Skip to Content

Reuni SD (1)

Foto Natasia Deva

REUNI SD (1)
(By : Deva)

Bertemu dengan teman-teman lama memang menyenangkan, tapi bagaimana kalau orang itu datang. Orang yang pernah kamu kagumi dulu.

Bersama seonggok harapan tinggi kalau dia tidak akan datang ke acara ini. Kamu jalan ke tempat itu dengan santainya. Menikmati suasana acara yang sangat menyenangkan. Tapi sayang kejadian nyatamu tidak sesuai dengan harapan itu. Tiba-tiba ia datang di saat yang tidak terduga.

***

Leni menjejakkan kakinya di atas paving blok jalan Gang Sawo. Sebuah gang kecil dalam suatu perkampungan sederhana di pinggir kota Depok. Kampung yang berada tepat di belakang perumahan elite Mas Jaya. Suasana hiruk pikuk bocah-bocah kampung bermain bola menyambut kedatangan mereka yang mulai kepanasan menunggu Anda datang. Ada yang menyambi dengan melihat-lihat sekitar dan ada juga yang ikut membantu menelpon cewek Ambon itu agar cepat datang. Tapi, melihat sudah banyak yang menelpon Anda, Leni menyibukkan diri memperhatikan keramaian sekitarnya. Mengamati bangunan-bangunan kecil yang tidak tertata rapi di sana, yang hampir bisa dibilang kumuh namun masih enak dipandang mata. Dilihat dari keseluruhannya, Leni tidak begitu ingat pernah kesini, yang ia ingat hanya perumahan depan yang sering ia lewati dulu.

“Hai!” Tiba-tiba sapaan seseorang membuyarkan lamunan Leni dan keempat orang itu. Serempak mereka berlima menengok ke sumber suara dan mendapati perempuan berhidung bangir sedang berdiri di belakang mereka. Perempuan cantik yang terkenal suara emasnya itu terlihat senang sekali melihat kedatangan mereka. Pelan-pelan, Leni memperhatikan Anda dengan seksama, mulai dari atas kepala sampai ujung kaki. Tidak banyak yang berubah dari cewek itu, hanya saja berat badannya yang berubah. Sekarang ia lebih terlihat gemuk, mirip dengan ibunya.

“Eh, ada Leni juga,” sapanya kaget melihat Leni yang juga ikut ke sini. Tumben-tumbennya cewek manis itu ikut, biasanya ia tidak pernah ikut. Sepertinya kerja kerasnya kali ini berhasil. Bisa dibilang sangat berhasil, mengingat semua kuota internetnya ia korbankan untuk mencari dan mengundang anak angkatan 6 tahun lalu yang sudah pada hilang-hilangan entah kemana. Bahkan Leni termasuk perempuan yang paling susah diundang karena kontak dengannya benar-benar putus. Akun Facebooknya dihapus, tidak punya Twitter, IG, LINE, BBM, yang diperparah dengan keadaan tidak punya nomor handphonenya. Tapi hari ini semua kerugiannya terbayar sudah dengan kehadirannya. Perempuan manis itu balas tersenyum gugup. Senyum sekenanya pada dirinya. Anda balas memasang ekspresi imutnya. Spontan Leni hanya terkekeh geli melihat tingkah lakunya yang sama sekali tidak berubah.

Tanpa basa-basi dan menunggu lama, Anda membimbing mereka berlima menuju ke rumahnya yang letaknya sedikit masuk ke dalam gang. Memasuki Gang Anggrek yang hanya bisa dilewati satu mobil saja. Leni dan rombongannya mengikuti Anda dalam diam sambil menyentuh layar handphone, untuk mengundang dan mengajak teman-teman satu angkatan yang lain agar ikut datang dan meramaikan acara.

Sesampainya di depan sebuah rumah tua, Anda mendatangi rumah berpagar hitam itu, diikuti yang lainnya, termasuk juga Leni. Dengan tatapan menyelidik, Leni menyapu rumah itu dengan bola matanya. Mengedarkan pandangannya dari ujung barat hingga ujung timur sampai seluk beluknya, tanpa ada yang tertinggal. Bangunan itu tidak kecil dan juga tidak besar, bertingkat satu. Di pekarangannya tumbuh pohon jambu air di pojok kanan, sebuah mobil Xenia hitam terparkir, dan motor Beat keluaran Honda di sampingnya. Sepertinya ia mengenal rumah ini, hanya saja sangat samar. Lupa-lupa sedikit. Apa benar ia pernah kesini? Tapi kapan? Ia tidak terlalu ingat. Leni segera memasuki rumah sederhana itu, untuk mempertajam ingatannya. Berusaha mengingat kembali memory kecilnya. Menggali memory lama yang sudah tenggelam. Enam tahun sudah, Leni tidak pernah terbersit akan mengingat kenangan SD lagi. Entah karena alasan sibuk atau tidak sempat, Leni tidak tahu pasti. Mungkin karena tugas-tugas sekolah yang menumpuk, apalagi ujian-ujian SMA yang sangat menguras waktu. Di otaknya ia hanya ingat pernah ke tempat ini tapi lupa kapan dan kenapa.

Leni memasuki teras depan, mendapati Vani dan Resno yang sedang duduk di depan teras. Sibuk dengan handphonenya masing-masing karena bosan menunggu anak-anak angkatan yang lain datang. Bu Rita pun juga ada disana, menyambut mantan-mantan anak didikannya dengan sumringah. Leni menebak dalam hatinya apa yang sedang dipikirkan Bu Rita, ibunya Anda, ‘Setelah sekian lama akhirnya kalian menengok lagi aku dan suamiku. Ya ampun sudah pada remaja-remaja, makin cantik dan makin besar’. Mungkin itu yang ada di batinnya barusan. Leni tahu itu, karena satu detik setelah itu, Ibu Rita mengatakannya dengan nada gemas dan juga bangga.

Enam tahun lalu, suami istri itu adalah guru musik dan guru matematika SD Bunda Jaya. Tapi semenjak sekolah pinggiran itu menurun kualitasnya, Pak Doko selaku kepsek SD Bunda Jaya menyerahkan sepenuhnya tugasnya pada Pak Riko. Sekarang ia bukan lagi guru matematika tapi sudah jadi pemilik sekolah itu. Dan sepertinya kabar simpang siur itu akan jadi kenyataan. Kata orang-orang, sekolah itu mau bangkrut. Dan Leni sama sekali tidak heran kalau itu akan terjadi, mengingat dulu saat ia bersekolah disana genteng-gentengnya sudah pada bocor, kamar mandinya tidak layak sebagai kamar mandi, kalau hujan turun ruangan jadi becek dimana-mana, intinya sudah tidak layak lagi dijadikan sekolah. Sangat berbeda saat Leni masuk kelas satu SD, sekolah itu sedang jaya-jayanya, apalagi drumbandnya yang menang pertandingan piala presiden di Stadion Bung Karno. Sedangkan istrinya Pak Riko, pensiun dini karena sakit diabetes. Kadang Leni merasa kasihan pada ibu itu, apalagi saat minggu lalu Leni bertemu dengannya di gereja. Ia berjalan dipapah orang lain. Cara jalannya seperti nenek-nenek dan mau roboh saja. Dan wajahnya yang begitu pucat dan tirus. Walaupun sekarang sudah membaik.

Setelah bertegur sapa dengan Bu Rita, mereka berdelapan menaiki tangga menuju lantai atas. Lantai atas yang kelihatan sempit dari bawah. Namun begitu Leni sudah sampai di atas, dugaannya salah. Ruangan itu begitu luas, bisa menampung lebih dari cukup untuk barak pengungsian. Ya sekitar 25-an orang. Dan dilihat dari tembok dan lantainya, sepertinya memang tempat ini jarang dipakai. Cuma dipakai di saat ada pertemuan seperti ini. Di dalam ruangan besar itu sudah tersedia tikar. Kemudian di atas tikar anyaman itu, mereka semua duduk melingkar, untuk melepas rindu dengan mengobrol tentang berbagai hal. Seperti tempat kuliah, SBMPTN, SNMPTN, kabar masing-masing dan juga tak lupa bercanda yang diselingi tawa bersama.

Seiring waktu berlalu, satu per satu anak angkatan yang lain menyusul datang. Ada yang datang setelah 1 jam kemudian, bahkan sampai ada yang 2 jam kemudian. Jaman sekarang memang lagi jaman-jamannya anak muda pada ngaret. Ahhh Leni pun menyesal datang kepagian. Coba datangnya ngaret, pasti ia masih bisa tidur tadi di kasur nyamannya di bawah AC kamarnya yang sejuk.

Teman-teman yang baru datang ikut nimbrung dan menikmati acara kecil-kecilan ini. Dan setiap kali ada yang baru datang, mereka melongok ke lantai bawah, mengintip dari celah-celah pagar besi dan mengingat-ingat siapa-siapa saja yang baru datang itu. Lupa-lupa ingat siapa-siapa saja mereka. Maklum sudah 6 tahun berlalu.

Namun setelah ke sekian kalinya kedatangan teman lama, ada yang menarik perhatian Leni. Ya benar, kedatangan Wisnu dan Ardi. Mereka berdua datang dengan motor masing-masing dan masuk ke dalam. Bertegur sapa sebentar dengan empunya rumah dan berjalan ke lantai atas, menuju tempat mereka.

Seiring langkah kedua pasang kaki itu, Leni memperhatikan raut muka dua orang itu begitu seksama. Ia jadi ingat keduanya. Salah satunya cowok berkulit putih itu. Ia ingat dia, namanya Ardi Gunawan kalau tidak salah. Dan wajah itu mengingatkannya ke kejadian setahun lalu saat ia bertemu dengan cowok itu di tempat bimbelnya. Saat itu ia ingat dengan jelas kalau mereka berdua bertatapan saling ragu. Berpikir dalam otaknya masing-masing, dengan pertanyaan-pertanyaan yang berseliweran. Kayaknya aku pernah lihat dia, tapi dimana ya? Atau berpikir apa benar orang itu temanku dulu? Hingga akhirnya Leni atau Ardi pun tidak saling menyapa, dan hanya saling memperhatikan. Lalu mereka berdua pulang ke rumah dengan hati bertanya-tanya. Tapi saat itu Leni melupakannya begitu saja dan tidak ingin mengingat-ingat lagi. Tidak disangka ia akan bertemu lagi dengannya dan sekarang ia sangat ingat cowok ini.

Pikiran Leni langsung melayang ke beberapa tahun lalu, dulu saat mereka masih anak-anak. Ardi bertubuh kecil dan lucu, tapi ternyata sekarang sangat berbeda. Ia tinggi dan lumayan tampan. Wajahnya tidak terlalu berubah. Masih dengan perawakan yang sama. Hanya saja berbeda pada auranya saja yang terasa lebih dewasa. Terus memperhatikan dan memikirkan orang itu membuat perasaan Leni sedikit aneh. Jantungnya makin berdebar seiring matanya mengekor langkah Ardi yang sedang menaiki tangga. Apa benar perasaan ini sama dengan perasaannya yang dulu? Rasa kagum yang lebih. Melebihi rasa sukanya pada Lee Min Hoo idolanya. Rasa yang hampir sama saat dulu Leni bertemu dengan Ardi di tempat les itu, juga perasaan saat SD dulu. Leni mengaguminya, tidak tahu kenapa. Ia harap ini hanya efek bertemu teman lama dan hanya karena insting alamiah alam bawah sadarnya. Tapi sepertinya perasaan yang ini bukan semudah itu. Leni rasa kali ini, ia tidak akan bisa berdalih dari kenyataan.

Bersambung...
Ditunggu ya kisah selanjutnya!Terimakasih...

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler