Skip to Content

peri kecil dan papan tulis

Foto solihin

“Hai cat itu belum aku aduk! pakailah batang bambu ini!” lalu aku melemparkan sebatang bambu belah kepada Bayu Angkoro Murko, yang mulai mengacak-acak cat yang sudah aku masukkan dalam kaleng susu.
Ruang ini tidak terlalu ramai karena sebagian besar kawan kawanku pergi ke luar pagar untuk membeli susu kaleng yang sudah kedaluarsa atau mencuri buah di perkampungan. Jendela-jendelanya pun sebagian besar sudah dimakan Nonor hingga serbuk-serbuk berjatuhan menerpa kasur dan bantal yang berwarna hitam bekas iler dan umbel. Sementara anak perempuannya saling bercerita tentang pelecehan-pelecehan yang sering terjadi terhadap mereka.Di wajah mereka jelas terlihan ekspresi ketakutan dan rasa sedih yang mendalam. Beberapa masyarakat yang tinggal di sekitar asrama sudah mengetahuinya, tapi selalu diam dan menyembunyikan informasi tersebut. Mereka beranggapan hal seperti itu tak perlu dibesar-besarkan , karena anak-anak itu rasanya pantas diperlakukan seperti itu, sebab kebodohan dan kecacatan mereka sendiri. Toh tidak memberi keuntungan bagi mereka.
Semilir angin mnyentuh seluruh ruang ini. Hingga wajaku pun terasa sejuk dielusnya. Aku mulai mencurahkan perhatianku pada sebuah kanvas yang sudah siap kulukis, kuas demi kuas sudah kupakai menghias sebagian lukisan itu. Kerangka lukisan pun sudah nampak jelas berwujud.
Tiba tiba bayu mengguyurkan seluruh cat yang ia aduk di atas lukisanku 
“Hei! Kau merusak lukisanku, itu kan cat hitam!”
“Memang harus hitam!”
“Tapi aku tidak butuh warna ini…”
“Aku membutuhkanya, juga kanvas ini!” ia menarik paksa kanvas itu ke hadapanya. Bercak cat muncrat ke mana-mana , hampir sebagian besar tempat dudukku tersiram cat hitam, bahkan baju yang kukenakan bersimbah cat.
Aku membiarkannya menguasai kanvas tersebut, karena hal seperti ini sering sekali terjada pada kami. Ketika makan bersama kami saling melempar air atau kuah sayur yang agak basi. Aku berusah melupakanya dan mengingat kembali sketsa lukisan yang sudah kutuangkan dalam kanvas itu. Lalu ide itu aku tuangkan pada sebuah lemari yang sudah tidak layak pakai. Pakaian-pakaian yang ada didalamnya pun aku lempar keluar. Lemari itu milik Bayu, setidaknya aku bisa membalas perlakuanya kepadaku dan melepas semua kejengkelan yang tertahan.
Aku mulai menggambar seluruh angan-angan yang masih tertinggal di kepalaku, Peri kecil dengan sayap yang sebelah kanan patah, ia setengah meringkuk di kuntum mawar yang sedang merebak pada sebuah lemari yang terkoyak. 
Dipan patah dan papan rapuh di gudang belakang aku benahi untuk menyempurnakan lukisanku.
Diam-diam Bayu melirik lukisanku, ia menganggap lukisan itu seekor capung yang sedang menghisap sari. Aku membantahnya dan menjelaskan ide lukisan yang sedang aku kerjakan. Tapi dia menyangkal bahkan mulai marah. Kami pun bertengkar kembali dan saling lempar cat, hingga lantai dan tembok ruangan itu blepotan penuh cat membentuk lukisan-lukisan abstrak yang tak dapat dijelaskan. Aku terbiasa mengalah pada kawan-kawanku, karena mengingat umurku paling tua dan aku tinggal paling lama di asrama. Akhirnya aku putuskan untuk tidak berhubungan dengan bayu dalam melukis apapun, pendapatnya yang ngawur dan ingin menang sendiri, sering membuatku kesal.
Aku benahi lukisanku pada lemari itu, penuh taburan warna acak, penuh goresan luka-luka di permukaan, meyerupai asrama yang aku tinggali.
Ada sepotong lukisan yang tidak dapat aku tuangkan pada lemari, ada perasaan sunyi yang tiba tiba menyergap diriku, tubuhku menggigil dicengkram rasa benci dan dendam. Lalu aku mengurung diri di kamar mandi, untuk melewati kepenatan yang merubung kepalaku. Sebab di luar pun aku masih dikurung oleh pagar tembok yang tinggi. Berjam-jam aku sendiri di kamar mandi, tapi tak seorangpun yang peduli, hanya untuk sekadar mengetuk pintu buang air kecil atau mendobraknya karena menahan tinja, kurasa mereka mengira aku ingin bunuh diri? setelah melihat perkelahianku tadi pagi dengan bayu.
Akupun meronta menghujat Tuhan dan mendobrak pintu, lalu melompat pagar, berlari melepas diri dari takdir yang tidak bersahabat. Tuhan rasnya tidak adil kepadaku, kenapa Ia ciptakan aku dalam bentuk seperti ini.aku tak dapat bicara bahkan menyusun kalimat seperti kawan-kawanku yang normal.
“Pasti kau akan kembali untuk mengambil lukisanmu” ujar bayu yang tiba-tiba mengejarku dengan sepeda buntut. Rupanya bayu membuntutiku. Bahkan mengawasiku sejak dari kamar mandi.
Akupun kelelahan berlari sedemikian jauh.Kurebahkan diri pada sebuah lincak di pinggir jalan.kulihat samar-samar bayu tetap memburuku, hingga aku pun tak dapat menolak kehadiranya menemaniku. Ada sesuatu hal yang ingin disampaikanya.tapi karena terlalu lelah ia pun urung menyampaikannya. Ia tetap diam bahkan menyelonjorkan kakinya lalu rebah di sampingku.
Kami berdua sangat lapar dan haus. Tapi tak sepeser pun uang yang tersisa di kantung celana sebab sudah habis kami belikan berbagai cat dan kanvas untuk keperluan melukis. Sebenarnya kami mendapat beasiswa yang cukup besar, tapi ibu asrama terlampau rakus dan tamak terhadap uang tersebut, sehingga kami pun tak jarang mencuri uang dan peralatan mandi milik kawan sendiri, bila tidak ada kiriman dari orangtua.
Aku dan bayu bersepakat menjual sepeda milik satpam asrama untuk makan dan perjalanan kami. Mencari arah yang tepat, menapaki waktu yang tertutup kabut menelusuri aspal-aspal pecah, menggapai masa depan yang sekian lama hilang. Aku setengah berbisik kepadanya. 
“Kenapa kau mengikutiku?”
“Aku tidak mengikutimu”jawabnya lantang.
”tapi kau berada di sini?”
“aku mengikuti lukisan yang ada dipikiranmu”
Agaknya ia tahu bagian lukisan yang belum kuselesaikan. Tapi aku nyelimur agar dia tidak mengungkit kekurangan lukisan itu.
“Sudah kutuangkan di lemarimu semuanya!” aku coba menegaskannya.
“Masih ada yang kau sembunyikan” bayu memburu.
Aku diam sejenak , rasanya enggan untuk memberitahukan bagian lukisanku yang kurang.
“Aku hanya menyisakannya untuk perjalanaku. Sayap Peri kecil yang sebelah kanan masih belum aku temukan…”
“Ya, itu yang aku cari, sayap Capung yang sebelah kanan”
“Itu bukan Capung.! Capung tidak menghisap sari mawar”
“Peri juga tidak menghisap sari mawar”ia membantah.
“Dia tidak menghisap sari mawar tapi menghirupnya” aku mencoba memberitahunya dengan nada melamban.
Bayu pun terdiam agaknya ia mulai sedikit paham dengan penjelasanku tentang lukisan di lemarinya.
Kami melanjutkan perjalan menyusuri petakan sawah dan gundukan tanah yang cukup luas, hingga menjupai jalan berbatu cadas sebesar kepalan tangan kami. Matahari sangat terik siang itu sampai-sampai beberapa petani berteduh di gubuk-gubuk yang sudah reot,s ebagian kecil hanya meratakan galengan yang banyak ditumbuhi rumput.
Hidup macam apa sesungguhnya yang aku jalani ini? bertahun-tahun dikurung pagar tembok yang cukup tinggi, jauh dari keramaian dan pergaulan, apakah Tuhan sengaja menghukumku sehingga aku dikurung di sebuah tempat yang jauh dari keramaian dikelilingi hamparan sawah dan ladang, agar aku tersadar dari sifat-sifat buruk yang sejak kecil nampak membatu di tubuhku. Tapi aku ingat sekali bapakku yang melakukan semua ini, dia telah membuangku di desa yang terpencil. Karna perbuatanya dengan ibuku, mereka menghindari azab Tuhan lewat diriku, padahal harusnya mereka yang dibuang tapi kenapa aku?. Sejak saat itu aku sudah membuka permusuhan dengan orang tuaku, aku tidak memiliki bapak dan ibu, aku lahir dari rahim Tuhan, dari kesenangan-Nya, lalu aku menjadi bagian dari permainan orang-orang dungu yang tamak dan serakah sebagai bahan eksploitasi untuk keuntungan mereka yang mengabdi pada kebutuhan strata sosial dan eksistensi.
“Hei bagaimana dengan lukisanmu?”aku menyela percakapan dalam pikiranku. Aku lihat sejak tadi bayu termenung cukup lama.
“Sebenarnya masih ada yang kurang dari lukisanku”
“Apanya yang kurang?, cat hitam itu sudah kau tuangkan semua dalam kanvas”
“Papan tulis itu ada kapurnya!”. Bayu menegaskan idenya sambil mengusap hidungnya yang penuh ingus.
Aku hanya terdiam, mengangukkan kepala. Bayu adalah anak yang teridentifikasi sebagai anak yang tuna laras dan retardasi mental, emosinya tidak stabil sehingga sebaik mungkin aku menghindari pertikaian sekecil apapun, untuk menjaga perasaanya yang sensitif. Sementara aku sendiri adalah anak yang Tuna rungu wicara.
Kami berteduh pada sebuah pohon rindang untuk istirahat sejenak, dan menyantap sebungkus pecel yang kami beli di warung pinggir jalan. Kami menghisap putung rokok yang dipungut bayu dari permukaan aspal. Asap tebal membumbung ke udara, menggapai gundukan awan yang menutup sebagian langit, mataharipun masih buas memancarkan sinarnya.
Sekian lama kami tak membuka pembicaraan. Aku sibuk dengan berbagai macam warna-warna di kepalaku, tentang lukisan, permusuhan dan masa depan. Terkadang aku berharap untuk hidup secara normal dengan orang lain, tapi dengan keterbatasanku, rasanya merekapun sulit menerimaku. Terlebih bayu, ia sendiri sudah menjual dua sepeda selama di asrama, dan beberapa teman-temanku juga sering berdarah-darah karena kelakuanya. Aku hanya bisa berharap dan selalu berharap, agar dendamku dengan kedua orang tuaku hilang sama sekali dalam pikiranku.
“Nah, ketemu! Kapur tulis itu ada dikantor dan masih terbungkus di dalam kotak” Aku tersentak dengan ucapan bayu yang sempat nyaring di telingaku, tapi aku tak menanggapinya dengan serius.
Seharusnya aku lebih dewasa untuk menyikapi nasibku yang sudah digariskan oleh Tuhan. Dia menempatkanku di komunitas yang aneh, terkadang aku merasa lebih hebat dan normal seperti Satpam asrama, tapi tetap saja aku sejenis dengan mereka.
“Bagaimana meletakkan kapur itu dekat dengan papan tulis” kembali bayu menyela lamunanku.
“Letakkan saja di sampingnya “ujarku dengan malas. Bayu mulai berpikir untuk menempatkan kapur tersebut dekat dengan papan tulis. Dia berharap guru-gurunya akan lebih dekat untuk mengambil kapur tersebut jika akan menulis atau menggambar. Ia menggambar sketsa dihamparan tanah di hadapanku, lalu ia mulai mengaduk-aduk kaleng bekas yang ia curi di warung. Sementara aku masih sibuk melayani pertanyaan -pertanyaan yang ada di pikiranku. Sesekali aku membantu bayu untuk meluruskan garis yang menceng di tanah. 
“Ini kurang kayu penyanggah” sambil aku membenahi sketsa bayu.
“Di sekolah kita nggak pakai kayu, tapi pakai tambang sapi!”
Aku hanya tersenyum mendengar penegasanya, sesekali meliriknya yang sedang kebingungan mencari sesuatu. Dia berlari ke tengah lapangan kecil yang ada di depan kami, setelah beberapa menit dengan tergopoh-gopoh dia membawa kantung plastik yang agak berat lalu meletakkannya di depan lukisanya.
“Apa yang kau bawa?”
“Teletong sapi!”
“Untuk apa?” aku mulai penasaran.
“Biar papan tulis ini berwarna hitam!” 
Aku agak terperanjak mendengar jawaban Bayu yang aneh, tapi dengan cepat aku palingkan pikiranku pada objek lain yang lebih penting. Pada lukisan di asrama. Aku hanya teringat sayap Peri yang belum aku selesaikan dalam lukisanku di lemari bayu.
Buru - buru aku berlari sekencang mungkin meninggalkan Bayu dan melepas kebencian dan dendam yang sudah lama mengendap di dadaku. Aku menuju asrama dan mengambil kembali takdirku. Aku ingin tetap bersama temen-temanku yang sejenis. Aku juga sudah menemukan sayap Capung di bawah pohon rindang. (*)

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler