang, cerpennya luapan emosi. Luapan emosi yang bagaimana?”

“Kerinduan seorang anak pada orang tua yang tidak pernah dikenalnya. Ketika dia tau, ternyata ayahnya, Setiawan AR entah di mana dan bundanya Rahayu telah tiada ketika usianya belum genap setahun. Lagu Untuk Sepasang Kekasih juga bercerita tentang itu.” jawab Maghdalena dengan linangan air mata.

Semua undangan tak mampu menahan kesedihannya. Mata mereka berkaca-kaca ikut merasakan kesedihan yang di alami Maghdalena. Terlebih Pak Handoko dan kepala sekolah. Sementara Bayu, Licky, Aida dan Melani hanya bisa menunduk. Walikota juga tak urung ikut sedih dan sudah sibuk menyapu air matanya dengan sapu tangannya. S.A.Ramona tak kalah sedihnya, karena ia tau, dialah yang dirindukan oleh gadis yang berada di sampingnya. Air matanya ikut menetes.

“Bagaimana kalau kamu bertemu dengannya? Apakah kamu membencinya, karena telah meninggalkanmu sekian lama?”

“Tiada benci untuk ayahanda, yang tersisa hanya kerinduan yang begitu luas, seluas samudera. Saya hanya berharap bisa mendekapnya sekali saja, mencium aroma tubuhnya.” kata Maghdalena tulus. Ia tak mampu lagi menahan kesedihannya.

Hadirin semakin larut dalam kesedihan. Isak tangis sesungukan segera terdengar di lapangan sekolah itu.

“Itulah sebabnya, saya sangat bahagia mendengar beberapa lagu dalam album kami dijadikan soundtrack dan dicopy sebanyak-banyaknya oleh pihak Ramona Entertainment.” katanya terbata-bata di sela tangisnya. “Saya berharap, dengan mendengar lagu kami, ayahanda merasa terpanggil untuk pulang menemui buah cintanya bersama kekasihnya Rahayu yang telah tenang di sisi-Nya. Kalau saya yang mencarinya, apalah daya gadis lemah sepertiku. Aku hanya seekor merpati tak bersayap yang tak bisa terbang menembus cakrawala dan bertengger di atas rembulan.” katanya melanjutkan mengutip syair lagunya Merpati Tak Bersayap.

“Bersabarlah, Nak. Jika kamu meminta pertolongan Tuhan, niscaya semuanya akan baik-baik saja. Tersenyumlah, agar sebuah keyakinan lahir di dadamu.” kata S.A.Ramona menghiburnya.

Maghdalena tersenyum mengikuti permintaan S.A.Ramona.

“Pak, bersediakah keponakan bapak naik ke panggung ini? Saya ingin mengucapkan terima kasih padanya, atas usulnya menjadikan lagu kami sebagai soundtrack film ini.”

“Boleh.” jawab S.A.Ramona. “Ayo, Merry! Naiklah ke panggung ini sekalian bawakan buku kumpulan cerpen itu!” kata S.A.Ramona memanggil keponakannya.

Merry, gadis Eropa berambut lurus dan pirang, bangkit dari duduknya sambil memegang buku yang disebutkan Omnya. Di atas panggung, ia menjabat tangan Maghdalena dan mendekapnya. Buku yang dipegangnya diberikan pada Maghdalena.

“Nak, maukah kamu bernyanyi dengan Bapak, menyanyikan lagu Untuk Sepasang Kekasih? Bapak ingin merasakan buasnya hempasan samudra jiwamu.” pinta S.A.Ramona.

“Dengan senang hati, Pak!”

“Baiklah!” balasnya. “Dik Yuni, naiklah ke atas panggung. Mari kita bernyanyi bersama Nak Maghdalena!” ajak S.A.Ramona pada istrinya.

Istrinya segera naik ke atas panggung. Pak Handoko memberikan  micerofon padanya dan Merry.

“Sebentar...!” kata Maghdalena. Ia mendekati tiang micerofon dan menyelipkannya. Diangkatnya tiang micerofon itu ke tempatnya semula.

Dia meminta sobat-sobatnya menempati posisi masing-masing dan bermain seagresif mungkin, agar tidak mengecewakan pihak Ramona Entertainment.

Musik khas segera ditunjukkan sebagai instrumen sebelum memasuki jeda dan lagu. Andreas Pavlova keliatan terkagum mendengar musik yang diaransemen Maghdalena. Selesai lagu itu, mereka menyanyikan lagu Merpati Tak Bersayap.

“Hebat sekali, musiknya sangat lain dengan yang lain. Bapak salut sama kamu. Apa rahasianya?” tanya S.A.Ramona setelah lagu selesai.

“Saya tidak memiliki rahasia apa-apa. Hanya saja ingin menciptakan ciri khas tersendiri. Kalau Mas Dhani mengandalkan drum, Gigi menonjolkan bass dan vocal, SO7 menonjolkan melody, maka The Parlement mencoba menonjolkan segalanya. Sedikit menjiplak kehebatan Rahmad Darmawan.”

“Siapa dia?”

“Rahmad Darmawan itu pelatih club sepak bola, Sriwijaya FC yang meraih double winner di musim kompetisi 2007/2008. Winner Copa Dji Sam Soe setelah menekuk Persipura Jayapura dan winner Liga Djarum Indonesia setelah membungkam PSMS Medan.”

“Oo, yang itu. Ya, Rahmad Darmawan memang hebat, dia bisa mengandalkan setiap lini clubnya. Tapi masih lebih hebat kamu. Kalau Rahmad Darmawan membina pesepak bola yang sudah punya jam terbang tinggi, sementara kamu membina The Parlement sejak nol.”

Maghdalena akhirnya turun dari panggung dan terpaksa mengikuti Merry dan istri S.A.Ramona duduk di tempat para undangan dan duduk di tempat S.A.Ramona sebelumnya.

Sementara S.A.Ramona memanggil A.A.Nugraha dan Sapta Setyowaty untuk menjelaskan bagian-bagian film yang akan mereka produksi. Di penghujung acara, S.A.Ramona membuka cabang FK-KP3 di SMA Pelita Bangsa dan menerangkan program kerjanya, serta menyerahkan pada Pak Handoko Heriadi sebagai guru Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai pengurus dan dibantu A.A.Nugraha dan Sapta Setyowati.

Acara ditutup oleh Pak Handoko pada jam 16.30 WIB. Pak S.A.Ramona segera berjabat tangan dengan Pemerintah Kotamadya Hamburgas, pihak yayasan dan seluruh guru yang berhadir setelah turun dari panggung. Seluruh kru Ramona Entertainment mengucapkan terima kasih atas kerja sama semua pihak.

Pihak Ramona Entertainment berpamitan pada seluruh yang masih berada di situ. Mereka bersalaman dengan kelima personel The Parlement.

Setelah pihak Ramona Entertainment pergi dan undangan pulang satu persatu, seluruh siswa kembali mengemasi  semua peralatan.

* * *

MALAM harinya, Bayu segera menghubungi sobat-sobatnya yang lain untuk ngadain konferensi untuk membicarakan album yang bakal jadi soundtrack film yang bakal diproduksi oleh PT.RAMONA ENTERTAINMENT.

Tidak lupa ia menghubungi Prasetyo yang tadi siang gak bisa hadir karena ada jadwal kuliah, untuk datang ke rumah Pak Handoko. Terakhir, ia menghubungi Maghdalena, kalo mereka bakal ngumpul di rumah Pak Handoko. Maghdalena menyatakan menunggu kehadiran seluruh jajaran The Parlement yang lain.

Pukul setengah delapan malam, Bayu keluar dari rumah dengan Kawasaki kakaknya. Mereka sudah damai kembali setelah tunangan kakaknya, Mbak Sapta, ngasih pengertian ke Bayu, kalau sikapnya bakal ngerugiin dirinya sendiri dan keluarganya.

Bayu menyadari apa yang dikatakan Mbak Sapta, hingga, akhirnya ia minta maaf ama kedua orang tuanya dan menyesali semua sikapnya.

Di depan rumah Aida, ia berhenti, diajaknya Aida bareng ke rumah Pak Handoko. Di sana udah ada Lucky dan Melani. Prasetyo juga udah nyampe. Sementara Sheila sekarang udah kost di rumah Pak Handoko, karena lebih dekat ke kampus dan tidak perlu ngeluarin ongkos angkot. Dari rumah Pak Handoko, kampus udah kelihatan, jadi gak perlu ngeluarin biaya. Di situ juga udah ada keponakan Pak Handoko yang baru masuk di SMA Pelita Bangsa.

Pukul delapan malam, mereka memulai Konferensi The Parlement yang dibuka oleh Bayu yang masih dianggap orang yang pas sebagai presiden The Parlement.

“Begini, kita mo ngomongin soal album kita...” kata Bayu.

“Emang kenapa dengan album itu?” tanya Prasetyo yang gak tau permasalahannya.

“Gini, Kak. Album Parlement Cinta bakal dijadikan soundtrack sebuah film yang bersyuting di SMA kita. Jadi, gue pikir, sebelum di copy sebanyak-banyaknya, lebih baik kita periksa lagi. Kalo memang belum begitu sempurna, ya, kita sempurnakan, soalnya bakal nembus pasaran musik Indonesia.” kata Bayu menjelaskan.

“Ya, Kak. Mungkin kakak pernah dengar komentar teman-teman kuliah kakak secara gak sengaja, gitu.” sambung Aida. “Soalnya dengan ini, kita semua berharap Om Setiawan kembali untuk ketemu ama Maghdalena, kalau pun hanya sebentar.

“Ya. Kakak ngerti.” balas Prasetyo. “Cuman kakak gak pernah tuh dengar komentar apa-apa. Mereka cuman ngeluh dengan keterbatasan kasetnya, karena mesti antri muter kasetnya. Sebagian ada yang nyimpan filenya di komputernya.” sambung Prasetyo.

“Berarti kita harus kerja keras, dong, introspeksi diri.” kata Melani.

“Tenang, kan ada Bayu.” kata Lucky. “Dia udah pernah kan introspeksi diri sambil meditasi ke kaki gunung sana dan meditasinya berhasil 100%.” sindir Lucky sambil ngelirik Bayu.

“Ya...ya.... Tapi, udahlah, semua udah berlalu. Itu sebagian kecil dari rentetan peristiwa yang memiliki hikmah besar bagi kita. Tanpa kejadian itu, bisa saja kan kita bukan siapa-siapa hari ini.” bela Maghdalena.

“Tapi, rencana berikutnya juga harus dipikirkan sekarang. Sebentar lagi kalian selesai SMA. Bagaimana dengan The Parlement? Sayangkan, setelah diperjuangkan sekian lama, setelah melewati berbagai problem ini dan itu, kalau harus tersandung dengan urusan masa depan masing-masing. Bapak mengerti, kalian gak bisa cuman ngandalin ini aja, harus ada masa depan yang kalian kejar. Tapi, bagaimana caranya agar The Parlement tidak terkorbankan? Coba pelajari situasi ini secepatnya! The Parlement juga gak mesti segini aja. Masa depan kalian udah terbentang dan masa depan The Parlement juga udah terbentang.”

“Ya juga, ya!” respon Melani. “Orang tua gue nuntut gue harus lebih dari kakak gue sebagai balasan izin dari main band.”

“Kita sama, Mel. Gue juga gitu. Gue dituntut agar bisa, ya setidak-tidaknya setara ama bokap ama nyokap, malah kalau bisa lebih hebat.” kata Aida.

“Nah, ini yang bapak maksud tadi. Kalau cuma di Hamburgas ini mau jadi apa, paling cuman jadi guru.” Mereka semua terdiam. Masing-masing memutar otak nyari jalan keluar.

Suara klakson mobil di depan rumah, membuat pikiran mereka buyar. Mereka serentak melihat keluar lewat jendela. Di luar pagar sana, ada tiga buah mobil berhenti dan orang yang berada di dalam mobil keluar dan berdiri di depan pintu pagar sambil celingukan  ke arah rumah Pak Handoko.

“Sepertinya ada tamu, Pak!” kata Bayu tetap menoleh keluar lewat jendela kaca.

“Ya, keliatannya memang begitu. Sebentar, bapak liat dulu!” kata Pak Handoko berdiri dari duduknya.

Pak Handoko segera membuka pagar setelah mengenal siapa yang datang. Pihak Ramona Entertainment yang dibawa oleh dr.Alfiansyah.

“Maaf, Pak Han, kami mengganggu?” tanya S.A.Ramona pada Pak Handoko.

“Oh, tidak apa-apa, Pak. Ayo, silakan masuk!” ajak Pak Handoko.

Dalam ruang tamu, Bayu dan yang lain berdiri memberi tempat duduk di sofa pada tamu-tamu itu. Sheila dan Maghdalena segera memungut gelas-gelas kosong yang ada di atas meja dan membawa ke belakang. Mereka disuruh membuat minum untuk tamu mereka.

‘Keliatannya ramai sekali, lagi ada acara, ya? Mungkin kedatangan kami mengganggu acaranya?” kata S.A.Ramona sambil memperhatikan foto-foto yang tergantung di ruang tamu.

“Oh, biasa saja, Pak Ramona. Tidak begitu penting! Hanya kebetulan The Parlement sedang berkumpul sambil konferensi membicarakan perihal album yang akan dijadikan soundtrack film yang akan diproduksi Ramona Entertainment. Mereka ingin memperbaiki beberapa bagian dalam album mereka sebagai bentuk keantusiasan mereka dan mereka ingin memberikan yang terbaik pada pihak Ramona Entertainment yang telah memilih beberapa lagu mereka sebagai soundtrack. Mereka tidak menyangka hal ini, karena masih banyak group band yang jauh lebih bermutu dari mereka. Padahal mereka tau sekali, pembuatan album mereka tidak ada sentuhan ahli, hanya berpedoman pada ungkapan orang bijak: mencoba adalah pengalaman.” papar Pak Handoko setelah menyilakan tamu-tamu itu duduk.

Well...Well... I’m like it!” kata Andreas Pavlova.  “Tapi, saya rasa tidak begitu penting. Saya hargai itu. Cuma...a...a..., saya rasa...a....a... lebih baik dipertahankan saja, seperti semula. Karena menurut saya semuanya bagus-bagus. Musiknya, syairnya, liriknya semua bagus. Ini warna baru dengan mengandalkan segalanya. Kalau diperbaiki, nanti bisa terkontaminasi, sehingga tidak original lagi.” lanjut Andreas Pavlova.

“Berarti, tidak perlu diperbaiki, Mr?” tanya Bayu.

“Betul. Karena, menurut ukurannya, kalian sudah a...a..., terlalu hebat.” balasnya.

Thank you very much, Mr.” balas Lucky.

“Jadi ini markas The Parlement? Tapi, kok alat-alat musiknya tidak ada.” celetuk S.A.Ramona.

“Bukan, Pak Ramona! Markasnya di sekolah, karena mereka tidak punya band sendiri. Mereka hanya mengadakan konferensi di sini. Sekarang mereka sedang menghadapi problem, mengingat mereka akan selesai di SMA, jadi otomatis mereka akan mengejar masa depan masing-masing, lantas bagaimana dengan The Parlement yang telah mereka perjuangkan? Saya pikir tidak cukup hanya sampai di sini.” kata Pak Handoko.

“Itu memang benar. Masa depan harus dikejar tapi usahakan The Parlement tidak terbengkalai begitu saja.” nasihat S.A.Ramona. “Bagaimana kalau kalian hijrah ke Jakarta, sebab sudah ada beberapa teman bapak yang memiliki perusahaan rekaman yang ingin mengorbitkan The Parlement. Dengan uang penjualan kaset itu, kalian bisa membiayai kuliah sendiri tanpa memberatkan orang tua.” tawar S.A.Ramona.

“Kami pikir-pikir dulu, Pak.” kata Maghdalena yang sedang meletakkan gelas minuman di atas meja.

“Kok, repot-repot segala?” celetuk Andreas Pavlova masih dengan logat Eropanya.

“Gak papa, Mr!” balas Maghdalena. “Kalau di Indonesia begitulah adatnya.”

“Oh, terima kasih. Saya sangat senang tinggal di Indonesia.” balasnya.

“Terima kasih atas pujian untuk Indonesia.” balas Maghdalena.” Silakan Mr, Mrs, Miss, Pak, Bu!” tawar Maghdalena, sambil bangkit.

“Maghdalena, duduklah di samping Bu De-mu. Papa ingin kasih tau, kalau kerinduanmu Untuk Sepasang Kekasih itu akan terjawab.” kata dr.Alfiansyah.

“Maksud Papa?” tanya Maghdalena.

“Malam ini, penantianmu pada ayahandamu Setiawan AR akan berakhir. Papa sangat terharu mendengar jawabanmu tadi siang ketika Pak Ramona bertanya. Sungguh papa gak nyangka begitu jawabanmu: tak ada dendam, yang ada hanya harapan untuk dapat mendekap ayahandamu, Setiawan AR.

“Maghdalena hanya berharap, ayahanda kembali tanpa sedikit beban. Beliau gak perlu merasa berdosa telah ninggalin Maghdalena, karena ini adalah jalan yang ditentukan oleh-Nya.”

S.A.Ramona merasa terharu mendengar jawaban Maghdalena, ia hanya menunduk.

“Tapi, kamu gak pernah menyangka, kalau Pak S.A.Ramona itu tak lain adalah Setiawan Albertus Ramona atau kamu lebih tau Setiawan AR.” kata dr.Alfiansyah. Maghdalena keliatan ragu.

“Ya, Maghdalena. Akulah ayahmu, akulah kekasih bundamu Rahayu Maghdalena.” kata S.A.Ramona dengan suara bergetar.

“Benarkah, Pa?” tanya Maghdalena dengan suara bergetar dan matanya berkaca-kaca. Di bibirnya terulas senyum. Senyum penuh arti. Senyum harapan. Senyum kebahagiaan, bercampur jadi satu.

“Benar, Maghda. Inilah ayahmu, ayah kandungmu. Dekaplah ayahmu, lepaskan kerinduanmu itu.” kata dr.Alfiansyah.

Dengan air mata berlinang, Maghdalena bangkit dari duduknya. Disongsongnya ayahnya yang telah bangkit dari duduknya. Di dekapan ayahnya, ia memecah tangisnya, dilepaskannya segala kerinduan yang telah sekian lama. Ayahnya hanya mengelus-elus rambutnya yang panjang dan lebat.

“Ma kasih ayah. Ayah udah mau datang menjawab semua impian Maghdalena. Ayah, hari ini Maghdalena begitu bahagia. Tapi, kenapa ayah tidak bilang tadi siang?”

“Maafkan ayah, Nak. Itu tidak profesional. Urusan bisnis gak boleh dicampur adukkan dengan urusan keluarga. Toh, kamu udah tau sekarang, kan? Ayah memilih album kalian bukan karena alasan keluarga, kamu anak ayah, tapi mutunya. Kamu mengertikan maksud ayah?”

“Ya, Ayah. Maghdalena mengerti.”

“Nak, ini ibumu. Jangan bilang ibu tiri, dia seperti ibu kandungmu. Meskipun dia gak bisa ngasih kamu kasih sayang sesuci kasih sayang bundamu.” katanya pada putrinya.

Yuni, istri Setiawan bangkit. Diraihnya Maghdalena yang ada dalam dekapan suaminya dan dibawanya ke dalam dekapannya.

“Nak, meskipun ibu bukan ibu kandungmu, tapi kamu jangan anggap ibu sebagai ibu tirimu. Kamu harus percaya, gak selamanya ibu tiri itu jahat. Ibu gak punya anak perempuan. Kamulah satu-satunya anak perempuan ibu. Kamu mau kan jadi anak ibu?”

“Dengan senang hati, Bu. Selama ini, Maghdalena gak punya ibu selain Bu De.” Kata Maghdalena di sela tangisnya. Dekapannya dipererat. “Mana adik-adik Maghdalena, Bu?”

“Mereka gak bisa ikut, Nak. Mereka sekolah.” balas Yuni pada Maghdalena.

Bayu dan yang lain tersenyum melihat kebahagiaan Maghdalena.

“Nak, ini bibi dan pamanmu yang dulu tinggal di Barcelona.” kata Setiawan menunjuk adiknya Chalie Cristine dan suaminya Rianto Subroto.

Yuni melepaskan dekapannya dan membiarkan Maghdalena bersimpuh pada bibinya. Bibinya mengusap rambutnya dan mengecup kepalanya. Diangkatnya kepalanya dari pangkuan bibinya dan berhambur ke dalam dekapan bibinya, di sana ia kembali terisak.

“Nak, jangan sedih lagi, hari ini adalah hari bahagia kita. Kita semua udah berkumpul. Kesedihanmu, kerinduanmu dan duka laramu telah berakhir.” kata bibinya.

“Iya, Bi. Ini adalah tangis kebahagiaan.” balasnya melepaskan diri dari dekapan bibinya.

Ia pun beralih pada pamannya Broto. Selanjutnya pada Om Andreas, Tante Margaretha, terakhir pada sepupunya, Merry Pavlova.

“Terima kasih Tuhan, Engkau telah pertemukanku dengan orang-orang yang mencintaiku dan menyayangiku.” kata Maghdalena.

Matanya berkaca-kaca, air matanya kembali menetes dari kedua pelupuk matanya. Kebahagiaannya sudah lengkap, bayang kelam perjalanan hidupnya yang sekian lama jadi teka-teki yang mengungkungnya, sudah disinari sebuah semangat baru.

“Dik Handoko...Dik Isma.... Kami berterima kasih pada kalian. Kalian udah menerima Maghdalena di sini dan menganggapnya sebagai anak.” kata Setiawan pada Pak Handoko dan istrinya.

“Itu gak sebanding dengan pengorbanan, solidaritas dan kesetiakawanan The Parlement. Mereka udah nyelamatin Maghdalena dari keputusasaan. Dulu, Maghdalena, hampir nekat untuk mencari Mas Setiawan di manapun berada. Dia hampir meninggalkan sekolahnya. Untunglah, The Parlement segera bertindak. Mungkin kami hanya sebagai tindak lanjut dari semua apa yang telah dilakukan The Parlement. Dan kebetulan pula, bunda Maghdalena itu sepupu saya. Akhirnya saya melarang Maghdalena pergi.” papar istri Pak Handoko.

“Jadi, The Parlement yang membawanya kemari?” ayah Maghdalena meyakinkan.

“Ya, Mas. Terlebih Bayu yang begitu rela berkorban. Dia bersedia babak belur oleh orang demi Maghdalena.” kata Pak Handoko.

“Oleh siapa?”

Pak Handoko menceritakan kejadian yang menimpa Bayu di stasiun Bus Perkasa. Saat Bang Risman memukul Bayu, gara-gara Bayu mengancam bakal ngejeblosin  ke dalam penjara bila gak memberi tau di mana Maghdalena berada saat itu.

Mendengar cerita itu, ayah Maghdalena memanggil Bayu mendekat.

“Terima kasih akan pengorbananmu, Nak. Kamu udah ikut menjaga anak Om dari kehancuran. Om berhutang budi padamu, dan teman-temanmu juga pada The Parlement’s. Om berterima kasih pada solidaritas dan kesetiakawanan kalian semua.” katanya pada Bayu.

“Jangan sampai begitunya, Om. Cintalah yang membawanya kemari dan atas nama cintalah kami bisa bersatu. Semua tak lepas dari motivasi Pak Han kepada kami.” balas Bayu.

Ayah Maghdalena menganguk-anggukkan kepalanya.

“Bagaimana dengan tawaran Om untuk hijrah ke Jakarta. Om bakal jamin masa depan The Parlement dan masa depan kalian. Rumah Om besar, kalian tinggal di sana tanpa biaya kost dan makan. Setelah sukses dengan band, Om bakal ajari kalian acting dan kalian  bakal jadi bintang.”

“Kami gak bisa menjawab sekarang, Om. Maaf, kami harus membicarakannya dengan orang tua kami terlebih dulu.”

“Oo..., tentu. Lagi pula waktunya kan gak mendesak. Kapan-kapan Om bakal bicarakan ama orang tua kalian.”

“Semoga orang tua kami bersedia dengan tawaran Om.” balas Lucky. “Kami senang banget, lho, Om.”

“Om bakal lebih senang jika kalian bersedia. Om memang berencana ngajak Maghdalena ke Jakarta selesai SMA, tapi Om pikir, Maghdalena gak bakal bersedia ninggalin kalian di sini, karena ia mendapatkan sesuatu yang berharga dengan kalian.”

“Kami juga belajar banyak dari apa yang dialami Maghdalena selama ini. Apalagi buat saya, Om.” celetuk Bayu.

“Kamu mencintai Maghdalena, Nak Bayu?” tanya ayah Maghdalena pada Bayu dengan setengah mendelik dan dengan nada bercanda.

Mendengar pertanyaan itu, Bayu segera menoleh pada Maghdalena. Di saat pandangan mereka beradu, Maghdalena tersenyum sambil mengangguk padanya.

Bayu segera mengalihkan pandangannya pada ayah Maghdalena dengan penuh tanda tanya. Isyarat apa itu? Apakah Maghdalena menyuruhnya mengiyakan pertanyaan ayahnya? Apakah Maghdalena mencintainya? Bayu bingung gak tau mesti gimana. Ia takut, kalau sikap Maghdalena memintanya mengiyakan, lantas ia menjawab tidak. Maghdalena akan kecewa.

“Nak Bayu..., kok, diam?”” serang ayah Maghdalena, ketika ia tidak mendengar jawaban apa-apa dari Bayu.

“Gak ada yang gak mencintai putri Om. Kami semua mencintainya. Hanya orang bodoh yang tidak mencintainya, sedang ia tau siapa putri Om. Cewek yang tegar, kokoh, tulus sopan dan jenius.” balas Bayu.

“Bukan ke situ maksud Om. Maksudnya agak pribadi, soal perasaan. Pacaran! Kalian pacaran?”

Bayu kembali menoleh pada Maghdalena, kali ini diikuti pasang mata yang lain, termasuk ayah Maghdalena sendiri.

Maghdalena menatap Bayu dengan senyum dan sedikit mengangguk. Ayah Maghdalena segera mengerti apa yang diharapkan oleh putrinya dari Bayu. Dengan senyum dan anggukan disertai pancaran mata yang hangat dari putrinya pada Bayu, sudah cukup mewakili perasaan putrinya. Tapi, ia ingin jawaban Bayu.

Dia menoleh pada Bayu. Di wajah Bayu ditemukannya sebuah ungkapan ketidakmengertian, ragu dan gak percaya pada Maghdalena.

“Nak Bayu, kok diam?”

“The Parlement punya kesepakatan untuk tidak pacaran sebelum selesai SMA. Meskipun The Parlement didirikan atas dasar cinta, persaudaraan dan kekeluargaan, tapi kami ingin saling memberi arti bagi kami sendiri. Jadi, Bayu gak bisa jawab pertanyaan Om. Kalau Bayu mau jujur, sejak kenal dengannya, Bayu udah naruh simpatik ke dia. Tapi, setelah SMA, mungkin kami harus ngadain konferensi dulu untuk hal itu.”

“Oo... begitu.” kata ayah Maghdalena sambil menoleh putrinya. Di wajah putrinya ditemukannya seberkas kekecewaan.

“Dik Han..., Dik Isma, bolehkah kami membawa Maghdalena beberapa hari bersama kami?” tanya Setiawan.

“Kok, Mas nanya gitu? Maghdalena kan putri Mas, tentu saja boleh.” balas istri Pak Han.

“Ya, kaliankan udah menjaganya, ia tinggal bersama kalian. Jadi, sudah sepantasnya kami minta izin. Meskipun kami orang tuanya, tidak etis keliatannya kalau kami main bawa begitu saja. Semua itu ada aturannya.” balas Setiawan.

“Ah, tidak enak kedengarannya begitu, Mas. Maghdalena putri Mas, meskipun tinggal bersama kami, tapi ia lebih dekat dengan orang tuanya, ditambah lagi ia baru mengenal kalian. Kalaupun ia menolak, harusnya kami malah bujuk dia untuk dekat dengan kalian, keluarganya. Tapi, kami pengen Maghdalena sering-sering ke sini. Rumah ini masih terbuka untuknya.” kata istri Pak Han

“Tentu, Bu De. Maghdalena akan sering-sering ke sini.” kata Maghdalena bangkit.

Ia menuju kamarnya. Diambilnya tas, baju seragamnya dan gak lupa ia nyandang gitar ke bahunya. Ia kembali keluar.

“Baiklah Dik Han, Dik Isma dan juga The Parlement, kami bawa Maghdalena dulu.” kata ayahnya. “Kami mengundang kalian semua untuk datang ke klinik dr.Alfian besok siang sepulang sekolah. Kami berencana mengadakan syukuran sebagai bentuk rasa syukur pada Allah SWT, sebab kami sudah berkumpul kembali, keluarga besar Ramona. Kami juga mengundang anak-anak panti asuhan yang dipimpin Kiyai Maksum.” lanjut Setiawan. “Kami berharap, kita semua dapat berhadir. Dan untuk The Parlement, Om berharap, kalian mengajak orang tua kalian ikut serta. Om ingin mengenal orang tua kalian dan sekaligus  mengutarakan niat Om  mengajak kalian hijrah ke Jakarta. Om sangat berharap kehadiran mereka. Agar antara kami tidak saling memberi pengertian yang salah. Om hanya merasa ini bentuk balas budi Om pada kalian semua.”

“Insya Allah, Om!” balas mereka serentak sambil mengangguk.

“Kalau begitu, kami pamit dulu! Sudah cukup larut malam. Hampir jam sebelas.” kata ibu Maghdalena dengan senyum. “Jangan sampai gak datang, ya. Demi Maghdalena. Kami juga punya hadiah buat kalian.”

“Insya Allah, Tante.” balas Bayu. “Kami bareng ama Maghdalena besok.”

“Benar, ya?”

“Kok, gak percaya, sih Maghda?” celetuk Bayu.

“He...he...he..., bercanda, kok.” balas Maghdalena. “Bu De, Maghdalena pamit dulu, ya. Mungkin besok, Maghdalena ke sini. Maghdalena cuman bawa baju sekolah, kok dan buku pelajaran untuk besok aja.” katanya mengulurkan tangannya pada Bu De dan Pak Denya. Semua malah ikut menyalam Pak Han dan istrinya.

“Kalau begitu, kami juga pamit, Pak, Bu.” kata Bayu ikut menyalami Pak Han dan istrinya diikuti Lucky, Melani, Aida dan Prasetyo juga.

Semua keluar dari rumah Pak Handoko. Pak Handoko, istrinya, Sheila dan Joana, keponakan Pak Han, ikut mengantar mereka ke depan.

Setelah semua berlalu, Pak Handoko, istrinya, Sheila dan Joana kembali masuk ke dalam rumah. Sheila dan Joana segera membereskan ruang tamu, gelas-gelas yang kosong segera diangkat dan dicuci.

* * *

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler