Skip to Content

Rhyme In Peace

Foto Resna Jafar

Tak pernah ada yang tau tentang kematian seorang manusia, Allah yang mengatur semuanya,  hari ini, besok, lusa, minggu depan, tahun depan, atau mungkin hanya tinggal lima menit lagi kita akan mati Allah telah membuat rencana. Seperti kisah yang kualami ini, aku tak pernah menyangka kalau ternyata umurku yang sudah di ujung tanduk tidak menjadi patokan kalau aku harus mati, tapi laki-laki pujaanku, laki-laki yang sehat, cerdas, tampan, seperti tak ada sedikitpun penyakit yang tega menggerogotinya, tapi kenyataannya dia malahan yang mati lebih dulu daripada aku.

***

Saat itu hari yang kulalui masih seperti biasa, aku menhitung hari dimana aku masih bisa menghembuskan nafasku yang kini sudah berada diujung jari, aku selalu mencoret tanggal pada selembar kalender yang terpampang dimeja belajar tepat didekat tempat tidurku, yang menandakan bahwa aku bisa melawan penyakit Leukemia yang semakin hari semakin parah ini. Aku sudah mencoba berobat ke pelbagai rumah sakit yang ada di Indonesia, bahkan sampai ke Singapura aku berobat, namun hasilnya nihil, aku tak pernah sembuh, malahan umurku divonis oleh sang dokter hanya tinggal 30 hari lagi. Sungguh kejadian yang miris, sekarang aku sudah pasrah pada Allah, namun tidak dengan semangatku untuk tetap hidup, genap sudah Dua Puluh hari aku bisa melewati hari-hariku meskipun hanya diatas sebuah tempat tidur. Sepi selalu menyelimutiku, namun beruntung aku memiliki seorang laki-laki yang selalu setia menyempatkan harinya untuk menemuiku dan bertanya tentang keadaanku, sungguh itu membuat semangat hidupku bertambah. Adit, laki-laki yang sudah menjalin hubungan denganku sekitar Lima tahun lamanya, sebelum aku terjangkit penyakit ini dia yang selalu cerahkan hari-hariku, dan setelah Satu tahun lamanya aku terbaring di kasur bertahan dari hantaman penyakit Leukemia yang terus menyerangku, dialah laki-laki yang selalu menyemangatiku, dia laki-laki yang selalu berada disampingku untuk membunuh sepi yang selalu hampiriku. Dihari ke Dua Puluh Satu masa hidupku ini, Adit kembali datang menjenguku, membawakan bunga kesukaanku yang biasa kami beli bersama-sama di pedagang-pedagang pinggir jalan.

“Sayang kamu sudah mendingan?” Tanya Adit lesu melihat keadaanku yang hanya bisa terbaring sembari duduk disampingku.

“Iya, aku gak apa-apa ko, kamu tenang aja?” Jawabku dengan semangat yang dipaksakan.

“sayang, coba kamu tebak aku bawain apa buat kamu?” Adit menggodaku dengan manjanya.

“Kamu bawa apalagi, please jangan makanan ya sayang?” Jawabku lirih.

“Enggak ko, aku bawain ini buat kamu, bunga kesukaan kamu, bunga yang sama-sama kita kagumi karena keindahannya” Adit sembari menyodorkan mawar yang tadi disembunyikannya dibelakang punggungnya.

Air mataku menetes melihat perhatian Adit yang tulus terhadapku, perhatian yang tanpa menginginkan balasan.

“Hei, kenapa kamu nangis, kamu gak suka dengan bunga yang aku bawa, aku minta maaf kalo kamu gak suka” Adit salah tingkah melihat air mataku menetes

“Gak ko Dit, aku cuma terharu dengan semua yang kamu lakuin, aku gak pernah berfikiran sejauh ini disisa hidupku, aku Cuma berfikir bahwa sebentar lagi aku akan berhenti menatap indahnya dunia, dan indahnya kasih sayang kamu” Rintihku penuh keputus asaan.

“Kamu bicara apa, kamu jangan bicara kaya gitu, aku yakin kamu bisa ngalahin penyakit kamu, kamu jangan dengerin omongan itu, kamu percaya sama diri kamu sendiri, dan kamu percaya aku, aku gak akan pernah ninggalin kamu, aku akan selalu disamping kamu, bahkan jika tuhan memberiku satu permintaan, aku rela menukara nyawa aku dengan kamu, asalkan kamu bisa tetap tersenyum dengan semua keceriaan kamu, aku ikhlas” Adit meyakinkanku.

“Kamu jangan ngomong kaya gitu, keputusan dokter itu gak mungkin salah”

“Dokter itu bukan tuhan, yang menentukan hidup dan mati itu bukan dokter, tapi tuhan”

“Tapi Dit…”

“Udah lah kita jangan ngebahas soal itu lagi, sekarang yang penting kamu terus berjuang lawan penyakit kamu, aku akan selalu dukung kamu, aku selalu disamping kamu kalo kamu butuh aku”

“Iya Dit makasih”

“Oya aku mau bawa kamu ke suatu tempat”

“Kemana?”

“Ayolah, kamu ikut aja”

“Kamu harus ijin dulu sama mama”

“Ok, kamu tunggu disini ya sebentar, aku ijin dulu”

Adit beranjak dari tempat tidurku menuju pintu keluar kamarku, aku terus memandanginya sampai tak terlihat. Betapa bersyukurnya aku memiliki Adit, laki-laki yang selalu setia temani suka dukaku. Lima menit berselang Adit kembali datang ke kamarku.

“Gimana Dit, mama ngijinin?” Tanyaku penasaran.

“Heumzzz…”

“Gimana Dit?”

“Gimana ya, mama kamu ngijinin ko sayang, asal aku bisa jaga kamu baik-baik”

“ukh kamu bilang gitu aja susah”

“Hehehe biar kamu penasaran dong sayang, ayo kita berangkat”

Adit menggendongku dari tempat tidur mendudukanku pada sebuah kursi roda dan mendorongku sampai keluar rumah menuju arah mobil.

“Kita mau kemana Dit?” 

“Pokoknya kamu ikut aja, nah sekarang kamu tutup mata kamu kita hampir sampai”

“Kenapa harus tutup mata?”

“Nah sekarang kita sudah sampai, sekarang kamu boleh buka mata kamu”

“Dimana kita Dit, maksud kamu apa bawa aku ketempat ini?” tanyaku sembari mengusap-usap mataku melihat keadaan sekitar.

“Aku mau ngenalin kamu ke mama aku”

“Memang mama kamu?” 

“Mama aku udah meninggal, jadi makannya aku bawa kamu ke tempat pemakaman ini untuk ngenalin kamu, dari dulu mama aku pengen banget liat aku bawa cewe dan dikenalin ama dia, sekarang aku ngerasa kamu cewe yang paling tepat buat aku kenalin ke mama aku”

“Kamu yang sabar Dit”

Setengah jam lamanya aku dan Adit duduk di depan makam mamanya Adit, dan sekarang matahari pun mulai condong ke barat, yang artinya malam akan segera tiba dan waktuku untuk hidup pun semakin pendek. Adit kembali menggendongku menuju mobil untuk kembali pulang kerumah, sesampainya dirumah aku kembali rebah di tempat tidurku dan Adit pun berpamitan untuk pulang.

***

 Sekarang Dua Puluh Sembilan hari sudah berlalu berarti masa hidupku tinggal satu hari lagi, kulihat orang tua dan keluargaku sudah berkumpul dikamarku, namun satu sosok yang ku cari dan kutunggu tak jua kulihat, sosok Adit tak jua datang. Perasaanku mulai tak menentu, tiba-tiba rasa khawatir datang menyelimuti hati, sosok Adit selalu terlintas difikiranku. Keputus asaan kini berkecamuk dalam diri, haruskah ku mati karena takdir, ataukah aku harus mati karena bunuh diri? Aku mengambil handphone yang ada di pinggir bantalku berharap bisa mendengar suara Adit atau bahkan melihat raut wajah Adit sebelum ku menutup mata untuk selamanya.

“Kamu mau apa saiiank?” Mamaku bertanya dengan penuh kasih sayangnya.

“Aku mau telepon Adit mah, aku mau ketemu dia”

“Yasudah biar mama aja ya yang telepon”

“Tapi ma aku mau bicara ama Adit, aku khawatir ama dia kenapa dia belum jua datang hari ini menjenguku”

“iya biar mama telepon dulu nanti kamu yang bicara”

Mamaku mengetik nomer Adit dihandphone ku dan mulai mengetik tombol berwarna hijau pada hanphone guna memanggil. Nuuut, nuuut, sebuah suara tanda tersambung kini sudah mendengar, aku pun meminta handphone itu dari mamaku.

“Hallo Dit, assalamualaikum kamu kemana aja?” Tanyaku penasaran.

“Hallo, waalaikum salam ini siapa?” terdengar suara jawaban penuh isak tangis.

“Hallo Dit ini aku Fika, ini siapa, ada apa dengan Adit, Adit kemana?” Air mataku mulai bercucuran tak terbendung.

“Adit udah meninggal, dia tadi kecelakaan saat hendak menjenguk pacarnya” Tangis terdengar makin keras.

“Gak mungkin, gak mungkin Adit mati, gak mungkiiiiiiiiiiiiiiiinnnnnnnnn”

Dari situ aku mulai tidak ingat apa-apa lagi, aku hanya bisa sedikit mendengar samar-samar suara tangis kedua orang tuaku. Sepuluh menit lamanya aku pingsan, aku mulai membuka mataku pelan, aku langsung meneriakan nama adit dengan sedu tangis yang mendalam.

“Kamu sabar ya Fik, mama selalu disini ko” Mamaku dengan penuh kasih sayang dan air mata coba menenangkanku.

“Ayo ma, ayo kita kerumah Adit, aku mau liat Adit ma?” Rintihku memohon pada mama.

“Tapi kamu kamu masih sakit Fika, kamu sangat lemah”

“Aku gak peduli lagi dengan keadaanku ma, yang aku peduliin karang Cuma Adit, aku mau liat keadaan Adit. Kalo mama gak mau nganter, aku juga bisa ko ma, jalan sendiri” Aku bangkit dari tempat tidurku meski lemah.

“Ok, mama anter kamu kesana”

Mamaku menggendongku sampai mobil, diperjalanan aku tak bisa berhenti menangis meski mamaku terus menenangkanku. Samar kulihat bendera kuning yang berkibar didepan rumah Adit tanda duka menyelimuti keluarga itu, perasaanku mulai tak karuan lagi, rasanya sudah tidak ada guna lagi aku hidup. Aku langsung berlari keluar dari mobil, karena tubuhku yang lemah beberapa kali aku terjatuh, aku sudah tak memperdulikan kondisiku lagi, juga panggilan ibuku yang terus menangis mlihatku juga tak ku hiraukan. Sesampainya didalam aku melihat sesosok jasad terbaring tertutup kain putih tembus pandang, dari situ tangisku mulai menggila lagi, aku tak bisa menahan air mataku melihat keadaan ini, pelan-pelan kubuka kain yang menutupi wajahnya, dan benar saja itu mayat Adit, Adit laki-laki yang sangat ku sayang, Adit yang selalu ceriakan hari-hariku, Adit yang selalu temai suka dan dukaku, kini terkapar tak berdaya dihadapanku. Ibuku coba menenangkanku, memberikan bahunya untuk sejenak melepas tangisku, namun aku kembali pingsan, karena tak kuasa melihat kenyataan. Entah berapa lamanya aku pingsan, namun yang pasti saat aku membuka mata aku sudah tidak melihat apa-apa lagi, aku hanya melihat sebercak cahaya yang sangat terang bersama sosok Adit yang terus melambaikan tangannya mengajaku, aku melihat kebawah, semuanya menangis, aku melihat dua sosok sejoli terkapar tak berdaya tanpa nyawa, kulihat sang gadis terkapar dipelukan sang laki-laki. Betapa indahnya kisah cinta mereka pikirku.

“Fika, sudah saatnya kita pergi” Adit menarik tanganku.

“Kita mau pergi kemana Dit?”

“Ketempat dimana kita bisa merajut kisah cinta kita yang abadi”

Adit membawaku mengikuti sebercak cahaya yang sangat terang tadi, sampai akhirnya aku tak melihat lagi kerumunan manusia yang penuh tangis yang berada dibawahku tadi.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler