Skip to Content

Pulang

Seorang pria dengan tubuh tinggi besar –melindungi matanya dengan tangan kanan dari sorot matari sore yang menyilaukan– keluar dari pintu gerbang sebuah lembaga pemasyarakatan di pinggiran kota. Rambut gondrong sebahu dibiarkan tergerai dan meriap ditiup angin. Pun rerambut di wajahnya dibiarkan tumbuh subur. Hitam. Lebat. Memberi kesan galak. Jagoan.

Pakaian yang melekat di tubuhnya memperkuat kesan urakannya. Blue jean belel. Oblong hitam. Sepatu jungle. Jaket jean yang juga belel ditenteng di tangan kiri.

Merdeka. Bebas. Kembali ke dunia luas. Alam lepas yang penuh corak dan ragam. Warna-warna berpendaran. Aneka. Dibangunnya sujud di pelataran gedung tua -yang bertahun dia huni bersama puluhan berandal, garong, pembunuh, penipu dan koruptor banci- di atas jaket jean belelnya. “Nuhun, Gusti !”[i] 

Dalam sujudnya, hadir sesosok tua dalam pakaian serba putih. Seorang Kiai. Kawan satu selnya yang dijebloskan dengan tuduhan menjadi kaki tangan teroris. Sulit dipercaya. Tidak masuk akal. Pamuhalan[ii]. Seorang tua yang tak pernah lepas berdzikir –Tuhannya selalu di hati. Di mulut. Di mata. Kuping. Hidung. Tangan. Badan. Kepala. Perut. Kaki– tidak mungkin tega menghilangkan hak hidup ratusan orang yang tak berdosa. Bahkan untuk menepuk mati seekor nyamuk yang mencuri hidup di darahnya sekalipun, ia tak sampai hati. Tapi garis nasib berbicara lain. Nyatanya orang tua itu dipaksa mendekam dalam kamar gelap sebagai teroris.

Lazuardi di atas ubun-ubun kepalanya menggemakan ashar. Mengusir bayang orang tua di sujudnya. Kiai yang dituduh teroris. Bangkit ia. Mata mengembara. Menyapu kolong langit. Orang-orang lalu lalang. Tak peduli. Tak ada lambai kerinduan dari para penyambut. Kerabat. Sahabat. Kawan dekat. Hanya pepohon besar menarikan cemooh bersama sepoi angin. Daun-daun tua berguguran diterbangkan bayu lalu hinggap dan mengering di tanah berdebu.

Dipandangnya gedung tua kokoh di hadapannya untuk penghabisan kali. Sekedar mengukir nostalgi di memorinya. Bahwa dirinya pernah tinggal di sana. Puluhan purnama. Ribuan senja. Ribuan pagi. Bahkan hampir dilupanya warna senyum matahari. Mega-mega di wajah langit. Tarian padi dan nyanyian pipit ditingkahi gemericik air di sela bebatu di kali. Debur ombak tak henti berusaha meluruhkan keangkuhan batu karang di bibir pantai. Deru motor trailnya di jalanan lurus kotanya. Atau tawa genit perempuan-perempuan cantik pencari lembar-lembar rupiah.

“Gusti, tungtun diri ka jalan Anjeun !”[iii], teriaknya lantang. Di hati. perlahan tapi pasti, ia mulai melangkah. Menjauh. Menjauh. Menjauh. Meninggalkan segala sejarah kelam masa silam. Ia terus berjalan. Terus. Terus. Terus. Lalu berhenti di di ujung senja. Tiba di bibir sebuah kota. Sunyi. Kosong. Mati. Kehilangan tanda. Kotanya.

Di hitam putih trotoar pembangunan kota, nyaris tak ada kehidupan. Semua serba aturan. Satu dua orang berjalan santai di atas lantai keramik. Di trotoar. Jalanan lengang. Hanya satu dua kendaraan lalu-lalang. Di beberapa tempat tampak aparat berseragam. Tegak. Berjaga. Barisan pencari sesuap nasi tak ada lagi. Program kebersihan kota. Terlarang bagi gerobak-gerobak reyot. Bagi stan-stan beratap terpal. Bagi apapun yang dianggap sebagai penyebab kesemrawutan kota. Program penataan kota dari penguasa baru.

Sebatang kretek dia keluarkan dari saku jaket. Disulut. Terus berjalan. Tak henti. Matanya liar. Kagum ia pada keteraturan kota. Gedung-gedung baru. Gedung-gedung lama yang sudah direnovasi dan dialih fungsi. Gedung-gedung bank. Pertokoan. Tanpa kakilima yang bikin kotor, tapi kota tampak hidup dalam teriaknya. Terus berjalan. Tak henti. Menyususri kota yang sunyi. Hari hampir mati. Lampu kota mulai berpendaran. Di pinggir jalan. Di depan pertokoan. Di taman-taman. Di halaman gedung. Satu. Satu. Menyala.

Di depan sebuah gedung mewah langkahnya terhenti. Sejenak. Memuaskan matanya memandang keangkuhan gedung megah di hadapannya. Gedung bertingkat dengan arsitektur modern. Sebuah bank pemerintah. Baru selesai di bangun. Berdiri tegak di atas puing-puing sejarah. Padang Boelan. Saksi bisu sejarah pembangunan kota ini. Sebuah cultural heritage[iv] peninggalan pendiri kota ini. Bangunan dengan arsitektur unik yang dibangun puluhan tahun silam. Telaga bening menggenang di sudut-sudut matanya. Terkenang masa kecil dulu. Bapaknya sering mengajaknya ke sana. Seperti juga ke beberapa heritage lain di kotanya atau di luar kota. Di dalam dan luar negeri. Bapaknya seorang arsitek yang sedang mencoba meneliti dan mendalami bangunan-bangunan bersejarah dengan arsitektur unik.

“Dulu di halaman gedung ini ada sebatang pohon besar yang berusia lebih tua dari gedungnya. Aku dan Ayah suka sekali duduk di bawahnya. Di akar-akarnya yang menyembul di atas tanah.”, kenangannya masih berlanjut. Melayang. Melompat dari ranting ke ranting nostalgi. Terbang. Mengawang. Mega. Langit. Bintang-bintang. Bulan tiga perempat.

Senandung Magrib menghentikan lamunnya. Perjalanannya berlanjut. Dicarinya rumah Tuhan di antara berjejalnya pertokoan dan rumah tinggal. Dibangunnya sujud di atas sajadah merah. “Gusti, tampi ieu sujud. Tobat abdi.”[v] Bisiknya di kaki Tuhan. Lirih. Selirih harapannya untuk dapat terus melangkah di jalan-Nya. Sepuluh tahun masa kanak dia habiskan dalam kepolosan bocah yang tak kenal arti hidup dan kehidupan yang sesungguhnya. Didekap dengan kemanjaan. Kemewahan. Kemudahan. Sepuluh tahun berikutnya, masa remaja hingga menjelang dewasa. Hari-hari diisi dengan kekosongan. Hati yang sunyi. Sepi. Kehilangan kasih sayang. Kehilangan jatidiri. Labil. Pencarian. Kenakalan demi kenakalan. Cenderung mengarah ke tindak kriminal. Keluar masuk tahanan di kantor polisi. Tawuran. Pesta minuman keras. Obat-obatan terlarang. Dan …… pembunuhan. Ya, pembunuhan itu. Peristiwa sadis yang menggiringnya ke sebuah rumah tahanan selama belasan tahun. Narapidana. Pesakitan. Satu cap yang tak mungkin hapus dari wajahnya. Seumur hidup. Hitam. besar. Tebal. Gelap. Halimun. Sepuluh tahun hidup tanpa cahaya di penjara. Hanya ada angkara. Marah. Dendam. Benci. Entah kepada siapa. Hingga satu malam menjelang dinihari di awal tahun ke sebelas, mimpinya terhenti oleh senandung Al Kahfi yang mengalun merdu dari mulut seorang lelaki renta yang baru masuk sore harinya. Kiai yang dituduh teroris. Lembut. Sejuk. Indah. Merasuk ke dalam darah. Mengaliri segenap tubuhnya.

Malam-malam berikutnya, pendengarannya selalu dimanja dengan senandung ayat-ayat suci. Menyejukkan kalbu. Menyucikan pikiran-pikiran iblis yang bertahun mengerami hatinya.

Beberapa bulan kemudian, dibangunnya sujud yang pertama dalam hidupnya. Sujud pertama. Dengan bimbingan orang tua teman satu selnya. Kiai yang dituduh teroris. Lalu puluhan sujud dibangunnya. Berulang. Berulang. Berulang. Ratusan sujud. Ribuan sujud. Satu perubahan besar terjadi dalam dirinya. Dia merasa jiwanya begitu tenang. Emosinya stabil. Pembawaannya yang urakan terbang ke negeri antah berantah. Wajahnya selalu tampak bersih dan berbinar. Betapa sujudnya telah memberi pencerahan pada jalan hidupnya yang selalu salah dan penuh dosa-dosa. Menyibak kabut hitam yang menabiri hatinya.

Dan malam menari. Pria itu mengakhiri sujudnya. Lapar yang bertasbih di perut menuntun langkahnya ke sebuah pusat jajanan serba ada. Sebuah lokalisasi pedagang jajanan. Sejauh mata memandang, tak ditemuinya satu pun pedagang jajanan kaki lima di sepanjang trotoar keramik itu. di pintu masuk pusat jajanan itu ia berhenti sejenak. Ragu-ragu. Disapunya seisi ruangan dengan matanya. Jaladri bergemuruh dalam dadanya. Genderang tak henti bertalu. Memainkan irama ragu. “Akankah mereka menerima hadirku ? Mantan narapidana. Pesakitan. Penjahat. Pembunuh.” Gelisah memperkosa hatinya. Bayang-bayang hitam kelam masa lalu berkelebatan di kelopak matanya. Diedarkan pandangannya sekali lagi. Orang-orang duduk tenang di kursinya. Tak peduli. Asyik dengan temannya atau dengan makanan dan minuman di hadapannya. Tapi meja-meja itu hidup dalam matanya. Tertawa gelak. Mencemooh. Menuding. Ubin-ubin berlarian. Menjauh. Enggan menerima tapak kakinya. Didengarnya dinding tembok dan tiang-tiang kayu bersenandung. Menyanyikan cemooh. Mempuisikan kebencian dengan ribuan matahari. Dibalikkan badannya dan bersiap melangkah pergi. Tak peduli cacing-cacing yang berdemonstrasi di perutnya meminta jatah makan.

“Mangga, Kang. Di lebet aya meja kosong !”[vi] sebuah tawaran. Ramah sekali. Kembali diputar badannya. Seorang pria muda tersenyum “Mangga, Kang !” Diikutinya langkah pria muda pelayan itu. dia mendapat tempat yang sangat spesial. Sebuah meja di sudut ruangan. Single. Agak terlindung. Cocok untuk bersunyi. Menyendiri. Dulu dia sering datang ke tempat ini. Bersama kawan-kawannya. Atau lebih tepat bila disebut pengikutnya. Dia yang traktir. Selalu. Hanya dia yang punya kesempatan untuk itu. Putra seorang arsitek nomor satu di negeri ini. Ibunya seorang anggota parlemen di tingkat propinsi. Wakil dari sebuah partai besar yang ketuanya terlibat kasus korupsi terbesar di negeri ini. Kesibukan kedua orang tersayangnya tak terbantahkan. Jadilah ia anak yang kehilangan kasih sayang. Perhatian. Kehilangan pegangan. Kehilangan kontrol. Segala fasilitas, kemewahan, kemudahan dan uang saku berlebih tak cukup membuatnya bahagia. Dia butuh cinta. Dia butuh belai kasih. Dia butuh perhatian. Dia ingin bila ia pulang terlambat, ada orang yang menanyakan keterlambatannya. Dia ingin bila ia mendapat masalah, ada yang bisa diajak bicara. Mengadu. Mengeluh. Dia ingin ada yang memberinya puji ketika pulang membawa raport dengan hasil memuaskan. Dia ingin ini. Dia ingin itu. Ingin. Ingin. Ingin. Hanya ingin. Hanya. Kedua orangtuanya tak pernah peduli. Mereka merasa telah melaksanakan tanggung jawab dan kewajibannya dengan mencukupi keperluan hidupnya sehari-hari.

Maka dia, si anak malang itu, lari ke jalanan. Mencari kompensasi. Mencari pelampiasan. Dengan uang sakunya, dia beli segala keganasan dan kekejaman kelompok anak jalan. Dibelinya belai cinta kasih gadis-gadis cantik yang angkuh. Dibelinya kesunyian ekstasi dan ketololan botol-botol alkohol. Tidak sedikit darah yang mengalir. Memerahi uangnya. Tak peduli. Ia tak pernah peduli. Hanya satu hal yang tak pernah dilupanya. Pesan kakeknya dalam obrolan santai di beranda belakang rumah sang kakek, beberapa hari sebelum meninggal.

“Jalu, naon cita-cita hidep teh?”[vii]

“Hoyong janten pilot, Ki”[viii]

“Alus tah kahayang tēh. Tak ta gē hidep kudu diajar sing bener, ngarah pinter. Tong poho, Jalu, diajar sing junun, heug ?!”[ix]

“Mangga, Ki !”[x] 

Ya, belajar. Dia tak pernah lupa belajar. Dia selalu menyisakan sedikit waktunya untuk belajar. Dia ingin menjadi pilot. Ingin memberi kebanggaan kepada kakeknya di langit. Kepada ibunya di parlemen. Kepada bapaknya yang entah di mana. Namun apa mau dikata, nasib ternyata berbicara lain. Suatu siang sepulang dari sekolah membawa ijazah dengan hasil terbaik, didapatinya seorang pria telanjang bergerak ritmis di atas tubuh ibunya yang juga telanjang di atas ranjang di dalam kamar. Bukan. Pria itu bukan bapaknya. Dia adalah pimpinan partai dimana sang ibu tercinta  bergabung. Seketika itu pula darah bergolak di ubun-ubun kepalanya. Dicabutnya belati pemberian kawannya. Tanpa banyak kata, belati haus darah itu bersarang di leher pria itu. mati seketika. Darah memerahi ranjang maksiat itu. jerit ibunya tak terkatakan. Tapi yang nampak di matanya bukan lagi ibu tercinta yang pernah menyusuinya. Telah hilang dari matanya, bayangan pengandungnya yang pada purnama kesembilan dia robek kemaluannya. Di matanya kini menari sorang iblis sundal. Perempuan binal. Dengan desahnya yang jalang. Dengan jeritnya yang erotis. Maka belati itupun hinggap di perut yang pernah dihuninya selama sembilan purnama. Berulang. Berulang. Berulang. Terakhir belati itu bertengger di kening ibunya. Sadis. Kejam. Hitam. Beku. Bisu.

Beberapa saat dibiarkannya emosinya mereda. Genderang di dadanya setahap demi setahap mulai mereda. Pelan. Pelan. Dan berhenti sama sekali. Mata iblis yang merah menyala, menitikkan bulir-bulir bening. Mengalir menuruni lereng-lereng merah wajahnya, berbaur dengan peluh. Menyatu. Ditelponnya polisi dan … “Hapunten, Ki, jigana moal tinekanan cita-cita teh”[xi]. Dia, si anak malang, tak bisa menjadi pilot.

“Kang, tuangeunna tiis”[xii], suara serak pria muda yang tadi. Lamun yang mengawang di langit memorinya, seketika hempas di lantai keramik. Dirinya kembali ke dunia nyata. Saat ini. Meja single di sudut ruangan sebuah pusat jajanan. Sepiring nasi goreng, segelas teh manis. Sudah agak dingin. Seorang pria lanjut usia duduk tenang di hadapannya. Tersenyum. Ramah. Berwibawa.

“Anda ?!”, teriaknya keras. Kaget bukan kepalang. Orang-orang berpaling ke arahnya. Sesaat. Lalu kembali asik dengan obrolan masing-masing. Atau makanan. Atau lamunan.

“Ya, ini saya”

“Apa yang anda lakukan di sini ?”

“Saya mencarimu, nak”

“Apa yang anda mau ?”

“Kamu. Ayah inginkanmu, Anakku. Ayah telah merindukanmu sejak lama”

“Apa ? Anda serius ?”

“Tentu, Anakku”

“Hua…ha…ha…ha”, tawanya meledak. Membahana. Menendang setiap kuping di ruangan itu. orang-orang kembali terusik. Memandang heran ke arahnya. Tak peduli. Ia terus tertawa. Tertawa. Sementara kakek di hadapannya tertunduk.

“Anda merindukan saya setelah apa yang anda lakukan pada saya ?”

“Tentu, Anakku. Aku ayahmu ”

“Ya, dulu. Sebelum anda meninggalkan saya.”

“Ayah menyesal, Nak. Itu adalah kesalahan terbesar ayah. Tolong maafkan ayah, Nak ! Mari pulang bersama ayah. Rumah kita sudah terlalu lama sunyi.”

“Tidak. Terimakasih. Sudah cukup saya menderita karena anda. Sekarang biarkan saya menjalanai kehidupan saya sendiri. Dan anda silahkan melanjutkan kehidupan anda.”

“Anakku …”

“Cukup ! Tinggalkan saya sendiri !“

“Baiklah. Tapi kalau kamu berubah pikiran, tak ada pintu di rumah kita yang tertutup buatmu !” kakek itu pun pergi dengan kepala tertunduk. Ditolehnya anaknya sekali lagi dengan tatapan menghiba. Sang anak tak peduli. Dengan tenang disantapnya nasi goreng yang sudah mulai dingin. Kakek itu pun melangkah lunglai meninggalkan meja single itu.

Sendok pertama masuk ke perutnya dengan susah payah. Tak dipungkirinya, bahwa dia sangat menyesal dengan apa yang dilakukannya barusan. Kerinduan pada sang ayah sebenarnya begitu tebal melapisi sanubarinya. Sendok kedua, tersendat di tenggorokannya sehingga terpaksa harus didorong dengan teh manis yang juga sudah dingin. Sesal dan kerinduannya semakin tebal menyelimuti hati. Sendok ke tiga hanya mampir di bibir. Diletakkannya. Berdiri. Berlari.

“Ayah … !”, serunya sambil berlari memburu sang ayah yang segera berhenti dan membalikkan badan. Mereka saling berangkulan. Saling melepas kerinduan. Menumpahkan segala cinta dan kasih sayang yang lama tak tersatukan.

“Mari pulang, anakku !”


 

[i] “Terima kasih, Tuhan !”

[ii] Tidak mungkin, Mustahil

[iii] “Tuhan, bimbing hamba ke jalan-Mu !”

[iv] Bangunan bersejarah, peninggalan sejarah kebudayaan.

[v] “Tuhan, terimalah sujud hamba. Tobat hamba.”

[vi] “Mari, Kang. Di dalam masih ada meja kosong.”

[vii] “Nak, apa cita-cita kamu ?”

[viii] “Mau jadi pilot, Kek”

[ix] “Cita-cita yang bagus. Makanya kamu mesti belajar dengan baik, biar pintar. Jangan lupa, Nak, belajar yang tekun, ya ?!”

[x] “Baik, Kek!”

[xi] “Maafkan, Kek, sepertinya cita-cita ini tak akan tercapai”

[xii] “Kang, makanannya dingin”

Komentar

Foto novandanugraha

...sangat menyentuh...

...sangat menyentuh...

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler