Skip to Content

resident evil Redy

Foto R'ainy Yusuf

Redi mengayuh sepedanya dengan kencang. Jalanan yang menurun mempercepat laju sepedanya. Tapi dia masih terus saja mengayuh dan mengayuh lagi. Desiran angin seolah akan menerbangkannya. Ransel  di pundaknya sesekali terlonjak ketika roda-roda sepeda melintasi jalan berbatu. Namun dia seakan tak merasakan itu. Redi terus saja mengayuh.

“Mamak nggak punya uang. Kan minggu lalu baru dibelikan ayah buku gambar.” Masih terngiang kata-kata mamaknya waktu dia minta dibelikan buku gambar baru.

“Tapi kakak dibelikan hp baru,” protesnya waktu itu menjawab kata-kata mamak. Tadi dia melihat kak Mawar  sedang memainkan hp baru.

“Bang Ari juga dibelikan tas baru,” tambahnya.

“Itu hp Om Agus. Hp kakak rusak, masih belum selesai diperbaiki. Nanti kalau sudah diperbaiki pasti kakak pakai hp yang lama. Dan tas abangmu memang sudah pantas diganti. Kan Redi lihat sendiri tasnya sudah sobek.” Mamak berusaha menjelaskan panjang lebar.

Tapi Redi tidak percaya. Dia merasa mamak sudah pilih kasih.

Redi adalah seorang anak berusia enam tahun. Perawakannya tinggi dan berkulit putih. Dikalangan teman-temannya dia selalu lebih menonjol. Mungkin karena postur tubuhnya lebih besar jika dibandingkan dengan teman-teman sebayanya. Kalau hatinya sedang tidak senang maka bibirnya menekuk memperlihatkan lekuk yang khas dikedua belah pipinya. Wajahnya keras dan tegas. Segala geraknya menampakkan kekerasan hatinya.  Apabila keinginannya tidak terpenuhi maka matanya yang beralis tebal itu akan berontak dengan pandangan tajam.

Walaupun sudah genap enam tahun tetapi Redi belum bersekolah. Menurut mamak lebih baik masuk sekolah dasar kalau sudah genap tujuh tahun. Tetapi walaupun belum pernah duduk di bangku sekolah formal atau pun taman kanak-kanak, Redi sudah mahir berhitung. Dia bisa mengenal angka hingga tigapuluh. Memang Redi lebih tertarik dengan angka daripada huruf. Jadi walaupun mamak selalu mengajarinya mengenal huruf, dia tetap lebih tertarik kalau belajar berhitung.

Dalam keluarga, Redi anak bungsu. Dia mempunyai seorang kakak perempuan yang sudah duduk di bangku kelas dua SMA. Dan Bang Ari, abangnya sebentar lagi akan tamat dari sekolah dasar. Karena dia tidak mempunyai adik, maka sangat dimanja oleh mamak dan kedua kakaknya. Ayahnya jarang di rumah karena bekerja di luar kota. Biasanya setiap akhir minggu baru ayah pulang ke rumah. Mungkin karena itu mamak selalu meluluskan segala keinginannya.

Banyak mainan yang dimilikinya. Mobil-mobilan, robot-robotan, pistol mainan, bahkan pesawat terbang yang ada remote controle-nya juga dia punya. Semua itu dibelikan oleh mamak. Tapi hari ini entah mengapa mamak tidak mau membelikan buku gambar idamannya. Yang ada gambar  resident evil-nya. Kalau namanya itu Redi dengar dari Bang Ari. Kata Bang Ari, resident evil seri gambar terbaru. Dan Redi jadi benar-benar penasaran. Padahal, temannya si Kiki, tadi sudah dibelikan buku itu.

“Lihat, aku sudah dibelikan resident evil,’ pamer Kiki dengan bangga.

Dan dengan bangga pula Redi menjawab, ”akupun nanti dibelikan mamak.”

Tapi ternyata mamak tidak mau membelikan buku itu. Hatinya benar-benar panas.

Sekarang dia telah sampai di tepi sebuah sungai kecil. Sungai itu dangkal dan berair jernih. Dasarnya berpasir halus terlihat dengan jelas. Dia berhenti di atas jembatan bambu yang melintas di atas sungai sambil mengamati ikan-ikan kecil yang berenang kian kemari. Bersama teman-teman, Redi selalu menangguk ikan di situ. Kalau mendapat anak-anak ikan kecil, akan dimasukkan ke dalam stoples bekas kue dan diberi makan beberapa butir nasi. Tapi besoknya ikan-ikan itu sudah mati. Kata mamak, ikan-ikan itu mati karena sedih  terpisah dari induknya. Dan  hari ini, Redi benar-benar ingin seperti ikan-ikan kecil itu, terpisah dari mamak. Redi merasa mamak sudah tidak sayang lagi padanya.

Kembali dia mengayuh sepedanya. Sekarang dia sampai di bawah pepohonan sawit. Beberapa anak  sebayanya sedang bermain petak umpet di bawah pepohonan. Di lain waktu, Redi pasti akan menggoda mereka dengan memberitahukan tempat persembunyian kepada anak yang sedang jaga. Dan biasanya anak-anak itu akan gaduh karena tempat persembunyiannya diberitahukan. Lalu Redi akan tertawa puas karena keisengannya membuat teman-temannya pada heboh. Tapi sekarang hatinya sedang gundah. Dia sedang tidak ingin menjahili anak-anak itu. Dia duduk agak menjauh dari mereka. Sepedanya tersandar pada sebuah pohon  di sebelahnya. Ransel yang tersampir di pundak di turunkannya perlahan-lahan, kemudian dibukanya dengan hati-hati. Tangannya meraih sebuah benda dari dalam ransel. Benda tersebut diciumnya kemudian dimasukkan kembali ke dalam ransel. Dari kejauhan terdengar suara azan Zuhur. Sebenarnya Redi ingin langsung pulang begitu mendengar suara orang mengaji di masjid tadi. Kata Pak Tahmid, guru mengajinya, kalau orang di mesjid sudah mengaji maka setan-setan akan berlarian karena takut mendengar bacaan ayat-ayat Al Qur’an. Jadi sebaiknya anak-anak jangan lagi berada di luar rumah. Tetapi dia tidak mau bertemu dengan mamak. Dia ingin jauh-jauh dari rumah. Kan mamak sudah tidak sayang lagi padanya. Makanya waktu suara azan sudah terdengar, dia masih tetap menaiki sepedanya.  Redi sudah bersiap akan mengayuh sepedanya kembali ketika tiba-tiba telinganya mendengar seruan.

“Redi, pulang! Sudah tengah hari!” Redi menoleh dan tampak seraut wajah menyembul dari balik tirai jendela. Mamak melambaikan tangan sambil memanggilnya. Mamak tersenyum. Redi ingin mengabaikan saja pangilan mamak. Tapi kata ayah, kalau kita tidak menyahuti panggilan mamak, tidak akan mendapat ridho Allah. Dan di pengajian, Pak Tahmid pun mengatakan demikian. Redi memang sedang marah sama mamak tapi dia takut kalau dimarahi Allah.

“Iya,” hanya itu jawabnya.

Dikayuhnya sepeda menuju rumah. Sepeda itu kemudian diparkir di bawah pohon kelapa di depan rumah. Pohon kelapa itu tidak tinggi tetapi berbuah  lebat. Di dekatnya terdapat gundukan pasir. Bila sedang bosan naik sepeda, dia sering bermain pasir bersama Kiki di situ. Redi jadi sopir mobil pengeruk pasir yang di sebutnya beko. Si Kiki jadi sopir truk pengangkut tanah. Dia akan memuat pasir ke dalam bak mobil pengangkut tanah dengan beko, lalu si Kiki mengangkut pasir ke tempat lain. Biasanya pasir-pasir itu akan berpindah ke pinggir parit depan rumah. Mereka baru akan berhenti setelah kak Mawar berteriak cerewet karena pasir-pasir itu berserakan. Dan mereka harus mengembalikan pasir itu ke bawah pohon kelapa. Tapi kemudian dia dan Kiki akan pergi diam-diam setelah kak Mawar masuk ke dalam rumah. Membiarkan pasir-pasir itu tetap berserakan. Walaupun akibatnya dia akan dijewer kak Mawar ketika pulang.

“Sana makan dulu,” tiba-tiba terdengar lagi  suara mamak. Baru dia menyadari kalau perutnya sudah keroncongan. Masuk ke ruang tengah dia melihat Kak Mawar sedang menonton tv. Kakaknya itu melihat sekilas kepadanya. Kemudian melanjutkan nonton tv lagi. Bang Ari tidak kelihatan. Mungkin sedang di dalam kamar. Dalam hati dia bersyukur tidak ada yang menggodanya. Biasanya Bang Ari suka mengajaknya bercanda. Dan saat ini dia sedang tidak ingin bercanda.

Redi terus saja menuju ke ruang makan. Di bukanya tudung saji sambil membaui aroma makanan yang terhidang. Hmm, mamak tahu saja makanan kesukaanku, gumamnya dalam hati. Di atas meja terhidang sambal goreng hati, terong goreng dan sayur bening kacang panjang. Benar-benar nikmat. Cepat-cepat dia mencuci tangan dan kakinya. Mamak akan marah kalau hanya tangan yang dicuci. Kata mamak  tidak steril.

Kemudian dia mengambil nasi dan lauk-pauk. Suara sendok dan piring terdengar beradu dengan ramai.

“Redi, pelan-pelan. Nanti pecah.” Kak Mawar berteriak dari ruang tengah. Teriakan Kak Mawar tak disahutinya.

Sekarang Redi makan sendirian di depan pintu dapur. Di dekat kakinya si Baung terbaring setengah mengantuk. Si Baung kucing kesayangan Bang Ari. Badannya gempal dan sehat karena tak pernah kekurangan makanan. Kalau sedang iseng dia pun suka bermain bersama si Baung. Dengan sebatang lidi, kumis si Baung digelitik hingga bulu-bulunya yang belang kelabu itu berdiri. Sambil berguling-guling si Baung akan berusaha menangkap lidi dengan cakarnya. Caranya bergerak menangkap lidi sungguh menggemaskan.  Wajahnya yang bulat akan terlihat culun. Dan kalau lidi itu tidak didapatkan, si Baung akan berlari seraya mengibaskan ekornya. Bagi Redi pemandangan seperti itu sangat  lucu dan mengasyikkan. Tapi tidak untuk saat ini. Dia sedang tidak ingin bermain dengan si Baung. Dia hanya memperhatikan si Baung sambil makan diam-diam.

Tiba-tiba terdengar lagi suara mamak, ”Redi, kenapa baju mamak ada di dalam ranselmu?”

Wah, pasti mamak sudah membuka ransel yang dibawanya tadi. Kata-kata mamak tidak dijawabnya. Dalam hati dia tersenyum sendiri. Sebelum minggat tadi memang dia memasukkan baju mamak ke dalam ransel. Siapa tahu dia merindukan mamak diperjalanan.

Diteruskannya makan sambil memandang ke halaman belakang rumahnya. Selesai makan dia duduk di beranda depan, kemudian berbaring-baring di atas sebuah bangku panjang. Angin semilir dari arah pepohonan  seberang rumah  bertiup melintasi jembatan bambu di atas sungai. Hembusan angin terasa menyejukkan tubuhnya. Redi merasa kesejukan itu menyelusup ke dalam hatinya. Dari dalam kamar terdengar  musik yang memperdengarkan suara Judika, kesukaan Bang Ari. Suasana hening dengan angin sepoi-sepoi dan musik pelan membuatnya mulai mengantuk.

 Mamak sedang bicara dengan seseorang di telepon. Dari suaranya dia tahu kalau suara di telepon adalah milik ayah. Redi ingat kalau hari ini adalah hari Jum’at. Sabtu sore biasanya ayah sudah tiba di rumah. Saat kantuk mulai membawa angannya ke alam mimpi sempat dia mendengar kata-kata mamak yang berpesan pada ayah.

“Besok kalau ayah pulang jangan lupa belikan buku gambar untuk si Redi ya, ayah. Yang ada resident evilnya.”

“Jagoan kecil itu sudah punya idola baru rupanya. Dimana dia sekarang?” suara ayah menanyakannya.

“Tuh, lagi tiduran di teras depan. Ayah mau bicara dengannya?”

“Tidak usah, biarkan saja dia tidur siang.  Kalau dia sudah bangun katakan ayah akan pulang besok. Nanti ayah temani membeli buku gambar resident evil.”    Dan ketika itu Redi benar-benar terlelap dengan senyuman tersungging di bibirnya.

Kotapinang,  29 Maret 2012. 21.10WIB.

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler