Skip to Content

NOVEL: UNANG ISOLSOLI (1/8)

Foto SIHALOHOLISTICK

SADA [1])

 

SEORANG  laki-laki berperawakan sedang, berjalan di koridor kampus bagian selatan, menghadap ke laut lepas. Laki-laki itu baru keluar dari ruangan mengikuti perkuliahan. Kampus itu di batasi oleh pagar besi dan dari pagar itu hanya sekira seratus meter, yang ditumbuhi oleh pohon cemara yang tinggi dan besar, ada yang berdiameter sampai setengah meter, setelah itu bibir pantai segera dijumpai dengan hempasan dan gulungan ombak.

Beberapa pohon pelindung tumbuh di lokasi kampus, ada sekitar sepuluh batang dengan jarak lima meter. Di setiap pohon terdapat meja dan bangku yang dibentuk persegi mengelilingi setiap pohon pelindung. Tempat ini merupakan tempat yang paling disenangi para mahasiswa, selain dekat dengan perpus juga dekat dengan kantin. Dan enaknya, dari tempat ini bisa pesan makanan dan akan diantar.

Angin yang berhembus dari tengah laut sana memainkan rambut laki-laki yang baru saja menghempaskan pantatnya di atas bangku itu. Buku-buku yang semula ada di tangan kirinya, yang belum sempat dimasukkan ke dalam ransel yang selalu nangkring di punggungnya, diletakkan di atas meja. Begitu juga ransel, diletakkan di samping buku-buku itu.

Ia membiarkan rambutnya yang gondrong meliuk-liuk dimainkan angin yang berhembus itu. Rambut itu memang diikat tapi hanya bagian belakang saja, sedangkan bagian samping dibiarkan tergerai menutupi daun telinganya hingga melingkar di dagunya.

Badannya kekar dan berotot, rahangnya kokoh, dan wajahnya tampan, bukan seperti wajah pribumi melainkan seperti wajah Indo, hanya saja kulitnya agak legam. Kumis tipis bagaikan semut beriring dan jenggot yang dirawatnya dengan rapi menambah karismanya dan membuat banyak gadis yang terkesima. Apalagi sorot matanya yang teduh itu, apalagi kalau kulitnya agak putih, pasti banyak orang yang tidak percaya kalau ia hanya anak petani sayur yang harus ikut membantu kedua orang tuanya di ladang dengan bermandi panasnya terik matahari. Orang juga tidak akan percaya kalau ia hanya orang Dolok Sanggul, daerah pegunungan sana.

Dolok Sanggul...? Ya, Dolok Sanggul, ia memang orang pegunungan yang tidak begitu menghiraukan terik matahari hingga kulitnya legam. Sedang tubuhnya yang kekar dan berotot itu adalah gambaran kebiasaan bekerja keras yang sudah ditanamkan orang tuanya sejak ia masih kecil. Naik turun bukit yang terkadang terjal dengan beban berat di pundaknya. Awalnya, ia memang   kewalahan  dengan rutinitas itu, tapi lama kelamaan rutinitas itu membuatnya terbiasa bekerja keras.

Mendengar nama Dolok Sanggul, pasti kita akan tau dengan suku Batak, yang banyak mendiami tempat itu, bahkan seluruh hamparan Sumatera Utara di huni orang Batak, dan suku Batak ini masih banyak ragamnya.

Tidak salah lagi, laki-laki tadi pun juga orang Batak, namanya Delito, lengkapnya Delito Ananda Sihaloho. Delito Ananda adalah nama pemberian orang tuanya, sedangkan Sihaloho adalah garis keturunan dari nenek moyangnya sebagai orang Batak. Orang Batak mempunyai adat istiadat yang begitu mereka banggakan dan salah satunya adalah marga [2]). Marga ini merupakan pembeda bagi mereka dengan suku lain semisal Jawa, Sunda, Betawi, Toraja, Badui dan suku lain. Kelak, setelah menikah, marga ini pun akan diturunkannya pada anaknya dan dibubuhkan di belakang nama, baik laki-laki maupun perempuan, dan begitulah seterusnya.

Keberadaannya di kampus, bukanlah karena ekonomi keluarganya yang mapan. Orang tuanya hanya petani sayur yang harus menghidupi dan mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari. Sedang ia dan keempat adiknya sedang  bersekolah dan butuh biaya banyak, apalagi bagi dirinya yang berada di sebuah Universitas swasta yang bisa menelan biaya puluhan juta, bahkan ratusan juta hingga ia menggapai gelar SE di belakang namanya, gelar yang diidam-idamkannya dan diharapkan kedua orang tuanya agar bisa mengangkat derajat keluarganya, begitu juga harapan adik-adiknya. Sebagai anak pertama, ia dituntut orang tuanya sebagai contoh bagi adik-adiknya untuk sukses pula.

Keberadaannya di kampus hanya bermodal sebuah filosofi orang Batak yang begitu sangat dipegang oleh kedua orang tuanya anakhon hi do hamoraon di au[3]). Keyakinan ini tak pernah padam dalam dada kedua orang tuanya. Biarpun hanya berprofesi sebagai parengge-rengge [4]), namun itu  tak menyurutkan niat mereka untuk berbuat sesuatu demi masa depan anak-anaknya.

Akhir-akhir ini ia telah berusaha mencari pekerjaan, tentu saja tanpa sepengeta-huan orang tuanya, kalau ia memberi taunya, orang tuanya akan melarangnya deng-an alasan mereka akan merasa tersinggung karena tidak menghargai jerih payahnya sendiri. Ia kadang-kadang tidak memahami kepribadian orang tuanya, terlebih ayahnya yang tegas dalam segala hal, bahkan untuk bekerja pun harus seizinnya, kalau tidak, jangan menyesal jadi sasaran empuk tangannya yang kekar meskipun sudah tua. Itulah sebabnya, secara diam-diam ia mencari pekerjaan untuk tambahan biaya hidupnya sehari-hari. Namun pekerjaan apapun belum bisa ia peroleh, karena ia mencari pekerjaan  paruh waktu agar tidak mengganggu kuliahnya. Tapi ia tidak berputus asa, ia tetap mencari pekerjaan apapun asal halal dan tidak mengganggu kuliahnya.

Kelak, ia ingin membiayai kuliahnya sendiri, tanpa memberatkan orang tuanya terus menerus. Ia bukan orang egois yang mementingkan diri sendiri. Ia tidak ingin orang tuanya mengabaikan pendidikan adiknya karena seluruh biaya dialihkan padanya. Jika suatu saat ia berhasil, ia akan membohongi orang tuanya dengan alasan dapat beasiswa agar orang tuanya tidak lagi mengiriminya biaya. Meskipun ia tau dalam Al Kitab bohong itu dosa, tapi ia yakin pada Tuhan Yang Maha Kudus, kalau kebohongannya tidak akan merugikan orang tuanya.

Akhirnya ia terlelap dalam lamunannya setelah lelah memikirkan pekerjaan yang dibutuhkannya. Asyik melamun ia jadi teringat pada saat ia bersiap menghadapi ujian akhir SMA, tak pernah terpikir olehnya bisa kuliah seperti ini, meskipun keinginan itu sudah timbul sejak ia menginjakkan kaki di bangku SMA ditambah lagi atas anjuran dan motivasi dari gurunya serta teman-temannya, terlebih Nelita, teman wanitanya yang begitu dikaguminya, meski tidak begitu cantik, namun kepribadiannya dan pengertiannya telah membuat Delito terpikat. Sehingga tanpa disadarinya, terjalinlah sebuah hubungan yang begitu erat dengan Nelita. Saling membutuhkan, saling memahami dan saling memenuhi. Kalau diperhatikan, hubungan itu biasa saja, layaknya teman biasa, namun pepatah dang di ida mata alai di ida roha [5]) telah membuktikan kalau antara keduanya terjalin hubungan yang tidak pernah mereka ikat dengan sengaja namun terikat begitu saja.

Ia hanya bisa terdiam, tak bisa menjawab dan hanya menunduk sebagai ekspresi ketidakberdayaan ekonomi keluarganya, ketika semua guru menanyakan perihal kelanjutan pendidikannya, karena mereka tau kalau Delito siswa berprestasi yang telah berulang-ulang mewakili sekolah dalam kegiatan yang berhubungan dengan pendidikan. Yang paling ngotot mengajak adalah Nelita. Gadis itu mengajaknya kuliah di Universitas yang sama dan jurusan yang sama dengan harapan agar bisa terus bersama, ada juga yang mengusulkan kuliah ke Jakarta. Tapi ia hanya menggeleng dengan mata berkaca-kaca, ia menyadari dirinya hanya anak seorang petani sayur yang miskin.

Terlebih menjelang ujian akhir, dilihatnya ekonomi keluarganya semakin merosot. Panen sayur merosot akibat diserang hama, dagangan yang sedikit ikut-ikutan tidak habis. Setiap kembali dari pasar, ibunya terus mengeluh. Mendengar keluhan itu, diam-diam harapannya yang tinggal sedikit segera dikuburnya dalam-dalam. Ia bertekad membantu kedua orang tuanya ke ladang.

Suatu ketika, ia mendengar percakapan kedua orang tuanya, ibunya terus-terusan mengeluh pada ayahnya. Saat itu ibunya baru pulang dari pasar. Hampir jam delapan malam, ia sedang belajar di kamarnya mempersiapkan diri menghadapi ujian yang tinggal dua hari lagi.

Ama Delito [6])! Jualan tidak habis juga, padahal hanya dua karung. Sudah panen tidak baik, yang dibawa ke pasar malah tidak laku. Kalau begini terus, apa biaya kita untuk menguliahkan Delito?” keluh ibunya dengan menghembuskan nafas dengan berat.

Nai Delito [7])!  Sudahlah, jangan mengeluh terus, nanti di dengar anakmu. Aku takut ia kehilangan semangat untuk menghadapi ujian akhir. Aku ingin dia berhasil dengan nilai yang memuaskan dan masuk Perguruan Tinggi Negeri. Ia tidak bisa hanya tamat SMA saja. Ia harus biasa jadi sarjana yang kelak akan kita banggakan, bekerja di perusahaan asing, gaji tinggi, pakai jas dan dasi, naik mobil mewah dan punya rumah semegah istana, agar kelak bisa menyekolahkan adik-adiknya. Bila ia sudah sukses, ia akan jadi contoh bagi adik-adiknya. Aku tidak ingin ia menjadi petani sayur seperti kita.”

“Tapi mau di kata apa? Biaya kuliah sangat besar, hampir tidak ada bedanya negeri dan swasta. Uang inilah, uang itulah, belum lagi uang kost dan biaya sehari-hari. Yang aku takutkan putus di tengah jalan, sia-sia sajakan?”

“Sudahlah!  Berlakulah seolah-olah kita sanggup membiayainya. Soal biaya selanjutnya, aku akan manakkek [8] ) di kebun orang tua Nelita, temannya itu.”

Mendengar perkataan ayahnya, ia tak sanggup lagi menahan air matanya. Senang, bahagia dan sedih bercampur jadi satu di rongga dadanya. Ia senang, apa yang diinginkannya akan kesampaian juga. Bahagia, mempunyai orang tua yang mempunyai tanggung jawab begitu besarnya, begitu perhatiannya. Sedih, karena kenyataannya, ekonomi keluarga mereka tak seperti yang diinginkan. Air matanya yang terus mengalir membuatnya terisak. Ia tak sanggup lagi melanjutkan pelajarannya, ia hanya bisa terpekur dengan perasaan berkecamuk.

Setelah menunggu hasil ujiannya, ayahnya mengutarakan niatnya untuk menguliahkannya ke Medan di sebuah Universitas. Tawaran itu ditolaknya dengan alasan ia ingin ikut membantu ke ladang. Pengorbanan kedua orang tuanya yang menyekolahkannya sampai SMA dirasanya sudah cukup dan sekarang tiba saatnya untuk membantu meringankan beban, bukan malah menambah beban.

Tapi, apa yang didapatinya, pukulan dan hajaranlah yang diterimanya atas jawabannya itu. Ia tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah menerima pukulan demi pukulan serta hajaran demi hajaran itu sambil meringis kesakitan.

Sementara ibunya berusaha melindunginya dari hajaran dan pukulan ayahnya. Namun usaha itu sia-sia saja, sedang adik-adiknya hanya bisa menatap kakaknya dihajar ayah mereka, tanpa berani memberi pembelaan.

Nga sai bei! Dukak mu doi! [9])”  kata ibunya lagi-lagi berusaha melindunginya. Dipeluknya Delito dengan erat. Sedangkan Delito hanya bisa meringis kesakitan, dari bibirnya keluar darah segar dan semua wajahnya memar. “Kasihani dia! Alasannya itu benar!”

“Jadi kamu setuju, dia tidak sekolah lagi? Mau jadi apa dia?” balas ayahnya masih emosi.

“Kamu memang orang tua yang mempunyai pikiran maju, tapi bukan begini caranya menunjukkannya. Bukan memukulnya.” balas ibunya dengan ketus sambil memeluk Delito.

Sombu matei! Dang lakku di au mangelek-elek [10])” balas ayahnya sambil melayangkan tamparan ke wajah Delito, tapi istrinya segera berdiri dan menghadangnya.

Nga sai bei, nikku! Na ma hua do ho? [11])”

“Dia telah menghinaku. Dia pikir aku tak sanggup. Aku masih kuat bekerja membiayai kuliahnya. Mau jadi apa dia? Mau jadi petani sayur? Mau jadi parengge-rengge seperti orang tuanya? Memalukan! Saya mau dia jadi orang sukses, bekerja di perusahaan asing, pakai jas dan dasi, naik mobil mewah, punya rumah seperti istana, bahkan bekerja ke luar negeri sana, bukan jadi petani sayur sepertiku.” kata ayahnya sambil pergi.

Akibat hajaran ayahnya, ia terpaksa terbaring selama seminggu, semua persendiannya lemas. Namun tekadnya tetap bulat akan membantu ke ladang, dengan negosiasi bersedia kuliah tahun depan. Ayahnya akhirnya mengalah dan mengizinkannya kuliah tahun depan.

Rasa haru ayahnya menyergap ruang dadanya ketika setiap kali Delito mengurus kebun, mulai dari memupuk, menyiang, menyemprot hama dan segala tetek bengek mengenai taman sayur. Dengan modal ilmu yang diperolehnya dari sekolah dan membaca buku ia menangani urusan ladang sendiri. Ayah ibunya membantu saja. Semua terbukti, dalam waktu singkat, hasil panen meningkat dan tanpa ke pasar pun semua telah laku terjual dengan berlangganan.

“To...!” sebuah suara segera membuyarkan lamunannya. Sebelum menoleh ke arah suara yang begitu dikenalnya itu, dihapusnya kedua pelupuk matanya yang mulai lembab itu.

“Eh, kamu, Ar! Dari mana kamu? Sejak keluar tadi aku gak liat. Pasti abis ketemuan ama Eza, ya? Siang malam ketemuan terus, gak bosan apa?”

“Awalnya ke fotocopy, trus ketemuan di sana dan dia ngajak ke kantin. Soal bosan, mana mungkinlah. Cewek kek dia di bosani. Yang benar aja, udah manja, baik, perhatian, cantik lagi.”

“Iya...iya, kalau udah ngomongin Eza, semua baik. Semoga abadi ampe anak cucu, deh.”

“Thank’s banget’s!”

“Ngapain tadi ke fotocopy?”

“Ini tugas Minggu lalu, yang dari Pak Torus.” jawab Arby sambil nunjukin ke Delito. “Kamu udah?”

“Udah.” balasnya senyum. “Ar, kamu punya duit, nggak? Kiriman belum datang, nih.” kata Delito ragu. Arby memang satu-satunya tempat Delito minjam duit.

“Pinjam berapa, nih?”

“Sepuluh ribu, aja.”

“Kok, segitu? Buat apaam?”

“Aku udah pikirin usulan kamu. Mungkin benar juga. Jadi, aku mau nyoba nunggu kerjaan dapat, lumayan, buat ngantisipasi keuangan.”

“Nah, gitu, dong. Kalau punya bakat, buat apa disimpan-simpan. Urusan komersial atau nggak, itu belakangan.” sambut Arby dengan gembira dan menyerahkan uang dua puluh ribu. “Nih, kamu pake dulu. Soal bayarnya, dipikir belakangan. Gak usah buru-buru. Okey!”

“Thank’s banget!”

Keduanya langsung beranjak dari situ dan menuju perpus. Di sana Delito meminjam mesin tik dan Arby menyelesaikan tugasnya yang tadi di foto copynya.

Selesai mengetik, Delito mengajak Arby keluar dari perpus, mereka berjalan keluar sambil ngobrol. Saking asyiknya ngobrol, secara tidak sengaja Delito menabrak seorang gadis yang tiba-tiba muncul dengan terburu-buru ke dalam perpus. Buku-buku yang dipegang gadis itu berjatuhan ke lantai dan beberapa buku rusak.

Mata gadis itu segera melotot pada Delito yang sudah berkali-kali minta maaf. Namun permintaan maaf itu tak digubris gadis itu, malah ia membentak.

“”Eh, kalo jalan itu pake mata, jangan pake idung, kayak anjing nyari makan. Lo tarok di mana, sih mata, lo?” bentak gadis itu dengan keras, sehingga beberapa pasang mata  menoleh pada mereka.

“Lha, situ sendiri yang gak pake mata, buktinya situ gak liat kalo sini udah pake mata, malah sejak ngelonjor dari rahim nyokap udah pake mata.” balas Delito setengah melucu dengan tampang cutenya. Arby hanya tertawa mendengar ucapan Delito.

“Gak usah banyak cincong!” balas gadis itu sambil memunguti buku yang berserakan di lantai. Tanpa komando, keduanya pun mungut buku yang sama, hingga akhirnya keduanya larut dalam keheningan dan kebekuan.

Delito larut dalam lamunannya, diingatnya raut wajah gadis mungil yang pernah hinggap di hatinya. Namun sejak acara perpisahan di sekolah mereka pun terpisah. Ia tak tau persis di mana gadis itu berada sekarang, yang ia tau saat terakhir, gadisnya berangkat ke Jakarta untuk kuliah. Kuliah di mana pun ia tak tau persis.

Gadis itulah yang dulu menyemangatinya untuk kuliah, tapi ia menolaknya.

“Orang tuaku hanya petani sayur, Nel. Aku tidak ingin lagi memberatkan mereka. Aku harus tau diri, adik-adikku juga ingin sekolah. Mungkin hanya sampai SMA saja jatahku untuk bersekolah.” jawab Delito setiap kali Nelita mengungkit masalah itu.

Merasa tidak berhasil membujuk Delito atau entah alasan   lain, Nelita akhirnya memutuskan untuk ke Jakarta ikut tulang [12])-nya dan stasiun Dolok Sanggul jadi saksi ikatan yang terjalin begitu saja antara mereka. Dengan isak tangis yang tak tertahan, Nelita mendekap tubuh Delito, seolah tidak ingin melepaskannya sedetik pun. Delito berusaha menenangkan Nelita yang sedang dilanda emosional tinggi. Karena sekian lama hanya Delitolah yang pernah martandang [13]) ke rumahnya bila malam Minggu tiba, atau sama-sama ke Gereja pada malam Minggu ketika ada acara naposo-bulung [14]) di Gereja tempat mereka mengikuti kebaktian saban Minggu dan hari besar agama.

Nelita yang membawanya larut ke dalam khayal-khayalindah, hingga khayal itu merubah dunianya. Sejak perpisahan itu, tak seorang gadis pun yang mampu menarik hatinya. Terkunci. Cintanya terlanjur dititipkan pada Nelita, hingga entah sampai kapan ia bisa mengubur bayangan Nelita   yang sudah pasti akan melupakannya. Tak mungkin Nelita mengingatnya lagi, apapun alasannya.

Sesaat, kerinduannya pada Nelita merajai pikirannya,  hingga tanpa sadar, ia menyentuh wajah gadis yang ada di hadapannya deringan lembut, jari kirinya menyentuh pipi kanan gadis itu dengan lembut.

“Heh..., laki-laki kurang ajar!” bentaknya dengan keras.

Bentakan itu menyadarkan Delito dari lamunannya dan ia sadar, kalau orang yang ada di hadapannya bukan Nelita, segera ia menarik tangan kirinya dari pipi  gadis itu.

‘Plak...!’ Sebuah tamparan telak mengenai pipi Delito. Delito terkejut sambil memegangi pipinya yang terasa panas.

Gadis itu segera memunguti bukunya yang berserakan di lantai perpus, dan bangkit sambil menolak tubuh Delito.

“Eh, laki-laki kurang ajar! Sekali-sekali pikir dulu sebelum berbuat. Kamu pikir aku pelacur yang bisa kamu sentuh begitu saja.”

“Lho, siapa yang bilang kamu pelacur? Gak ada, kan?” balas Delito tanpa peduli kemarahan gadis itu. “Tapi aku minta maaf, aku gak sengaja, mungkin refleksasi aja.” tambah Delito tetap tenang sambil berdiri. Ditatapnya gadis itu tanpa berkedip.

“Maaf...muaf..., sergah gadis itu sambil berbalik.

“Ei, Rani...!” teriak sebuah suara dari luar.

Gadis itu menoleh ke arah suara, Delito dan Arby juga ikut menoleh karena merasa mengenal suara itu.

“Dicariin kamu, rupanya di sini.” tambah suara itu. “Lho, Arby ama Delito di sini juga? Udah pada kenal?”

“Eza...!” kata ketiganya berbarengan.

Gadis itu menoleh pada Arby dan Delito dengan heran. Delito dan Arby juga menoleh pada gadis itu, gadis yang bernama Rani, dengan heran lalu keduanya saling pandang, tak mengerti.

“Rani...!” kata keduanya bergumam.

“Apaan nyebut nama aku?” semprotnya dengan ketus.

Sopo yang manggil sampeyan?[15]) balas Arby mulai gak suka dengan gadis itu. Sejak gadis itu nampar sahabatnya. Emang, sih, sahabatnya yang salah, baru ketemu udah main sentuh pake senyam-senyum lagi, kek orang lagi tinggi, SKSD banget. Ya, SKSD-lah – Sok Kenal Sok Dekat, gitu.

Arby sempat kaget liat sahabatnya yang masuk di Fakultas Ekonomi, di tambah kost yang sama, semua serba kebetulan, berani-beraninya nyentuh cewek yang baru kali ini mereka liat, kenal juga belum, tapi tingkah Delito agresif banget.

“Lha, yang manggil tadi siapa? Mosok setan?” semprot gadis yang bernama Rani itu dengan ketus.

“Sombong banget lo jadi orang. Apa yang lo sombongin? Cantik? Itu sementara, Sob! Kaya? Persetan ama kekayaan orang tua lo!” balas Arby dengan nada ketus.

“Udah, Ar!” cegah Delito.

“Kok ribut? Emang ada apa, neh? Kamu kenal ama teman aku, Ran?” Eza gak ngerti.

“Boro-boro! Liat aja baru kali ini, malah bikin sial. Lo bayangin aja, bangsat ini udah perlakukan gue kayak pelacur. Ini pelecehan!”

“Eh, hati-hati kalo ngomong, ntar gue sobek mulut, lo!” balas Arby geram sambil nunding wajah Rani.

“Apaan, lo? Emang kalo lo cowok, trus gue takut? Lo belum tau siapa gue, ya?”

“Semua orang tau, kalo lo cantik, bahkan cantik banget. Tapi buat gue, kecantikan lo gak ngaruh apa-apa.” jawab Arby sinis.

“Udah, Ar! Rani teman aku, aku gak pengen kamu ngina dia di depan aku.” kata Eza menengahi. “Sekarang coba ceritain, apa masalahnya ampe terjadi kesalah pahaman ini?”

“Ini, Za....” balas Arby mulai lunak, kemudian Arby mulai nyeritain semua.

“Oo, cuman gitu. Mungkin Delito keingat pacarnya kali, jadi rasa rindunya menfgalir ke tangannya dan nyentuh pipi   Rani.”

“Siapa pacar kamu, To?” tanya Arby heran. Karena selama ini Arby tau kalo Delito gak pernah jalan ama cewek.

“Ya, kali-kali pacar waktu SMA. Kan, bisa aja?”

“Apa benar, To?”

“Iya, Ar.”

“Oo ya, Ran, kenalin, ini Arby pacar aku yang sering aku ceritain  ke kamu dan ini Delito temannya, mereka anak Ekonomi.”

Melihat sikap cuek Rani, Arby malah lebih cuek abis. Kesan gak suka di wajah Arby kian kontras. Sementara Delito bersikap biasa saja dengan senyum malaikatnya. Mereka tau, nama Rani emang santer dibicarakan cowok seantero kampus. Mulai dari yang berpenampilan culun sampai yang berpenampilan cute-cute abis dan anak-anak orang tajir, ngomongin kecantikan cewek yang bernama Rani.

Terlebih anak-anak Ekonomi, yang terkenal cute-cute abis dan tajir-tajir. Rata-rata semua anak pengusaha yang punya segala kebutuhan sekunder dan tertier. Hanya Arby dan Delito yang hidup pas-pasan, Delito malah lebih parah.

Keduanya sempat penasaran mendengar percakapan banyak cowok tentang Rani yang gak ada habisnya. Keduanya ingin sekali mengenal dan melihat rupa gadis itu, tapi setelah mereka tau, kesan tak suka malah yang timbul di hati keduanya pada pertemuan pertama.

Kecantikan, sih, gak ada duanya, tapi sikapnya yang kasar dan terkesan sombong itu membuat kedua sahabat itu ogah membicarakan gadis yang bernama Rani.

Mereka heran, kenapa gadis seperti Eza yang baik hati, ramah dan lembut bisa kompak ama gadis yang judes dan belagunya minta ampun. Apalagi dengan penilaian rekan-rekan mereka. Jelas, mereka hanya menilai penampilan doang. Padahal, cewek yang bernama Rani itu, sombongnya juga gak ada tandingannya.

“Ar, temani aku sekarang, ya!”

“Kemana?”

“Ntar juga tau sendiri.”

“Mm..., okey, deh.” balasnya. “Sorry, To, aku cabut dulu!” kata Arby melirik Rani, kemudian melirik Delito dengan senyum.

“Silakan! Kebetulan aku juga mau ke kantor pos, ngirim naskah cerpen.” balas Delito gamblang.

“Za, aku ikut kamu, ya!” rengek Rani manja pada Eza.

“Aduh, sorry dulu, ya. Kali ini gak bisa, ada acara istimewa, neh! Sorry ya guys, lain kali aja.”

”Mo kemana, sih, siang-siang gini?”

“Adda aja. Pokoknya gak  boleh di ganggu. Gini aja, kalo kami gak punya teman ngobrol, bareng aja ama Delito ke kantor pos.” usul Eza.

“What’s...?!!?” pekik keduanya berbarengan. Eza ngikik dengernya.

“Udah, deh, bareng aja, kedengarannya kompak banget.”

“Gak, deh....” lagi-lagi keduanya protes secara bersamaan.

“Apa, sih lo?” tanya Delito. “Jadi cewek jangan rese-lah, lo pikir gue mau jalan ama lo. Gak banget, deh....”

“Ih, ge-er banget, sih, lo. Lagian siapa juga yang mau jalan amal o. Gak level kali.”

“Udah...udah..., perseteruannya jangan ampe dibawa ke MK. Sekarang terserah ama kalian, mo jalan bareng atau nggak, terserah. Tapi, aku gak bisa ngajak kamu, Ran.”

Delito hanya bisa pasrah melihat kepergian Arby ama Eza, begitu juga dengan Rani. Sesaat mereka saling pandang dan berpaling dengan sama cueknya. Delito akhirnya ninggalin Rani.

Selama menuju kantor pos, ingatannya selalu tertuju pada Nelita dan silih berganti dengan gadis sombong itu. Teringat pada Nelita, mungkin itu wajar. Sebab, sudah sekian lama mereka tak bertemu. Tapi mengingat gadis sombong itu, tak ada alasannya.

Rani juga merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan oleh Delito. Dalam duduknya, ia terlelap dalam lamunannya tentang kejadian tadi. Ketika Delito menyentuh pipi dengan begitu lembut dan darahnya berdesir ketika itu. Jantungnya berdetak kencang. Ada sebuah kehangatan yang mengalir ke seluruh persendiannya. Jujur. Ia sempat menikmatinya dan jantungnya kempat-kempot, ketika menatap mata Delito yang menyiratkan kedamaian dan kelembutan, serta keteduhan.

***

 

[1] Sada : Satu

[2] Marga: Hubungan kekerabatan dalam adat Batak

[3] Ankhon hi do hamoraon di au: Anakku adalah kekayaanku

[4] Parengge-rengge: Sebutan untuk para ibu yang berjualan hasil ladang ke sejumlah pasar

[5] Dang di ida mata alai di ida roha (Tak tampak oleh mata tapi tampak di hati): Sesuatu yang tak terlihat tapi terasa oleh hati

[6] Ama Delito: Panggilan untuk laki-laki Batak yang punya anak tertua bernama Delito

[7] Nai Delito: Panggilan untuk perempuan Batak yang telah punya anak yang tertua bernama Delito

[8] Manakek: Mernyadap pohon karet

[9] Nga sai bei! Dukak mu doi!: Sudahlah! Dia anakmu!

[10] Sombu matei! Dang lakku di au mangelek-elek: Biar mati dia! Tidak berlaku bagiku memanja-manja.

[11] Nga sai bei, nikku! Na ma hua do ho?: Sudahlah, kataku! Kamu ini kenapa?

[12] Tulang: Tutur sapa pada saudara laki-laki dari ibu

[13] Martandang: Apel malam Minggu

[14] Naposo Bulung: Perkumpulan muda-mudi Greja

[15] Sopo yang manggil sampeyan: Siapa yang memanggil kamu


*) UNANG ISOLSOLI : Jangan Disesali

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler