Skip to Content

PERNIKAHAN di SURGA (Part 1)

Foto Mangun-Kuncoro

Hulu Kesunyian

-September, 2012-

            Ku ayunkan pena ini, demi mengukir peristiwa abadi. Terasa lelah, namun indah. Merintih tak sakit; tertawa tak bangga, Rasaku. Aku bagai meja usang yang siap kau tendang. Melayang berhamburan taktentu, menerawang rasa. Kata orang: Mencintai itu, menyatukan kedua sisi yang berlawan; memadukan kehendak hati menjadi jalinan yang teramat indah, berwarna.

            Itu kata orang, namun aku selalu menempati sisi sebaliknya. Usia yang genap 23 tahun menjadikanku minder untuk mengenal cinta. Aku tau, dan aku yakin; Allah tak akan mengurung umatnya melebihi batas kemampuan. Tapi, hingga kapan? Haruskah selalu ku tertatih meniti iba dari wanita-wanita di muka bumi ini, menyayat hati atas ucapan penolakan yang berujung duka.

            Kata orang: rindu dan kesabaran itu saudara, beda tipis malah. Jika mampu bersabar maka rindu itu akan bermuara. Tapi, nampaknya tidak untuk ku maknai, 23 tahun aku meniti kehidupan, merangkai seluruh cita-cita, menepis segala resiko dalam sejarah perjalanan hidupku. Tapi berakhir sama, rindu tak bermuara pada hatiku; berujung pada cinta bertepuk sebelah tangan; menyisakan ruang kesunyian teramat menakutkan.

            Satu lagi, kata orang terkadang kita butuh kesunyian, walau terkadang kesunyian itu membuat kita menangis. Ah, itu menyakitkan juga jika ku fikir. Memojokkan hati pada perenungan yang menyiksa, meronta, mengeluh. Ah, sumua akhirnya membunuh keberanian.

            Malam ini, biar ku habiskan semua perunungan ini, perenungan atas kesunyian yang membawaku memaki hidupku, setidaknya aku lega bercengkrama dengan Allah atas karuniannya ini. Dan lega dengan berjuta kata bijak dari sahabat-sahabat karibku: kamu itu bukannya tak laku, hanya belum waktunya; kamu itu masih dijaga kesuciannya dari maksiat; kamu itu…; kamu itu… ah, itu lagi-lagi kata-kata pelipur lara. Teramat sering aku mendengar dari orang-orang yang bernasib mujur, tak seperti aku.

            Malam ini, terduduk aku diatas loteng tertinggi Pondokku, malam ini begitu teramat sunyi. Akhir libur lebaran masih tiga hari kedepan. Belum ada seorang santripun yang kembali menjejakkan kaki di pondok. Aku sengaja tak pulang lebaran tahun ini. Karena mungkin ini lebaran terakhirku sebelum aku benar-benar melangkah mengarungi kehidupan yang lebih jauh.

            Aku ingin mengenang semuanya malam ini, di sini, di atas loteng tertinggi pondokku. Mungkin akan ku tumpahkan berjuta liter airmata malam ini, atau bahkan aku menyayat nadiku, untuk menghentikan denyutnya, atau iseng sengaja loncot dari atas loteng. Ah, itu terlalu hina untuk kulakukan. Walau aku tak setinggi Rabiah Al Adawiah dalam memaknai cinta, namun aku santri, masih punya Allah di atas segala-galanya. Setidaknya tak kurelakan nadiku tersayat oleh beling cinta yang selalu membuat serpihan tajam. Aku hanya ingin mengenang, yah, hanya sebatas mengenangnya. Dan perlahan cinta akan membunuhku tanpa harus kulakukan hal nista.

            Angin berhembus kencang malam ini, pamungkas musim kemarau selalu membawa angin kepedihan setiap detiknya. Mengobral virus penyakit menikam jiwa-jiwa yang lemah, ekstra hati-hati. Lengah sedikit angin menusuk memporak-porandakan dinding hati yang makin melemah ini.

            Senyap tak berarti, kesunyian yang membawa perenungan hati nan dalam, meranana atas kasak-kusuk ulah lidah yang tak bertanggungjawab. Menjadikanku harus bertanggung jawab atas sumua ini.

            “ Mengapa aku terlahir tak tampan, atau sedikit molek sehingga mata terpana melihatku.” Dalam diam aku memamiki diriku, bukan memakiNya. Biarkan kata-kataku menyayat hatiku sendiri. Jika tak dosa mungkin aku telah meremuk hatiku, atas ujung derita yang kini melemahkan fungsi organku.

            Suara lagu yang kuputar melalui hand phoneku sayu, lagu kesedihan dengan perenungan tertingiku, nelangsa.

 

Senyum Misterius

            Ku mulai membuka binder kesayanganku. Seluruh kisahku aku tuliskan di sini, mulai aku mengenal arti perjuangan cinta. Saat itulah aku menulis kisahku. Binder usang, seusang orangnya. Bertahun-tahun menantikan sebuah keajaiban. Biarpun usang namun begitu berarti di kala hatiku dirundung pilu, menggoresnya bahkan merobeknya. Kumulai dari halaman pertama: Foto sesosok mungil lugu, berjilbab dengan bibir tersunggingnya begitu manis. Ah, itu cinta pertamaku. Hasil jepretan tustel klise, mampu mengabadikan kisahku. Meski telah tertimbun lama di sanubariku.

            Dika, itu namanya. Kayak cowok memang, awalnya aku juga berfikiran sama. Eh, ternyata itu Cuma nama panggilannya, nama aslinya Fitria Ardika Sari. Nah, itu sosok yang mampu membuatku tertegun, mampu merasakan sesuatu aneh atasnya. Cinta, ya kata itu yang mampu kufahami ketika rasa itu kupelajari. Seharian penuh aku menanyakan tentang nama dan makna rasa itu, hingga di ujung usangku kakak cewekku memberi gambaran atas rasa itu.

            Lucu, asmara anak kecil yang belum mengerti sepenuhnya atas makna mencintai. Kesimpulan sederhanapun tercetus olehku: mencintai itu, ketika kita bisa saling menebar senyum, bangga bisa memandang walau sekilas berlalu.

            Ani, ini kakak tertuaku. Ngebetein sih, tapi aku sering bercerita tentang Dika padanya. Walau kakak sering mengetawakan ceritaku. Tapi, setidaknya dia mau dengerin ceritaku. Awalnya aku takut juga dimarahi kakak. Eh, ternyata kakak nyantai aja, bahkan tak melarangku. Mungkin kakak juga melakukannya, pacaran bahasanya, ia kan masih duduk di banggu kelas tiga SMU, fikirku.

            Ujung senja pantai dekat rumahku, merenung, diatas kayu besar pinggir pantai. Sayu mataku memandang mentari bersorban langit jingga mengepung ufuk pantai. Kemilau keemasan cahayanya memantul menerpa wajahku. Menyringai, bengis aku memandang keelokan alam ini. Lagi-lagi aku terusik rasa itu, wajah mungil nan manis Dika bermain di anganku. Pikiranku hanya satu: kapan ya aku bisa memilikinya, menikah seperti ayah dan ibuku.

            Tadi selepas sekolah aku melihatnya, berpapasan. Namun aku tertunduk malu, diapun begitu. Kelasnya tak sama, aku di kelas A dia di B, lagian kita juga belum banyak mengenal. Maklum baru dua minggu aku menjalani sekolah menengah pertama. Dulu kita tak se-SD, jadi tak mengenalnya. Di MTs aku juga tak banyak bergeming, hanya berkumpul dengan temen-temen se-SDku dulu.

-September, 2003-

            Masih ku rekam jelas dalam benakku. Kusimpan indah dalam sudut hatiku yang paling dalam. Kala itu, aku dan selembar kertas membungkus keindahan. Bimbang-bimbang, aku ragu. Menuliskan syair cinta untuk yang pertama kalinya; seluruh rasa menguak membuta. Harus kumulai dari huruf apa? Harus ku awali dengan kata apa? Seluruh pertanyaan menggantung tak tentu, sementara wajah Dika selalu bermain dalam anganku. Tersenyum tipis mengembang indah. Ingin aku merengkuhnya.

            “ Kalau adek beneran cinta, ungkapin dong!” sapa kak Ani, buru-buru aku sembunyikan semlembar kertas yang baru kutulis satu kata salam.

            “ Ah, kakak. Bikin kaget aja. Jadi malu ni.”

            “ Ngapa mesti malu ma kakak, cowok itu harus jentel, berani.”

            “ Tapi kak, kalau ditolak gimana?” ucapku melas.

            “ Apapun resikonya, harus berani. Percuma dong jadi adeknya kakak, lo cemen gini.” Ledek kak Ani memalingkan muka. Berlalu begitu saja. “ Satu lagi, cewek itu paling suka dengan cowok yang terus terang. Berani mengungkapkan isi hatinnya.” Lanjut kak Ani berlalu menghampiri ibu di dapur.

            Masak sih cewek suka ma cowok yang terus terang? Apa iya? Kak Ani ada-ada aja. Tapi, benar juga ya, kak Ani kan cewek. Perasaan Dika mungkin sama ma Kak Ani. Ah, semoga kak Ani gak bohong ma aku. Tapi, hati ini masih teramat bimbang. Aku memang cinta ma Dika, tapi apa aku siap jika Dika tak menerima aku. Hingga detik ini pun aku belum tahu pasti tentang hati Dika. Yang aku tahu dia selalu senyum jika kita bertemu, saling menyembunyikan muka jika kita berpapasan. Apa itu juga berati Dika cinta aku? Atau apa hanya aku yang mengartikan berlebihan.

            Sudah hapir tiga bulan aku perhatiin Dika. Sejak awal sekolah masuk hingga kini. Belum terlalu lama sih, tapi cukuplah untuk meyakinkan bahwa rasa ini benar-benar rasa suka. Teman-temanku sering mengolokku dengannya. Hampir tiap detiknya malah: ada yang bilang mukanya merahlah kalau ketemu, ada yang bilang hatinya dag-dig-dug lah jika berpapasan. Dan segudang canda mereka untukku. Tak salah memang, terkadang aku kikuk jika menyapa Dika, bak orang begok mendadak gitu. 

            “ Buruan diungkapin!” kak Ani mengejutkanku.

            “ Ah, kakak ganggu aja.”

            “ Adek kakak yang ter-sayang. Kan udah kakak bilang, adek kakak harus jadi pemberani. Jangan ciut nyali dong. Entar Dika-nya diambil orang lho..” ah, kak Ani semakin membuatku khawatir yang berlebih. Takut juga kalau Dika diambil orang.

            “ Ya, makanya kakak pergi sana, jangan di kamar adek. Jadi bingung mau nulis apa?”

            “ Ye, kakak kan cuma ngasih saran. Kok malah ngusir.” Muka kak Ani manyun. Sengaja memancingku marah.

            “ Ma-ka-sih a-t-a-s sa-ra-n-nya, kakakku ter- sayang. Sana buruan pergi. Kalau nggak, adek teriak lho: I-b-u… kak Ani ganggu adek.”

            “ Iya-iya. Hu… dasar cinta monyet.”

            “ Biarin…”

Kembali ku menyapa kertas yang telah ketulisi sepenggal kata salam. Menguatkan hati, atas kebimbangan yang tak menentu. Cowok itu harus berani menanggung semuanya, apapun jawaban Dika, yang penting kamu telah mengungkapkan isi hatimu. Kayaknya kali ini aku harus nurut kak Ani.

Perlahan kembali ku ukir pundi huruf pada kertas ini, menyusun bait kata utuk mewakili rasaku. Apapun resikonya, aku siap menanggungnya.

* Dika jika kau izinkan, ingin rasanya kuceritakan semua perjalananku mengenalmu. Biar engkau mengerti sedikit cerita yang terselip di hatiku ini… aku tak tahu, apa kata ini mempan untuk meluluhkan hati Dika. Tapi, masa bodoh. Inilah yang kurasa saat ini, inilah keinginanku saat ini.

* Namun, rasanya tak mungkin, terlalu banyak cerita indah yang tak mungkin ku tulis satu per satu. Mungkin lain waktu aku akan menuliskan semuanya untukmu atau kuceritakan langsung melalui tatapan mata tanpa isyarat.

* Dika, nampaknya aku harus jujur mulai detik ini; melalui goresan pena yang tak berarti ini. Dik… kalau aku boleh jujur; aku men-cintai-mu. Sejak awal aku bertemu denganmu. Aku tak tahu: apakah kau juga mencintaiku. Yang jelas aku merasakan cinta itu di hatiku. Aku harap kau memberi jawaban atas cinta ini. Aku mulai tak yakin dengan kata-kataku. Bimbang itu mulai menyelimutiku kembali. Aku takut; ketakutanku ini akan menjadi nyata. Memporak-porandakan isi hati yang telah membumbung tiga bulan terakhir ini.

            Kuayunkan langkahku menuju kamar kak Ani, sembari menenteng surat cinta yang selesai kutulis.

            “ Kak, dibaca dong!”

            “ Kok jadi kakak yang baca, surat ini kan buat Dika.”

            “ A-y-o-l-a-h kak.” Rengekku.

            “ Iya adekku ter-sayang, sini kakak koreksi.” Tak lama kak Ani mengeryitkan keningnya. Terlipat tiga. Jelek. Mungkinkah tak pas kata-kata itu buat Dika?

            “ Kenapa kak: jelek, lucu….?” …dan segudang tanya untuk kakakku.

            “ Adek belajar dari sapa…?” Dagu kak Ani terangkat. Menatap curiga atasku. Aku pun tersenyum manyun. Mungkin kak Ani mulai faham, kalau aku mengambil surat cinta dari cowoknya dan kupelajari.

            “ Indah-kan..?” Kusabet lagi kertas di tangan kak Ani. Melecit meninggalkan kamar kak Ani. “ Jauh lebih indah dari kata-kata cowok kakak kan…?” Godaku.

            “ Dasar, cinta monyet….”

            “ Biarin….” Teriakku.

***

            Hari ini hari senin, awal pekan minggu kedua bulan September. Seperti layaknya sekolahan seluruh Nusantara. Jika hari senin, upacara bendera berlangsung pagi sebelum jam pelajaran dimulai. Mengenang jasa pahlawan yang penjuangin bangsa ini dari penjajah. Menghargai setiap titik darah pengorbanan yang terabadikan hingga detik ini dan hingga kapanpun itu.

            Perjuangan kecillah bagi kami, jika hanya upacara tiga puluh menit saja, bangun pagi-pagi; Sekuku hitam para pahlawan jika dibandingkan. Tapi, inilah bentuk penghormatan kami, untuk para pendahulu negeri, setidaknya beliau tersenyum tipis melihat semangat yang menggebu pada diri penerus bangsanya. Kan ku kenang wahai bunga putera bangsa… serentak kami teriakkan dengan penuh khidmat.

            Aku berada di barisan terdepan kelasku. Senin ini, petugas upacara kelas B, jadi kelasku hanya sebatas peserta. Sekolahanku juga belum ada kelas dua dan tiga, karena kami angkatan pertamanya.

            Pembacaan teks Undang-Undang Dasar 1945…

            Suara protokol upacara melengking, seorang maju satu langkah dari tempatnya. Hem, bidadari tersayangku ternyata yang membawakan Undang-Undang. Dengan sigap dia membacanya tanpa teks, wow…menakjubkan, dia ternyata hafal teks itu. Jadi tersipu malu aku ma Dika. Dia jauh lebih hebat ketimbang diriku.

              Ujung upacara, bimbangku semakin menjadi-jadi. Surat cinta yang kubuat semalam rasanya tak jadi kuberikan. Berjuta pertanyaan menyekal menghalangi, apa Dika mau sama orang yang lebih bodoh darinya? Apa Dika bisa menerimaku apa adanya? Ah, semakin ciut nyali ini untuk sekedar merenungkan. Bahkan aku tak menghiraukan senin bersih yang digelar selepas upacara. Terdiri tak bermakna di ujung lapangan.

            “ Fahmi, kok malah bengong. Kan waktunya senin bersih, biar sekolahanya Nampak indah.” Sapa pak Aziz, memecah kengerianku. Terlihat teman-teman sedang asyik memungut sampah di seluruh halaman sekolahan. Terlihat wajah Dika tersenyum padaku dari arah depan kantor. Menjinjing bak sampah, melintas begitu saja.

            Kegiatan bersih-bersih di sekolahanku dilakukan seminggu dua kali: senin bersih dan jum’at bersih. Biasanya kami saling canda di selah-selah itu. Kegiatan ini rutin setiap minggunya. Menyisakan sepuluh menit untuk penanaman cinta terhadap lingkungan, kebersihan, keindahan. Pak Aziz sering menghibur kami supaya gak malas ngelakuinnya. Selalu diiming-imingi sesuatu malah. Kebersihan itu sebagian dari Iman lho, anak-anak…sapa yang yang rajin nanti dapat nilai plus dari bapak.

            “ Maaf Pak.”

            “ Kamu sakit Fahmi…”

            “ Nggak Pak…” Berlariku nimbrung teman-teman yang sedang asyik membakar sampah di belakang sekolah. Meninggalkan pak Aziz yang masih geleng-geleng kepala.

            Dua kali empat puluh lima menit berlalu, tiga bel berdering. Serentak wajah lusuh di kelas kami berbinar.

 

            “ Bu, istirahat..” celoteh diantara kami.

            “ Ya, kita istirahat dulu, nanti dilanjut lagi. Assalamualaikum.” …dan berlalu.

            Berebut pintu, keluar lebih cepet. Canda terlintas di antara kami. Saling ejek, jahil, dan berjuta rasa indahnya persahabatan. Di kantin belakang anak-anak berjubel antri. Mengisi perutnya masing-masing. Riuh suara mereka memecah kesunyian hatiku. Rasa bimbang itu perlahan musnah. Surat itu masih tersimpan rapih di saku bajuku. Menunggu waktu-tepatnya menguatkan nyaliku.      

             Tengah candaku dengan teman-teman. Sosok Dika melintas di antara kami, senyum itu terlepas. Aku bagai begok mendadak, kikuk salah tingkah tak terkendali.

            “ Suit….suit…ada yang dag-dig-dug-dar ni hatinya…”

            “ Apanya…” Elakku.

            “ Ayo jangan disia-siakan lho, entar dipatok ayam…hehehe” ledek serempak teman-teman. Sementara aku masih terdiam menahan kikuk mematikan.

            “ Dik…!” Sapaku pelan.

            “ Ceile,,,,,,,, kayaknya kita harus pergi ni” Goda teman-temanku semakin menjadi. Mengangkat pundak mereka kemudian berlalu. Sementara Dika menoleh sembari mengangkat dua bibir manisnya.

            “ Iya bang, ada apa.” Hatiku semakin gemetar mendengar kata-kata itu, ciut nyaliku semakin menjadi. Berani-tidak, hanya itu di benakku.

            “ Ada waktu sebentar buatku?” Perlahan kuberanikan diri…

            “ Iya, kenapa bang, ada yang penting.”

            “ A-K-U…hanya mau ngasih ini untukmu.”

            “ Ini buat Dika?” Potongnya pendek.

            “ He’em…”

            “ Makasih bang…”…berlalu, nampaknya Dika faham isinya, berlalu datar begitu saja. Ah, masa bodoh, yang penting aku telah melakukan kejujuran rasa ini. Dan aku akan menunggunnya.

***

            Seminggu berlalu dingin, melihat sosok Dikapun hatiku merasa begitu nyaman. Seakan tak ada gemelut di hatiku. Hingga detik ini pun belum kujumpai selintas jawaban yang pasti dari diri Dika. Yang pasti dia hanya tersenyum ketika ku sapa; apakah itu jawaban atas kata cinta yang ku untai untuknya. Atau hanya sebatas pelipur pengharapanku.

            “ Met malem, adek-nya kakak ter-sayang.”

            “ Ah, kakak ganggu aku aja, sana pergi.”

            “ Ih… jadi marah…” kak Ani semakin menggodaku. “ Kok wajahnya murung?, mikir Dika ya, tu jerawatnya mula muncul; jerawat Dika ya?” semakin parau kak ani menggodaku.

            “ Apaan sih.” Alisku mulai terangkat, benar marah. Tiba-tiba kak Ani malah mengecup keningku.

            “ Met ULTAH adek-nya kakak ter-sayang.” Oh, ya. Aku baru nyadar kalau malam ini detik-detik aku menyambut ulang tahunku yang ke 13. Hem, kak Ani memang yang terbaik buatku; meski nge-betein.

            “ Eh, hampir aku lupa. Makasih kakakku ter-sayang.”

            “ Kebanyakan mikir Dika sih, lihat apa yang kakak bawa!” kulihat lipatan kertas di gengaman kak Ani, semakin aku penasaran.

            “ Apaan tu?”

            “ Ta-ra-ra… surat dari Dika.”

            “ Kok ada di kakak?”

            “ Tadi sore Dika nitipin ke kakak.” Buru-buru aku sabet genggaman itu, selaras dengan wajah binarku. “ Eh, main serobot aja.”

            “ Dah gak sabar, dah kakak sana pergi, adek mau baca.”

            “ Ih… jadi ngusir, bukannya terimakasih. Dasar cinta moyet.”

            “ Biarin, dah sana pergi, lo gak adek teriak lho.”

            “ Hu… Cinta moyet.”

             Perlahan aku membuka, rasa bimbang menghantui sekujur tubuh. Entah diterima entah ditolak, tapi nampaknya hati ini begitu yakin jika diterima.

            * Teruntuk Abang Fahmi,

            * Ingin rasanya mendengarkan segudang cerita bang Fahmi, namun rasanya semua itu teramat janggal; Sebuah keinginan yang hanya ada pada bayang-bayang semu. Melayang tanpa menumukan kejelasan.

* Bang, tak ada gunanya aku berpanjang lebar, toh abang tak mengharapkan itu. Mengumbar kata-kata tak berarti di hati abang.

* Terimakasih sebelumnya, tentang rasa abang ke Dika. Kata-kata abang begitu menghanyutkan. …dan nampaknya jawaban ini yang akan aku beri untuk abang.

* AKU TAK BISA MENERIMA CINTA ABANG, bukan aku tak suka, namun inilah kenyataan hatiku. Tak ada sedikitpun rasa itu bersarang di hatiku untuk abang. Maafkan aku, aku hanya ingin konsen pada sekolahku.

* Sekali lagi, aku minta maaf. Dan terakhir ku ucapkan Selamat Ulang Tahun. Semoga abang mendapatkan orang yang lebih baik dariku.

* MAAF…

            Lamat- lamat aku membacanya, berulang- ulang aku mengejanya. Perlahan airmataku mewakili atas isi surat ini, segudang tanya mencuat di benakku: mengapa, mengapa, dan terus mengapa.

            Malam ini semakin sunyi; sesunyi hatiku saat ini. Malam ini awal aku menyandang usia 13 tahun, malam ini aku terjatuh untuk cinta pertamaku. Adakah kiranya yang dapat mewakili semua ini, sungguh aku tak sanggup untuk sekedar melayangkan rasa. 

            Bising suara kesunyian semakin kucaci, tersungkur aku pada pengharapan yang kosong. Tanpa sadar kak Ani memelukku mesra. Guling ini telah basah. Semuanya telah basah. Hatikupun telah kuyup oleh isak , nelangsa.

            “ Adek kakak ter-sayang jangan sedih, kakak mengerti perasaanmu.” Aku hanya diam tak bermakna. Segudang kengerian ini benar-benar membuat air mataku tak terhenti. Katanya cinta pertama itu indah, katanya cinta itu membuat kita tersenyum jika kita melihat orang yang kita cintai, katanya cinta itu membuat kita melayang mengobral kata-kata sayang. Tapi, mengapa lain. Lain halnya dengan yang kurasakan saat ini.

            “ Kata kakak cinta itu indah?” dalam isak kutagih janji kak Ani.

            “ Cinta itu memang indah sayang, hanya kau yang belum begitu mengerti. Cinta bukan hanya memiliki raga. Tapi, cinta itu kesungguhan rasa. Jika, Adek benar adanya cinta Dika. Ber-sua-lah dengan cintamu itu, meski raganya tak mampu kau rengkuh. Jangan bersedih sayang.” (* Ini, kata pelipur lara untuk pertamakalinya ku dengar semasa aku menyandang usia 13 tahun, tatkala aku terjatuh untuk cinta pertamaku. Kata-kata itu masih begitu indah tertanam dihati, hingga usiaku 23 tahun kini. Kakak, aku sayang kakak, terimakasih untuk semua yang telah kau beri. Kaulah guru cintaku yang pertama, walau sebenarnya kata-kata itu hanya pelipur lara bagiku. Tapi aku tahu kakak tak rela melihat adek bersedih kala itu.)

 

            “ Dika jahat kak.”

            “ Dika gak jahat sayang, bahkan dia telah jujur ke adek. Dika hanya ingin fokus ke sekolahnyakan. Jadi, bukan berarti Dika tak cinta adek. Jika adek masih mencintai Dika, tunjukkan kesungguhanmu. Kembangkan prestasimu. Kakak yakin Dika akan menyukaimu di kemudian hari. Jangan bersedih ya, kau harus tersenyum di hari bahagiamu, meski sulit.”

 

Komentar

Foto mzeins

Ayo semangat tooo mangun

Ayo semangat tooo mangun

:)

indah sekali ..
perjuangkan apa yang ingin menjadi milikmu..

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler