Skip to Content

Permata Haramku

Foto Adri Wahyono

Kehormatan. Ya, aku baru saja memaksa untuk memilihnya! Itu harus tetap ada padaku, pikirku. Walaupun kenyataan sebenarnya, kehormatan itu sendiri telah tak ada lagi, aku tak peduli, aku tak mau ini, aku tak mau !

------

Akhirnya aku mencapai halte, dan beberapa saat aku duduk untuk menunggu taksi. Meninggalkan ruang tadi bukan pekerjaan mudah. Para perawat dan dokter terus berseliweran, sementara keadaan tubuhku begitu kepayahan sekedar untuk maju selangkah.

Taksi berhenti didepanku, dan aku melempar tubuhku begitu saja sesaat setelah membuka pintu. Kelelahan ini hampir tak tertahankan…jiwa dan ragaku menderita.

“Jalan Pak!”

“Kau yakin mau pergi?” tanya sopir taksi itu.

Aku terkejut, tentu saja. Bukannya aku baru saja mengatakan, ‘Jalan, Pak!’ meski aku belum mengatakan kemana tujuanku. Kenapa dia mesti bertanya begitu, kau pikir aku panggil kau untuk apa?

“Kau punya tujuan?” dia bertanya lagi, aneh! Aku punya tujuan? Tentu saja aku punya, kembali ke tempat kost tentunya, kemana lagi? Bukankah mestinya yang dia tanyakan adalah kemana tujuanku, bukan, ‘kau punya tujuan?’

“Saya mau pulang!” sahutku.

“Meninggalkannya sendiri?”

Aku terdiam, ada apa dengan sopir taksi itu, pertanyaannya seakan dia tahu siapa aku dan apa yang tengah terjadi. Mungkin dia berpikir itu bagus dan aku akan tersentuh mendengarnya.

Sopir itu tak bertanya lagi, ia mulai menjalankan taksinya. Aku kembali pada lembar-lembar kusut pikiranku.

“Bayinya perempuan Bu, dia sehat dan cantik!” kata Perawat itu semalam, usai pertaruhan kedua nyawa yang berakhir mengecewakan bagiku. Kecewa, ya, karena aku bahkan menginginkan kedua nyawa ini biarlah kembali saja pada Yang Punya.

Sementara rasa nyeri masih tersisa, setelah apa yang dikatakan sebagai seribu rasa sakit semalam. Seribu rasa sakit yang terkumpul menjadi satu, itu yang pernah aku dengar, dan ada dua nyawa yang dipertaruhkan. Dua nyawa sekaligus, menyisakan rasa nyeri dan kelelahan yang tak terkira.

Aku berharap keduanya tak terselamatkan. Tapi tidak, yang satu tetap selamat dan melanjutkan keruh hidupnya, dan itu aku. Sementara yang lain pun selamat untuk melihat dunia kali pertama.

Perawat itu menyerahkan bayiku ke pangkuanku. Aku merasa ketakutan, dan aku sadar mataku masih terus mengalirkan air dengan deras. Perawat itu tersenyum, mungkin dia berpikir aku tengah bahagia. Dia tak tahu, kalau aku tak menginginkan ini. Tidak keadaan ini, bahkan tidak bayi ini!

Sepasang matanya bening biru dan tampak berselaput, kedua bola mata itu bergerak-gerak, bibirnya yang mungil kemerahan seperti mengecap sesuatu.

“Ibu akan memberikan ASI eksklusif nanti setelah beberapa jam,” kata perawat itu lagi dan tetap dengan senyumnya.

Menyusuinya? Tidak! Aku tidak mau!

“ASI pertama mengandung kolostrum terbaik untuk kekebalan tubuh dan daya tahannya, dan sangat berpengaruh untuk tumbuh kembangnya nanti!”

Rasanya seperti mau gila mendengar ocehan perawat itu, dan seperti ingin menamparnya. ‘Kau pikir aku akan melakukannya ? kau pikir aku bahagia dengan ini ? kau bahkan tak tahu bagaimana menderitanya aku karena bayi ini terus tumbuh dalam rahimku tanpa pernah aku inginkan ? kalau saja kau tahu bagaimana laki-laki yang kucintai itu telah memperdayaiku untuk menanam benih di rahimku, dan setelahnya dia memberikanku pada mereka untuk mereka perlakukan aku seperti binatang tak berharga, kau tak akan mengatakan itu!

Ucapan itu hanya menggema di dinding hatiku sendiri. Saat itu juga aku mulai memikirkan untuk meninggalkan bayiku disini. Biarlah mereka yang akan merawatnya, siapapun dia, terserah!

------

“Kau akan tetap meninggalkannya?” tiba-tiba dalam laju taksinya, sopir itu bertanya lagi. Membuyarkan segalanya yang lalu lalang dan riuh rendah tak keruan. Sepasang mata bening dan bibir kecil mungil kemerahan itu, detik-detik seribu rasa sakit. Laki-laki yang kucintai yang melemparkanku ke dalam neraka dunia yang mengerikan itu.

“Kau, siapa?” tiba-tiba aku bertanya begitu, dia terlalu aneh bagiku karena terus dengan pertanyaan yang menghadirkan pertanyaan dariku, bukan jawaban.

Taksi tiba-tiba berhenti!

Sopir itu menoleh kebelakang, melihatku.

Astaga, dia seorang perempuan! Aku hampir tak percaya. Tapi dia memang perempuan, dan wajahnya putih bersih bersinar-sinar. Sepasang matanya indah dan bibirnya mengulas senyum manis, membuatnya wajah itu terlihat teduh.

“Meskipun Tuhan memberikannya dengan cara seperti itu, tapi itu adalah permata bagimu. Jangan sampai kau menyesal karena menyia-nyiakannya,” kata perempuan berwajah teduh itu, si sopir taksi.

Bagaimana dia bisa tahu?

“Kau tahu apa yang terjadi padaku?”

Perempuan itu tersenyum lagi. Oh, Tuhan! senyum itu tampak menyenangkan, dia mengangguk. Aku menangis seketika tanpa tertahankan.

“Menangislah selagi masih berguna.”

Aku beranikan untuk bicara, agar dia berhenti menceracau. ” Kau pikir apa yang akan kau lakukan jika ini terjadi padamu?”

“Kau akan dilewatkan ketika Tuhan tahu kau takkan mampu menghadapinya, dia tahu persis tentang kau, maka diberikannya permata itu padamu.”

“Kau tak sedang mengatakan ini adalah hadiah bukan?” aku bertanya. “Orang mengatakan ini sebagai takdir yang mengerikan. Entah apa yang Tuhan inginkan padaku, seperti tak puas-puasnya aku diberikan-Nya penderitaan yang silih berganti, tapi kau bicara seolah-olah ini mudah, kau akan memilih mati ketika ini terjadi padamu!”

“Mati bukan pintu keluar dari masalah, tapi masalah baru yang tak pernah ada jalan keluarnya, ketika kau meninggalkan setumpuk dosa!”

“Siapa yang peduli? Aku rasa neraka lebih baik bagiku!”

“Kau akan memilih neraka saat kau masih mungkin memilih surga?” bicara apa dia, seakan pernah melihatnya saja.

“Sekarang pun aku sudah ada di dasar neraka, apa bedanya?”

“Pikirkanlah, kau masih berada di tempat dimana tersedia begitu banyak pilihan, itu tak akan pernah ada di balik tirai yang dinamakan kematian, surga atau neraka di tempat ini tak pernah berbanding dengan yang ada di balik tirai. Surga atau nerakamu nanti adalah pilihan yang kau tentukan disini, Tuhan tak memilihkannya untukmu, tapi menyediakannya untuk memberimu pilihan, karena Tuhan tak pernah memaksakan.”

“Pilihan? Tidak! Hanya neraka yang tersedia untukku!”

“Tuhan memberikan semuanya, tapi Tuhan bukanlah penuntut! Dia tak pernah memaksakan kita harus memilih. Tapi kau tahu, Dia akan melakukan segala cara agar kau memikirkannya kembali saat kau salah memilih, dan Dia membuka jalan dengan gembira ketika kau memilih dengan benar, dan sekalipun tak pernah keberatan untuk membantumu, meski kau pernah salah menentukan pilihan!”

Aku diam, dan untuk beberapa saat lamanya, hanya deru mesin yang terdengar.

”Anakhon hi do hamoraon di ahu!” kata perempuan berwajah teduh itu lagi. Entah siapa dia, dan apa arti kata yang barus saja di ucapkannya.

“Aku tak mengerti kata-katamu!”

“ Anakku adalah hartaku yang paling berharga, itulah artinya!” katanya lagi. “Apa yang akan kau pikirkan ketika kau tahu bahwa Ibumu meninggalkanmu seperti yang kau lakukan pada bayimu?”

“Orang akan mengatakan, bayiku sebagai anak haram!”

Sekali lagi perempuan itu memandangku. Harus ku akui, aku senang melihat tatapan dan senyumnya.

“Tak ada yang haram jika kau lihat itu sebagai pemberian dan anugerah dari Tuhan! Dia punya ketentuan-Nya sendiri, jangan pernah salah untuk melihat dan menyebut sesuatu yang Tuhan berikan!”

“Meskipun bayi itu ada karena orang yang ku cintai memperdayaiku dan memberikanku pada mereka untuk diperlakukan sedemikian hina?”

“Yakinlah, Tuhan selalu punya rencana sendiri yang kita tak harus tahu, Dia ingin melihatmu mampu memilih dengan benar apapun kenyataannya. Kau tahu, kenyataan seperti lembar-lembar tes yang diberikan guru disekolahmu, itu untuk kau selesaikan dengan baik, bukan untuk kau tinggal pergi, kecuali kau memang benar-benar tak ingin mendapatkan apa-apa!”

Aku terdiam,entah kenapa  wajah teduh dan kata-kata sopir taksi itu menjadi seakan aroma menyejukkan yang merasuk perlahan. Menenangkan hatiku, mengentas perih dari luka-lukaku. Tadi aku enggan mendengarnya, tapi kini aku menghirup saja dalam-dalam aroma sejuk dari kata-kata itu.

Taksi kembali melaju, dengan perempuan itu diam sekarang. Aku masih terus memikirkan kata-katanya.

Kembali sepasang mata biru yang bening dan berselaput dan bibir mungil kemerahan bermain-main di ujung mata…memanggil-manggilku untuk kembali.

Aku akan kembali, ya! Aku harus kembali, permataku ada di sana. Permata yang sejak semalam aku putuskan untuk kutinggalkan.

------

“Antarkan aku kembali!”

Perempuan berwajah teduh itu kembali memandangku, memberikan senyuman manis.

“Kau sudah sampai!” katanya sambil menunjuk keluar jendela taksi.

Aku terkejut…rasanya tadi sudah begitu jauh berjalan. Tapi kenapa tiba-tiba sudah tiba lagi didepan Rumah Sakit ini?

Aku bergegas turun dan memandang tak percaya. Bagaimana mungkin? Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Ya, ini memang Rumah Sakit yang baru saja kutinggalkan tadi, tempat aku melahirkan bayiku semalam. Ah, perempuan berwajah teduh, si sopir taksi itu mestinya bisa menjelaskannya, apa yang terjadi.

Tapi tidak! taksi yang baru saja kunaiki itu pun tak terlihat ketika aku menoleh padanya, sementara keanehan ini belum dijelaskannya, dan aku belum membayar taksinya. Kenapa dia pergi sebelum dia menerima hasil jerih payahnya? Secepat itu dia pergi ? Siapa dia

            “Mari Bu,” tiba-tiba.

Perawat itu telah berdiri dibelakangku. Dia telah tahu aku akan datang lagi untuk bayiku ? aku semakin bingung.

“Saya mencari Ibu kemana-mana,” dia mencariku?

Aku mengerti sekarang, aku mungkin baru saja membuat kehebohan.

“Ehmmm…saya harus mengambil uang di ATM!” aku beralasan.

“Kami baru saja merasa panik, karena Ibu pergi tanpa sepengetahuan kami.“

Benar, aku baru saja ingin lari, tapi sopir taksi berwajah teduh itu mengantarku lagi kesini.

Perawat itu memapahku berjalan kembali ke dalam, dimana pemilik sepasang mata yang biru bening tengah tertidur nyenyak sekali. Aku menggendongnya lagi dan menciuminya sepuas hatiku.

“Maafkan Mama, sayang,” ucapanku tercekat, dia tertidur dalam senyumnya. Senyum yang sama dengan yang di ulas perempuan berwajah teduh yang mengemudi taksi.

“Mama akan ceritakan tentang perempuan itu sayang, ketika kau besar nanti dan kau telah cukup mengerti. Entah siapa dia…tapi benar apa yang dikatakannya, kau adalah permata Mama,” ucapku dalam hati.

Perawat itu tersenyum. Aku senang melihatnya.

“Benar, aku menemukan setitik kebahagiaan malam ini, diantara sejuta penderitaan ini, andai kau tahu bagaimana itu kudapatkan. Katakan semua yang harus aku lakukan untuk permataku ini.”

Menyusuinya? Dia akan mendapatkannya suster! Mendapatkan semuanya yang terbaik yang berhak dia dapatkan. Aku akan melakukan segalanya untuk dia. Melindungi dari hinaan orang nantinya.

Mungkin orang akan mengatakan ini sebagai anak haram, tapi aku telah melihatnya sebagai permata hatiku, meski Tuhan memberikannya dengan cara seperti itu. Aku percaya bahwa dia adalah permataku, dia lahir  karena aku menjadi korban, bukan karena perbuatan yang dengan sadar aku lakukan.

Hanya saja, aku masih menyembunyikan kehadirannya, sejak sembilan bulan lalu hingga malam ini dari kakek neneknya, dan aku tak tahu apa yang akan terjadi nanti ketika mereka tahu tentang permata yang lahir dari lumpur hitam ini…

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler