Skip to Content

Pertama Kali Kulihat Papap

Foto Iyus Yusandi

Pertama Kali Kulihat Papap

Oleh Iyus Yusandi

 

Tiba-tiba Mama nanya.

“Mun jauh jeung Mama kuat teu, Win?”

“Teu, Ma.” Jawabku singkat.

“Mau tinggal sama Mama atau sama Papap?”

“Kedua-duanya.”

“Ih, teu bisa kitu lah, ngaco.”

“Iya, lupa.” Jawabku sambil berpikir bahwa indah kali ya tinggal sama Mama dan Papap. Tinggal bersama satu rumah. Senang susah bersama.

 

Mama dan Papap sudah lama berpisah. Sejak aku lahir belum pernah melihat wajah Papap. Mamalah yang selama ini menemaniku. Bahagia dan sedihku hanyalah bersama Mama. Sejak kecil bahkan sampai aku tahun ke tiga di sebuah SMA di kotaku tinggal.

 

Kotaku begitu adem. Kotaku daerah pegunungan alam priangan. Kotaku di kaki gunung Talaga Bodas, yang tak jauh dari pusat kota. Objek wisata kawah Talaga Bodas merupakan salah satu objek wisata pegunungan yang berada di kabupaten Garut . Objek wisata ini merupakan sebuah danau kecil atau talaga yang terbentuk di bekas kawah gunung Talaga Bodas. Kawahnya sendiri masih mempunyai aktivitas vulkanik, namun sudah tidak berbahaya dan aman dikunjungi.

Setiap liburan akhir minggu sering kulihat orang-orang berkunjung ke kawah Talaga Bodas. mereka berlibur bersama keluarga. Lengkap mama dan papa serta anak-anak mereka. Dan aku sering merasa cemburu dengan pemandangan seperti itu. Mereka bersenda gurau bersama dalam satu keluarga. Tetapi aku belum pernah merasakan hal seperti itu.

 

Aku sekarang sedang menghadapi ujian sekolah, sementara ujian hidupku jauh lebih berat. kami yang menghadapi ujian hidup bersama mama sejak aku kecil. Mamaku berdagang untuk menghadapi hidup keras ini. Kadang-kadang pulang dari dagang berkeliling kampung, Mamaku harus mencari tambahan penghasilan dengan membantu mencucikan baju di rumah tetangga sekitar kampungku.

Di sekolah, aku sering dipanggil kawanku Winda. Aku menduduki kelas IPS di sekolahku. Kawan-kawanku sering memanggil Endut, karena tubuhku yang memang gak langsing seperti kawan-kawanku. Tapi tubuhku bukanlah halangan untuk mencari ilmu di SMA.

 

Harapan Winda saat berangkat sekolah, akan senang bila Papap mendo’akan dan mengantar walau hanya melalui pandangan. Saat Winda pulang sekolah,   tiba di rumah disambut oleh Papap. Kalaulah Winda sakit, Papap menghibur atau menjenguk, terus memeluk Winda dengan penuh kasih. Tapi harapan itu hanyalah khayalan semata. Sejak kecil Winda tak merasakan kasih sayang Papap.

 

Saat ini aku sedang menghadapi USBN. Yang pertama ingin Winda rasakan, ada ucapan dari Papap menyemangati Winda untuk ujiannya, dan kedua ingin motivasi dan dorongan Papap dalam segala hal. Utamanya dalam membekali rasa percaya diri Winda dalam berinteraksi sosial. Ingin rasanya  merasakan hadirnya kedua orang tua di lingkungan sekolah maupun di lingkungan sekitar kampungku. Tapi  semua itu hanyalah khayalan semata.  

Sering Winda merasa kehilangan rasa percaya diri dalam pergaulan. Karena Winda merasakan kekurangan. Kurang 1 orang tua yang sering dipanggil Papap.

 

Winda sangat berharap sekali ada perhatian dari sosok seorang Papap. Ada motivasi darinya untuk semangat anaknya.  

 

Winda kini hidup bersama seorang ayah tiri. Dirasakan ayah tirinya alhamdulillah baik, selalu memberi motivasi dan saran kepada Winda. Sehingga Winda menemuka semangat.

 

Terkadang Winda berfikir ko ayah tiri seperti Papap kandung tapi Papap kandung seperti ayah tiri. Winda sering merasakan aneh. Hidup terkadang begitu ironis. Padahal Winda sering berpikir bahwa kebahagiaan anak perempuan ada di tangan ayah kandungnya.

 

Suatu hari saat pulang sekolah. Winda berjalan kaki bersama kawan-kawannya. Keluar dari gerbang sekolah sepanjang 300 meter jalan mulai menurun. Rencana hari ini pulang ke rumah nenek. Tetapi di rumah nenek tak bisa mengerjakan PR, karena buku buat hari esok tertinggal di rumah mamanya. Malam-malam Winda pulang dari rumah nenek sekitar jam 20.00-an.

 

Sejak siang Winda mempunyai pirasat gak enak, tapi Winda malah pergi juga malam itu ke rumah mamanya hanya untuk mengambil buku. Tak lama setelah buku didapat di kamarnya, Winda pun balik lagi ke rumah nenek dibonceng pamannya. Di perjalanan Winda terjatuh karena motor terperosok lubang yang cukup dalam. Harusnya Winda memegang kepada paman tapi entah kenapa Winda terjatuh dari motor. Tangan Winda terluka, bagian kepala terbentur dua kali. Bagian muka sebelah kiri parah lecet, kulit pelipis berdarah. Bagian tangan sebelah kiri lecet-lecet parah dan berdarah. Kaki sebelah kiri pun sama lecet.

Sehari setelah kecelakaan itu Winda merasa putus harapan. Putus harapan takut muka Winda rusak parah.  Terus-menerus dihantui keputusasaan. Setiap kali bercermin, Winda selalu menangis karena melihat wajah Winda yang rusak parah. Setiap malam Winda sering menangis dan sering bertanya kepada mama:

"Mama, apakah wajah Winda akan sembuh? Bagaimana  kalau tidak sembuh, Ma? Winda malu sekali karena wajah jelek kaya gini sekarang." Keluhku kepada Mama di depan cermin.

"Kamu akan baik baik saja. Tetaplah berdoa kepada Allah." jawab mama dengan tenang.

 

Waktu pun berlalu. Hari demi hari, bulan demi bulan pun berganti. Luka di wajah Winda berangsur pulih, bahkan sembuh total. Semua keluarga pun turut bahagia meihat perkembangan luka Winda.

Sudah jatuh tertimpa tangga. Malang tak boleh ditolak, mujur tak boleh diraih. Tidak disangka tiada diduga, satu bulan setelah Winda celaka dari motor, Winda terjatuh saat sedang jalan. Saat itu Winda juga mempunyai pirasat tidak enak, tetapi Winda malah memaksakan berangkat ke sekolah.

 

“Pirasat gak enak ini teh. Hape dimasukan ke tas ah. Takut hape hilang lagi.” pikir Winda sambil berjalan.  "ko, komplek ini sepi banget?" pikir Winda sambil jalan berhati-hati.

 

Di depan rumah bu Mida,  ada tumpukan pasir dan kerikil bahan bangunan. Winda terjatuh di situ. Tidak ada seorang pun yang menolong Winda. “Aduh, lututku sakit!” rintih Winda. Ia pun bingung harus bagaimana. Melanjutkan jalan udah gak tahan. kaki di bagian lututnya terantuk batu tajam. Lututnya sobek dan mengeluarkan banyak darah.

 

“Aku pun gak sanggup melihat darah yang terus- menerus keluar.” Winda pun merintih kesakitan.  Sepuluh menit berselang, ada orang yang menolong Winda. banyaklah orang yang melihat dan menolong Winda. Winda dipulangkan lagi ke sekolah dan dianter ke puskesmas Karangpawitan oleh pak Usep dan pak Wawan.

 

Di puskesmas luka di lutut Winda harus dijait 4 jaitan, tetapi Winda tidak mau karena belum pernah diheckting. Lagi pula Winda merasa ngeri kalau diheckting, apalagi gak ada mama di samping Winda. Akhirnya Wnda dianterkan ke rumahnya oleh sama pak Usep pak Wawan. Tetapi mama inda gak ada di rumah, karena lagi di rumah sakit menemani uwa yang baru dioperasi. Sekitar jam 1 siang mama datang. Udah pulang dari rumah sakit mama Winda pun menangis, melihat Winda kena musibah lagi. Winda dibawa ke rumah sakit Medina Wanaraja.

Saat itu rumah sakit Medina sedang tutup. Winda dibawa ke puskesmas Wanaraja. Luka di lutut Winda  diheckting 8, bagian luar 6 dan dalam 2.

Saat itu Winda merasa sangat takut sekali. perasaan takut yang menghantui, seakan Winda tidak bisa jalan lagi dengan lancar. 5 hari Winda merasa sangat susah jalan karena sakit.

Dua minggu Winda kontrol ke perawat. Jahitan di lukanya diperiksakan dan berganti perban. jahitannya sudah mulai kering. Dalam sakit yang begitu hebat Winda sering teringat Papapnya. Padahal papap Winda selalu dikabari atas segala yang menimpa Winda. Tapi balasan kabar pun tiada.

 

Winda pun terlelap. Winda yang selalu membayangkan wajah papapnya muncul dalam mimpi Winda. Dalam mimpinya, Winda merasa bahagia. Melepas rindu bersama papap, bersenda gurau.

 

“Senang sekali rasa hatiku saat pertama ketemu Papap. Kami bertemu di rumah Mbah Suri. Aku dianterin sama wa Dahlan ke rumah Mbah Suri. Wa Dahlan yang mempertemukan Winda sama keluarga Papap, Saat usiaku 16 tahun.”

Tidur Winda pun lelap. Tidur yang berhiaskan mimpi indah bertemu dengan papapnya yang menjadi idaman hatinya selama ini.

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler