Skip to Content

NOVEL: MAGHDALENA (04/14)

Foto SIHALOHOLISTICK

EMPAT

 

DI PINTU gerbang, mereka udah ditunggu oleh Prasetyo dan Sheila, keduanya mengatakan kalau mereka tak bisa ikut. Mereka dapat tugas dari guru Bahasa dan Sastra Indonesia untuk wawancara ama tokoh masyarakat yang berperan penting dalam bidang masing-masing sektor yang udah ditentukan oleh isi tugas kelompok masing-masing. Ada masalah pendidikan, seni budaya, hukum dan kriminal, ekonomi, keagamaan serta politik dan pemerintahan.

Bayu dan sobat-sobatnya pun ngerti, memang buat mereka soal Maghdalena hal yang mungkin gak bisa ditunda lagi, karena udah hampir tiga bulan Maghdalena gak mengikuti pelajaran. Padahal semesteran udah diambang pintu.

Meskipun begitu pentingnya Maghdalena bagi mereka, bukan berarti mereka harus bersikap egois pada Prasetyo dan Sheila. Kalaupun keduanya cukup peduli pada Maghdalena, mungkin kepedulian itu pun udah cukup buat mereka. Mereka harus tau juga, kedua senior mereka itu sedang berada di posisi  puncak, apalagi tugas mereka itu adalah syarat untuk mengikuti Ujian Nasional.

“Ya, udah, Kak. Kalau kalian emang gak bisa, kami gak kecewa, kok. Apalagi tugas kalian adalah syarat untuk ikut Ujian Nasional. Kepedulian kalian mungkin udah cukup bagi kami sebagai motivasi untuk benar-benar memiliki solidaritas ke Maghdalena.” kata Bayu pada keduanya.

“Kalian jangan kecewa, ya. Kami emang gak bisa bantu kalian, tapi kalian harus tetap semangat. Yakinkan dalam hati kalian, kalau Maghdalena gak pernah dituntut hadir di antara kita sebagai orang yang harus punya jati diri.” balas Sheila memelas.

“Betul, Yu, lo sebagai presiden harus bisa memimpin sobat-sobat lo. Kalian harus saling berperan nunjukin solidaritas dan kepedulian ke dia. Buat dia merasa dibutuhi. Kami berdua sebenarnya pengen sekali membantu, tapi kami gak punya waktu banyak.”

“Thank’s banget, Kak. Kami ngerti posisi kalian. Kami udah punya janji, apapun yang terjadi, kami bakal hadapi sama-sama. The Parlement punya tiga landasan: cinta, persahabatan dan kekeluargaan. Kami saling mencintai, dengan persahabatan saling terbuka dan dengan kekeluargaan kami ibarat sedarah daging.” Lucky membalas.

“Kalau gitu, kita cabut dulu, Kak. Ntar Bang Risman keburu berangkat.” pamit Melani.

“Okey, deh! Semoga kalian berhasil meyakinkan Bang Risman.” balas Prasetyo.

Keempatnya pun melangkah meninggalkan Prasetyo dan Sheila. Tak berapa lama mereka sampai di stasiun Perkasa Ekspress Travell. Diperhatikan bus-bus yang berjejer di depan stasiun sambil nyari nomor 313 yang dikemudikan Bang Risman.

Setelah melihat bus yang mereka cari ada di antara jejeran bus, mereka mendekati loket. Bayu mendekati petugas tiket, sedang yang lain menunggu.

“Mbak, Bang Risman-nya ada?” tanya Bayu pada wanita yang berada di balik jeruji-jeruji besi itu, ruangannya mirip sebuah sel di rumah tahanan. Wanita itu cantik, gak cocok banget kerja di stasiun bus, dia cocoknya jadi pekerja kantoran. Tapi mungkin hanya pekerjaan itu yang didapatnya, sebab sangat sulit nyari pekerjaan saat ini.

“Bang Risman?” balasnya sambil memperhatikan Bayu lekat-lekat.

“Ya, Bang Risman, sopir Perkasa 313 itu, Mbak!”

“Oo..., lagi ke kamar kecil, mungkin sebentar lagi keluar. Ada keperluan apa, ya?”

“Gak begitu penting, kok, cuman mau nanya sesuatu aja, Mbak.”

“Silakan tunggu, Dek. Sebentar lagi pasti keluar.”

Benar aja, gak berapa lama Bang Risman keluar. Laki-laki yang kelihatan sangar dan beringas itu keluar sambil ngibas-ngibaskan rambutnya yang basah. Dia nyeka ama sebuah handuk leher yang udah kusam banget. Mungkin gak pernah dicuci istrinya.

“Bang Ris, ada yang nyari, tuh!”

“Siapa?”

“Keliatannya anak sekolah, tuh.”

“Di mana?” tanyanya lagi sambil mendekat.

“Di luar!”

“Ada apa, ya?” tanyanya sambil keluar.

“Tanya ama merekalah, Bang. Kok ama aku.”

Laki-laki bernama Risman itu, sopir Perkasa 313, melihat anak sekolah duduk di bangku panjang. Ia pun mendekatinya.

“Kalian nyari Abang? Ada perlu apa?”

“Maaf, Bang. Mengganggu sebentar. Abang masih lama berangkat, kan?”

“Satu jam lagi.” balasnya sambil melihat jam tangannya. “Emang kenapa?”

“Kami mau nanya sesuatu, Bang.”

“Boleh! Silakan!”

“Apakah Abang yang antar surat ini ke SMA Pelita Bangsa?” tanya Bayu sambil memperlihatkan surat tanpa alamat pengirim dan prangko itu.

“Coba liat!” pintanya.

Bayu ngulurin surat itu ke Bang Risman.

“Betul. Tadi Abang yang antar. Emang kenapa?”

“Dimana surat ini dikasih oleh seorang gadis yang bernama Maghdalena itu, Bang?” Lucky buka bicara.

“Kalau dia gak ngasih tau di surat itu, berarti dia sengaja menyembunyikannya dan Abang keberatan memberitaunya.”

“Tapi, Bang!” protes Aida.

“Gak ada tapi-tapian. Abang gak bisa ngasih tau dan gak mau berkhianat. Tampang Abang emang kek gini, tapi soal rahasia gak mau main-main. Lebih baik kalian pulang. Sampai kapan pun gak akan Abang kasih tau. Siapa tau kalian punya niat jahat sama dia.”

“Berpikir logis aja, Bang. Yang rasional, yang masuk akal. Kalau kami orang jahat, kenapa juga dia ngirim surat ke kami. Justru dia sahabat kami.” protes Melani karena gak terima tuduhan itu.

“Ya juga, ya!” ralat Bang Risman sambil ngeluarin rokoknya dan memasang sebatang. Asap rokok itu segera mengepul-ngepul ketika ia narik rokok itu dari bibirnya. “Ah..., masa bodoh. Abang tetap gak mau tau. Mungkin dia gak mau ketemu ama kalian, mungkin agar kalian gak ngawatirin dia dan keliatannya ia sehat-sehat saja.”

“Bang, tolonglah! Kami gak mau ia ngorbanin masa depannya hanya karena hal sepele. Mungkin dengan kedatangan kami ia merasa dipedulikan dan dibutuhkan.” pinta Melani.

“Tapi, kenyataannya kalian emang gak dibutuhkannya, kan?”

“Mungkin egonya sedang berkuasa. Orang sedang kalut berpikirnya gak nentu. Lagian kami sangat butuh dia, dia anggota band kami dan sebentar lagi kami bakal ngikuti festival band. Abang gak tau apa sebenarnya yang terjadi.”

“Ya, Abang emang gak tau, dan...gak mau tau. Sekarang kalian pergi saja sebelum Abang kehilangan kesabaran.”

“Bang, dengar dulu! Kasihan orang tuanya, sudah empat bulan mereka nyari anak mereka yang minggat. Mereka khawatir anak mereka diculik orang dan sudah masuk daftar orang hilang di kepolisian. Abang bisa dituduh sebagai penculiknya kalau surat ini kami jadikan bukti dan satpam sekolah jadi saksi.”

“Oo..., ya?”

“Ya, Abang akan dijadikan tersangka utama dan kalau orang tuanya tau, pasti mereka akan menuntut Abang di depan hukum.”

“Lantas?”

“Abang diseret ke penjara!”

“Kalau diseret?”

“Anak istri Abang juga yang susah.”

“Jadi kamu mau nakut-nakuti saya, ha?” kata Risman sambil menyergap kerah baju Bayu dan menyandarkan ke dinding. “Dengar bocah ingusan, saya bukan orang yang mudah kalian takut-takuti.” katanya menepuk-nepuk pipi Bayu. Segera ditarikkannya Bayu ke samping dan terjatuh ke lantai. Ketiga sahabatnya segera bantu Bayu berdiri.

“Okey, Bang. Kita liat aja apa yang bakal terjadi.” kata Bayu setelah berdiri.

Risman kembali berbalik dengan cepat dan kembali nyergap kerah baju Bayu.

“Jadi kamu ngancam saya, ha?” katanya sambil mengayun tangannya dan telak mendarat di pipi Bayu.

Tamparan itu begitu kerasnya, hingga membuat Bayu tergopoh-gopoh. Pipinya terasa panas. Dirabanya sudut bibirnya dan di jarinya menempel darah.

“Tamparan ini gak bakal membuat gue kecut dan gentar, malah sebaliknya, gue semakin pengen nyelesaiin masalah ini di depan hukum. Kamu...!” kata Bayu akhirnya dengan emosi yang tinggi. “Kamu...tunggu saja apa yang bakal gue lakukan. Bersiaplah!” ancam Bayu lagi.

“Keras kepala juga kamu rupanya. Kamu pikir berhadapan dengan anak seusia kamu, ha?” balasnya sambil mengepal tinjunya dan siap mendarat di wajah Bayu.

“Bubb...!” bogem mentah itu akhirnya mendarat juga di wajah Bayu dan membuat Bayu terhuyung-huyung. Kalau saja Lucky gak segera menopang tubuhnya, pasti Bayu sudah jatuh dan keok.

“Sudah lama juga rasanya gak ngepal tinju, tapi sayangnya hanya bocah ingusan ini yang dapat bagian.” katanya bergumam sambil kembali ngepal tinjunya dan diayunkan ke wajah Bayu.

“Tunggu Bang Ris! Jangan pukul dia! Dia teman saya. Saya yang nyuruh dia kemari.” kata sebuah suara yang datang dari arah samping.

Semuanya menoleh ke arah suara itu. Prasetyo rupanya yang datang.

“Ada apa, Prast?”

“Maafkan teman saya, Bang. Tapi saya sangat berharap pada Abang untuk memberi tau di mana surat itu diberikan pada Abang. Dia pacar saya, Bang.”

“Pacar kamu?”

“Ya, Bang. Dia minggat dari rumah orang tuanya dan sudah empat bulan gak ada kabarnya.”

“Dia di Kampung Jadul!”

“Di mana itu, Bang?”

“Delapan puluh kilo meter dari kota ini ke arah utara.”

“Apa Abang bisa gambar rute perjalanannya?”

“Apa perlu? Polisi kan tau tempat itu?”

“Tapi kami bermaksud menemuinya dulu, dan jika dia mau ikut bersama kami, kami akan membawanya tanpa dengan polisi.”

“Baiklah! Minta pulpen dan kertas!”

Melani segera mengeluarkan buku dari tasnya dan menyodorkannya pada Bang Risman. Bang Risman segera menggambar rute perjalanan sampai pada titik di mana Maghdalena memberikan surat itu padanya, persis di depan persimpangan itu.

“Di mulut simpang inilah tiang Km 80 itu terpancang, di dekatnya ada ruko yang berdempet dengan rumah semi permanen bercat biru putih. Di belakang rumah inilah perkampungan itu. Di sebelahnya ada sawah yang cukup luas. Sekitar satu kilo meter dari situ, ada pasar Sabtu.”

“Ma kasih banyak, Bang.” kata Prasetyo.

“Gak perlu berterima kasih segala. Abang masih hutang budi sama kamu.”

“Yang itu lupakan saja, Bang. Manusia perlu saling tolong menolong dan soal teman saya tadi mohon dimaafkan.”

“Maafkan gue, Bang. Gue gak punya maksud apa-apa.” kata Bayu ngulurin tangannya.

“Abang juga minta maaf.” balasnya menerima uluran tangan Bayu. “Abang salut ama solidaritas kamu memperjuangkan teman kamu.”

Bayu gak membalas. Wajahnya membiru karena bogem mentah Bang Risman.

“Bang, kami cabut dulu.” kata Prasetyo ngajak teman-temannya.

“Lo gak apa-apa kan, Yu?”

“Lumayanlah, Kak. Kalau Kakak gak nongol, mungkin gue udah digotong ke ICU, nih.”

“Makanya, kalau minta tolong harus merendah.”

“Gue sebal dengar omongannya. Masak kita dibilang punya niat jahat.”

“Ya, tapi demi Maghdalena kayaknya ini belum seberapa.” goda Prasetyo.

“Gak gitu-gitu amat juga, Kak.”

“Kalau boleh tau, kok, bisa Bang Risman hutang budi sama Kakak?” Aida heran.

“Cuma hal sepele dan gak perlu diomongi. Kakak gak pernah ingat itu dan gak memperalat itu. Mungkin karena kakak bilang Maghdalena pacar kakak. Kalian gak marah, kan?”

“Ya nggaklah. Kalaupun iya, gak ada yang cemburu, kok.” balas Melani senang. Ia berharap bisa mendapatkan cintanya Bayu kelak. Apalagi setelah kejadian tadi, ia semakin simpatik pada Bayu.

“Tapi kalian de’Djombloer’s. Kalau ada yang pacaran dikeluarin dari The Parlement.”

“Kakak, kan orang dalam.”

“Justru karena itu.” balas Prasetyo. “Okey, kakak cabut dulu, ya. Mungkin Sheila udah bete nunggunya.”

“Makasih banyak, Kak!” teriak mereka sambil berpisah menuju rumah masing-masing.

Bayu dan Aida berjalan beriringan, setelah Aida nyampai, Bayu berjalan sendirian.

Di rumahnya, ia segera diinterogasi oleh kakaknya. Tapi gak ngadu kalau Bang Risman yang nonjoknya. Kalau ia ngadu, kakaknya gak bakal diemin. Kakaknya jadi super setia ama dia setelah berhasil nyatuin kakaknya ama Mbak Sapta. Sekarang mereka udah ngerencanain pertunangan.

Ia terpaksa bohong dan ngaku, wajahnya memar karena tabrakan ama teman waktu main volly di sekolah.

Malamnya, Bayu keluar setelah izin sama orang tuanya. Di luar, ia berjalan menuju kompleks sebelah.

Tepat di depan rumah yang ditujunya, ia berhenti. Ditatapnya pekarangan rumah yang sederhana meskipun cukup unik dan apik, tapi untuk ukuran kompleks itu, rumah itu sederhana. Pekarangan rumah itu sempit dipenuhi dengan bunga yang beragam.

Bayu pengen menemui Bu May yang tinggal di rumah itu, tapi bukan ingin melamar gurunya itu, seperti yang dikatakan gurunya tadi siang. Ia hanya ingin minta maaf atas ocehannya yang didengar gurunya itu. Meskipun gurunya ikut senyum ketika mendengar ledekan Lucky. Tapi baginya senyum itu menyimpan luka, karena senyum itu terlalu getir.

Ia masih berdiri di depan pagar rumah sederhana itu. Dipandanginya rumah itu sambil celengak-celinguk  mencari orang yang pengen ditemuinya, tapi, ia gak menemukan orang yang dicarinya. Orang-orang yang berlalu lalang memandangnya dengan curiga.

Akhirnya, ia memencet bel yang ada di dekatnya. Ia takut, orang mencurigainya sebagai pencuri dan alamatnya bakal membahayakan dirinya juga. Setelah beberapa jenak menunggu, akhirnya ia memencet bel berkali-kali, karena bela yang pertama gak ada yang muncul.

Seorang wanita tua muncul, usianya kira-kira enam puluhan ke atas. Bayu mengira-ngira wanita itu adalah eyang putri Bu May.

“Cari siapa, Nak?” suara wanita tua itu sepertinya lebih tua dari perkiraan Bayu.

“Bu May-nya ada, Nek?”

“Ada. Anak ini siapa, ya?”

“Bayu. Siswa Bu May di sekolah. Anak kompleks sebelah.”

“Sebentar, eyang panggil. Nak Bayu tunggu di sini.” katanya ninggalin Bayu. Pagar itu masih belum dibuka.

Wanita tua itu masuk ke dalam.

“May...May..., kamu sudah tidur, belum?”

“Belum, Eyang. Ada apa?”

“Ada yang nyari kamu di luar.”

Sopo, Yang?”

“Siswa sampeyan, anak kompleks sebelah. Namanya kalau ndak salah Ba...Bayu. ya, namanya Bayu.”

“Mau apa dia?” tanya May pada dirinya sendiri. “Nekat juga dia. Omonganku tadi ditanggapi. Tapi, gentlement juga dia.” lanjutnya.

“Berapa orang, Yang?”

“Cuma dia.”

Bu May segera keluar menuju pintu pagar. Dilihatnya Bayu udah berdiri di sana. Untung ayahnya belum pulang. Kalau tidak, ayahnya akan membuatnya malu di depan muridnya itu.

“Ada apa, Yu?”

“Maaf, Bu. Boleh Bayu ganggu sebentar?” balas Bayu tanpa peduli pertanyaan Bu May. Bayu hanya berharap Bu May membukakan pintu pagar.

Bu May membukakan pintu pagar dan mempersilakan Bayu masuk. Meskipun Bayu hanya anak ingusan, usia belasan tahun dan siswanya di sekolah, tak urung jua dadanya berdebar. Untungnya ia bisa nyembunyiin hal itu.

Bayu dipersilakan duduk di kursi yang ada di teras. Teras rumah itu cukup nyantai dengan diterangi lampu philips.

“Tunggu sebentar, Yu. Ibu buatin minum. Mau minum apa?”

“Gak usah repot-repot, Bu.” balas Bayu santai.

“Gak papa, kamu tamu di sini dan sepentasnya menghormati tamu dengan menghidangkan minuman ala kadarnya.” balas Bu May. “Kamu mau minum apa?”

“Mm...apa, ya?” pikir Bayu. “Ntar kalo diminta, takutnya gak ada.” balasnya dengan lebih santai bikin gurunya yang cantik itu dag-dig-dug juga. Ia sempat pangling tadi liat Bu May yang keliatan lebih cantik tanpa kerudung.

“Emang kamu mau minum apa?”

“Kalau gitu, teh angat aja, deh.”

“Kirain mo apaan?”

“He...he...!’ balas Bayu tertawa renyah.

Bu May masuk ke dalam dan menuju dapur untuk membuat minum buat Bayu.

Ketika ia selesai, teh itu dibawa dan diletakkan di hadapan Bayu yang keliatan santai aja. Sudah beberapa kali ia mengumpat dalam hatinya, di saat Bayu dengan nyantai mengekori segala gerak geriknya pakai ekor matanya.

Suara deru mesin dan suara klakson mobil di depan rumah, membuat Bu May cemas dan tegang. Ia tau kalau itu ayahnya yang pulang dari kantor. Segera ia bangkit untuk kompromi dengan ayahnya. Pintu pagar dibukanya sedikit dan mendekati ayahnya.

“Ayah jangan marah, ya!”

“Kamu kenapa?”

“May ada tamu laki-laki, tapi cuma siswa May di sekolah. Kali ini May sangat mohon sama ayah, ini soal privacy.”

“Ya, kamu berdo’a saja semoga ayah suka. Ayo buka pagarnya, ayah capek.”

Dengan penuh kecemasan, ia bukain pintu pagar lebar-lebar, mobil masuk ke dalam pekarangan itu. Ia hanya berharap, semoga Bayu sedang duduk dengan sopan.

Sebenarnya ayahnya begitu menyayanginya sebagai anak tunggal dan begitu demokrasi. Tapi setelah ia ngadapi kenyataan pahit yang membuatnya putus asa dan hampir bunuh diri hanya gara-gara cinta, ayahnya agak terkesan diktator.

Ayahnya naik ke teras sambil melonggarkan dasi. Bayu sempat kaget melihat Om Kus, staf papanya di kantor. Bayu segera bangkit sambil ngulas senyum.

“Ei, Om Kus rupanya!” sapa Bayu sambil ngulurin tangan dengan hormat.

Bu May heran melihat sikap Bayu yang akrab sama ayahnya. Tapi, keheranannya membuatnya lega.

“Eh, Bayu atau Aris?” tanya Om Kus dengan ngulas senyum pula sambil membalas jabatan tangan Bayu.

“Bayu, Om. Kak Aris udah dewasa banget, apalagi di udah mo tunangan ama pacarnya yang dulu, yang sempat putus.”

“Tunangan? Kok, papa kamu gak pernah cerita. Rupanya papa kamu udah sombong.”

“Mungkin papa belum berani ngasih taunya, soalnya masih rencana. Papa takut kalo pertunangannya batal, kan malu. Om juga jangan nyebarin berita ini dulu.”

“Oo..., tentu! Mana mungkin, papa kamu aja belum ngasih tau Om.” balas Om Kus. “Oh..., ya, silakan duduk, anggap aja rumah sendiri. Tapi ngomong-ngomong ada apa, nih kamu ngapeli anak Om yang cantik ini. Apa kamu menyukai anak Om?”

Bayu kaget, apalagi May yang gak nyangka ayahnya bakal nanya gitu sama Bayu, siswanya.

“Bu May ini guru Bayu, Om. Mana mungkinlah, lagian Bayu masih ingusan, brondong kali, Om.”

“Oo..., rupanya kamu belum tau kalau cinta itu buta. Edide Iskandar aja bilang kalau Guruku Cantik Sekali. Camelia Malik juga bilang: cinta sudah bisa direkayasa, anak bocah disulapnya dewasa, rindu buatan rindu sungguhan susah dibedakan....” balas Om Kus. “Ya, sudah. Tapi, satu hal yang mesti kamu tau: kamu laki-laki pertama yang ngapeli guru kamu yang cantik ini sejak lima tahun terakhir ini.” kata Om Kus sambil masuk ke dalam.

May menatap kepergian ayahnya dengan tajam. Ia kecewa sama ayahnya yang gamblang nyeritain semuanya ama Bayu. Kalau Bayu bukan siswanya, gak apa-apa, tapi ini siswanya.

Bayu hanya bisa menatap wajah Bu May yang berbias kekecewaan dengan gak menentu. Ia akhirnya nyesal datang ke situ. Ia juga kecewa ama Om Kus yang nyeritain masalah pribadi gurunya.

“Maafin Bayu, Bu. Bayu ke sini bukan bermaksud ingin tau sesuatu tentang kehidupan pribadi ibu.” kata Bayu sambil nunduk. “Bayu ke sini cuman pengen minta maaf atas kata-kata Bayu tadi siang.”

“Eh, udah... udah. Kamu kok jadi tegang gitu. Nyantai aja.” balasnya, ketika dengar ucapan Bayu yang tulus. Ia malah jadi simpatik sama Bayu. “Kalau boleh, di sini jangan panggil ‘Bu’, soalnya ini bukan sekolahan.”

“Trus?”

“Panggil Mbak aja, biar kedengaran akrab. Mbak May!”

“Boleh. Tapi, soal tadi siang, Bayu minta maaf banget. Bayu udah ngoceh gak ada aturan gitu. Mbak jangan tersinggung, ntar nilai Ekonominya minus lagi.”

“Mbak gak kusinggung, kok. Malah Mbak tadi senyum dengar ledekan Lucky Pemuja Rahasia cap Kuda Terbang.

“Mbak emang senyum, tapi Bayu rasa senyum itu gak mewakili rasa senang atau lucu. Senyum itu keliatan hambar dan dari hati Mbak, muncul dan mengapung sebuah resah atau mungkin luka yang teramat dalam. Bahkan luka itu udah terlalu dalam.”

May terperangah mendengar kata-kata Bayu. Ia gak nyangka kalau Bayu bisa nangkap hal-hal yang tersirat dari ekspresi dan mimik wajah.

Dipandangnya Bayu lekat-lekat. Ketika itu, ia ingat cerita Aris, kakak Bayu. Aris cerita kalau ia punya adik laki-laki yang bisa menerawang ke alam bawah sadar. Aris juga cerita, kalau adiknya pernah meramal hubungannya ama Sapta, hubungan cinta bakal kandas di tengah jalan dan Aris bakal kecewa dan terluka. Aris hanya tertawa ketika itu dengan nada gak percaya, tapi akhirnya meyakininya.

“Sok tau kamu!” protes May.

“Bukan sok tau, tapi tau banget.” ralat Bayu mulai menguasai pembicaraan. “Di dunia ini, gak ada satu cewek pun yang gak suka dipuji. Cewek manapun, kalau udah dipuji, pasti dia merasa diperhatikan. Atau mungkin Mbak membantah karena Bayu cuman anak ingusan dan bukan Bayu yang Mbak harapin untuk muji.”

May merasa terpojok dengan kata-kata Bayu.

“Ngawur kamu. Asal kamu tau aja, gak semua cewek yang suka dipuji.”

“Itu betul, Bayu setuju banget. Tapi kalau diperhatikan, semua cewek pasti suka, apalagi yang memberi perhatian itu adalah orang yang dicintainya.”

“Mbak rasa gak juga. Contohnya Mbak sendiri.”

“Jangan munafik, Mbak! Yang namanya cewek, di mana-mana itu sama. Kalau nggak, percuma dong Ada Band bikin lagu Karena Wanita Ingin Dimengerti  yang di adaptasi dari iklan kotex.”

“Siapa tunangan Aris, Yu?” tanya May ngalihin pembicaraan.

“Mbak Tujuh!”

“Mbak Tujuh? Serius, deh!”

“Serius, kok. Nama lengkapnya Sapta Setyowati!”

“Kok, bilang Tujuh?”

“Dalam bahasa Sansekerta, Sapta itu artinya tujuh. Kalau Mbak pernah baca cerita bersambung yang berjudul Tujuh yang terbagi tujuh episode, Mbak pasti ngerti maksud cerita cengeng itu.”

“Kok, cengeng? Ceritanya bagus, kan?”

“Pengarangnya sendiri yang bilang cengeng.”

“Emang kenal?”

“Banget, malah!”

“Siapa?”

“Pacarnya!”

“Maksud kamu Aris?”

“Bener, banget!”

“Tapi itukan karangan A.A.Nugroho?”

“Ya dan A.A.Nugroho itu adalah Aris Ardi Nugroho.”

“Pandai juga dia nyembunyiin identitasnya. Tapi, kok dia bilang cengeng, sih?”

“Feeling Bayu cuma satu dan keliatannya benar. Dibalik sikapnya yang tegar itu masih tersembunyi jiwa-jiwa yang cengeng dalam ngadapi kekasih hatinya yang berpaling. Jiwa cengeng juga buat ukuran cowok kek dia, yang rasanya mampu membuat cewek takluk ama dia. Idiomnya, bagai ayam jago tanpa tanding keok oleh penantang baru.”

May senyum mendengar idiom yang dibuat Bayu untuk kakaknya sendiri.

“Mbak kok kenal sama Kak Aris?”

“Kami satu angkatan di SMA, cuman beda jurusan.” jawabnya. “Tapi, apa kamu gak belajar, Yu?”

“Bayu gak suka belajar malam. Bayu belajar pulang sekolah.”

“Trus, malamnya keluyuran?”

“Mm..., bilang aja mo ngusir Bayu pulang!”

“Bukan. Tapi kamu mesti segera tidur agar di sekolah gak ngayal lagi.”

“Sama saja!” sergah Bayu.

“Lho...lho.... Kamu kok nuduh gitu?” protesnya sambil tertawa lebar.

“Ketawanya ceria banget. Berarti kedatangan Bayu ada gunanya juga, dong. Luka hatinya agak mendingan.”

“Luka hati apa?”

“Luka hati karena cinta.” kata Bayu pasti. “Kalau Mbak pengen cerita atau curhat, Bayu bersedia banget jadi pendengar setia. Siapa tau....”

“Wajah kamu kenapa, Yu? Kok memar?” tanya May ngalihin pembicaraan sambil mendekati Bayu dan meraba wajah Bayu dengan tangannya.

Jantung Bayu berdegub kencang ketika tangan May yang halus dan wangi itu menyentuh wajahnya. Seumur-umur, baru kali ini tangan cewek nyentuh wajahnya. Saat itu persendiannya melemas, seolah ia kehilangan oksigen dan membuatnya gemetaran. Matanya tertumpu pada wajah Bu May yang cantik.

“Kamu kenapa? Kok tubuh kamu gemetaran gitu?” tanya May heran. “Ya ampun...! kamu grogi, ya?” May terkekeh.

Bayu mencoba nguasai suasana dengan menarik nafas panjang dan dalam kemudian ngembusinnya perlahan.

“Siapa yang gak grogi coba? Wajah Bayu disentuh dengan begitu lembutnya oleh tangan halus dan wangi cewek cantik kek Mbak.” balas Bayu berhasil nguasai suasana. Matanya tetap tertumpu pada wajah Bu May.

“Uh, gombal kamu!” balas May sambil nyentuh memar di wajah Bayu dengan asal.

“Au...ah...!” kata Bayu dengan sengaja walaupun ia gak merasa sakit.

“Sorry...sorry..., Mbak gak bermaksud kasar ama kamu.” katanya segera dengan menyentuh wajah Bayu kembali.

Bayu nyentuh tangan May yang masih nyentuh wajahnya dan tanpa disadarinya tangan kirinya nyentuh wajah May dengan lembut. Pandangan matanya teduh dan berbinar-binar.

Seketika Bayu sadar, yang dilakukannya gak pantas dilakukannya pada orang yang ada di hadapannya. Segera ia menarik tangannya dari wajah May. Perlakuan Bayu membuat May juga tersadar dan segera pula menarik tangannya dari wajah Bayu.

Keduanya saling memaki diri masing-masing. Kenapa mesti terjadi hal demikian. Terlebih May, kenapa ia jadi agresif begitu sama Bayu yang nyata-nyata adalah siswanya. Meskipun ia merindukan hal-hal yang demikian, tapi gak sepantasnya dengan Bayu.

Bayu yang ngerti jalan pikiran Bu May segera meneguk teh yang masih tersisa.

“Mbak, Bayu pamit dulu, udah terlalu larut malamnya.” katanya berdiri.

“Oh, silakan. Kalau mau ke sini datang aja. Gak perlu sungkan.”

“Dengan senang hati, Mbak.” balas Bayu. “Bilang sama Om, Bayu pamit!” kata Bayu sambil berjalan menuju pagar. Sebuah senyum disugingkannya pada gurunya. Lalu dengan spontan dikerlingkannya matanya.

Jantung Bayu hampir copot ketika melihat balasan yang begitu bersahajanya. Bu May membalas senyuman itu dengan lembut serta kerlingan mata..., ah. Bayu gak pernah tau artinya. Mungkin karena terlalu ingusan bercampur dengan ketidakyakinan.

Di jalan pulang, Bayu hanya bisa mengenang semuanya sambil bernyanyi Ruang Rindu milik Letto ...kerlingan matamu dan sentuhan lembut... ku saat itu takut mencari makna... tumbuhkan rasa yang sesakkan dada....

Di atas pembaringannya, Bayu gak sanggup memejamkan matanya, perasaannya resah, gelisah, gundah gulana. Ia hanya bisa berbolak-balik. Kakaknya yang sedang asyik ngutak-ngatik komputer, terpaksa ngalihin perhatian padanya.

Perlahan didekatinya Bayu yang sedang senyam-senyum itu.

“Yu, lo kok aneh gitu. Tidur-tidur aja. Jangan ngayal. Mo tidur gak boleh ngayalin pacar.”

“Kata siapa?”

“Dukun!”

“Dukun tau apa soal cinta.” balas  Bayu sambil duduk di tepi ranjang. Kakaknya ikut duduk di sampingnya.

“Lagi jatuh cinta, ya?”

“Gak tau, nih!”

“Kok, gak tau? Tapi kamu jago soal terawang-terawangan alam bawah sadar. Kok, masalah sendiri gak tau?”

“Bukan gitu, Kak. Bayu cuman gak yakin aja, kalau yang kek begini pantas dibilang cinta.”

“Siapa sih cewek itu dan secantik mana sih, hingga lo udah kayak orang sinting.”

“Cantik banget, bicaranya lembut, apalagi senyumnya yang manis dan kerlingan matanya, genit.”

“Siapa, sih?”

“Bu May!”

“Apa...?” kakaknya kaget. “Lo udah sinting beneran kayaknya, masa guru sendiri lo embat juga. Setan mana sih, yang ngerasuki pikiran lo. Bronis - Brondong Manis atau Guruku Cantik Sekali, nih?”

“Om Kus juga bilang gitu.”

“Gimana, sih ceritanya?”

“Entahlah! Bayu aja gak ngerti. Inilah masalahnya, apa pantas, sih?”

“Kalau ukuran perasaan, sih, asal gak bertepuk sebelah tangan aja.”

“Emang, sih. Tapi di The Parlement kami de’Djombloer’s. Kalau pacaran, gak boleh jadi anggotanya. Sebagai presiden The Parlement, gue pengen ikut wujudkan impian itu.”

“Gampang banget. May itu guru lo, teman-teman lo gak bakal tau. Jadi jalanin aja sendiri-sendiri.”

“Kakak ngedukung?”

“Apa untungnya kakak ngelarang? Asal lo bisa nyantai, biarin dia penasaran ama lo. Biasanya kalo ceweknya lebih tua, sayangnya gak ketulungan, deh.”

“Kok gitu?”

“Gak tau juga, sih. Cuma orang biasa bilang gitu.” balas kakaknya sambil berdiri dan kembali mendekati komputernya yang terus menyala dari tadi. “Lo tidur aja, besok lo telat lagi.” sambungnya  sambil ngadap komputer dan segera menekan tuts demi tuts komputer.

Dia melanjutkan merampungkan novelnya yang bakal diikutkan dalam Pekan Sayembara Novel Remaja yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Seni dan Budaya Indonesia bekerja sama dengan Forum Komunikasi Penyair dan Penulis Anak Negeri Angkatan 2000-an. Batas pengiriman naskah akhir bulan dan pemenangnya bakal dimuat di Majalah Sastra Anak Negeri. Novel itu berjudul Pelabuhan Rindu.

Sementara Bayu masih belum bisa memejamkan matanya, ia masih dihinggapi resah dan gelisah yang tak bertepi. Lukisan wajah Bu May dengan senyum manis dan kerlingan mata sejuta makna itu pun masih ada di benaknya.

Bayu merasa lemah ketika berhadapan dengan cinta, apalagi cintanya berlabuh pada hati gurunya dan ternyata ia laki-laki pertama yang ngapeli Bu May selama lima tahun terakhir ini.

Esoknya di sekolah, ketika ia bertemu dengan sobat-sobatnya, perasaan bersalah pun hinggap memenuhi ruang hatinya. Ia gak tau, apakah ia harus memberi tau hal semalam tentang perasaannya atau tetap nyimpannya sebagai rahasia hati seperti anjuran kakaknya.

Kalau ia memberi taunya, itu berarti ia mesti berani ngadapi dua pilihan, hengkang atau menepisnya. Kedua pilhan itu gak ada yang diinginkannya. Ia gak pengen hengkang, karena di The Parlement ia memperoleh sesuatu yang berharga. Sesuatu yang mestinya gak dibiarkan hilang. Sedang untuk menepisnya perasaan itu, mungkin terlalu sulit atau mungkin gak sanggup.

Akhirnya, seberkas penyesalan menyusup ke dalam hatinya. Kenapa ia mesti bertamu ke rumah Bu May dengan alasan untuk minta maaf.

Kalau ia ngerahasiain, memang gak bakalan ada yang tau, sejauh mana hubungannya dengan Bu May kelak. Sebab, selain Bu May itu guru mereka, Bu May  juga putri sahabat papanya. Jadi, ada kesan persaudaraan. Tapi, ia bakal jadi pengkhianat yang mengingkari isi konferensi The Parlement I.

Saat bel terakhir berbunyi, mereka berempat menemui wali kelas mereka dan ngutarain niat mereka pengen nemui Maghdalena. Tapi Pak Han ngajak mereka nemui kepala sekolah.

“Ada apa The Parlement?” tanya kepala sekolah setelah mempersilakan mereka duduk di sofa yang biasanya untuk tamu, baik dari kantor Dispen, LSM dan tamu-tamu yang datang setiap waktu dari berbagai instansi.

“Begini, Pak....!” kata Bayu memulai. “...kami sudah mengetahui keberadaan Maghdalena, dia berada di Kampung Jadul, tapi tempat tinggalnya kami belum tau pasti di rumah siapa. Misteri ini terkuak dari satpam yang mengatakan surat itu dititipkan sopir Perkasa Ekspress Travell 313, Bang Risman.  Kami mendatanginya untuk memperoleh informasi, tapi saya hampir celaka dan wajah saya mendapat bogem mentahnya. Bapak bisa liat wajah saya!  Hal ini terjadi karena dia tidak mau memberi tau di mana Maghdalena berada. Saya jadi emosi dan mengancamnya akan menyeretnya ke penjara dengan tuduhan menyembunyikan keberadaan Maghdalena. Kalau saja Kak Prast tidak muncul, mungkin hari ini saya sedang ditangani dokter di ruang ICU. Tapi demi Maghdalena, apapun akan saya hadapi. Jangankan Bang Risman, maut pun akan saya hadapi.”

“Ternyata kalian punya ambisi yang begitu besarnya untuk menemukan Maghdalena. Bapak salut dengan solidaritas kalian.” balas kepala sekolah dengan kagum.

“Kami hanya merasa terpanggil untuk menyelamatkan masa depan pendidikannya. Kami yakin di sana dia tidak sekolah dan sebagai sahabat, kami tidak tega membiarkan hal ini.” lanjut Bayu.

“Baguslah kalau begitu!” balas kepala sekolah. “Lantas apa rencana kalian selanjutnya?” tanya kepala sekolah.

“Kalau Bapak memberikan izin, kami ingin menemuinya ke Kampung Jadul atau Desa Sukorejo. Kebetulan besok libur dan hari Sabtu kami minta izin libur. Saya, Aida dan Bayu yang akan pergi. Tapi kami tidak punya alasan untuk minta izin pada orang tua kami.” terang Lucky.

“Soal izin dari sekolah, Bapak tidak mungkin mengecewakan kalian, asal saja kalian bisa menjaga diri. Tapi soal alasan izin dari orang tua, bagaimana, ya?” kata kepala sekolah ragu. “Apa Pak Han punya ide?”

“Justru karena itu, Pak, saya mengajak mereka menemui Bapak.” balas Pak Handoko.

“Saya punya ide, Pak. Pertama alasan studi tanding ke SMA yang ada di sana. Kedua, menjenguk guru. Ketiga, menjenguk teman.” usul Melani.

“Ide bagus. Tapi lebih baik kita bicarakan baik buruknya terhadap sekolah ini.” kata kepala sekolah. “Bagaimana menurut Pak Han dan kalian semua?”

“Studi tanding, sepertinya terlalu berlebihan. Alasannya, pertama, studi tanding harus punya program yang jelas, karena akan menuntut pertanggung jawaban bapak sebagai kepala sekolah. Jika berita ini tersebar dan di dengar oleh pihak sekolah yang bersangkutan citra sekolah kita akan tercoreng. Apalagi sampai didengar wartawan, kita berenam akan berhadapan dengan hukum, alasannya menyebar berita bohong. Ini kecerobohan dan tindak pidana. Apa kata pihak yayasan nanti?” jelas Pak Han. Semua mengangguk. “Tapi Melani jangan berkecil hati.”

“Tidak, Pak! Untuk apa dipertahankan kalau harus mengorbankan sekolah ini. Berkorban bukan berarti meniadakan segala hal.” balas Melani.

“Menurut saya pribadi, usul kedua sama halnya dengan usul pertama. Hampir semua orang tau sekolah kita. Karena sekolah kita punya citra yang bagus, banyak orang yang menyukai sekolah kita tapi sebanyak itu pula yang menyoroti kita. Apabila kita gegabah, citra bagus itu akan tercoreng. Orang sangat tau seperti apa dan bagaimana guru kita di sini, karena banyak guru kita yang mengajar di sekolah lain juga.” terang Lucky. “Sebaiknya usul ketiga saja, tapi Maghdalena sudah cukup dikenal orang tua kami sebagai anak dokter sombong itu, terlebih orang tua Bayu dan Aida. Jadi, andai orang tua kami mempertanyakan hal ini kita akan malu juga, karena orang tua kami tidak tau dia ada di sana. Meskipun banyak orang tau dokter itu berasal dari sana.”

“Biar saja, orang tua saya sudah tau masalah ini. Mungkin itu ganjaran bagi orang yang mengabaikan tanggung jawab.” kecam Bayu.

“Ya itu pantas diterimanya. Orang tua saya juga sudah saya beri tau.” balas Aida.

“Baiklah, kalau begitu, Bapak akan siapkan surat perjalanan agar tidak perlu berurusan dengan polisi. Tapi bujuklah ia agar mau melanjutkan sekolahnya.” kata kepala sekolah sambil berdiri dan segera menyiapkan surat perjalanan dan surat panggilan kepala sekolah untuk Maghdalena.

Surat-surat itu ditandatangani dan distempel, kemudian diserahkan kepada Bayu.

* * *

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler