Skip to Content

NOVEL: MAGHDALENA (14/14)

Foto SIHALOHOLISTICK

EPILOG

 

ESOK harinya, di klinik dr.Alfiansyah, semua sudah berkumpul menghadiri undangan Ramona Entertainment yang mengadakan syukuran. Orang tua Bayu, Lucky, Aida dan Melani telah hadir di tempat itu. A.A.nugroho dan Sapta Setyowaty, Pak Handoko dan istrinya, juga baru tiba bersama anak-anak, Joana dan Sheila. Semua berkumpul di tempat yang lumayan luas.

Setiawan dan semua keluarganya sudah memakai pakaian muslim. Merry keliatan semakin cantik dengan balutan pakaian muslim. Wajah Eropanya berganti dengan wajah Arab .

Bayu mendekati Maghdalena yang sedang asyik mengobrol dengan sepupunya, Merry.

“Maghdalena, bisa kita bicara sebentar?”

“Soal apa? Kedengarannya serius sekali.”

“Ya, gue pikir cukup serius. Kita ke kebun belakang.” ajaknya.

“Aku tinggal dulu, ya Mbak Merry.”

“Okey. Please!”

Keduanya berjalan ke belakang.

“Ada apa, sih, Yu?”

“Aku mau nanya sesuatu ama lo. Soal semalam, waktu bokap lo nanyain gue soal pacaran itu. Gue gak ngerti apa maksud senyum lo itu sambil ngangguk lagi. Apa lo nyuruh gue ngiyain pertanyaan bokap lo?”

“Gue tau, Yu. Lo suka ke gue. Sejak awal lo terus ngelakuin banyak hal ke gue. Akhir-akhir ini gue sempat berpikir: apa mungkin lo ngelakuin pengkhianatan itu karena kecewa atas penolakan gue?”

Bayu tersenyum.

“Gue serius, Yu. Bokap gue benar. Gue gak bakal mau ninggalin kalian di sini. Kalau kalian gak ikut, gue pilih di sini aja.”

“Tapi kita masih keikat ama konferensi The Parlement I: Ngejomblo selama SMA.”

“Tinggal beberapa bulan lagi, Yu. Waktu yang gak begitu lama.”

“Gimana dengan Lucky?”

“Gue gak suka ama dia. Gue lebih suka ama lo.”

Bayu kembali tersenyum.

“Gue serius, Yu. Kok dari tadi senyum mulu.” balas Maghdalena.

“Ya...ya....” kata Bayu terkekeh. “Lo tambah cantik, deh, kalo udah gini, malah lebih cantik dari pada waktu lo senyum.”

“Ngeledek gue lo?”

“Serius. Gue serius banget. Tapi gue rasa, gue gak bisa jadi yang terbaik buat lo. Soalnya gue ngerti banget ama cewek, dia lebih suka ama cowok yang lebih hebat dari dia. Itu ukuran cewek normal. Dia itu pengen jadiin cowok yang dipilihnya bisa ngelindungi dia.”

“Bentar...bentar..., lo lagi nguji gue atau gimana?”

“Apek, deh...!” ledek Bayu.

“Rese, lo, ah...” balas Maghdalena sewot.

“Meskipun lo pernah nolak gue, gak mungkinlah gue nolak cinta cewek kek lo.” kata Bayu meraih jemari Maghdalena. Dia menggenggamnya dengan hangat.

Maghdalena membalas genggaman tangan Bayu.

“Tanpa lo, gue gak bakal jadi kek gini. Mungkin kalo kalian gak ngelarang gue pergi, pasti gue gak bakal ketemu ama bokap gue. Mungkin juga hidup gue udah entah kek gimana hari ini.”

“Lo benar, Maghda...” suara Lucky terdengar oleh mereka.

Keduanya menoleh ke arah suara. Lucky udah begitu dekat bersama Aida dan Melani.

“...semua ini karena ada Bayu. Tanpa dia, kami juga gak tau mau ngapain. Kalian emang cocok.”

“Lo, apa-apaan, sih, Luck. Mana mungkin gue ngerebut Maghdalena dari lo.”

“Emang dia punya gue apa? Enak aja lo ngomong gitu.”

“Kalau orang baru jadian, rasanya gak kek gini, deh. Di sinetron kan pake pelukan. Ayo, dong!” kata Aida.

“Mana ekspresinya?” sambung Melani. “Plis Gue Cinta Lo!”

“Apaan, sih, lo? Gak boleh nyeplak, dong.”

“Kalian kan saudara!” balas Aida menyiapkan Canon Eos tipe 350D-nya. “Tunggu apa lagi?”

Bayu meraih jemari Maghdalena yang tadi sempat dilepasnya. Jemari Maghdalena dikecupnya dengan hangat. Di saat seperti itu, Aida segera membidikkan  LCD kameranya dan menjepret keduanya.

Okey, it’s memory very beautiful. I like it.” celoteh Aida setelah berhasil menjepret keduanya dan memperlihatkan pada Melani dan Lucky.

“Fotonya bisa buat cover album, nih.” ujar Melani.

“Judulnya?” tanya Aida sambil nyimpan file tersebut dan siap membidik Bayu yang sedang mendekap Maghdalena dan ia berhasil.

“Yu, lo gak marah kan, kalo gue nembak lo? Lo gak bakal ngatain gue murahan kan? Lo gak bakal ngatain gue cewek iseng, kan?” bisik Maghdalena dalam dekapan Bayu.

“Kalo gak mau dikatain gitu, kok berani nembak gue, sih?” buat gue, bila cewek nembak cowok itu...” kata Bayu menggantung ucapannya ingin melihat apa yang bakal dilakuin Maghdalena. Tapi Maghdalena malah mempererat dekapannya.

“Semua cewek emang murahan di mata cowok. Gue setuju banget, tapi...”

Gak buat gue. Lo cewek hebat and very ekspansive for me. Gue sempat nyasar, nanar dan kehilangan jejak untuk ngedapatin lo. Bukan lo yang nembak gue, lo cuman ngasih jawaban atas ungkapan cinta gue waktu itu.”

“Maafin gue, Yu. Gue udah sejahat itu ama lo. Seharusnya...”

“Lo gak salah. Gue nilai lo gak gitu. Waktu lo nolak, gue cuman berpikir, lo gak nolak gue tapi nolak untuk menjawab waktu itu. Gue setuju ama prinsip lo, cinta gak sekedar suka, tetapi di balik itu ada yang lebih berarti, yakni ketulusan dan kerelaan. Semua udah gue buktiin dan finalnya lo nantangin gue jadi vocalis The Parlement saat kondisi gue gak mood banget.”

“Kesuksesan lo, membuat gue yakin, kalo lo ngelakuin semua demi gue. Dan inilah imbalan yang gue maksud itu”

“Oi... Maghda, diliati bokap lo, tuh! Yu, bokap lo juga!” teriak Aida.

Keduanya langsung melepas dekapan dan menoleh ke Aida, selanjutnya ikut menoleh ke arah yang ditunjuk Aida.

Mereka melihat, bokap Maghdalena, bokap Bayu, bokap Aida, bokap Lucky dan bokap Melani udah ada di teras belakang sedang menoleh ke mereka.

“Yok, ngumpul semua, anak-anak panti asuhan udah datang, tuh.” teriak bokap Maghdalena.

Maghdalena dan Bayu hanya saling pandang dan mereka tersenyum bersama.

Di dalam ruangan yang luas itu, semua duduk di atas tikar menantikan Kyai Maksum membacakan do’a.

“Sudah Pak Ramona, tidak ada lagi yang ditunggu?”

“Sepertinya tidak ada Pak Kyai. Pak Kyai boleh mulai.”

“Tunggu, Pak Kyai...” sebuah suara mengurungkan do’a-do’a mengalir dari mulut Pak Kyai Maksum dan semua menoleh arah suara. Ternyata istri dr.Alfiansyah bersama kedua anaknya, Al Ghazali dan Irawati Natsir.

Ketiganya masuk ke tengah-tengah dan berhenti di depan Setiawan.

“”Maafkan aku, Wan!” kata Sri di hadapan Setiawan.

“Aku yang minta maaf padamu, Sri.” balas Setiawan.

“Yang itu sudah aku maafkan, Wan. Aku minta maaf soal kemarin. Aku terlalu menurutkan emosi dan dendamku padamu, padahal telah berlalu sekian lama. Aku sadar, Wan. Kita membuat kesalahan di dunia dan mestinya kita selesaikan di dunia pula, tidak perlu menyerahkannya ke pengadilan Tuhan.”

“Terima kasih, Sri. Aku sangat bahagia mendengarnya.” balas Setiawan.

“Maghdalena, maafin Mama, Nak. Selama ini kamu udah jadi korban kesalahpahaman antara Mama dan ayahmu. Maafin Mama, ya, Nak!” ia beralih pada Maghdalena dan mendekapnya.

“Mama, Maghdalena gak pernah dendam ama mama. Maghdalena sebenarnya pengen nyayangi mama, bahagiain mama. Tapi, Maghdalena gak tau. Maghdalena hanya bisa buat mama kesal, buat mama marah dan buat mama benci.  Maghdalena juga minta maaf, Ma.”

“Oh, betapa mulia hatimu, Nak!” balas Sri terisak.

“Udahlah, Ma. Semua udah selesai.”

“Ma kasih, Nak!”

Al Ghazali dan Irawati Natsir juga minta maaf pada Maghdalena. Ketiganya keluar dari tengah lingkaran dan nyari tempat yang masih kosong dalam ruangan itu.

“Bagaimana, Pak Ramona? Kita mulai sekarang?”

“Silakan, Pak Kyai!”

Sesaat ruangan itu menjadi hening, hanya do’a-do’a yang mengalir dari mulut Kyai Maksum. Sesekali terdengar suara ‘amin’ dari mulut yang lain dengan serentak mengiringi do’a yang dibaca Kyai Maksum.

Selesai berdo’a, mereka semua makan bersama. Setelah makan, Setiawan didampingi istrinya dan Maghdalena mengucapkan terima kasih pada Kyai Maksum sambil menyerahkan bantuan secara pribadi pada panti asuhan yang dipimpin oleh Kai Maksum. Maghdalena juga memberikan bantuan secara pribadi pada anak-anak panti asuhan. Anak-anak panti asuhan keluar dari rumah itu dengan senang hati menuju bus angkutan panti asuhan mereka.

Ayah Maghdalena mengumpulkan anak-anak The Parlement dan mengajak mereka ke belakang. Mereka masuk ke sebuah ruangan diikuti orang tua mereka.

“Om berhasil minta izin pada orang tua kalian untuk membawa kalian ke Jakarta. Cuman orang tua kalian gak pengen kalian mengabaikan kuliah demi ketenaran. Gimana, kalian setuju?”

“Kalau memang orang tua kami semua sudah setuju, kami sangat senang, Om.” balas Bayu yang berdiri di samping Maghdalena.

“Kalian rencananya mau kuliah di mana?”

“Kalau kampusnya bareng aja, Om. Di manapun, yang penting bareng. Kalau jurusan baru individu.”

“Boleh...boleh. itu yang Om harapkan. Seperti semboyan kalian: The Parlemens: cinta, persaudaraan dan kekeluargaan. Kalian remaja-remaja hebat, kreatif dan solid. Om kagum dan bangga ama kalian. Itulah sebabnya, Om pengen sekali mengorbitkan kalian, karena Om yakin, kalian orang-orang yang punya masa depan yang menjanjikan.”

“Terima kasih, Om. Ini hanya sebatas tekad yang ingin kami raih. Kami harus nyatat rekor.”

“Om, tunggu itu.” balas ayah Maghdalena. “Satu hal lagi, coba kalian buat novel perjalanan The Parlement untuk Om buatin film dan yang tadi udah pas banget sebagai penutupnya. Judulnya Kidung Kafilah Cinta.”

“Gimana kalau serentak dengan peluncuran album baru kita, Om, dengan judul yang sama, Aida udah punya cover-nya, nih.” kata Aida memperliatkan LCD Canon Eos tipe 350D-nya pada ayah Maghdalena. Foto Bayu sedang mengecup jemari Maghdalena.

“Om serahkan penggarapannya pada kalian. Jangan terlalu buru-buru, kalian mau Ujian Nasional. Coba seimbangkah semua.”

“Iya, Om. Kami punya Maghdalena yang bakal menggarap novelnya, kolaborasi ama seseorang...” goda Aida melirik Bayu.

“Ya...ya..., Om senang sekali.” balas ayah Maghdalena tersenyum-senyum. “Cuman, bentar lagi ujian nasional.”

“Kalau soal itu, Om,  gak perlu kawatir. Pasangan ini lain ama yang lain. Acara ngedate aja bahas pelajaran. Kebayang nggak, Om?”

“Cinta emang gak pernah jadi penghalang, Om, kalau motivasi ada kemungkinan dan itu terserah ama orang yang ngejalaninya.”

“Betul. Bapak setuju.” kata Pak Handoko buka bicara.

“Kalian bisa tebak, nggak, apa yang Om sediakan untuk kalian sebagai hadiah?”

“Kalau tau, bukan hadiah namanya, Om.” balas Melani.

“Ya, memang. Tapi, yang ada dalam bayangan kalian, apa kira-kira? Maksudnya, apa yang kalian pengen dari Om?”

“Rencana Om buat ngorbitin The Parlement, sebenarnya udah kami anggap sebagai hadiah besar, Om. Cuman kalau Om masih pengen ngasih sesuatu ke kami, pasti kami terimalah. Masak, sih nggak.”

Ayah Maghdalena akhirnya menyuruh mereka mendekati sesuatu yang tertutup kain hitam dan mereka mengelilinginya. Ayah Maghdalena menyuruh mereka mengangkat kainnya dengan perlahan. Dan..., terlihatlah oleh mereka satu set band lengkap dengan keyboardnya.

Ayah Maghdalena menyerahkan pada mereka ruangan beserta isinya itu sebagai markas mereka. Dia menyerahkan kuncinya pada Bayu.

Dengan bahagia yang tidak terlukiskan, sobat-sobat Maghdalena pun segera menempati posisi masing-masing. Sedang Maghdalena segera menyongsong tubuh ayahnya dan memeluknya dengan erat.

Tangisnya kembali pecah, tapi bukan kesedihan lagi, melainkan tangis kebahagiaan.

 

SEKIAN

 

Andam Dewi, 16 Maret 2008

Pukul 03.22 WIB

 

 

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler