Skip to Content

Pesan Dalam Botol

Foto Helmi C Sahbana

Sudah 12 tahun kutinggalkan tanah budaya, tanah kelahiran, dimana tempatku menyimpan kisah masa kecilku bersama teman, dan gadis kecilku yang mungkin kini sudah bertambah elok seiring dengan bertambahnya usia. Akupun rindu, rindu akan suara desir pantai yang selalu berbisik ditelinga agar aku menemaninya bermain-main dengan ombak yang terasa lembut di pagi hari, yang menghangatkan hati dikala sepi.

            Kubuka lagi lembaran hati yang telah lusuh, yang telah lama tertimbun dalam lubuk hati yang terdalam, dimana pernah terucap sebuah janji suci, akan kesetiaan dalam penantian. Terlalu jauh aku terbang ke masa depan, yang telah merubah hidupku, dimana aku yang telah melupakan tanah budaya. Sejak aku kali pertama menginjakkan kaki di negeri seberang, dengan hanya berbekal sepasang mata bersama dengan niat baik untuk merubah nasib masa depan.

Penuh dengan coretan dari tanda-tanda masa lalu, yang dicoreti lagi tanda-tanda baru. Begitu jalan takdir hidupku. Aku hanya satu diantara burung-burung yang dibuat ketakutan oleh para pemburu, dengan senapan berpeluru karet ataupun bom waktu yang telah menempel ditubuhku yang siap meledak sesuai keinginan pemburu. Hanya bersandar akan bayang-bayang masa lalu yang membuatku bisa bertahan hingga sekarang. Aku selalu berharap mendapatkan mimpi kebenaran dan tanda dari bintang di langit terang.

            Kelelahan besar datang padaku, kemana aku dan kerinduanku harus mendaki? dari semua gunung aku memandang, mencari-cari tanah ayah dan ibuku, tanah kelahiranku. Tak kudapati rumah bagiku dimana-mana, aku tak menetap di negara manapun dan selalu membongkar kemah di depan semua pintu gerbang. Hatiku mendorong diriku datang pada orang-orang yang membutuhkan tenagaku, tapi aku hanyalah orang asing dan bahan cemooh bagi mereka. Tak apalah walau disiram air panas dan mencambukku, bahkan tak jarang mereka memakai jasa tubuhku untuk pemuas nafsu mereka, namun mereka yang berhati membalut lukaku dengan lembaran uang keringatku setelahnya. Aku terasing dari tanah ayah ibuku.

            Aku hanya merindukan tanah kelahiranku. Yang tersembunyi di lautan yang paling dalam, kepada layar-layarku aku berseru agar mencari dan terus mencarinya. Bahkan untuk gadis kecilku, inilah tebusanku, untuk mereka dimasa depan.

            Mungkin kata-kata ku memang miskin, compang-camping dan tak sedap di dengar, memang dengan senang hati aku memunguti apa yang terjatuh dari meja makan ketika majikanku sarapan ataupun makan malam. Bau busuk selalu mengambang depan hidungku, bahkan disaat aku makan sekalipun. Apakah ini kutukan ku, yang memandang negeri seberang dengan murni tanpa noda? Yang telah merubahku sedemikian hina dimata sesama, bahkan dinegeriku sendiri mereka masih menganggap ku hina. Sungguh mereka yang menghina adalah orang-orang yang telah mengisi mulut mereka dengan kata-kata mulia. Tapi, haruskah aku percaya bahwa hati mereka sudah cukup mulia? terlalu lama aku duduk kelaparan dibawah  meja mereka. Akulah yang terlatih memecahkan kacang yang hendak mereka makan bijinya.

             Aku yang mencintai kebebasan dan udara dari tanah yang segar. Lebih baik tidur diatas tumpukan jerami dari pada diatas nilai-nilai kehormatan mereka. Terlalu sering aku  dibuat panas dan menyala oleh pikiran burukku dan itu sering membuat nafasku tertahan. Karena itulah, aku harus pergi ke tempat teduh, dimana terdapat duta tanah air kelahiranku. Namun apa daya, mereka sama saja, sama memiliki ruangan-ruangan pengap yang menghalangiku menghirup udara bebas. Entah apa yang harus kulakukan, akupun tercecer di jalan-jalan. Memang badanku sangat kotor, bahkan harga diriku pun sudah lebih dari kotoran yang melekat dibadanku, tapi tak seburuk itu aku memiliki pikiran yang menyesatkan dan bahkan meresahkan bagi mereka. Namun sekali lagi, inilah jalan takdirku.

 

***

            Mungkin ini pesan terakhirku untuk gadis kecilku, tanah budaya, tanah kelahiranku, berharap angin dan ombak kan membawanya sampai ke tanah ayah ibuku.


Surabaya, 6 september 2010

2 hari, 3 hari, 5 hari, sebulan, setahun. Surat itu tak pernah sampai. Pesan dalam botol itu hilang tertelan laut. Hanyut semua harapan…

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler