Skip to Content

Roko-roko Unti

Foto Riskal Ahmad

 

ROKO-ROKO UNTI

Rian kini mulai jengkel kepada adiknya yang sejak tadi tertawa terbahak-bahak sampai badannya berguncang-guncang seperti bemo yang telah menunggu penumpang yang sedang menunggu penumpang. “apanya yang lucu Anto?”.

Pertanyaan yang dilontarkan itu tak serta-merta membuat Anto berhenti terkekeh. Makin jengkel dan khawatir akan penyakit bengek yang diderita oleh adiknya Anto itu kumat, Rian memutuskan melangkah keluar meninggalkan adiknya yang gemuk itu menelan tawa dan bahaknya sendiri. Rian baru mendengar teriakan sang adik ketika badan kurus hitamnya hampir tenggelam dibalik dinding kost sebelah.

“Kak, kak Anto!”

Meski masih menyimpan rasa kesal pada adiknya, Rian pun menghentikan langkahnya.

“Maaf kak untuk yang tadi”

Tiba-tiba gerimis halus turun dari langit. Rian berbalik dan mengikuti langkah adiknya ke kost.

“Mengapa kakak tiba-tiba kepingin makan Kue Roko-roko UntiMak Rodiah?” Anto bertanya ketika Rian tengah duduk sembari mengatur napas.

Rian berpikir untuk mencari jawaban yang pas. Dia sendiri bahkan tidak tahu mengapa pagi ini, ketika gerimis jatuh dari langit, dia ingat Mak Rodiah yang biasanya menjajakan Kue Roko-roko Unti di depan kostnya. Menjajakannya itu pun tidak setiap hari. Bahkan dalam sepekan, hanya dua sampai tiga kali Mak Rodiah lewat di depan kostnya.

Nak Anto...... Nak Rian.... Roko-roko Unti nak ! Mak Rodiah dengan suaranya yang khas memanggil nama kami berdua. Seperti biasanya dengan tubuh rentanya duduk di depan kost setelah meletakkan sebuah keranjang besar berisi jajanan kue khas Makassar.

Anto terkadang atau bahkan setiap kali Mak Rodiah datang, tak pernah sekalipun Mak Rodiah pulang dengan tangan hampa. Begitu mendengar suara Mak Rodiah, dengan sigapnya Anto mengambil piring dan menjumpai Mak Rodiah di depan kost. Selembar uang Rp.10.000 biasanya diberikan Anto kepada Mak Rodiah, sembari mengambil Kue Roko-roko Unti lima hingga 7 buah. Mak Rodiah tidak pernah sekalipun menjual kue-kuenya dengan harga di atas Rp.1.000 /buah. Harusnya dengan uang Rp.10.000, Anto bisa mengambil sepuluh buah Kue Roko-roko Unti. Namun hal itu tidak pernah dilakukan oleh Anto. Dia hanya mengambil Kue Roko-roko Unti secukupnya saja dan membiarkan uang kembaliannya untuk Mak Rodiah saja. Bahkan pernah sekali waktu, Anto memberikan uang Rp.20.000 kepada Mak Rodiah tapi mengambil jumlah kue hanya sepuluh hingga tiga belas buah saja dan tidak mengambil uang kembaliannya. Itu kadang ia lakukan jika hari minggu, hari yang biasa digunakan oleh Anto melakukan diskusi dengan teman-teman dalam membahas tugas-tugas mata kuliahnya di kost.

Terima kasih banyak ya , Nak. Semoga rejeni nak banyak, berkah, cepat lulus kuliah, disayang kakak dan pacar dan bisa menjadi kebanggaan keluarga”. Kata-kata itu selalu terlontar dari mulut Mak Rodiah sembari menyelipkan uang di balik lipatan banjunya. “Mak Rodiah semula biasa meletakkan uangnya di balik alas kue dari koran bekas didasar keranjangnya. Namun kini kebiasaan itu tidak pernah lagi di lakukannya karena dia pernah kehilangan uang yang sudah ia kumpulkan sedikit demi sedikit dari parapembeli.

“Lucu juga, kalau tidak ada angin tidak ada badai. Kakak tiba –tiba kepingin makan Kue Roko-roko UntiMak Rodiah,”kata adiknya. Rian melirik kedepan kost tetangganya. “Kakak ngidam?” atau jangan-jangan kakak naksir sama anak bungsunya Mak Rodiah?” secara kan dia cantik, berjilbab dan kampusnya pun sama dengan kakak.

Rian tiba-tiba memalingkan wajah dari kerlingan adiknya. Belakangan ini, Anto memang kerap melontarkan Sindiran itu. Padahal Anto pun tahu, Rian takkan mungkin punya pacar lebih dari satu. Dia tidak punya modal, tampang pas-pasan, kAntong pas-pasan dan keberanian pun pas-pasan.

Tapi, pertanyaan ituvpun wajar dilontarkan Anto. Sejak Mak Rodiah menjajakan Kue Roko-roko Unti ke kostnya hingga kini, Roko-roko UntiMak Rodiah ya begitu-begitu saja. Bentuk dan rasanya pun sama seperti Kue Roko-roko Unti yang lain yang banyak dijajakan di pasar-pasar tradisional.

 

*****

 

Rian jadi sedikit serba salah.

“Aku Cuma.........” Rian menyahut sambil mencoba mencari jawabanyan pas. Aku Cuma merasa aneh saja. “Aneh kenapa kak?” tanya Anto.

Belakangan ini kan Mak Rodiah tidak pernah lagi datang, tak pernah lagi lewat di depan kost. Dia kan sudah sangat tua. Jangan..... jangan.........!!!

“sudah meninggal maksud kaka?”

Rian menyambar permen diatas meja lemari pakaian yang setinggi dada. Pengganti kembalian potokopy buku yang kemarin. Ada sedikit rasa lega di dadanya begitu rasa manis dan hangat merayapi rongga mulutnya.

Usia Mak Rodiah memang sudah sangat tua. Seluruh tubuh putih, wanita tinggi besar itu sudah di penuhi keriput. Langkahnya tertatih-tatih. Apalagi dengan keranjang besar yang berisikan hingga ratusan Kue Roko-roko Unti yang dijajakannya. Langkahnya yang makin tertatih-tatih itulah yang membut Rian dan Anto tak pernah bisa membiarkan Mak Rodiahnya pergi dari kostnya tanpa menjual lima hingga tujuh buah kue jajanannya. Padahal kue-kue itupun hanya dimakan oleh Anto. Itupunhanya tiga hingga empat buah. Kue itu mungkin saja bisa habis jika ada teman dari Rian atau Anto yang singgah sebelum ke kampus.

Sementara Rian hanya lebih suka makan nasi bungkus yang dijajakan di dekat mesjid. Kue Roko-roko Unti itu di beli oleh Anto hanya sekadar untuk membuat hati Mak Rodiah senang.

“Belakangan memang Mak Rodiah makin jarang lewat di depan kost. Aku dengar dia sudah sakit-sakitan” kata Anto. “tapi ya memang kasihan juga untuk orang setua itu masih juga berjualan” Rian menimpali.

Anto lalu bercerita tentang Mak Rodiah lebih panjang. Cerita yang sebelumnya tidak pernah dia dengar. Bahwa Mak Rodiah adalah wanita dengan tujuh orang anak. Anaknya yang bungsu kini satu kampus dengan kakak, selebihnya sudah “menjadi orang”. Mak Rodiah pun lebih memilih untuk tetap berjualan kue walaupun sudah berkali-kali dilarang oleh anak-anaknya yang lain. Bahkan Mak Rodiah pun lebih betah tinggal di rumahnya yang sederhana yang jaraknya itu kurang lebih 5 km dari kost kita. Setelah suaminya meninggal belasan tahun lalu dan memilih menghidupi dirinya dengan berjualan Kue Roko-roko Unti buatannya sendiri. Dengan begitulah dia bertahan hidup tanpa harus merepotkan anak-anaknya yang lain.

 

*****

     Hari minggu berikutnya, keduanya sudah berada di depan rumah Mak Rodiah setelah berusaha mencari dan bertanya kesana kemari. Dan dari bertanya itu pulalah keduanya tahu bahwa Mak Rodiah kini memang sudah tidak bisa lagi memaksakan diri untuk berjualan.

     Beragam penyakit berkumpul dalam tubuh rentanya. Mulai dari pikun, rematik, pengapuran, darah tinggi, sesak napas dan mata yang tak lagi bisa melihat dengan jelas. Cuma kuping Mak Rodiah yang masih berfungsi dengan baik.

     Dari pembaringan, Mak Rodiah menyambut kedatangan Rian dan Anto setelah anak bungsunya yang kebetulan satu kampus dengan Rian, mengantarkan keduanya masuk ke kamar Mak Rodiah.

     Begitu masuk ke ruangan itu, Rian dan Anto sempat mencium wewangian asing tapi menyegarkan. Kamar itu, meskipun tidak terbilang bagus, namun tampak sangat terawat. Tak banyak benda-benda berserakan.

     “Ya Allah, mimpi apa ya emak semalam, kalian berdua tahu rumah emak nak?” sambut Mak Rodiah. Rian pun melihat ada genangan air di kedua sudut mata Mak Rodiah. Kost kami memang  dekat dengan rumahnya Mak Rodiah. Tidak jauh,Cuma satu kali naik angkutan umum. Mak Rodiah tersenyum tipis. “Ya, memang tidak jauh ya nak. Itu sebabnya, emak pun kalau jalan cuma sampai di depan kost kalian saja nak.

     “Mak juga sebenarnya masih kepingin jualan nak”. Bukannya apa-apa, nak. Mak ingat terus pelanggan kue emak, terutama nak Anto yang tidak pernah tidak beli. Kalau orang sudah cocok kan susah ya, nak. Biar banyak makanan lain, tetapi yang dicari tetap Kue Roko-roko Unti buatan emak juga, iya kan? Rian tersenyum sambil melempar kerling kepada Anto.

     “Betul mak, Roko-roko Unti emak memang beda dari yang lain. “Anto menimpali menahan senyum”. Manisnya pas, padatnya pas, gedenya pas, dan tidak mahal. Wajah Mak Rodiah tampak cengar, berbinar-binar. Ya emak mah kalau jualan tidak mencari untung yang besar-besar. Yang penting ada untungnya biar sediit. Cukup untuk makan. Tak perlu harta dibanyakin. Amal ibadahlah yang harus diperbanyak. Kan harta tidak bakalan dibawa mati.

 

     *****

 

     Dua minggu berikutnya, pada minggu yang cerah, Rian mendengar suara seorang perempuan yang terdengar tepat di depan kost.

     “saya Sindi kak”, kata gadis yang berdiri tepat di hadapan Rian, begitu ia membuka pintu kosnya. Saya anak bungsu Mak Rodiah yang kemarin mengantar kak Rian dan kak Anto bertemu emak.

     “Oh iya... iya... saya ingat sekarang, kan baru juga kemarin”. Kata Rian seraya mempersilahkan tamunya duduk di kursi depan kosnya.

     “Ada apa ini?” amto langsung bertanya. “apa ada kabar buruk tentang Mak Rodiah?”. Lanjut Anto. Kali ini pertanyaan itu disimpanya dalam hati, namun ada debar-debar di dadanya.

     Sindi mengeluarkan sebuah amplop berwarna putih dan memberikannya kepada Anto. “Kak, ini ada titipan dari emak”. Katanya minta disampaikan kepada kak Anto. Karena ini amanat, jadi buru-buru saya sampaikan.

     “surat apa ini?” Anto bertanya.

     Tidak tahu kak, saya juga tidak sempat bertanya kepada bibi yang langsung menyuruhku ke sini sesuai dengan pesan emak.

     Anto menimang-nimang amplop itu, adakah Mak Rodiah mengembalikan uang-uang yang selama ini diterimanya karena menganggap dirinya berhutang?. Sepertinya itu tidak mungkin.

     “kabar Mak Rodiah bagaimana?”. Rian tak lagi bisa menahan kesabarannya untuk mendengar kabar Mak Rodiah,setelah beberapa saat mereka sama-sama terdiam.

     “emak sudah meninggal, jawab Sindi segera. Ia menatap Rian dan Anto secara bergiliran.

     “Innalillah”. Rian dan Anto berucap hampir bersamaan.

     “meninggalnya hari jum’at kemarin,lanjut Sindi. “kenapa kami tidak dikabari?” Rian lebih dulu bersuara.

     “Sindi mengulas bibirnya dengan senyum,”maaf.. maaf” kami memang kepikiran untuk memberi kabar. Tapi kami belum tahu kemana harus memberi kabar. Kost kak Rian dan kak Anto pun baru saya cari hari ini sesuai dengan petunjuk emak waktu masih hidup. Itu pun karena memang ada amanah yang harus kami sampaikan. Kami tidak ungkin menahan amanah, apalagi bagi orang yang sudah meninggal. Dan akhirnya ketemu juga.

     Membuang napas sekaligus menyesalnya karena tidak bisa mengadiri prosesi pemakaman Mak Rodiah. Anto pun ingat cerita rusli yang merupakan tetangga kosnya. Hari jum’at yang lalu kata rusli kemarin, ia melihat Mak Rodiah duduk di depan kos mereka dengan ketanjang besar yang berisikan Kue Roko-roko Unti tergeletak disisinya.

     Dia tidak bilang apa-apa,dia hanya seperti patung. Terus saya ke dapur untuk mengambil piring karena kalian berdua kebetulan pulang kampung. Aku kebetulan ada uang dan juga suka dengan kue tradisional itu. Waktu aku kedepan, ternyata Mak Rodiah sudah tidak ada. Dia menghilang begitu cepatnya, padahal jalannya kan lambat.

     Anto ingin menyampaikan cerita itu kepada Sindi, tapi ia membatalkannya karena Sindi buru-buru mohon diri untuk pergi.

     Rian dan Anto melepas kepergian Sindi dengan ucapan terima kasih berulang-ulang.

     “apa isinya kak?” Rian mengambil amplop yang tergeletak diatas meja belajar. “aku juga penasaran”. Sahut Rian.

     Dengan cepat Rian merobek amplop itu dan mengeluarkan isinya. Berdua mereka membaca tulisan pertama pada isi surat Mak Rodiah yaitu “CARA MEMBUAT KUE ROKO-ROKO UNTI MAK RODIAH”

 

 

Ket:

Emak atau mak : Ibu

Roko-roko Unti : salah satu kue tradisional makassar yang bahan utamanya adalah pisang. 

 

 

 

 

 

 

 

 

Juni 2016

Riskal Ahmad

 


Emak atau mak : Ibu

Roko-roko Unti : salah satu kue tradisional makassar yang bahan utamanya adalah pisang.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler