Skip to Content

Putih Abu tlah berlalu

Foto Liliez Arini

 

            Lembaran kisah indah itu memang tlah tertutup setahun yang lalu, namun kenangannya masih menjalar hingga detik ini, menyisakan kerinduan akan masa – masa yang tlah tertimbun oleh kisaran waktu. Biarlah angin pagi menyapu dengan lembutnya kenangan tersebut hingga membuat kesejukan dalam batinku yang sejak tadi tengah bersemedi merekam kembali akan indahnya persahabatan yang ku lalui bersama teman putih abu. Bola mataku seakan – akan memutar kembali drama persahabatan itu. Yang penuh dengan warna ria dan derasnya duka bersama. Sesekali jemari ini berkelana, memegang sebuah kotak foto, mataku dengan tanpa daya menahan keharuan memandangi pose – pose dan wajah mereka. Aku berada di tengah – tengah mereka, disamping kananku ada Putri yang  memegang pundakku, samping kiriku ada Andin dengan senyum manisnya. Sementara pada barisan belakang ada Nurma, Liana dan Liani sepasang saudara kembar. Kami berenam membentuk sebuah bangunan persahabatan dengan pondasi kebersamaan, walau terkadang dipenuhi oleh dinding kesalahpahaman namun selalu dapat terbuka oleh tirai kepercayaan diantara kami. Dan satu lagi kami mempunyai karakter dan kemampuan yang berbeda – beda.

            Sekedar bercerita tentang titik – titik yang membentuk satu garis bahagia di rona hidupku, yakni mereka pribadi yang menurutku sangat luar biasa.

            Putri, bisa dibilang ia lah leader diantara kami. Pribadinya memang keras, dan menjadi seorang psikolog adalah cita – citanya.

            Nurma, orang yang paling kocak menurut kami, bersamanya seakan – akan rahang ini sudah kram dan sulit untuk ditarik lagi karena sebuah lelucon yang selalu ia ciptakan. Namun disisi kekocakannya ia sangat cerdas, bahasa inggrisnya juga bagus.

            Andin, sosok yang sangat baik dan nrimonan. Menari dan dunia tulis menulis merupakan hobinya.

Liliana dan Liliani, si kembar cantik yang pandai menari, mereka sering menari dalam event – event tertentu bersama Andin.

Dan aku, tak banyak yang bisa ku gambarkan, yang jelas aku sangat berambisius dalam meraih apa yang sudah ku catatkan dalam dunia mimpiku, termasuk menjadi seorang penulis muda.

Kenangan terindah itu bernama persahabatan,

Benih – benih itu  muncul saat aku mengikuti MOS. Waktu itu kira – kira pukul lima pagi, tubuhku masih berbalut putih biru dengan mengenakan atribut yang ku pikir sebuah lelucon. Rambut yang dikepang menjadi 3 bagian dengan pita merah putih serta topi bola yang  nangkring di kepalaku di tambah pula dengan berbagai perlengkapan yang harus ku bawa. Aku berlari dengan cepat agar tak kena hukuman karena terlambat. Namun tiba – tiba langkahku yang secepat pusaran angin itu terhenti di depan pintu gerbang.

            “Aku lupa nggak bawa tanaman hias.” Seketika tubuhku dialiri darah ketakutan dan jantungkupun semakin kencang berdetak mengiramakan nada kerisauan.

            “Hei..kok nggak masuk, kamu Virani kan?” Segera ku tengadahkan kepala menatap kearah sumber suara, setelah ku berhasil menjelajahi garis wajahnya baru ku menyadari bahwa ia adalah Andin, teman SMP ku. Tetapi kami tak begitu dekat karena nggak pernah satu kelas hanya sekedar tahu nama saja.

            “Andin, sekolah disini juga?”

            “Aku lupa nggak bawa tanaman.” Lanjutku dengan berbisik.

            “Ya udah punyaku di bagi 2 aja, dari pada nanti kamu kena hukuman.” Tangannya segera merogoh tas kresek yang menyimpan tanaman hias itu.

            “Eh, nggak usah. kita masuk aja sekarang dari pada nanti telat.” Namun ia masih tetap  memotong tanamannya menjadi dua bagian untuk diserahkan kepadaku.

            “Hei..ngapain kalian disini, ngrumpi? oh..ternyata mau berbuat curang!” Sungguh irama jantung yang sedari tadi berdetak keras kini terhenti sejenak dan kurasakan hanya menumpuk di atas dada. Terkaget aku mendengar nada bentakan itu dan ternyata Kak Faris salah satu anggota OSIS yang terkenal paling galak, aku dan Andin hanya melongo. Nampaknya Kak Faris sudah mengetahui apa yang kami lakukan.

            “Malah diam, baris sekarang!!” Bentaknya lagi, awalnya saja sok manis sekarang galaknya minta ampun. Pikirku dalam batin.

            “Iya Kak,” Kami pun berjalan menuju lapangan dengan dikawal oleh Kak Faris, sudah nampak barisan kelasku, akupun segera bergabung bersama mereka.

            “Siapa yang suruh kalian baris di situ, sana baris depan Kak Lucky.” Aku dan Andin saling bertatapan, pasrah dengan hukuman apa yang akan kami terima. Dalam barisan tersebut sudah terlihat satu cewek.

            “Kalian tahu kenapa dibariskan sendiri disini?” Kami hanya terdiam, tak ada guna membunyikan lafal pembelaan diri, toh suara kami pasti tak didengarkan seakan tertelan oleh ombak yang bergulung di mulut Kak Lucky.

            “Jawab!! Nggak punya mulut?” Wow ternyata bentakan Kak Lucky sepuluh kali lebih keras dibandingkan dengan Kak Faris.

            “Punya Kak.” Jawab kami berbarengan, udah tahu punya ngapain tanya segala. Hufh..pertanyaan yang nggak bermutu.

            “Cepat..cepat..” Terdengar kembali suara dari Kak Faris yang menyuruh tiga orang siswi untuk baris dengan kami.

            “Kami model dari SMK... Kami model dari SMK.” Dengan lantang kami meneriakkan ungkapan tersebut dengan tangan diatas pinggang dan gaya seperti seorang model pula. Itulah hukuman yang harus kami terima setelah sekian detik dan menit kami dibombardir dengan bentakan – bentakan yang memekakkan telinga . Kami berjalan di setiap barisan yang bebas dari hukuman, ditemani dengan ledekaan – ledekan siswa – siswa lainnya, sunguh memalukan. Sesekali ada yang tertawa kegirangan dan ada pula yang memandang tanpa berkedip. Itulah kesan pertama MOS yang membekas sampai sekarang dalam ingatan.

 Tapi memang segala peristiwa pasti ada hikmahnya, seperti halnya dengan peristiwa tersebut yang mengantarkan ku bertemu dengan  sahabat – sahabat  yakni  5 model dari SMK itu, Putri, Andin, Nurma, dan si kembar.

Hampir setiap hari kami selalu bersama – sama, awalnya suka cita yang kami rasa. Namun perlahan – lahan gelombang masalah itu pun muncul. Penampilan kami yang apa adanya dengan di baluti pernak – pernik yang kekanakan, hingga pembicaraan yang selalu bernadakan guyon dan humor tanpa ada unsur pergaulan pada zaman sekarang ini, tlah membuat teman kami yang lainnya melucutkan suatu ungkapan yakni “Nggak Dewasa”

Ya...kami dianggap tidak dewasa alias seperti anak kecil. Sakit juga mendengar ucapan seperti itu. Hingga menimbulkan peperangan kecil antara kami dengan mereka. Dan satu lagi, kebersamaan kami ternyata menjadi sebuah boomerang, Pak Nano wali kelas kami menganggap kebersamaan ini sebagai sebuah genk, selalu ekspresi ketidaksukaan yang selalu ia tunjukkan. Padahal apa ia tak menyadari banyak juga yang selalu bersama – sama selain kami, tapi kenapa harus kami yang selalu menjadi sorotan dan bukanlah hidup itu perlu teman dekat. Ingin aku berteriak “Ini persahabatan Pak bukan genk”. Tapi biarlah beliau beranggapan seperti itu yang penting kami tidak sampai merugikan orang lain.

Impian selalu ada dalam benak kami,

Mimpi kami sama dan masih berada pada puncak penggapaian. Mimpi itu adalah menjadi seorang wirausaha sukses. Mimpi indah tersebut di hantarkan oleh guru kewirausahaan kami, beliau sering menuturkan satu ungkapan bahwa “Jadilah Bos jangan jadi karyawan, Jadilah yang memerintah bukan yang diperintah, dan jangan mencari gaji tapi ciptakanlah gaji,” Ternyata ungkapan tersebut cukup merasuk dan mengubah pemikiran kami. Memang untuk meraih mimpi tersebut harus melalui rentetan tangga pengalaman dan usaha. Walau dengan jinjit – jinjit sekalipun kami rela untuk meraihnya. Namun bakat yang sudah melekat dalam diri kami tetap menjadi prioritas untuk dikembangkan dan itu merupakan cita – cita utama.

            “Ada yang mau beli bollpoint, penggaris, jajan juga ada..” Ucap Putri yang mencoba menawarkan dagangan yang sudah seminggu kami rintis ini. Di belakangnya ada aku dan Andin yang masih menerima uang dari hasil yang aku jual. Sementara Nurma, Liana, dan Liani berkeliling di kelas sebelah. Itulah rutinitas yang selalu kami jalani tiap kali istirahat.

Setelah itu kami keluar berbarengan pula dengan Nurma dan Si kembar, nampak ekspresi riang dalam wajah mereka. Pasti deh Nurma melucutkan kekocakannya kembali.

Langkah kami menuju kantin untuk sekedar menyegarkan tenggorokan yang sedari tadi kering menelan semua pelajaran yang disampaikan oleh Pak Nano. Irama keriangan menemani langkah kami sesekali diciprati oleh nada – nada kocak dari Nurma, yang jelas bersama kami apa pun yang nggak lucu menjadi sebuah lelucon.

            “Eh..lihat tuh si Randi, kalau dia sampe nyentuh tiang bendera aku bakal nadzar untuk megang dasinya Pak Nano.” Ucap Nurma membuat lelucon baru, kami pun bersama menatap ke arah Randy yang tengah berjalan bersama teman – teman basketnya ditengah lapangan. Tanpa kedip kami memandangnya menanti detik – detik kekalahan Nurma, berharap Randy menyentuh tiang bendera itu. Dan... 1,2,3... sebuah pemandangan yang kami nanti – nanti dan tak pernah diharapkan oleh Nurma. Randy tak hanya menyentuh tiang tetapi nampak memeluknya entah apa yang sedang ia peragakan kepada teman – temannya dengan tiang bendera tersebut. Yang jelas hal itu menambah rentetan nadzar yang belum dilaksanakan oleh Nurma, menggantungkan tangannya di pohon depan kelas dan menceburkan diri di kali belum jua ia lakukan. Dan kali ini ditambah lagi dengan janjinya untuk memegang dasi Pak Nano.

            “Ha..ha..kena deh.” Ejek Liani dengan bangganya.

            “Ku tunggu momen itu ya Nur, detik – detik kamu megang Dasi Pak Nano.” Tambah Liana, kamipun tertawa bersama – sama.

Belum rampung kami menuntaskannya, tiba – tiba tubuh Nurma disenggol oleh seorang cowok yang tengah berlari berkejaran dengan teman - temannya. Seketika HP yang ia pegang melorot dari tangannya dan jatuh ke arah mana. Ku rasakan sesuatu yang berat diatas rokku yang pada saat itu tengah duduk sebentar di kursi untuk membenahi tali sepatu, setelah kulihat ternyata HP nya Nurma. Haahh...untung saja.

            “Dasar manusia nggak bermutu!!!” Teriak Nurma sekencang mungkin.

            “Haa...manusia nggak bermutu??” cowok itupun berbalik dengan menirukan kembali gaya Nurma tanpa sedikitpun ada celah rasa bersalahnya.

Kami semua hanya melongo melihatnya, Tak tahu lelucon apa lagi yang akan dibuat Nurma.

Saat harapan terbentur dengan kenyataan,

Kami memang berada di kelas unggulan, akuntansi. Jadi bayangan masa SMA yang dalam benak semua orang adalah masa untuk bergaul, bergaya dan bersenang – senang dengan lawan jenis tak ada dalam kamus kami, yang terpenting kami menjalani kehidupan SMA untuk menata masa depan, sebuah jembatan untuk menjemput kesuksesan.

“Nggak terasa ya udah tahun terakhir kita disini.” Ucapku dengan menahan rasa haru, saat itu tengah pembagian hasil jualan kami selama 2 tahun.

“Setelah lulus mau dikemanakan mimpi dan cita – cita kita?”

“Put, kita pasti bisa. Ingat kan kita adalah orang – orang yang menomorsatukan usaha dan kerja keras. So it’s not important in this world, okey. keep spirit.” Nurma nampak meyakinkan kita semua yang memang tengah ragu terhadap cita – cita kami masing – masing. Keadaan ekonomi kami lah yang tidak memungkinkan untuk bisa melanjutkan ke perguruan tinggi, yang merupakan satu – satunya jalan untuk menjemput cita – cita itu.

“Kamu tahu kan untuk bisa berdiri dan mengenakan seragam putih abu ini pun orang tua kita harus merogoh saku sampai dalam, terus apa kita masih tega memaksa mereka untuk bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Karena tanpa kuliah mustahil cita – cita itu bisa kita genggam.”

“Kenapa pikiranmu begitu pendek, kita bisa bekerja dulu mengumpulkan uang yang terpenting adalah niat. Kalaupun nggak bisa, berhenti kita beranggapan kesuksesan hanya dimiliki oleh orang – orang yang telah merasakan bangku kuliah. Walaupun memang pendidikan sangatlah penting.”

            Disini kami saling menatap, merasakan betapa kami sangat lemah dan sejenak kami semua merenung.

            Pernah aku di tanya pada teman ku yang berbeda sekolah.

            “Vir, mau melanjutkan study kemana?...ah kamu itu enak, pintar jadi bisa melanjutkan ke kampus mana aja yang kamu suka.”

Sunnguh sebenarnya sakit aku mendengarkan kata – kata itu dan semakin menyulutkan peperangan di batin ini. Ingin ku berteriak SALAH!! Siapa bilang aku bisa menimba ilmu di perguruan tinngi manapun yang ku inginkan. Tidak... bukan karena kepandaian yang dianugerahkan kepadaku, bukan pula usaha kerasku dalam setiap menjalankan sesuatu yang ku inginkan. Tapi uanglah yang menentukan segala sesuatunya. Satu –satunya kunci tuk membuka gerbang pendidikan.

Hari indah itu pun tiba         

            “Nur itu lihat ada namamu!!”

            “Mana???”

            “Alhamdulillah....” Seketika Tetesan bening dari matanya mengalir memancarkan satu impian yang sempat pudar oleh kenyataan.

            “Nur, kita bangga sama kamu. Lanjutkan cita – cita mu.” Ucap Andin dengan penuh keharuan.

Ya mungkin ini lah jawaban dari usaha keras kami. Satu bulan yang lalu dengan informasi guru BK kami mendaftarkan diri untuk program beasiswa di perguruan Tinggi Negeri seluruh Indonesia. Berbagai nada remehan kami terima yang menganggap apa yang kami lakukan adalah sebuah hal yang tidak penting karena mustahil peluang kami untuk bisa diterima. Dan kini dunia boleh menertawakan kami sepuasnya, toh nyatanya kami mampu, meskipun hanya Nurma yang lolos itu sudah menjadi suatu kebanggaan bagi kami.

            “Eh Vir,Ni...itu namamu juga ada.” Ucap Liana yang cukup membuatku tersentak, aku memandang tak percaya.

Aku, Nurma dan Liani. Kami bisa....sungguh sulit dipercaya.

            “Kita bangga sama kalian, teruskan, jemput mimpi itu untuk kami.” Dengan mata yang berkaca – kaca Putri melafalkan perasaannya.

            “Aku sangat bersyukur Put, aku bahagia tapi aku akan sangat bahagia jika seandainya kita berenam bisa bersama merasakan hal yang sama.”

            “Vir...takdir manusia tak sama, ini sudah menjadi jalan hidup kita. Aku hanya bisa berdoa semoga kalian memang bisa meraih cita – cita kalian. Tenang saja disini aku sama Andin juga akan melanjutkan mimpi kita. Wirausaha im coming!!!

Mungkin itulah detik – detik terakhir kebersamaan kami, ternyata benar kata pepatah apa yang kita tanam itulah yang kita tunai. Dan itu yang kurasakan sekarang. Semua berawal dari apa yang kita kerjakan di masa lalu. Masa sekarang adalah cerminan masa lampau, dan masa depan adalah cerminan masa sekarang. Mereka, teman yang selalu meremehkan kita dengan kata – kata NGGAK DEWASA kini diusianya yang masih hijau pupus sudah bersanding di pelaminan. Dan kami cerminan apa yang kami kerjakan di masa lalu, masih tetap bekerja keras untuk sebuah kesuksesan. Aku, Nurma dan Liani tetap menuntut ilmu di kota seberang dan Liana di kota asal. Sementara Andin, menjadi guru Paud dan Putri berada di Ibu Kota yang ku pikir sudah cukup sukses dengan pekerjaannya. Dan satu lagi yang ingin ku katakan, ternyata uang bukanlah segalanya seperti yang waktu itu berada dalam pemikiran kami.

            Ternyata masa remaja yang sehat dengan persahabatan yang sehat pula akan menghasilkan masa depan yang sehat pula. Aku sangat rindu kalian, tawa dan canda kita. Tak terasa 2 tahun tlah berlalu meninggalkan kebersamaan yang hangat itu.

 

Kala ku buka kelopak mata

Entah mengapa terasa perih menyapa

Tetesan beningpun tlah menggenangi bola mata

Ada apa dengan detik yang kian menjalar berjalan mengukir waktu

Ternyata perpisahan kan segera menjerat

Tapi waktu akankah kau tega mempercepat lajuanmu

Ku belum rela melepas kebersamaan ini

Ku tak kuasa meninggalkan cerita manis ini

Dan ku belum sanggup tuk berucap selamat tinggal

Teman2 seperjuanganku

Tiga tahun peluh kering warnai perjuangan kita

Suk duka hiasi kisah kita, kini semua kan terbungkus rapi dalam sebuah kenangan

Terima kasih pahlawanku, Bapak Ibu Guru

Walau sering tingkahku menyulutkan emosimu

Tapi kesabaranlah yang sering kau galakkan

Pada detik2 perpisahan ku baru menyadari betapa berharganya jasa – jasamu

Aku memang kan segera akhiri tapakkanku disini

Tapi kan slalu ku ingat di sekolah ini ku bisa berdiri tegak berbalut putih abu dengan segudang ilmu yang ku dapatkan.

Ku putar kembali video perpisahan yang masih tersimpan rapi dalam tumpukan VCD, ku dengarkan puisi ku yang dibacakan diatas panggung.  Ku biarkan tetesan bening ini mengalir deras mengungkapkan luapan perasaan rindunnya akan masa masa Putih Abu.

* * *

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler