Skip to Content

Peri Biru

Foto Helmi C Sahbana

      Tak diragukan lagi ketika aku masih kecil, akulah yang kalian maksud sebagai… berbeda. Yah, itu aku El Sahbana. Bersama keluargaku, aku tumbuh dengan rasa kasih dan sayangnya. Ibuku tipe orang yang cintanya dapat membunuhmu jika kau tak berhati-hati. Kurasa dia menyalahkan dirinya ketika aku lahir tiga bulan premature. Tapi aku tak sabar keluar, aku ingin lebih cepat melihat warna-warni dunia. Ayahku hebat, dia tak pernah cemas seperti ibuku. Dia tahu aku tak ingin ke sekolah khusus untuk orang cacat pastinya, karena aku tumbuh secara normal, jadi dia masukkan aku ke sekolah umum. Tak perlu dikatakan ketika aku beranjak dewasa, aku butuh pertolongan… dan itu tentang “wanita”. Aku dan keluargaku hidup berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain, hingga akhirnya aku menurunkan jangkar dikota Surabaya ini. Banyak hal yang membuatku tertarik pada kota ini, bukan karena tempat porstitusi yang menjamur pastinya, melainkan pada sesosok peri yang menampakkan diri padaku. Peri yang begitu cantik, anggun , dan memiliki sepasang sayap bagai kupu-kupu.

     Pada musim hujan ini merupakan masa paling kering dan hening dalam hidupku. kemarin menjelang malam berkatalah padaku masa yang paling hening itu. Tahukah kalian kengerian yang ku alami saat jatuh dari tidur? Ketakutanku merambat sampai ujung kaki, sabab tanah merekah dibawahnya dan mimpi itupun di mulai.

Penanda waktu terus bergerak, masa dari hidupku menahan nafas. Belum pernah kudengar keheningan seperti yang ada di sekelilingku ini, demikian hatiku tercekam kengerian.

Lalu berkatalah tanpa suara kepadaku: “apakah kau dapat melihatku?”. Aku berteriak ketakutan mendengar bisikan itu dan darah meninggalkan wajahku, tapi aku tak menjawab.

Berkatalah sekali lagi tanpa suara kepadaku: “kau tahu aku, tapi kau tak mengatakan!”

“ya, aku tahu kau, tapi aku tak akan mengatakan!”, kujawab dengan menantang.

Berkatalah lagi tanpa suara kepadaku: “kau tak mau mengatakan? Betulkah? Jangan sembunyikan dirimu dari kekerasan hati!”

Aku menangis dan gemetaran seperti anak kecil dan hatiku berkata: “kembalikan permenku, bebaskan aku. Ini diluar kekuatanku!”

Kemudian berkatalah lagi tanpa suara kepadaku: “apa yang kau tahu? Embun jatuh ke dedaunan justru ketika malam paling hening”.

Ku buka mataku perlahan dan tampaklah sesosok peri bersayap dengan ribuan bintang-bintang biru-putih yang meneranginya. Hingga saat kubuka mataku lebar-lebar baru kutersadar bahwa Ia peri cantik dan anggun dengan selendang suteranya.

Lalu berkatalah peri itu padaku: “kau harus menjadi seorang anak yang tidak memiliki rasa malu. Keangkuhan pemuda masih ada pada dirimu. Telah terlambat kau menjadi pemuda. Tapi barang siapa hendak menjadi anak-anak, harus melampaui kemudaaannya”.

Aku berpikir lama dan gemetar, dan akhirnya aku mengatakan apa yang telah ku katakan sejak awal: “aku tidak mau!” lalu terdengarlah suara tawa di sekelilingku. Tawa itu seperti menyayat hati dan mencabik-cabik perasaanku.

Untuk terakhir kalinya peri itu berkata padaku: “buahmu telah masak, tapi kau sendiri belum masak untuk buahmu. Maka kau harus kembali kedalam kesendirian, sebab kau harus menjadi masak” bersamaan dengan itu senyum mengembang dibibirnya, perlahan Ia menghilang dengan hembusan angin malam yang menyertainya.

Dengan rasa yang amat berat ku langkahkan kaki hendak keluar rumah, melihat apa yang terjadi adalah sebuah kenyataan malam itu. Maka aku nyatakan sebuah misteri yang aku lihat, pertanda tentang aku yang kesepian. Dengan muram aku berjalan di dalam senja yang berwarna seperti mayat, muram dan kaku, dengan bibir terkatup rapat. Membisu menapaki kerikil yang bergemeretak mencemooh, menginjak-injak batu dan membiarkannya tergelincir. Dengan demikian kakiku memaksakan jalan keatas. Kulihat dua orang pemuda berteriak-teriak memakiku dengan masing-masing membawa botol minuman ditangannya, aku diam dan tetap manatapnya penuh tanya. Mereka menghampiriku, tanpa tersadar olehku salah satu dari mereka menghujam kepalaku dengan botol minumannya. Ppyyaarrr!

Darah mulai meleleh dikepalaku, akupun terhempas diatas tanah dalam ketidak sadaranku.

Saat kubuka mata, tampak fajar merah menyinari tubuhku. Terlihat ibu telah menyiapkan segelas susu untukku.

“apa yang kau lakukan semalam?” tanyanya dengan heran. Sambil membukakan jendela, membiarkan udara pagi berputar didalam rumahku

“entah… aku hanya ingin menghirup udara malam, dan dua orang berbadan tegap menghampiriku. Sedang mabuk sepertinya”

“jangan ulangi lagi perbuatan burukmu itu!”

Kemudian ibuku kembali kedapur untuk melanjutkan kegiatan seperti biasa di pagi hari. Kulihat ayah belum berangkat ke kantor, di ruang makan Ia sedang menikmati secangkir tehnya tampak Ia sedang menungguku untuk sarapan bersama.

“El…kemari”, sapanya membuka percakapan kami saat Ia melihatku berada di mulut pintu kamarku.

“Ayah sempat melihat kedua pemuda itu dan ayah laporkan mereka kepolisi atas tindakkannya, kau puas dengan yang ayah lakukan”

“kenapa ayah tidak membunuhnya untukku?”

“terlalu membakar nafsu amarah mudamu. Ayah juga pernah berumuran sepertimu, dan pernah merasakan bagaimana menyikapi seseorang yang kita benci. Dan ayah tak pernah sekalipun menyakitinya”, dengan pelan Ia mengusap kepalaku yang tampak diperban melingkari kepalaku ini.

“dua hari lagi kau akan masuk kuliah lagi, sudahkah kau mempersiapkan itu?”

“sudah, tampaknya akan jadi hari yang paling membosankan saat ospek nanti!”, setelah itu aku berjalan menuju kamar tidurku yang bertuliskan ‘El Area’ dipintunya.

      Kunyalakan diskman dan kutempelkan headset di telingaku, sambil berbaring dikasur dan bernyanyi. Entah mengapa seketika itu suara musik itu berhenti, dan terdengar suara angin datang ditelingaku. Ku lepaskan headset itu dan terkaget sekali waktu ku balikkan tubuhku menghadap kaca jendela kamarku. Tampak sesosok peri biru yang kulihat semalam menghampiriku. Takut, senang mengaduk perasaanku seketika itu.

Dengan senyum Ia menyapaku “pagi El”

Tak kujawab, mungkin ini hanya halusinasi ku saja. Kupanggil ibuku namun tak mampu, bibirku terasa kaku dan berat sekali untuk berucap. Hingga ku jawab “pagi juga” dengan balas pandangnya.

Peri itu berkata: “sudahkah kau berpikir malam heningmu?”

“tidak”

      segala yang berkehendak. Tidakkah masa kini adalah masanya orang banyak? Sedangkan orang banyak tidak tahu, apa itu besar, apa itu kecil, apa itu lurus, dan apa itu jujur. Akan kau temui pada seorang gadis yang kan mengajarkan kau semua arti hidup, dua hari lagi kau kan temui”

Bukankah dua hari lagi aku memasuki perkuliahanku, dimana saat aku masa ospek yang membosankan? (pikirku)

      Tak sempat aku menanyakan tentang itu, peri itupun menghilang dan meninggalkan berbagai pertanyaan akan diriku, dirinya. Siapakah dia, peri yang tiba-tiba saja hadir dalam hidupku. siapakah dia, gadis yang dimaksudkan peri anggun itu?

 

*Bersambung…

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler