Skip to Content

NOVEL: MAGHDALENA (09/14)

Foto SIHALOHOLISTICK

SEMBILAN

 

MINGGU siang menjelang sore, sekira pukul tiga sore, hujan mulai turun rintik-rintik diiringi dengan angin yang gak tentu arah hingga membuat air hujan jatuh gak beraturan. Suara petir sesekali terdengar menggelegar.

Motor Bayu dan Lucky melaju memasuki kota Hamburgas di daerah pegunungan. Gunung yang indah itu berdiri kokoh bagai pelindung kota itu.

Bayu dan Lucky semakin memperkencang laju motor mereka, karena hujan semakin lebat, bagai air yang sengaja ditumpahkan dari langit. Angin muson barat merupakan angin musim penghujan yang berhembus melewati Samudera Hindia, hingga mengandung banyak uap air.

Maghdalena yang berada di belakang Bayu, udah berkali-kali ngeluh, kalau gitar yang dibawanya bakal rusak.

Mendengar keluhan itu, Bayu kembali menambah kecepatannya. Melihat itu, Lucky melakukan hal yang sama.

Gak berapa lama, mereka memperlambat laju motor dan akhirnya berhenti di depan sebuah rumah mewah dan bertingkat. Aida turun dan memencet bel.

Seorang wanita berkerudung dengan memakai payung sebagai pelindungnya dari hujan, membuka pagar dengan lebar dan mempersilakan mereka memasuki pekarangan. Bayu dan Lucky menghentikan motor di dekat mobil milik Pak Han.

Istri Pak Han, wanita berkerudung yang membukakan pagar tadi, mempersilakan mereka duduk di kursi plastik yang ada di teras depan. Sedangkan ia masuk ke dalam memanggilkan suaminya, Pak Han.

Maghdalena mengeluarkan handuk dari dalam tasnya dan segera mengeringkan gitar yang hampir basah. Yang lain melakukan hal yang sama tapi untuk mengeringkan tubuh mereka.

“Kalian sudah sampai?” tanya Pak Han muncul dari dalam.

“Iya, Pak!” balas Bayu sambil mengulurkan tangannya pada Pak Han dengan tidak mengurangi rasa hormatnya.

Pak Han membalas uluran tangan mereka. “Kalau masih ada baju ganti yang bersih, sebaiknya diganti dulu pakaian yang sudah basah. Ayo lewat samping!” kata Pak Han nyuruh Aida dan Maghdalena terlebih dahulu karena keduanya  udah menggigil kedinginan.

“Bagaimana, Pak? Apa Ibu menerima Maghdalena tinggal di sini?” tanya Bayu setelah Aida dan Maghdalena pergi ke belakang.

“Alhamdulillah, Yu!” balas Pak Han.

“Syukurlah, Pak. Kami sangat berterima kasih kepada bapak dan ibu. Tanpa bantuan bapak dan ibu, mungkin kami kerepotan juga mencari tempat kost buat Maghdalena.” balas Lucky.

“Tidak perlu berterima kasih seperti itu. Bapak dan ibu merasa terketuk saja ingin menyelamatkannya. Apalagi melihat solidaritas kalian yang begitu tinggi. Yah, setidak-tidaknya bapak bisa bantu The Parlement.”

“Kami merasa sangat terbantu sekali, Pak. Lebih-lebih buat dia. Kami mengenalnya secara baik-baik dan sampai kapan pun, kami akan tetap menganggapnya orang baik-baik.” balas Bayu.

“Baiklah, kelihatannya mereka sudah selesai. Giliran kalian.”

Bayu dan Lucky mengikuti perintah Pak Han. Di saat mereka selesai, mereka langsung disuruh masuk. Di atas meja sudah terhidang empat gelas teh hangat dan secangkir kopi buat Pak Han. Ada juga makanan ringan. Mereka langsung meneguk teh hangat setelah dipersilakan Pak Han dan istrinya.

“Apa Maghdalena udah tau siapa orang tuanya?” tanya istri Pak Han.

“Udah, Bu!” balas Maghdalena. “Nama ayahanda Setiawan. Beliau berasal dari sini, anak seorang nakhoda kapal berkebangsaan Italia. Ibunya seorang Madura asli. Ayahanda kelahiran kota Milan. Papa Fian ternyata sahabatnya dan Mama Sri itu ternyata mantan kekasih ayahanda. Kedua orang tua ayahanda dulu bercerai dan perceraian itu sering membuatnya ke Kampung Jadul setiap kali libur sekolah.” cerita Maghdalena.

“Jadi opa kamu nakhoda kapal berkebangsaan Italia yang pernah tinggal di kota ini?” tanya Pak Han.

“Begitulah cerita nenek.”

“Kalau begitu, bapak cukup kenal dengan opa kamu. Rumahnya di samping klinik milik dokter Fian. Halaman rumah itu dulu adalah tempat kami bermain bola. Beliau sangat akrab dengan vespa, sehingga apabila vespa sudah keluar, kami langsung mengolok-oloknya dan dengan wajah yang masam dia keluar. Melihat dia keluar, kami segera pontang-panting meninggalkan halaman rumah itu.” cerita Pak Han.

“Lantas, bagaimana dengan ibumu?” tanya istri Pak Han.

“Bunda bernama Rahayu Maghdalena. Beliau meninggal sebelum saya genap setahun. Ia anak orang bangsawan, ningrat. Itulah sebabnya eyang kakung dan eyang putri tidak menerima lamaran ayah dan ibu segera dijodohkan dengan seorang laki-laki beristri lima.”

“Sepertinya ibu pernah menyaksikan kisah itu. Apa kamu punya foto ibumu?”

“Ada, Bu!” balas Maghdalena. Dikeluarkannya dua lembar foto dari dalam tasnya dan menyodorkan foto itu pada istri Pak Han.

“Ini sepertinya Mbak Ayu, saudara Rian yang terkabar hilang.” kata istri Pak Han sambil terus mempelototi foto orang tua Maghdalena. “Tahun berapa ibumu meninggal?”

“Sekitar lima belas tahun yang lalu.”

“Pantas kalau begitu. Waktu Paman Wijaya mengetahui ibumu tidak ada di Kalimantan. Mereka mencari ke Sukorejo, tapi tidak ketemu. Semua dukun sakti dikerahkan untuk melihat di mana  keberadaan ibumu. Namun hasilnya nihil. Ayahmu pun ikut dicari, tapi tetap tidak ketemu.” cerita istri Pak Han.

“Mungkin waktu itu Om Setiawan ada di Jakarta.” kata Bayu ikut ngejelasin, karena ia melihat mata Maghdalena udah berkaca-kaca menahan tangisnya.

“Mgapain?” tanya istri Pak Han mendekati Maghdalena.

“Setelah kematian Tante Rahayu, Om Setiawan merasa sangat terpukul. Akhirnya beliau stres dan lama-lama jiwanya terganggu karena terlalu berlarut-larut dengan kesedihannya. Om Setiawan di rawat di Jakarta, tapi tak ada hasil apa-apa. Akhirnya, di bawa ke Surabaya oleh dr.Fian atas anjuran dokter yang menanganinya. Di Surabaya katanya ada dokter muda spesialis jiwa lulusan Amerika  yang ternyata rekan mereka di SMA. Kebetulan itu membuat dr.Fian lega. Selain biaya yang dikeluarkannya bertambah ringan, harapannya untuk menyembuhkan Om Setiawan masih terbuka lebar. Setelah sembuh, beliau menitipkan Maghdalena pada dr.Fian, sedang ia pergi mengadu nasibnya entah ke mana dan kabar terakhir Om Setiawan sudah menikah.” cerita Bayu.

“Jadi, sekarang Maghdalena punya ibu tiri?”

“Iya, Bu!” balas Aida.

“Oh..., nasib kita serupa, Nak. Semoga ibu tiri kamu tidak sejahat ibu tiri Bu De.” kata istri Pak Han. “Sekarang kamu panggil Bu De!” katanya sambil mendekap Maghdalena yang ternyata putri sepupunya. “Sekarang tinggallah bersama Bu De. Kamu tidak boleh pergi lagi.                Di sinilah rumahmu. Bu De tak akan membiarkanmu bersedih lagi.”

“Terima kasih, Bu De.” balas Maghdalena  dengan terisak. Kedua tangannya di lingkarkan pada tubuh istri Pak Han dengan erat. Keduanya saling berpelukan.

“Nak, dulu bundamulah yang selalu menghibur Bu De untuk sabar ketika ibu tiri Bu De memukuli Bu De. Kepergian bundamu menghilangkan kekuatan Bu De untuk bersabar dan pergi dari rumah.” kata istri Pak Han ikut terisak mendekap keponakannya.

Sementara hujan hanya tinggal gerimis saja. Sedang keduanya masih saling peluk dan saling bertangisan. Rasa sedih bercampur bahagia mengiringi perasaan keduanya.

Sebuah lagu Dewa 19 berbunyi dari saku celana Bayu dengan nyaring sehingga membuat Maghdalena dan istri Pak Han menoleh padanya, begitu juga yang lain.

“Maaf!” kata Bayu bangkit dan keluar. Di luar ia menoleh layar ponselnya, nomor tanpa identitas.

“Halo...!” sapanya setelah menerima panggilan itu.

“Halo...!” balas sebuah suara yang cukup dikenalnya.

Ponsel segera ditarik dari telinganya dan hubungan pun segera diputuskan.

“Dari siapa, Yu?” tanya Aida setelah ia masuk kembali ke dalam.

“Gak tau. Orang nyasar. Tiba-tiba putus aja.” jawab Bayu berbohong. Padahal ia tau banget suara siapa.

“Cowok apa cewek?”

“Cewek. Suaranya kedengaran baru abis nangis semalaman suntuk. Diputusin pacarnya kali semalam.” Bayu bohong lagi.

“Audy, kali! Menagis Semalam.”

“Gak taulah!” balas Bayu ngangkat bahunya.

Bayu kembali ngangkat gelas tehnya. Setelah itu ia ngambil sepotong biskuit. Satu, dua, tiga biskuit lenyap dari tangannya dan pindah ke dalam perutnya.

“Bayu, lo kok kek gitu. Malu tau ama Pak wali kelas.” bisik Lucky.

“Sorry...! gue lapar banget.” balas Bayu cengengesan.

“Lho, di sini juga bisa makan, kok. Sebentar ibu siapin. Kalian makan dulu sebelum pulang.” kata istri Pak Han ngelepasin dekapannya pada Maghdalena dan segera bangkit.

“Tak usah, Bu. Bayu cuman bercanda, kok. Lagian hujan sudah reda, nanti kelamaan bisa dimarahi. Seharusnya udah nyampe di rumah, nih, sesuai perjanjian ama orang tua.”

“Sekali-sekali kan tidak apa. Kalau nanti ditanya, bilang dari rumah Pak Han.” balas istri Pak Han meyakinkan Bayu.

“Sekali-kalinya, kapan-kapan aja, Bu!”

“Kalau begitu biskuitnya di habisi, ya!”

“Boleh!” kata Bayu sambil ngambil sepotong biskuit. “Beli di mana, Bu? Kok, bisa seenak ini?”

“Buat sendiri!”

“Wah, bisa belajar, gak, Bu?”

“Saingan, dong! Kalian main band aja yang semangat biar banyak honornya dari pada masak kue seperti ini.”

“Maksud Bayu biar bisa ngajari istri kelak, buat nyiasati perekonomian Indonesia yang kian gonjang-ganjing akibat imbas reformasi yang gulirin rezim almarhum Pak Harto.”

“Pak..., Bu..., kami pamit pulang dulu.”  kata Lucky. Dia jadi gak enak dengar omongan Bayu yang udah ngelantur  ke mana-mana tanpa nyadar. “Kalau ngobrol ama Bayu, semua bakal di bahas, deh. Alhasil lupa pulang.”

“Oo..., iya, silakan!” balas Pak Han berdiri diikuti yang lain. “Tapi Maghdalena-nya ditinggal, ya!”

“Tentu, Pak!” balas Aida.

“Kalian sering-sering ke sini, biar Maghdalena ada teman ngobrol dan gak kesepian.” kata istri Pak Han.

“Insya Allah, Bu. Asal tiap ke sini ada biskuitnya.” balas Bayu.

“Bisa tekkor, dong Ibu.”

Bayu hanya senyum. Ponselnya bunyi lagi. Ia segera menjauh sambil ngeluarin ponselnya.

“Halo...!” sapa Bayu sambil mencet tombol merah di ponselnya, dan hubungan langsung terputus.

“Ini orang rese banget, sih.” gerutu Bayu pura-pura kesal.

“Emang siapa, Yu?” tanya Aida mendekat.

“Orang yang tadi.” jawabnya sambil cepat-cepat masukin ponselnya ke kantong celananya. “Ntar malam, gue kerjain balik, nih orang, biar tau rasa dia.”

“Sudahlah. Hal seperti itu soal biasa.” kata Pak Han.

“Iya, Pak. Tapi lama-lama malas juga jadinya.” balas Bayu.

“Ganti kartu aja, Yu.” istri Pak Han menyela.

“Pulsanya masih banyak, Bu!”

“Dibikin serap!” balas Aida.

“Ternyata susah juga, ya, punya ponsel.” kata Lucky.

“Ya, kadang-kadang begitu, orang suka usil dengan ponsel. Kadang-kadang malah teman yang usil dengan ganti kartu, trus calling mulu..” balas Pak Han.

“Kami permisi, Pak.” kata Aida setelah naik ke motor Bayu.

Pak Han mengangguk sambil senyum. Istrinya juga demikian. Sedangkan Maghdalena melambaikan tangannya pada sobat-sobatnya.

Setelah kedua motor itu pergi, Pak Han dan istrinya juga Maghdalena kembali masuk ke dalam.

“Lho, kok Bayu bisa lupa gitarnya?” tanya Pak Han.

“Punya Maghdalena, Pak!”

“Kalau di rumah panggilnya Pak De.”

“Iya, Pak De. Gitar ini bukti persahabatan ayah dan dokter Fian.”

“Kamu jangan menyebutnya seperti itu. Meskipun dia sudah mengabaikan kepergianmu, tapi kamu harus tetap memanggilnya seperti dulu. Sebab, tak bisa dipungkiri, dialah yang telah membesarkanmu dari kecil.” kata Bu De-nya. “Selama ini kamu panggil apa sama dokter Fian?”

“Papa!”

“Kamu masih mau kan memanggilnya papa?”

“Insya Allah, Bu De.”

“Baguslah. Kamu tidak boleh dendam. Itu tidak baik. Kalau ketemu di jalan, tidak salah kamu tegor. Jangan jadi kacang yang lupa pada kulitnya.” nasihat Bu De-nya.

Maghdalena hanya mengangguk sambil menatap  Bu De-nya.

“Ayo, Bu De kenalkan dengan adik sepupumu!” ajak Bu De-nya sambil memegang pundaknya. Bu De-nya membawanya ke ruang keluarga. Di sana, adik-adik sepupunya sedang menonton televisi.

Sementara Pak De-nya, Pak Handoko, asyik main gitar sambil menyanyikan lagu milik Haji Rhoma Irama dan suara Pak De-nya sebelas-dua belas dengan suara si Raja Dangdut yang doyan kawin itu.

“Anak-anak, ayo kenalin, hari ini kalian punya kakak yang cantik. Namanya Kak Maghdalena. Tapi manggilnya cukup dengan kakak saja. Kak Maghdalena ini keponakan Bunda.” kata Bu De-nya pada anak-anak.

“Yang laki-laki namanya Syarif Mustafa Heriadi.” kata Bu De-nya.

Anak laki-laki kelas dua es-em-pe itu mengulurkan tangannya pada Maghdalena dan ia menerimanya sambil mengusap kepala anak laki-laki itu.

“Syarif senang gak kakak tinggal di sini?”

“Banget, Kak. Biar bisa ngajari Syarif bikin pe-er Matematika dan Bahasa Inggris.” jawabnya. “Ntar ajari, ya, Kak!”

“Jangan nanti, dong, Syarif, kakaknya masih capek dan pengen istirahat.” balas Bu De-nya.

“Gak papa, Bu De.” kata Maghdalena menyenangkan hati adiknya.

“Ya, sudah.” kata Bu De-nya. “Yang ini namanya Indah Cahyabi Heriadi dan ini El Habib Heriadi.” kata Bu De-nya ngenalin anak kedua dan ketiga.

Maghdalena mendekati kedua adik sepupunya dan berlutut di hadapan keduanya.

“Kalian senang gak, kakak di sini?”

“Senang, Kak.” balas Indah. “Asal kakak tidur dekat Indah.” sambungnya.

“Dekatku...!” kata El Habib.

“Dekatku. Wek...!” cibir Indah.

“Dekatku kan, Bunda?” El Habib minta belaan Bundanya.

“El, kamu itu anak cowok, gak boleh tidur dekat cewek atau El mau kek Boby yang ada di TV?” tanya Bundanya menengahi.

“Gak. El mau jadi presiden.”

“Kalo mau jadi presiden, gak boleh dekat ama cewek, ya.”

“Ayah kenapa tidur dekat bunda? Bunda, kan cewek?” tanya El Habib.

Mendengar pertanyaan itu, Maghdalena menoleh pada Bu De-nya. Dilihatnya Bu De-nya bingung mau jawab apa.

“Ayah itu jagain bunda.” balas Maghdalena. “Kalau bundanya diculik sama monster jahat, siapa yang belain? Sedang mbak Indah gak ada yang jagain. El sama mas Syarif.”

“Emang kakak berani sama monster jahat?”

“Oo..., berani, dong!” balas Maghdalena.

“Sudah. Sekarang kalian mandi dulu, biar ntar shalat Maghrib-nya bareng.”

“Iya, Bunda.”

Ketiganya langsung hom-pim-pah, siapa yang menang, dia yang duluan mandi.

Bu De-nya ngajak Maghdalena ke kamar. Di dalam kamar, Maghdalena meletakkan tasnya.

“Untuk malam ini, kamu tidur di bawah dulu. Biar besok Pak De ganti ranjang yang lebih besar.”

“Iya Bu De!” balasnya.

Malamnya, Bayu, Lucky, Aida dan Melani datang ke rumah Pak Han untuk menemui Maghdalena. Melani segera mendekap Maghdalena di saat mereka bertemu.

Aida ngasih pakaian serap es-em-a-nya buat di pake Maghdalena sementara sebelum Maghdalena punya seragam.

Maghdalena sangat berterima kasih atas bantuan Aida. Ia akhirnya nyadar kalau keempat sobatnya bukan hanya sekedar sobat tapi udah kek saudara. Keempatnya benar-benar punya solidaritas yang tinggi. Hal ini membuat semangatnya tumbuh kembali. Ia gak pengen ngecewain sobat-sobatnya lagi.

Di sekolah, ia disambut baik oleh teman-teman sekelasnya. Apalagi oleh kepala sekolah.

Maghdalena segera menemui kepala sekolah di ruang kerjanya di temani sobat-sobatnya, karena masih ada waktu seperempat jam menjelang 07.15, sebelum diadakan upacara bendera.

“Bagaimana keadaan kamu sekarang, Maghdalena?” tanya kepala sekolah.

“Alhamdulillah, berkat Bayu dan yang lain, saya sehat-sehat saja.”

“Apa kamu sudah tau siapa orang tua kamu sebenarnya?”

“Lagi-lagi berkat bantuan Bayu, Lucky dan Aida juga berkat do’a semuanya, akhirnya orang tua papa Fian menceritakan semua rahasia yang harus mereka beri tau ketika saya akan menikah. Ibunda bernama Rahayu Maghdalena, beliau meninggal sebelum usia saya genap setahun. Sedangkan ayahanda bernama Setiawan dan beliau entah di mana berada sekarang. Apakah sudah tiada atau tidak, tak ada yang tau.” paparnya.

“Bapak harap, meskipun demikian halnya, jadikan semua sebagai motivasi untuk mengejar kesuksesan. Kejarlah ketertinggalan kamu dan bapak juga berharap hal ini takkan terulang lagi.”

“Mudah-mudahan saja, Pak.”

Mereka berlima akhirnya permisi ketika bel apel pagi berbunyi.

Di saat upacara berlangsung, dalam amanat pembina yang dipimpin oleh kepala sekolah, segera menyampaikan pendisiplinan pegawai yang tidak hadir pada jam pelajaran yang diberikannya. Kepala sekolah mengungkapkan kekecewaannya pada hari Sabtu yang lalu, dan beliau mewanti-wanti, apabila tidak diindahkan, kepala sekolah akan membuat catatan dan melaporkannya ke wali kota.

* * *

MAGHDALENA melewati hari-harinya bersama keluarga Pak Han, yang ternyata istri Pak Han adalah sepupu bundanya.

Keberadaannya dalam keluarga itu, dirasanya gak ada bedanya dengan berada di tengah-tengah keluarganya sendiri. Kasih sayang Pak De dan Bu De-nya dirasanya sama seperti kasih sayang yang diimpikannya dari sepasang kekasih yang dirinduinya, ayahandanya Setiawan dan ibundanya Rahayu Maghdalena.

Pak De dan Bu De-nya menganggapnya sebagai anak kandung, posisinya tidak dibedakan antara anak dan ponakan. Foto kedua orang tuanya terpajang di ruang tamu dan foto-foto yang lain dipajangnya di kamar.

Ia merasa senang ketika Bu De-nya mengizinkannya mengurus dapur, dari masak sampai nyuci. Kadang-kadang ia bantu Bu De-nya masak kue yang menjadi in come.  Ia mengagumi kebijaksanaan Bu De-nya yang gak gantungin kebutuhan keluarga dari gaji suami. Pantaslah, Pak De-nya begitu sayang pada Bu De-nya.

Dari Bu De-nya ia banyak belajar tentang keluarga. Ia pun begitu di sukai sepupunya, terlebih adik yang paling kecil, Eza Vitria Heriadi, yang gak mau ma’am tanpa disuapinya.

Akhir-akhir ini ia lebih senang ngisi waktu luangnya dengan nulis. Ia mulai tertarik dengan menulis. Udah beberapa cerpen dan puisi yang ia selesaikan dengan baik di samping ngejar ketertinggalan pelajarannya di sekolah.

Malam ini, ia belajar bersama Indah dan El Habib di dalam kamarnya bersama Indah. Selesai belajar, kedua sepupunya memintanya untuk nyanyi pake gitar dan kedua adiknya tertidur lelap.

Gitar kembali digantungnya dan kembali ngelanjutin karangannya yang hampir selesai. Duka Kebaya Putih yang bakal disusul cerpen berikutnya yang udah dibuat draf-nya, Potret Dua Cinta. Cerpen Duka Kebaya Putih bercerita tentang kerinduannya pada bundanya yang telah tiada dan pada ayahnya yang entah berada di mana. Setiap kerinduan yang membuatnya hanya mampu mendekap baju kebaya putih bundanya saat jadi pengantin wanita ayahnya.

Sedangkan cerpen Potret Dua Cinta bercerita tentang harapan hadirnya sepasang kekasih yang lain yang bisa dipanggilnya sebagai ayah dan bunda yang bisa ngasih kasih sayang sesuci kasih sayang ayah bundanya dan harapan itu ditujukannya pada Pak De dan Bu De-nya.

Suara ketukan di pintu membuatnya tersadar dari lamunannya yang jauh, berada di antara ayah bundanya. Dua bulir air mata yang mengalir dari pelupuk matanya segera dihapusnya.

“Siapa?” tanyanya.

“Syarif, Kak!” balas dari luar.

Ia berdiri dan bukain pintu. “Belum tidur kamu?”

“Belum, Kak. Besok kan Minggu.” jawab Syarif.

“Ayo masuk!: ajak Maghdalena.

“Lagi ngapain tadi, Kak?” tanya Syarif mengikuti Maghdalena dari belakang dan duduk di kursi yang ada di samping Maghdalena.

“Cuma nulis cerpen.”

“Apa judulnya, Kak?”

Duka Kebaya Putih.”

“Kakak udah pacaran?”

“Nggak. Cerpennya buat ayah bunda kakak. Kakak gak mau pacaran sebelum tamat                       es-em-a.”

“Kok kek gitu?”

“Udah gitu aturannya. Sobat-sobat kakak juga gitu.”

“Gimana ada orang yang suka sama kakak dan ngungkapin perasaannya?”

“Ya ditolak!”

“Caranya?”

“Tergantung!”

“Maksudnya?”

“Tergantung gimana dia ngungkapinnya.”

“Kalau kakak termakan rayuannya, gimana?”

“Jangan sampai. Jadi cewek itu gak boleh gampang dirayu, karena cowok itu biasanya mata keranjang. Kalau udah gitu, dia gak bakal konsisten dan omongannya gak bisa dipegang. Setiap liat cewek cantik pasti suka. Kamu gitu, kan?”

“Iya, Kak. Kok bisa gitu? Apa gak bisa dirobah?”

“Bisa. Asal jangan nilai cewek itu dari penampilan doang. Mesti bisa nilai sikap dan kepribadiannya dia. Lebih-lebih sifatnya.”

“Caranya?”

“Pertama-tama jadiin dia sebagai teman sekaligus pelajari sikapnya kek gimana. Cari tau kek gimana tipe cowok yang dia sukai. Abis itu kalian sobatan.”

“Apa bedanya teman ama sobat?”

“Ya ada, dong. Cuma kita bakal tau kalau udah ngejalaninya. Setelah jadi sobetnya kamu bakal lebih tau siapa dia. Kamu coba dari diri sendiri, nyeritain keluarga kamu, tapi jangan terlalu norak nyeritain bagusnya aja. Dengan gitu, dia bakal cerita juga masalah keluarganya.”

“Susah banget, sih. Apa gak ada cara yang seefisien mungkin, kek 30 Hari Mencari Cinta.”

“Kalau mau pacarannya lama, jangan yang instan, dong. Lagian apa susahnya, coba. Setelah kalian akrab, cari tau apa dia suka ama kamu. Caranya gampang banget, kamu jaga jarak ama dia atau nanyaian setiap cowok yang ngobrol ama dia itu cowoknya atau nggak. Kalau dia ngasih alasan ngobrol ama cowok Iptu karena ngerasa kamu jauhi, berarti kamu tinggal cari waktu yang tepat untuk nembak dia.”

“Waktu yang cocok itu, gimana?”

“Itu terserah. Tergantung ama ceweknya.” jawab Maghdalena. “Kamu udah mulai naksir ama cewek, ya?”

“Iya, Kak.” balas adik sepupunya dengan cengengesan. “Tapi kakak janji, jangan kasih tau ayah dan bunda dulu, ya.”

“Boleh. Asal janji juga sama kakak.”

“Boleh. Janji apa?”

“Sekali-kali jangan berantem cuman gara-gara cewek, apalagi cuman mo ngerebutin cewek dan taruhan. Kamu baru boleh brantem kalo cewek kamu diganggu dan cewek kamu itu minta perlindungan kamu. Karena cewek itu pengennya dikasih perhatian dan dilindungi. Kak Lucky dan Kak Bayu pernah berantem gara-gara mo ngerebutin kakak. Sakit banget hati kakak dan kedua-duanya kakak tolak. Kakak gak pengen laki-laki nganggap cewek itu sesuatu yang  murahan tapi seharusnya menjadi sesuatu yang berharga. Soalnya nyokap mereka cewek juga.”

“Syarif janji, Kak. Gak bakal brantem cuman gara-gara cewek.”

“Okey, sekarang kamu tidur, ya. El Habib biar tidur di sini aja.” kata Maghdalena. “Kalau kamu udah tau gimana yang namanya cinta, pasti kamu bakal bisa berkomitmen dan gak bakal mata keranjang.”

“Baik, deh, Kak. Kalau gitu Syarif ke kamar dulu, Kak.” kata adik sepupunya itu sambil bangkit dari tempat duduknya.

Maghdalena hanya menggelengkan kepala melihat kepergian adik sepupunya itu. “Dasar bocah!” katanya pelan.

Ia beranjak ke meja belajarnya setelah ngunci pintu kamar. Ia akhirnya mempelajari syair yang baru aja selesai di tulisnya kemarin. Seketika hatinya deg-degan mengingat festival band tinggal beberapa bulan lagi, hingga awal tahun, sementara bulan Mei hampir usai. Waktu yang tinggal sekejap mata, sementara waktu latihan mereka gak menentu.

Gitar yang tergantung di dinding berkali-kali ditatapnya. Rasanya ia pengen jadi gitaris aja biar bisa nyandang gitar milik ayahnya di setiap main band. Tapi ia masih ragu dengan kesediaan Melani, ngingat bermain melody bukan hal yang gampang.

Andai reshufle setelah festival, mungkin kurang sreg. Soalnya orang udah tau kalau ia adalah pemain melody dan Melani pemain gitar.

Tanpa pikir panjang lagi, ia bakal ngusulin untuk menggelar konferensi The Parlement’s dan esoknya, ketikaBayu dan yang lain main ke rumah Pak Han, ia ngutarainniatnya.

Mendengar usulnya itu, sobat-sobatnya langsung menanggapinya mengingat waktu festival tinggal beberapa hari lagi. Hari konferensi segera ditentukan.

Saat konferensi tiba pada waktunya. Maghdalena segera minta izin pada Pak De dan Bu De-nya dan ia minta Pak De dan Bu De-nya untuk ikut jika punya waktu.

Bayu juga gak lupa ngundang Kak Prasetyo dan Kak Sheila yang udah mereka anggap sebagai latar belakang lahirnya The Parlbahkamereka menganggap keduanya sebagai manajer mereka.

“Baiklah. Kebetulan semua udah pada ngumpul. Konferensi kita buka tepat jam 20.00 WIB.” kata Bayu ngetuk meja tiga kali. “Peserta konferensi The Parlement’s IIdipersilakan memberikan usulan masing-masing yeng berhubungan dengan The Parlement’s.”

“Instruksi, Ketua...!” kata Maghdalena.

“Silakan!” balas Bayu.

“Saya pengen ngusulin tiga buah lagu beserta liriknya yang udah gue selesaikan.” kata Maghdalena meletakkan tiga buah kertas yang selesai ditulisnya di atas meja. “Syair ini bakal dijadikan lagu dalam album percobaan kita kelak. Pertama, Untuk Sepasang Kekasih yang akan gue nyanyiin nanti dan Bayu bakal jadi backing vocal sesuai keputusan konferensi nanti. Kedua, Parlement Cinta yang mungkin lebih cocok sebagai judul album dan yang ketiga Kekasih Abadiku. Gue pengen kita semua mencari solusinya. Gue cuman ngusul dan keputusannya ada pada hasil konferensi nanti.” paparnya. “Usul lagi..., gimana kalau kita ngereshufle posisi yang ada sekarang, gue roker ama Melani. Melani yang megang melody dan gue di gitar. Gue pengen gitar ini selalu gue pake saat kita main band, baik latihan maupun saat manggung. Dengan tujuan, andai kita jadi ngusung album percobaan atau perdana dan pasarannya luas, gue berharap dengan gitar ini bokap gue langsung ngenali gue saat dia mutar CD album kita.” kata Maghdalena lagi. “Gue cuman ngusul, jika yang bersangkutan keberatan, gue gak maksa.”

“Okey, baiklah!” kata Bayu. “Perihal lagu, ketiga-tiganya nurut gue bagus banget, apalagi udah lengakap ama liriknya. Lagu yang bakal lo nyanyiin, gue fine-fine aja, bahkan soal judul album gue rasa pas benget The Parlement: Parlement Cinta, serasi banget.” ungkap Bayu. Ungkapan Bayu langsung disetujui oleh peserta konferensi termasuk Pak Handoko dan istrinya. “Lantas soal reshufle, gue serahin ama yang bersangkutan. Silakan Melani ngasih pendapatnya.” kata Bayu.

“Makasih....” kata Melani memulai. “Mendengar alasan Maghdalena tadi, gue jadi gak tau mo jawab apaan. Terus terang, dihati gue terjadi pro dan kontra gitu. Di satu sisi, alasan Maghdalena gue maklumin banget, tapi di sisi lain kita semua tau, waktu festival udah di depan mata. Kalau gue terima, sah-sah saja tapi gue takut gak bisa maksimal di festival nanti. Lantas, jika reshufle setelah festival rasanya udah gak sreg lagi. Lewat festival nanti orang bakal tau kalau Maghdalena itu pemain melody dan gue pemain gitar. Jadi gue balik nanya ama kalian semua, gimana seharusnya gue?”

“Ya, emang susah nentuinnya. Kalo dari awal, sih, gak papa dan kalo gak ada festival, sih, lumrah-lumrah aja.” Sheila buka bicara.

“Dan kalau dicoba juga gak apa.” sambut Prasetyo. “Kalian boleh aktif lagi di sanggar, paling nggak sekali seminggu.”

“Bapak pikir, idenya Prast itu benar juga, gak salah buat dicoba. Cuma, saling bantu dan saling dukung.”

“Bapak sama ibu pergi dulu, kebetulan ada wirid di rumah Pak Karjo.”

“Silakan, Pak. Tapi kami pengen ngangkat Bapak sebagai penasihat dan ibu ngurusi keuangan.”

“Lho, kok jadi ibu? Kalian aja, kenapa?”

“Kami cuman minta tolong, itupun kalo ibu bersedia.”

“Ya, terserah kalian aja. Kami pergi dulu.” kata istri Pak Han bergegas.

“Sekarang semua dah clear dan gak ada masalah lagi.” kata Sheila.

“Ada bentar lagi kalian nerima hasil UNAS trus ngelanjut ke Universitas. Gimana dengan kami, nih?” tanya Maghdalena.

“Oh, makasih atas semua, kalian udah nganggap kami seberharga itu. Tapi gak usah khawatir. Untunglah Hamburgas udah punya universitas sebesar Universitas Hamburgas. Awalnya kakak emang mo ke UGM Jogjakarta tapi janjinya Sheila ke kakak ngalangi niat kakak yang ternyata disetujui ama orang tua kakak. Selain itu, kakak sebagai anak bungsu jadi tahanan rumah dan sebagai Prasetyo, kakak jadi tawanan Hamburgas dalam penjara cintanya Sheila.”

“Benar, nih, Kak Shei?” goda Maghdalena.

“Soal kuliah, mungkin ini suatu keajaiban yang harus kakak syukuri seribu tahun lamanya. Awalnya kakak udah pesimis, tapi sekarang saudara kakak ngambil inisiatif buat ngasih biaya, sama kek tadi, biar gak pergi jauh. Kalau hanya sekedar di Hamburgas gak terlalu jauh. Lagian, kalo ada apa-apa ama orang tua, ada Prasetyo sopir pribadi. Tapi soal satunya lagi mungkin batal aja.” kata Sheila ngelirik Prasetyo.

“Benar, nih? Gak nyesal? Soalnya, kalo Kak Prastyo nembak aku, gak pake lama, langsung terima.” kata Aida.

Sheila hanya senyum dengar godaan Aida.

“Gak, kok. Dari awal memang kakak udah suka ama Prasetyo, apalagi waktu dia nembak, tapi kakak terpaksa nolaknya, soalnya udah janji ama diri sendiri, gak bakal pacaran sebelum selesai SMA.”

“Lantas gimana kalo waktu itu Kak Prast gak ngerti ama hal itu dan nembak cewek lain?” tanya Lucky.

“Nyesal abis kale.... Di saat itu pendirian kakak emang goyah. Siang malam kakak mikirin hal itu. Ditambah lagi Prast gak sampe di situ, dia terus maksa gue jawab semua ungkapan cintanya. Tapi kakak pilih konsisten ama diri sendiri  aja.  Gak  peduli  dia  mau  pacaran  ama cewek lain atau nggak, itu haknya dia. Tapi keyakinan kakak jadi kokoh ketika dia didekati cewek lain, dia malah nolak. Meski gak pacaran, perhatian Prasetyo ama kakak bikin kakak senang. Dia selalu ada ketika kakak punya masalah dan bantu kakak nyelesaiin masalah itu.”

“Secara gak langsung, hari ini kakak udah nerima cintanya Kak Prasetyo dan mulai hari ini kalian udah resmi pacaran. Kami adalah saksi bersatunya cinta kalian. Semoga kalian bisa melewati segala cobaan yang bakal ngancurin hubungan kalian. Semoga hubungan kalian awet ampe pelaminan dan anak cucu.” kata Maghdalena.

“Amin...!” sambut yang lain.

“Tapi kakak lebih senang kalo Sheila ngenalin kakak ama keluarganya.” kata Prasetyo.

“Norak lo Prast. Jadian aja barusan, langsung pengen ngenal keluarga. Emang lo....”

“Eh...eh..., jangan pake lo, deh. Gak mesra. Manggilnya pake yayang, dong.” kata Melani buka bicara lagi sambil asyik nulis hasil konferensi.

Setelah clear, dia nyerahin ke semua untuk ditandatangani. Terakhir mereka semua minta Maghdalena nyanyiin lagu yang udah selesai dibuatnya.

Maghdalena segera bangkit dan ngambil gitar ke kamar. Di hadapan sobat-sobatnya, ia nunjukun skil musik yang diciptakannya yang berhaluan pop-rock yang diolahnya lewat gitar tua milik ayahnya.

Semua memuji kemampuan dan skill Maghdalena dalam menciptakan lagu sebagus itu.

Bayu memutuskan kalo lagu itu akan segera diuji coba besok saat latihan ke markas The Parlement, di SMA Pelita Bangsa.

* * *

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler