Skip to Content

RATIB MUHIBAH

Foto mahyut z.a. dawari

Di penghujung 1970-an terjadi perpanjangan masa belajar. Jika dirunut, pada tahun-tahun sebelumnya, maka semestinya tahun pelajaran akan berakhir pada bulan Desember. Namun, tidak pada tahun itu. Tahun pelajaran akan berakhir nanti pada bulan Juni. Tak pelak, masa belajar ketika itu menjadi delapan belas bulan. Hanya terjadi pada tahun itu saja. Sejak peristiwa itu, maka penyebutan dua nama tahun sekaligus dalam satu tahun pelajaran.

Perpanjangan masa belajar itu berdampak pada murid-murid SDN Aingelar. Jauh di pedalaman bagian selatan Pulau Sumbawa, sekitar 30 km dari pusat keramaian kota Sumbawa Besar, sekolah itu semakin hari semakin tampak murid-muridnya di  kelas VI berkurang.

Pak Andang, Kepala SDN itu, prihatin. Dia membaca statistik di papan data. Tahun kemarin, murid-murid kelas VI berjumlah 16 orang yang mengikuti ujian akhir sekolah. Tahun ini, boleh jadi sekitar 10 orang murid saja yang bertahan. Bahkan lebih mungkin kurang daripada itu. Mereka tak niat bersekolah karena adanya perpanjangan masa belajar itu.

Pak Andang resah. Dua tahun bertugas sebagai kepala sekolah di SDN itu membuatnya tertantang untuk menemukan sebuah solusi yang jitu. Di ruang kerjanya, yang disekat dengan lemari seadanya, ia termenung. Ulang-alik ia berpikir memutar otak. Lima menit kemudian tampak ia tergesa-gesa berjalan memasuki ruang kelas dan memanggil guru-guru yang sedang mengajar.

Empat orang guru mengayun langkah lebar-lebar, memasuki ruang kerja Pak Andang. Kelas yang mereka tinggalkan terdengar mulai gaduh tanpa guru. Untuk sementara saja. Paling tidak hanya 15 menit.

Di ruang kerja Pak Andang yang sempit, mereka menggelar diskusi kecil, menyusun strategi demi mengembalikan murid-murid kelas VI yang terlanjur keluar ke bangku sekolah. Inisiatif itu diprakarsai oleh Pak Andang sendiri.     

“Kita harus berupaya keras mencegah murid-murid kelas VI yang hendak keluar dari sekolah ini,” ancang Pak Andang begitu empat orang guru itu telah duduk di depannya. Atas lontaran kata-kata itu keempatnya kontan bersitatap. Dahi mereka tampak berlipit-lipit.  

“Kunjungi rumah-rumah mereka dan bujuklah agar mereka mau bersekolah.  kembali,” tambah Pak Andang lebih menyerupai sebuah instruksi.

Empat orang guru itu kembali saling tatap. Tidak hendak berkata-kata untuk sementara waktu. Betapapun, ini sebuah misi yang tidak bisa ditawar-tawar jika ingin kelas VI tetap memiliki murid.

“Bagimana jika mereka enggan kembali bersekolah?” Pak Sambirang, salah seorang dari mereka memberi tanggapan.

“Janjikan mereka hadiah, pasti mau!” jawab Pak Andang antusias.

“Hadiah apa akan kita berikan, Pak,” Pak Anggo, yang dari tadi menyimak, bertanya sembari manggut-manggut.

“Buku tulis, pulpen atau apa saja keperluan mereka untuk sekolah.”

“Saya sangsi, Pak!” Pak Rebo ambil kesempatan berbicara, “Anak-anak di dusun ini  tidak mempan bujukan. Payah, Pak. Mereka lebih memilih membantu orang tuanya bekerja di sawah. Sewaktu-waktu mereka juga ikut berburu rusa atau mencari madu di hutan ketimbang memperebutkan selembar ijazah.”

“Jangan putus asa, Pak Rebo,” ujar Pak Andang mencoba maklum. Seulas senyum diangsurkan padanya. “Kita harus berikhtiar, Pak!”

“Telah lima belas tahun saya mengajar di dusun ini, jadi, paham betul watak anak-anak di sini,” Pak Rebo mengambil setarikan napas, menciptakan jeda dramatik sejenak. “Itu pengalaman saya selama mengajar di sekolah ini, Pak. Jika tidak percaya marilah buktikan bersama-sama,” lanjutnya lebih menyerupai sebuah gumam.

Seseorang mengacungkan tangan, Bu Datia, satu-satunya guru perempuan di sekolah itu, berdiri seraya berkata: “Saya wali kelas VI. Jadi, saya yang akan mengunjungi mereka. Nanti sore saya akan mulai berkunjung.”

Pak Rebo mendehem. Ditatapnya Bu Datia dengan mata memicing. Tak percaya akan pendengarannya sendiri. Bu Datia, guru bujang itu tersenyum ke arahnya. Tantangan menarik, Bu Datia membatin. Dua rekan lainnya, Pak Sembang dan Pak Anggo menarik napas lega. Misi itu akhirnya diemban oleh satu orang saja. Sang wali kelas sendiri.

“Berapa orang yang keluar, Bu Dat?” tanya Pak Andang seketika.

“Enam orang!” ringkas jawab Bu Datia.

Pak Andang terpana. “Berarti murid kelas VI tinggal sebelas orang.”

“Benar, Pak!” Bu Datia membenarkan.

Sehembus naspas terhempas. “Baiklah. Untuk sementara ini sampai di sini dulu pertemuan kita,” suara Pak Andang datar. Nyaris serupa keluhan yang tertahan.

Empat orang guru itu beranjak. Kembali ke kelas masing-masing memberi pelajaran yang sempat tertunda. Kegaduhan di kelas yang ditimbulkan ulah murid-murid mereda. Empat ruang kelas itu kembali di dominasi suara guru-guru yang mengajar.

Pak Andang di samping menjabat kepala sekolah juga mengajar di kelas I dan II. Murid kelas I telah dipulangkan pada sejam yang lalu karena ruang kelas itu akan dipakai pula untuk belajar kelas II. Saat ini mereka telah bergerombol di depan pintu kelas. Tampak Pak Andang menyalami mereka satu-satu. 

Di ruang kelas VI Bu Datia mendata nama-nama murid yang keluar. Pada selembar kertas tertera nama-nama itu: Piyek, Mida, Cebo, Jaho, Sembak, dan Uri. Mereka tiga laki-laki dan tiga perempuan.

Bu Datia menarik napas dalam-dalam. Nama-nama itu tidak tinggal di dalam dusun itu. Mereka tinggal di kebun, di atas gunung yang tak dekat, dan sore nanti Bu Datia akan mengunjungi mereka. Tantangan menarik, kembali kalimat itu dibisikinya sembari memejamkan mata.

Maka dipilihlah Baki, Ruka, Unis, dan Ambe yang akan menemani Bu Datia berkunjung. Empat nama itu adalah murid-muridnya yang terpintar di kelasnya. Kemauan belajar mereka yang kuat menjadikan mereka di atas rata-rata.  

SDN Aingelar standar sekolah kampung. Dibangun di atas tanah tak begitu luas. Lima ruang kelasnya setengah tembok. Dinding dari kulit bambu disekat di atas setengah tembok itu. Dicat warna putih dan telah pula tampak buluk termakan usia.

Jika malam hari sekolah itu dihuni oleh kambing-kambing warga yang dibiarkan menggelandang. Ada pagar kayu bolong-bolong jalan masuk kambing-kambing itu ke emperan sekolah.

Begitulah, bila telah tiba pagi hari, murid-murid menggerutu. Kerja bakti menyingkirkan kotoran kambing-kambing itu adalah rutinitas. Bau pesing kencingnya adalah santapan sehari-hari. Sangat menyebalkan, memang. Apa boleh buat!

Dusun Aingelar tampak tak ramai. Dusun yang dihuni empat rukun tetangga itu “berinduk semang” pada Desa Lenangbusir. Di sanalah bermukim kantor desanya. Pun letaknya 6 km dari dusun Aingelar sendiri. Menempuh rute ke sana hanya kuda kendaraan satu-satunya.   

Bila malam menjelang, dusun yang diapit dua gunung itu sunyi. Di tengah kesunyian itu suara burung hantu kontras terdengar dari lereng gunung yang mengapitnya. Di pucuk dua gunung itulah sebagian dari  warganya tinggal dan berkebun di sana.

Sementara, di sepanjang dua kaki gunung yang mengapit dusun itu, menghampar hijau sawah mereka. Sungai, yang mengalirkan air, tidak pernah mengering sepanjang tahun menjadikan sawah mereka dapat dipanen dua kali. Usia panen padi saat itu enam bulan sekali.  

Hari-hari ramai di dusun Aingelar adalah pada hari Jum’at. Selepas bersholat jum’at, seperti biasa, dusun itu kembali sunyi ditinggalkan penghuninya. Mereka kembali ke kebun atau ke sawah tempat di mana mereka beraktivitas sebagai petani.

Keramaian yang semarak terjadi bila tiba hari raya idul fitri dan qurban. Akan tetapi, kerap pula keramaian serupa dijumpai jika ada warga berhajat menikahkan putra mereka. 

 Demikan pula murid-murid sekolah. Sepulang dari sekolah mereka  tak membuang waktu lama. Bertelanjang kaki mereka menyusuri jalan setapak menuju sawah dan kebun mereka. Rutinitas semacam itu acap membuat mereka jenuh. Maka tak heran, rasa enggan untuk kembali bersekolah adalah ujung dari kejenuhan itu.

Potret itulah yang dijumpai Bu Datia pada pertama kali ia tugas di SDN itu empat tahun lalu. Sempat ia tidak tahan dengan kondisi semacam itu dan ingin mengajukan pindah.

Tapi, sesuatu membuat Bu Datia trenyuh. Ruka, Baki, Unis, dan Ambe adalah temannya berbagi sunyi. Dan itu menyadarkannya akan arti bertahan. Mereka selalu ada setiap dibutuhkan. Oleh hubungan yang terjalin itu Bu Datia akan merekomendasikan mereka masuk SMP di pusat kota jika tamat SD, nanti.   

Di samping Ruka, Unis, Ambe dan Baki pintar pada setiap mata pelajaran, mereka juga pintar menembang ratib. Berempat mereka menabuh rebana. Alat perkusi itu terdengar rancak di tangan mereka.

Diawali dengan tabuhan melambat mengikuti alun tembang ratib mendayu-dayu. Lalu, makin ke ujung tabuhan itu semakin bergairah, menampakkan semangat tak pernah padam. Di tempatnya, Bu Datia terkesima. Maka, semakin kuat keinginannya memperjuangkan nasib keempat sekawan itu.  

Kini mereka kelas VI. Dua bulan akan datang mereka ujian akhir. Dan, jika sore nanti, mereka hendak menemani Bu Datia melawat ke tempat teman-temannya yang enggan melanjutkan sekolah. Ijin telah diperoleh dari orang tua mereka masing-masing.

Dalam lawatan itu, nanti, bersama Bu Datia, mereka mengemban misi membujuk teman-temannya kembali bersekolah. Mereka adalah pioner, yang berdakwah mengajak mereka kembali ke bangku sekolah.   Reputasi mereka berlima dipertaruhkan dalam misi muhibah itu.

Tiga ekor kuda jantan ditambatkan pada kolong rumah panggung milik orang tua Ruka. Lelaki berkulit hitam itu tampak sedang memberi rumput pada kuda-kuda tambat itu. Tiga orang temannya, Unis, Ambe dan Baki ditugasi menjemput Bu Datia.

“Wouuuuhhh,” Bu Datia tercekat. Tak disangkanya ia akan berkuda dalam misi mereka. Lalu disambangnya keempat murid terbaiknya itu. Erat, mereka dirangkul. Keharuan membuat mata Bu Datia berkaca-kaca.

“Saya membonceng Ambe,” kata Baki sembari melepaskan tambat kudanya, “Ruka sekuda dengan Unis,” imbuhnya kemudian.

Unis ragu. Ditatapnya Bu Datia sejurus, “Bu Guru bisa menunggang kuda sendiri?”

“Saya orang Sumbawa mesti bisa naik kuda sendiri, dong” Bu Datia membanggakan diri, “Kuda yang mana buat Bu Guru?” 

Unis tersenyum, “Kuda saya saja. Si Putih. Dia jinak dan penurut!”

“Baik,” Bu Datia bersiap. Dituntunnya Si Putih ke sebongkah batu. Di atas batu itu ia berdiri tegak, siap mengayunkan badannya. Empat muridnya itu menunggu sepak terjangnya. Huup! Dengan kepiawaian yang nyaris sempurna Bu Datia tiba-tiba telah bercokol manis di atas punggung Si Putih.

Keempat muridnya saling bertatapan. Mereka takjub dan berdecak kagum. “Hebat!” puji mereka hampir bersamaan. Dari wajah mereka, Bu Datia menangkap secercah senyum yang mengembang.

“Siap. Jalan!!” Bu Datia memberi aba-aba.

Murid-muridnya mengangguk. Kalakian terdengar suara tapak kaki kuda mengencang menuju jalan setapak. Perjalanan itu telah diawali. Maka, sekali layar terkembang pantang surut kemudi. Di ufuk barat matahari tergelincir ke balik punggung gunung.  

Dan, sore pun merangkak turun perlahan. Kesejukan segera terasa membuai oleh udara di lereng pegunungan itu. Tiga ekor kuda jantan merangkak di jalan setapak. Tampak di depan Unis dan Ruka sebagai pemandu jalan. Di belakang Bu Datia kuda yang ditunggangi oleh Ambe dan Baki mengekor.

“Unis,” panggil Bu Datia di tengah separuh perjalanan.

Unis menarik tali kekang. Kuda tunggangannya melambat jalannya seketika. Tanpa bertanya ditolehinya Bu Datia.

“Agar semarak kunjungan ini meratiblah kalian,” pinta Bu Datia. “Di samping hiburan ratib mengandung doa permohonan. Nah, agar misi kita lancar ratiblah. Bukankah kalian sudah sering Bu Guru dengar mendendang ratib tanpa rebana di sekolah? Suara kalian itu bagus.”

Unis menelan ludah. Disikutnya Ruka yang duduk di belakangnya. Tidak ada reaksi. Unis membuang pandang pada Baki dan Ambe, sejenak. Tak ada respon. Unis menunduk, tali kekang dilonggarkannya.

Lamat-lamat, terdengar suara Unis. Di atas kuda tunggangannya, yang menapak, seorang diri Unis meratib. Namun, tidak seberapa lama suara lembut Unis ditingkahi oleh suara ketiga rekannya dalam koor yang solid. Mengalun membelah lereng pegunungan. Menembus celah bebukit hingga ke arah lembah terjauh. Di sana, di lembah terjauh itu, suara mereka akan terdengar sayup-sayup dalam gelombang angin yang menghantar.

Dan suara mereka itu terdengar pula oleh Cebo, Mida, Piyek, Jaho, Sembak dan Uri. Mereka menajamkan pendengaran demi mendengar suara ratib itu. Ah, betapa hapal betul mereka suara penembang itu. Ada apa gerangan? Mereka bertanya-tanya. Sebuah kunjungan yang tak pernah terjadi sebelumnya. Dicarinya arah yang hendak dituju oleh penembang ratib itu. Rumah Cebo.

Tersentak mereka di tempat masing-masing. Alunan tembang ratib itu seperti menghipnotis mereka. Serta-merta, mereka menuju ke arah yang hendak dituju oleh rombongan itu. Ingin mereka tahu maksud kunjungan mendadak itu. Dan, tanpa buang waktu, gegaslah langkah mereka mengarah ke rumah Cebo.

Tembang ratib berhenti berkumandang. Di luar pagar kebun milik orang tua Cebo, Bu Datia terkesima oleh sesuatu yang terjadi di luar dugaan. Tanpa terencana. Dan siapa nyana, di areal pekarangan rumah Cebo mereka telah ditunggu segerimbun manusia. Mida, Jaho, Piyek, Sembak, dan Uri tampak di sana beserta orang tua mereka masing-masing. Ajaib.

Melihat kedatangan Bu Datia, mereka berdiri. Ruka melompat turun disusul Unis dari punggung kuda tunggangannya. Hal serupa dilakukan Baki dan Ambe. Tetapi, Bu Datia bergeming. Di atas pungggung Si Putih, tak henti-hentinya bibir Bu Datia bergetar lembut, menggumam hamdalah sebagai wujud rasa syukur.  

Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, kata peribahasa. Akan hal serupa, sekali berkunjung mereka semua ada di situ. Bu Datia lalu melompat dari punggung Si Putih. Unis segera mengambil alih Si Putih. Kuda itu ditambatnya di bawah rindang pohon randu yang tumbuh sebagai pagar bersama dua kuda yang lain.

Keriuhan segera tercipta oleh basa-basi sambutan setelah Bu Datia berucap salam. Mida, Uri, dan Sembak serempak berlari, merangkul Bu Datia. Jaho, Cebo, Piyek tidak mau ketinggalan pula. Berebut mereka mencium tangan gurunya.

Bu Datia dikerubungi seumpama ratu lebah. Tak seinci pun mereka ingin menjauh. Sekian lama tak jumpa tentu ada rindu yang tercipta.  Ah, tahukah kedatanganku ini untuk menjemput kalian? Terbersit kata-kata itu dari palung hati Bu Datia. Penuh empati dielus-elusnya rambut mereka berganti-gantian. Tak pelak, para orang tua mereka sumringah hatinya melihat kedekatan antara guru dan muridnya itu.   

“Apa rungan (kabar), Anak-anak?” sapa Bu Datia ramah. Sejenak, ia mengangkat wajah, menyapa orang tua mereka yang hadir di situ dengan penuh takzim sambil bersalam-salaman. “Bapak-bapak, Ibu-ibu, apa rungan Sia (kabar Anda)!”

Rungan balong (kabar baik), Bu Guru,” jawab mereka tidak kalah takzimnya.

Unis, Baki, Ambe, dan Ruka menggabungkan diri dengan teman-temannya. Pertemuan mereka jadi semarak setelah sekian lama tak berjumpa. Orang tua Cebo menyiapkan perjamuan ala kadarnya. Di atas balai-balai dari bambu yang tak beratap mereka bercengkerama ditemani kacang rebus dan teh manis yang hangat.

Tanpa canggung, Bu Datia mengungkapkan maksud ia berkunjung. Hening sejurus. “Saya mohon Bapak-bapak, pun Ibu-ibu, tak keberatan memberi izin kepada mereka untuk kembali ke sekolah. Mereka harus sekolah hingga tamat. Bila perlu melanjutkan sekolah ke kota.” Lugas kata-kata itu terucap, tersimak oleh semua yang hadir. Dan, jawaban yang diterima Bu Datia adalah anggukan kepala dari mereka. Mungkin mereka tengah mencernai kata-kata Bu Datia. Pun sebaliknya, bisa jadi mereka enggan melepas anak-anak itu kembali ke bangku sekolah. Bu Datia menunggu respon dari kata yang diumpannya.   

“Semua bergantung kepada anak-anak,” berkata orang tua Cebo, yang diamini pula oleh orang tua yang lain.

“Tapi harus diberi anjuran,” Bu Datia memotong, “Anak-anak harus diarahkan untuk bersekolah. Pendidikan penting buat mereka. Mereka generasi penerus. Di punggung mereka tersampir masa depan bangsa. Orang tua berkewajiban memberi pendidikan yang layak bagi mereka.”

Tak ada bantahan. Sepatah kata pun tidak. Dalam hati, mereka membenarkan kata-kata Bu Datia. Anak-anak mereka adalah generasi penerus. Ada senyum terkembang di bibir mereka demi menyadari makna dari dua kata itu; generasi penerus.

“Mereka dengan senang hati saya tunggu di sekolah besok,” kata Bu Datia sebelum bermohon diri untuk pamit.

Mendengar kata-kata itu sontak anak-anak mereka bertatapan. Ada kesumringahan terpancar dari wajah-wajah polos itu setelah orang tua mereka memberi anggukan setuju.

Akan halnya Unis, Ruka, Baki, dan Ambe bertatap-tatapan sembari tersenyum. Dalam hati, mereka bersorak-sorak penuh kemenangan.

Sebelum senja meremang, mereka tampak telah berada di tengah perjalanan pulang menuju dusun. Diotaki Unis, tembang ratib kembali berkumandang di sepanjang penurunan lereng gunung. Namun, kali ini ada yang berbeda. Dari kejauhan, sayup-sayup, terdengar suara yang menimpali tembang ratib empat sekawan itu. Menembus relung senja dari arah di mana mereka telah berpijak sebelumnya. Alunan suara menimpal itu adalah milik orang tua dari murid-murid Bu Datia yang baru terkunjungi.

Esoknya, di sekolah, Bu Datia mendapat sambutan hangat dari Pak Andang. Tak dapat disembunyikan rasa gembira dari sorot matanya mendapati murid-murid kelas VI kembali utuh. Kepada Bu Datia, Pak Andang menyerahkan hadiah berupa seperangkat alat tulis-menulis dan buku, yang dibagikan kepada mereka yang kembali ke bangku sekolah setelah absen sekian lama.

Kepada empat sekawan Bu Datia memberikan hadiah berupa tiket masuk SMP tanpa testing. Betapa amat terharu orang tua Unis, Ambe, Baki, dan Ruka mendengar keinginan Bu Datia. Lebih terkejut lagi, mereka akan digratiskan tinggal di rumah orang tua Bu Datia. Di sana mereka akan membantu apa saja sebagai bentuk ucapan terima kasih selama mereka sekolah, kelak. 

Maka, selepas ujian akhir sekolah, mereka akan diantar Bu Datia ke SMP yang dimaksud. Bu Datia memperkenalkan Unis, Ambe, Ruka, dan Baki kepada kedua orang tuanya. Tak ada penolakan. Dengan senang hati mereka diterima, bahkan. Maka, dalam waktu sesingkat itu saja kehadiran mereka telah disambut dengan tangan terbuka.

“Kalian akan menempati kamar kosong di belakang. Sementara itu, satu kamar yang selama ini dijadikan gudang besok kalian bersihkan. Jadi kalian akan menempati dua kamar. Satu kamar untuk dua orang, bagaimana?” Bu Datia menatap mereka satu-satu.

Unis memberanikan diri mengacungkan tangan. Di antara keempat murid-muridnya itu hanya Unis seorang yang berani mengambil sikap. Jiwa kepemimpinannya telah tampak sejak dini. Bu Datia sangat suka akan sikap percaya diri Unis.

“Apa usulmu, Nis?” Bu Datia menatap Unis, jenaka.

“Apa yang kami terima di sini sudah lebih dari cukup,” papar Unis, “Namun, alangkah tidak tahu dirinya kami jika harus berselisih paham soal kamar yang dimaksud, Bu Guru. Semua itu wewenang Bu Guru. Kami ini menuruti saja.”

Bu Datia memberengut manja. Tampak oleh mereka kedua ujung alis tebalnya bertaut. “Kamu ini, Unis,” katanya diakhiri tawanya yang renyah.

“Sudahlah,” Bu Datia mengibas tangannya, “Nama kalian sudah Bu Guru daftarkan pada Ayah. Jadi, kalian tidak perlu khawatir lagi. Ayah sudah  menyanggupinya.”

“Berati ayah Bu Guru jadi guru di SMP itu, ya?” sedikit malu-malu Ruka melontar tanya.

“Ayah Bu Guru kepala sekolahnya,” jawab Bu Datia lugas. “Sudah, ingat tugas kalian adalah belajar. Jangan kecewakan orang tua kalian. Itu saja yang Bu Guru pinta dari kalian. Sanggup?”

“Kami berjanji untuk tidak mengecewakan mereka. Termasuk juga tidak mengecewakan Bu Guru,” Unis mengucap ikrar yang diamini oleh ketiga rekannya.

Bu Datia takjub. “Unis, betapa satrianya engkau. Kelak, jika engkau jadi pemimpin engkau akan dipanut,” Bu Datia tersenyum bangga.

 Doa dan harapan saling mengikat satu sama lainnya. Kerja keras sesungguhnya pintu untuk meraih keduanya. Kalimat bijak itu adalah kata-kata terakhir yang diucapkan Bu Datia kepada Unis, Baki, Ambe, dan Ruka menjelang ia pamit.

Lalu permintaan terakhirnya, “Meratiblah untuk Bu Guru,” katanya lembut di antara sengal napas yang melambat, “Pelan-pelan saja!”

Unis terpaku. Ambe gemetar. Baki menahan isak. Ruka menunduk. Keluarga besar Bu Datia bertatap-tatapan. Diam. Dan, dalam diam ada banyak makna yang harus ditafsirkan. Firasat juga harus dibaca dalam diam. Diam yang sesungguhnya. Maka, tak bisa tidak, pada detik-detik seperti itu, setiap sudut kamar, menguar aroma sunyi dalam kepekatan yang nyata.

Leukemia demikian nama penyakit yang telah melumpuhkan kondisi Bu Datia. Laknat benar itu penyakit. Lihatlah. Pelan tapi pasti penyakit itu membuatnya tidak berdaya. Wajahnya pias seperti tak ada lagi darah mengalir di sana. Di atas pembaringan, Bu Datia tergolek sangat lemah. Kepasrahannya telah sampai pada puncaknya. 

Di ambang senja yang membungkus temaram, Bu Datia pergi untuk selamanya diiringi tembang ratib, yang mengalun pelan dari bibir yang gemetar. Bibir Unis, Ambe, Ruka, dan Baki.

Lalu isak tangis merajai relung dada. Menggoda punggung untuk tetap bergerak dalam sengguk. Selamat jalan Bu Datia. Empat buah kata yang membentuk sebuah kalimat miris itu berdesis dari bibir yang menyimpan banyak kenangan tentangnya.

***

 In memoriam Bu Datia

Kepergiannya meninggalkan banyak kenangan bagi kami berempat.  Maka, mengenangnya kembali adalah berarti menyalakan api spiritnya.  Di tahun ketiga kami duduk di bangku SMP, Bu Datia divonis leukemia. Namun, Bu guru yang kami gugu itu sepertinya tak hirau dengan vonis yang ditibankan kepadanya. Betapa tabah ia.

Dia sangat membanggakan diri kami berempat. Di penghujung usia yang digerogoti penyakit itu, Bu Datia berwasiat kepada kedua orang tuanya. Kelak, jika ia tiada, uang asuransinya akan dihibahkan kepada kami berempat sebagai biaya pendidikan kami. Oh, Betapa hesterisnya aku saat mendengar wasiat itu. Ruka, Ambe, dan Baki tersedu-sedan, tak mampu kami berucap apa-apa walau sekadar kata terima kasih.

Maka, mengenangnya kembali adalah berarti kami harus mengikuti jejak-jejaknya. Di tahun keenam kepergiannya, kami telah lulus dari D1 Bahasa dan Seni. Dan pada tahun yang sama kami diterima mengajar di SMP tempat kami bersekolah dulu.

Maka, mengenang Bu Datia adalah semangat yang menyala-nyala, tidak pernah padam meski angin mencipta badai. Biarpun langit murka dan mengirim hujan ke bumi dalam rupa air tumpah-ruah, sehingga bumi kelimpahan air yang membuatnya tenggelam. Itu tidak apa. Sebab di dada kami telah terpatri semangat penolak badai. Ratib muhibah itu.

Maka, percayalah, Bu Guru Datia. Aku dan juga Ruka, Ambe, dan Baki; akan mengenangmu sampai kami tidak mengingat lagi makna dari  kenangan itu sendiri. ***  

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler