Skip to Content

PESAN ITU MASIH TERGIANG

Foto muhammad rifiyal

Debu itu terus melayang-layang mengikuti hembusan angin. Suara gesekan lembut dengan perlahan menyentuh ranting-ranting pohon tanpa daun.  Dengan riangnya, udara panas tadi memaksa masuk ke gerbang kota pelajar. Membuat seisinya itu terasa tak bernyawa. Air yang turun di musim penghujan, tidak mampu lagi bertahan lama. Yang tersisa hanya tanah kering penuh retakan. Bagaikan pasir yang selalu di lalap api tak henti.

Kota itu sepenuhnya diseseki pelajar dan mahasiswa yang gigih dalam menuntut ilmu, pelajar yang selalu berusaha keras untuk mendapatkan segudang ilmu demi tuntutan Al-jihadu fisabilillah. Tak ada kata menyerah dalam diri mereka. Bahkan panas dan hujan, tidak menjadi halangan dalam bekerja. Mereka bukanlah seorang Dokter, Pengusaha, atau para Koruptor. Mereka hanyalah seorang pelajar yang berjuang untuk hidup dan pergi ke kota untuk menuntut ilmu.

Tapi semua itu adalah cerita lama, dan sekarang menjadi kenangan kelabu yang kelam “Yakin!”, itulah isi hati seorang bapak yang sedang mengayuh sepeda dengan tenggorokannya yang kering. Kakinya yang dulu kekar, kini tak berdaya lagi untuk melaju cepat di jalan kering ini. Hembusan napas dengan tergesa-gesa menggambarkan ia sedang terburu-buru. Memang, terlihat anak kecil sedang duduk berpegangan erat ke pinggang ayahnya. Anak itu memakai seragam putih merah. Kira-kira berumur 9 tahun. Jam menunjukan pukul 08.00. Mereka terlambat ke sekolah.

Inilah sebuah adegan lain dari yang maha kuasa, bapak itu menepuk pundak anaknya, mari kita pulang Andi, kamu bisa belajar bersama bapak dirumah nanti, hati kecil Andi berkata lain,dia tak mau pulang sebelum mendapatkan secuil ilmu. Sungguh tekad dan niatnya tak sebanding dengan tuntutan Negara, dan ia pun harus menanggung semua ini.

Angin malam yang dingin sungguh kontras dengan panasnya matahari yang terik di siang hari. Menusuk menjalar ke seluruh tubuh. Selimut tebal tidak cukup hangat untuk menahan dinginnya udara ini. Hanya diam dan menunggu. Menunggu sinar matahari di pagi hari yang mungkin bisa mengahangatkan tubuh mereka,dan dengan satu harapan jangan terlambat.

Malam itu Andi sedang berbicara dengan bapaknya. Mereka berencana untuk membeli buku catatan pelajaran PKN sebelum berangkat sekolah, karena buku sebelumnya telah habis di pakai dari kelas 2 SD. Toko buku itu berada di sebelah gerbang kota pelajar. Dimana mereka harus memutar arah agar bisa pergi membeli buku terlebih dahulu. Waktu tempuh sudah mereka perhitungkan, yaitu harus bangun lebih awal dari biasanya.

Mereka berbicara dengan penuh kehangatan. Dan menjadi salah satu penghibur mereka di saat hari-hari yang sulit dan melelahkan. Sambil menepuk bahu anaknya, sang bapak berpesan seperti biasanya. Suaranya yang lemah akibat terlekang oleh waktu, membuat sang bapak harus berhati-hati dalam berbicara karena takut tersedak. Andi mendengarkan dengan seksama, sambil mengangguk-ngangguk terdiam. Pertanda, bahwa perkataan bapaknya sudah tidak asing di telinga Andi. Ibu Andi duduk diam di samping radionya yang usang sambil menjahit baju sobek milik sang suami.

Pagi itu, waktu tempuh yang telah di perkirakan melenceng jauh. Mereka terlambat kesekolah akibat ban sepedanya yang kempes. Karena itulah mereka harus menambal terlebih dahulu di rumah. Untung saja, bapak Andi dengan cekatan secara cepat dapat mengatasinya, sehingga tidak membutuhkan waktu lama.

Dengan tergesa-gesa,  sang bapak terus mengayuh sepeda. Keringat terus mengalir membuat baju rapihnya basah. Sambil membawa buku di tangan, Andi memegang erat pinggang sang bapak.

Di tengah perjalanan, terlihat seorang anak seumuran Andi menggendong anak kecil di punggungnya. Gendongan itu tertutupi tas besar yang hampir menutupi setengah tubuhnya yang mungil. Ia adalah Arif, teman sekolah Andi. Sepeda yang tadi melaju cukup cepat kini berhenti. Dengan tergesa-gesa, sang bapak mencoba mengatur napas untuk bertanya kepada Arif. Seperti biasanya, tutur lembut suara itu terdengar merdu menyejukan hati. “Nak, kenapa kamu tidak sekolah?”, tanya bapak, Arif terdiam sejenak, suara nyaring terdengar lugu “Ayah saya sedang sakit, saya harus memulung”. Sang bapak tampak murung dan merunduk menyesal, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan berat hati,  sepedapun kembali melaju. Andi terus melihat Arif, tampak mengecil dan menghilang dari kejauhan.

Perjalanan hampir sampai. Namun kayuhan sepeda menjadi semakin lambat. Dengan lemas, tangan sang bapak memegang erat tangan Andi. Brughhh!! Sepeda terjatuh dengan tiba-tiba. Sang bapak terbujur kaku tak terusik. Andi sembari menangis ketakutan mencoba merangkul kepala bapaknya. Wajahnya tampak pucat. bapaknya sudah tidak bernyawa. Jeritan Andi memanggil sang bapak menggema membelah udara sepi hamparan ladang luas kala itu. Dalam tangisannya, Andi hanya bisa mengingat satu pesan yang selalu di sampaikan bapaknya tiap malam, “tetap lanjutkan sekolahmu nak”


gerbang pelajar

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler