Skip to Content

Pukul Tujuh Malam Waktu Indonesia Barat

Foto Yudi Tahjudi Sunas

Pukul tujuh malam waktu Indonesia Barat

Oleh : Yudi Tahjudi Sunas

Tepat pukul tujuh malam, aku merobek-robek kertas yang berisi angka. Aku benci, aku muak, aku jengah. Angka-angka itu seakan menantangku untuk mundur, angka-angka itu mengejeku dengan perkataan “Miskin-miskin-miskin”.
Lampu-lampu ruangan terlihat seperti kunang-kunang dari kejauhan malam, di dekatnya banyak yang terpengaruh dengan cahayanya. Seperti aku, menulis dengan cermat dan teliti saat menggoreskan tinta menjadi huruf maupun angka pada kertas di depan lampu yang terang-benderang yang memanahku. Bisikan kata-kata lelah menjalani hidup melewati beberapa banyak manusia disekelilingku, ada keluh, kesal, sedih, benci, bahkan putus asa.
Yah malam itu aku berjalan melewati beberapa jalan-jalan gelap di tiga rute pojok perkotaan menuju tempat dimana orang-orang ingin menjadi pintar. Belajar. Mencari ilmu dengan meluangkan waktu yang seluang-luangnya. Menggoyah nadi kemalasan, mencopot tanda madesu dikening mereka. Yah malam itu adalah malam yang bergairah untuku.
Angka-angka itu masih terbayang dipikiranku, masih lunak seperti adonan tepung yang tercampur telur. Masih menempel dan tak jua lepas dari otak kanan dan kiriku. Aku membayangkan ketika ibuku membuatkan aku kue bolu untuk aku beberapa tahun silam, saat aku masih dimanja dalam pelukan kekayaan. Ibuku membuatkan bolu dengan adonan tepung terigu yang dilumatkan bersama telur, kemudian dicampur yodium ke adonannya serta bumbu-bumbu penikmat kesedapan lainnya. Aku menikmatinya, bahkan aku melahapnya bulat-bulat. Namun sekarang adonan itu rasanya tak bisa lepas dan masuk kembali lewat anusku, masuk kedalam lambungku, kemudian menaiki tangga-tangga tenggorokanku, lalu berpencar masuk kedalam otak kanan dan kiriku. Yang akhirnya adonan itu menjadi sebuah perekat pada angka-angka dari sebuah kertas yang lebih kuat dari perekat besi sekalipun.

“Kamu tidak bisa masuk kelas untuk semester berikutnya bila kamu tak segera melunasi tunggakan-tunggakan perkuliahanmu, kamu terpaksa di cutikan ! Ini peraturan manajemen kampus yang tak bisa diganggu –gugat dengan cara dispensasi”.

Begitulah pihak administrasi berkata padaku tepat pada pukul tujuh malam tadi. Dan hanya tinggal beberapa bulan aku menikmati perkuliahan ini. Sisanya mungkin aku akan di cutikan, atau bahkan ketika aku di cutikan dan aku masih tak bisa membayar jumlah tunggakan perkuliahanku yang dengannya muncul kepada angka-angka yang cukup besar, aku mungkin akan di berhentikan. Sungguh miris membayangkannya. Aku terlena dalam kesedihan, aku terpuruk bahkan aku ingin berteriak dari atas gunung rinjani dan menancapkan bendera putih di puncaknya. Begitulah pikiranku. Tapi menurutku itu pikiran tempo dulu, tempo dulu saat aku masih mudah putus asa.

“Et dah, elo kenapa bengong terus. Pelajaran statistik nih, kalo gak di perhatiin matilah kau dilahap kebodohan”

“Oh maaf-maaf, gue gak konsen. Habis seharian pulang kerja otak jadi kemana-mana”

“Kenapa juga elo kuliah, kalo cape kenapa engga istirahat dulu. Perjalanan elo jauh kawan. Jaga kesehatanlah kalo elo mau maju. Biar seimbang antara ilmu dan kesehatannya”

“Oh iyah, betul itu. mungkin sehabis perkuliahan gue langsung pulang dan gak ngerjain tugas-tugas kelompok sama teman-teman nanti”

“Yah begitu dong, tenang masih ada gue Gan”

Yah serentak aku tersadar dari ketermenunganku karena angka-angka tadi. Namun aku seakan trauma dengan angka, apalagi ditambah pelajaran kali ini adalah pelajaran yang hampir seluruhnya menggunakan logika angka. Otakku tersendat angka satu, dan angka sembilan yang berjumlah enam angka. Yah angka itu memang selalu memperlambat rutinitas belajarku. Angka yang hadir tepat pada pukul tujuh malam tadi.
Dosen-dosen sudah berkeliaran mencari tempat persinggahan masing-masing. Mereka bergegas dan ingin mengistirahatkan otak mereka. Terutama dosen mata kuliah statistik, dia sepertinya lebih dulu pulang dari dosen-dosen lainnya. Mungkin otaknya sama denganku, mungkin dia terpengaruh mabuk angka hingga lelah. Tapi mungkin, angka yang dia pikirkan itu lebih indah dari angka yang aku pikirkan. Karena angka untuk dia menjanjikan uang, bukan malah mengeluarkan keputus asaan Dia berbeda.

* * *

Embun bening memudarkan kegundahan, dan matahari menghangatkan tubuh-tubuh yang terbelai air kamar mandi. Aku lekas bergegas menjalani rutinitasku, berangkat kerja pada jam setengah tujuh dan masih saja masuk tepat pada pukul tujuh. Tapi yang berbeda adalah zona waktunya, antara pagi dan malam. Seperti biasa aku mengendarai sepeda motorku, melaju kencang 60 km/jam. Lumayan jauh tempatku bekerja. Sekitar 18 km dari rumahku.
Sesampainya seperti biasa aku lantas duduk tanpa permisi, kembali bergelut dengan data-data siswa-siswi sekolah menengah pertama. Pandangan mataku di todong dengan layar komputer yang berisi nama dan angka yang berurutan. Aku menghitung dan membaca, satu -persatu hingga tumbuh menjadi seribu nama dan seribu data siswa-siswi. Seribu empat puluh murid siswa-siswi yang aku data hari ini. Pekerjaan ini bahkan lebih dari aibku sendiri, berat rasanya. Namun keluhan itu hanya aku bahas nanti ketika aku sudah bisa tertawa tanpa alasan. Sakit jiwa misalnya.

“Kamu itu bagaimana sih Gan, Kenapa data-data yang kamu berikan itu selalu salah. Mana nama-nama murid yang sudah di mutasi ke luar daerah itu. kamu itu pegawai yang maunya apa ? Salah terus salah terus. Kalo begini terus kamu bisa di berhentikan oleh lembaga”.

Dan lagi-lagi kata-kata itu muncul tepat pada jam tujuh pagi ini ketika aku baru saja menduduki bangku tempat aku bermain waktu. “Ah, ya ampun”, keluhku pada ratapan jam dinding tua yang ada tepat di dinding depan tempatku menghabiskan waktu.
Aku berfikir, bukankah aku bekerja dengan benar disini. Tapi bukankah aku mendapatkan data-data siswa-siswi itu dari sumber yang seharusnya benar. Siapa yang salah ? Mereka yang salah, yang sudah memberikan sumber data kepadaku. Harusnya yang kena omel dari atasanku adalah mereka. Aku hanya memasukan data dan mengatur data siswa-siswi saja. Keluhku dengan sok benar. Tapi mungkin aku memang sok benar, karena pada kenyataannya aku tak bisa mengatakan siapa yang salah. Itulah yang seharusnya aku intropeksi lagi, aku salah menyalahkan orang.
Mataku berair, merah, memanah tak tau arah. Kepalaku berat, dan pundaku serasa tergeser. Jari-jari tanganku serasa berurat, dan ingin aku lumat rasanya semua yang menjerat. Aku pulang kemudian sedikit menenangkan otak dan pikiran dengan melihat sisi-sisi jalan menuju rumahku yang dipenuhi rumput-rumput hijau. Ah indahnya, aku melihat seekor tujuh anak domba yang berlarian di tengah padang rumput. Setelah itu ia memakan rumput dimanapun yang ia sukai, kemudian ia berlari lagi mengejar ibunya yang tengah memakan rumput pula. Dan ia menyusu pada puting ibunya yang begitu banyak dimiliki. Andai aku bisa menjalani hidupku seperti itu. Mungkin enak rasanya, tapi hanya kebodohan saja yang kudapat. Tidak tidak tidak !!!

* * *

Tak ada waktu tidur untuku pada siang hari, sepulang dari tempat kerja pukul tiga sore aku mempersiapkan barang-barang dan buku-buku serta yang lainnya yang harus kubawa ke tempat kuliahku. Andai saja aku masih seperti dulu, ketika ayah dan ibuku masih memanjakan aku dengan kekayaan, mungkin aku tak begini. Mungkin aku sudah kuliah ke London, Belanda, Jerman, dan kemanapun itu pada universitas-universitas ternama di dunia. Tapi aku terlalu banyak berandai-andai, berandai-andai itu hanya menimbulkan syetan dipikiran kita. Lupakanlah !
Bergegas aku dengan sepeda motorku, waktu sudah menunjukan pukul lima sore waktu Indonesia barat. Perjalananku satu setengah jam untuk sampai pada tujuanku belajar. Aku melewati tiga rute pada perjalananku, pertama rute padang pasir kusebutnya. Karena jalanannya hancur dan dipenuhi dengan mobil-mobil truck yang besar pengangkut pasir. Wajar saja, daerahku adalah tempat pertambangan, galian dan segala macam bebatuan. Debu-debu berterbangan mengerumuni bajuku, butiran-butirannya menyelip pada pelindung kepalaku yang akhirnya debu-debu itu seolah menjadi make-up pada wajahku. Kemudian rute kedua, pada rute itu aku melewati berbagai tempat yang sepi. Jangankan malam bila aku pulang kuliah, sorepun sangat sepi, kusebutnya rute kota mati. Karena memang sepanjang perjalanan tak kutemukan sama sekali rumah penduduk yang berpenghuni, biasanya sekalipun ada rumah, itu hanya dijadikan tempat singgah para supir-supir truck yang istirahat sebulan sekali, enam bulan sekali, bahkan sampai setahun sekali. Dan rute terakhir yang kudapati adalah, rute yang padat, macet setiap aku lewati. Tak ada jalan alternative lainnya untuk menghindari itu, rute metropolitan kusebutnya. Yang makin membuat otaku miring karena kemacetannya. Setelah itu sampailah pada kampusku.

“Hai bro, gimana nih tugas kuliah kita. Dosen mata kuliah makro sudah melabrak kelompok kita. Hari ini tepat pukul tujuh kita sudah harus selesai Gan”

“Aduh kenapa baru mengabarkan sekarang, kenapa engga saat siang elo kasih tau ke gue”

“Gak tau nih Gan, Bu Reninya dadakan”

“Jam tujuh sekarang harus sudah selesai emangnya ?”

“Iyahlah, yaudah masih ada waktu setengah jam untuk ke jam tujuh. Yuk ah kita kerjain, tinggal beberapa lembar lagi baru kita jilid”

Begitulah aktifitas kuliah, otak ini selalu di genjot dengan tiba-tiba. Tak peduli sesulit apapun kita, namun yang pasti dari genjota-genjotan itu kita akan memperoleh kenikmatan yang tiada tanding. Kita bisa memulai hidup lebih baik dengan ilmu yang kita dapat setelah kita tergenjot sampai mojrot. Yah sangat indah memang dibayangkan ketika kita sudah tau apa yang akan terjadi nanti setelah semua ini kita selesaikan dengan seksama. Aku membayangkan toga itu ada dikepalaku, kemudian datang bersama sanak keluargaku untuk foto bersama, kemudian duduk dibangku-bangku bersama mahasiswa-mahasiswi yang hendak di wisuda. Kemudian menunggu sambil duduk memandangi mereka-mereka yang sudah di panggil ke altar paling depan dan di kalungi piagam penghormatan. Kemudian dadaku pasti berdegup sangat cepat nantinya, jantungku pasti akan terus memompa darah dengan jarum kecepatan 60 km/jam secepat aku membawa motor ke kantorku. Karena membayangkan aku di panggil oleh rektor kampusku yang ingin mengalungi aku piagam penghormatan.

“Gandara !!!” Tiba-tiba nada itu terdengar keras memecah khayalanku.

Aku menengok, kemudian aku lihat ternyata dia bukan rektor yang ingin mengalungiku piagam penghormatan yang aku bayangkan. Dia kepala administrasi keuangan universitas, “Oh matilah aku”. Tergesa-gesa tangan ini dari notebook yang ku pegang karena bingung apakah ingin kulepaskan atau kulanjutkan. Karena aku tahu nada yang terdengar keras itu pasti akan memerintahkan aku menghadap pada bidang keuangan. Dan bila berbicara keuangan, pastinya aku akan dihadapkan dengan masalah tunggakan perkuliahan lagi. “Oh matilah aku”, padahal aku sudah konsentrasi dalam waktu 15 menit mengerjakan perkejaan kuliahku. Namun sekarang konsentrasi itu hancur berkeping-keping menjadi beling, menancap batas-batas kulit sebagai pelindung daging.
Dan lagi-lagi aku dihadapkan pada angka tujuh. Kepala administrasi keuangan itu beralasan dengan lembut. Tapi tak bergairah, menandakan dia malas padaku. Mungkin karena uang dia bisa begitu, atau mungkin karena hal lain yang sama sekali tak ku ketahui.

“Gandara mahasiswa Fakultas Ekonomi, dengan segala hormat tepat pada pukul tujuh saya ingin berbicara dengan kamu. Di ruangan saya” Begitu katanya. Dan selalu saja masih pada tepat jam tujuh malam waktu Indonesi barat. Yang membuat tugas kuliah ini berantakan.

* * *

Kembali embun menebarkan pesonanya pada kicauan burung-burung. Pada bunga yang kian semerbak menebarkan wewangian tentang kerinduan akan cinta. Yah cinta, Cinta kepada seorang wanita. Itulah yang tidak mungkin aku gapai untuk saat ini, untuk kuliah saja aku masih jungkir balik, apalagi untuk cinta. Tapi tak menutup kemungkinan aku untuk tidak menjalin cinta kepada seorang wanita saat ini, bila memang ada yang bersedia memberikan aku uang untuk biaya kuliahku saat ini mungkin itu akan lebih indah ketimbang kita hanya sekedar bercinta tak membuahkan apa-apa yang positif. “Ah itu gaya cowo matre”, begitu ayahku bilang padaku. Tapi mungkin ada baiknya aku harus berjalan sendiri, meniti hidup ini hingga jadi mandiri. Tak perlu seorang wanita yang kaya raya untuk aku minta biaya, cukup dengan ketabahan dan keuletan yang membuatku kaya ilmu sejagat raya.

“Kamu itu bagaimana sih Gan, Kenapa data-data yang kamu berikan itu selalu salah. Mana nama-nama murid yang sudah di mutasi dari luar ke dalam daerah itu. kamu itu pegawai yang maunya apa ? Salah terus salah terus. Kalo begini terus kamu bisa di berhentikan oleh lembaga. Kalo begini kamu bisa diberhentikan oleh lembaga. Kalo begini kamu bisa diberhentikan oleh lembaga”

Lagi dan lagi atasan besarku berkata itu padaku. rasa kecewaku meledak-ledak, naik hingga puncak gunung rinjani. Tapi tak mau aku tancapkan bendera putih lagi di puncaknya, yang aku mau membuang-buang bebatuan yang ada di atas puncak itu kemudian aku melompat dan berteriak “AKU MUAAAAAAAAAAAAAK !!!!”. dan lagi-lagi, ketika aku membayangkan itu, jam dinding tua yang ada tepat di dinding depan tempatku menghabiskan waktu menunjukan pukul tujuh pagi waktu Indonesia barat.
Otaku terkocok, bagai jam pasir yang sudah bolong dan fungsinya memakan waktu yang tak tepat, cepat, dan tak berarah. Aku memikirkan semua tugas kuliahku yang kemarin malam terbengkalai ketika aku di panggil oleh bos besar keuangan universitas. Aku memikirkan nilai-nilaiku yang dengan atau tanpa angka yang besar, dan aku masih memikirkan semua jumlah-jumlah angka-angka itu di setiap mata kuliah statistik. Dan aku terus bergelut dengan angka-angka itu.
“Ah, aku bisa melawannya. Kenapa aku harus berfikir menjaga satu sama lain teman-temanku yang melakukan kesalahan ditempat kerja, kenapa juga aku harus melindungi mereka saat aku kena marah oleh atasan gara-gara mereka. Hidup mereka memang menyedihkan, mereka tak cukup membiayai anak istrinya dengan gaji yang hanya dua ratus lima puluh perbulan sebagai tenaga honorer disekolah ini. Kenapa juga aku harus pikirkan mereka, toh mereka sudah hidup pada masa depan. Sementara aku, hidup untuk mempersiapkan masa depan bukan di masa depan. Belum lagi aku harus menyelesaikan biaya perkulihanku yang hanya menjadikan gaji ini mata air dari segala oase yang ada. Belum lagi aku harus bergelut mempersiapkan masa depanku setelah aku menjadi sarjana nanti. Tapi lagi-lagi belum sampai situ aku memikirkan semuanya, LULUS saja dulu kuliahku. Biayai semuanya. Jangan sampai aku dikeluarkan. Arrrrrrrrrrrrrrrgggggggghhhhhh !!!!!! tapi aku bingung, dilema, dijerat dan di gantung semua keinginanku untuk bilang bahwa merekalah yang salah. Memang aku benar, tapi di balik kebenaranku aku hanya ingin melindungi mereka yang sudah punya tanggungan lebih dari aku. Harus beli susu anak, beli beras, beli lauk pauk, beli pakaian, belum lagi beli baju lebaran. Kalau-kalau mencukupi, tapi setidaknya mereka yang selalu salah dan menerima gaji dua ratus lima puluh ribu perbulannya bisa menghidupi mereka. Dengan sehemat-hematnya mereka, dan aku berfikir, mereka yang salah dan sudah aku lindungi itu mungkin hidupnya lebih menderita dari aku. Oh tidak aku sudah berpikiran jahat, yang semula aku ingin mengatakan mereka yang salah tapi pada akhirnya aku hanya diam dan pasrah pada omelan bos besarku” dalam hati aku bergumam.

“Gandara, tepat pada pukul jam tujuh pagi ini kamu saya PECAT !!!”.

Begitu atasanku bilang padaku tepat pukul tujuh waktu Indonesia barat pagi tadi, dan sekarang tepat pukul tujuh malam waktu Indonesia barat dengan senyum aku menandatangani surat perjanjian beasiswa dalam gedung rektorat kampusku ini. Senyumku adalah kebahagiaan untuk mereka, untuk mereka yang sudah kulindungi dari kesalahannya, dan untuk mereka yang memohon agar tetap mendapat uang dua ratus lima puluh ribu rupiah perbulan. Meski itu bukan dariku, tapi itu dari kebaikanku untuk mereka. Selanjutnya aku tak tau bagaimana mereka nanti bila sudah tak ada aku sebagai orang yang merekam data-data siswa. Kebaikan akan membuahkan hasil, itulah yang selalu dikatakan para pendahulu kita kala itu. dan memang terbukti, walaupun aku saat ini mendapati keluar dari pekerjaan, tapi kini aku mendapati beasiswa selama aku kuliah disini.

“Gandara, kamu saya panggil ke ruangan ini bukan untuk membahas masalah angka yang selalu dipermasalahkan pada dirimu. Tapi saya disini memanggilmu karena apa yang sudah kamu jalani selama perkuliahan ternyata hasil-hasilmu sangat memuaskan. Bahkan kamu nialinya A+ pada setiap mata kuliah dari semester satu hingga semester lima ini. Dan saya sebagai orang yang menjabat kepala administrsai keuangan di kampus ini saya tidak setuju kamu tetap di pungut biaya, mahasiswa sepintar kamu tak ada bandingannya dikampus ini. Maka dari itu, saya sudah berbicara pada kaprodi yang bersangkutan agar kamu mendapatkan tunggakan bebas lunas sepanjang kamu kuliah disini. Dan kaprodi yang bersangkutan menyetujui itu tanpa banyak bicara, karena kepintaranmu tak bisa membohongi kami semua sebagai pihak yang berwenang di kampus ini. Dengan syarat, nilai kamu disisa-sisa akhir kuliah ini tidak boleh rendah dari A. dan kalau rendah, beasiswa kamu hangus terbakar. Kemudian saya akan memperjelas lebih jelas lagi, Tepat PADA PUKUL TUJUH MALAM WAKTU INDONESIA BARAT kamu mendaptakan beasiswa.

Dan aku dengan senyum manis dibangku memikirkan hal yang kemarin malam kepala administrasi itu katakan. Aku tengok jam yang ada pada dinding ruangan, hari ini tepat pada pukul tujuh malam waktu Indonesia barat aku di nobatkan sebagai orang yang fokus untuk kuliah. Dan tak perlu bekerja untuk mencari biayanya. Aku tersenyum, jam dinding itupun tersenyum. Dan sang waktu pun ikut jua tersenyum, terima kasih Tuhan, terima kasih waktu, terima kasih keluarga, terima kasih budi pekerti, terima kasih ilmu, dan berkat semua itu aku dapat belajar dari kepahitan hidup ini tepat pada pukul jam tujuh malam waktu Indonesia barat di kampusku.

* * *

Bogor, 20 Desember 2012. 02:30 am, WIB.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler