Skip to Content

Samurai Lima Tombol

Foto Hans Ebang

Samurai Lima Tombol

 

Hari Selasa tanggal 11 bulan Februari tahun 2014, di Tokyo berlangsung perayaan semacam peringatan kemerdekaan. Menurut catatan sejarah Jepang, sejak awal tahun 660 SM,  kaisar pertamanya waktu itu telah menjadi raja. Raja Jepang pertama. Untuk mengenang sejarah itu, setiap tanggal 11 Februari dirayakan semacam perayaan kemerdekaan. Ada pentas seni, festival budaya dan berbagai seremonial keagamaan yang dirayakan di tempat suci dan kuil-kuil di seluruh wilayah negeri.

Sehari sebelum perayaan kenegaraan itu, ada sebuah cerita sejarah maha penting beredar hingga ke telinga pemerintah Jepang. Dewan Sejarah Pemerintah Jepang tanggap atas cerita itu. Mendadak mengadakan sayembara, tepat pada perayaan tersebut.  Sayembara Tokyo. Inti dari sayembara itu bahwa  pemerintah Jepang berani membayar mahal kepada siapa saja yang berhasil menemukan dan membawa pulang sebuah barang pusaka milik pemerintah Jepang. Samurai Lima Tombol hilang tuju puluh tahun silam. Maharnya seribu juta triliun rupiah.

Kampung Wini, Kecamatan Insana Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), awal bulan November tahun 2015. Matahari berada persis di ufuk barat. Sinarnya tak lagi kuat menembus gumpalan awan gelap di ujung bukit, di sudut kampung.  Satu jam lima belas menit telah saya habiskan sekedar menempu perjalanan dari kota Kefa menuju kampung ini. Seluruhnya lima jam perjalanan terhitung dari Kupang, ibu kota provinsi.

Sesampainya di gerbang kampung dekat rumah posyandu, saya memarkir mobil. Setelah memastikan tempat sekitar aman, saya turun dari mobil. Saya mulai mengayuh langka menapaki sebuah lorong sempit menuju rumah Usi Meko sang Kepala Kampung. Saya butuh dua puluh menit jalan kaki untuk sampai kesana.

 Lorong kampung sepih. Rumah-rumah penduduk pada umumnya beratap daun lontar berdidinding pelepa gewang tampak lengang. Berlantai tanah. Ternak sapi dan babi tampak bergerombolan di sudut-sudut halaman rumah yang gersang. Gambaran umum kampung-kampung di wilayah perbatasan. Menurut cerita yang perna saya dengan dari salah satu pegawai kecamatan, pada masa kepemimpinan Presiden Jokowi ini, kampung-kampung di daerah perbatasan rencananya akan diperhatikan secara serius. Termasuk Wini.

Wini merupakan kampung sekaligus salah satu gerbang perbatasan antara Kabupaten Timor Tengah Utara (Indonesia) dan Distrik Oecusie (Timor Leste). Gerbang perbatasan yang lainnya adalah Motain merupakan perbatasan antara Kabupaten Belu (Indonesia) dengan Distrik Bobonaru (Timor Leste). Warga Distrik Oecusie yang hendak ke Bobonaru dan Dili Ibu Kota Negara melalui jalan darat, mereka harus melintasi wilayah Indonesia. Jalur Wini-Motain. Maka jalur itu dinamakan jalur internasional.

“Persetan dengan kampung yang sepi dan program pemerintah pusat itu. Intinya saya dapat sampai di rumah Usi Meko. Bertemu dengannya, bercakap-cakap lantas saya memperoleh petunjuk dan kepastian final untuk menemukan barang pusaka itu”, saya berujar dalam hati.

Sebelumnya pada bulan Mei tahun 2015, lima bulan yang lalu saya bertemu dan berkenalan dengan seorang anggota dari sebuah jaringan rahasia di Kupang. Jaringan iu bermarkas di Tokyo. Jaringan itu sedang mencari sebuah barang pusaka milik pemerintah Jepang, Samurai Lima Tombol. Jaringan itu adalah salah satu peserta sayembara di Jepang.

Samurai Lima Tombol. Mahar sebagai bayaran sayembara itu sangat mahal.

Sebulan setelah itu saya datang ke kampung Wini bertemu dengan Usi Meko. Kedatangan saya sore ini adalah yang kedu kali sejak pertemuan saya dengan agen rahasia itu.

“Sayembara Tokyo. Samurai Lima Tombol. Bayaran yang sangat mahal. Seribu juta triliun rupiah. Setelah menemukan  dan mengambil Samurai Lima Tombol itu saya akan menjadi orang terkaya di Nusa Tenggara Timur. Pulau Semau dan pulau Kera di dekat teluk Kupang itu akan saya beli. Saya akan bagun hotel-hotel yang megah dan membeli pesawat Jet dari Perancis”. Khayalan itu buyar ketika kedatangan saya lebih dahulu disambut lolongan anjing-anjing di halaman rumah Usi Meko.

Usi Meko tidak asing lagi bagi saya. Rumahnya selalu saya datangi. Kedatangan saya kali ini mungkin yang kesekian puluh kali. Sudah dua puluh tahun saya berbisnis barang-barang antik di pulau Timor. Kota-kota dan kampung-kampung bahkan hutan dan bukit di pulau Timor telah saya jejaki untuk memburu barang antik. Saya bukan seorang kolektor.   Setelah saya beli dari si pemilik, barang-barang antik itu saya jual ke kolektor mancanegara dengan harga yang fantastik

Bulan Juli tahun 2008, ketika saya datang di rumah ini, Usi Meko pernah berceria bahwa dahulu pada masa penjajahan Jepang, seorang serdadu sekaligus bangsawan Jepang yang datang ke Timor memiliki Samurai Lima Tombol. Samurai Lima Tombol itu konon merupakan warisan dari kaiser pertama yang menjadi raja Jepang ribuan tahun silam.

Samurai Lima Tombol yang berusia ribuan tahun itu memiliki kesaktian yang maha hebat. Selain dikenal sangat sakti dalam membunuh, Samurai itu juga memiliki kekuatan gaib. Daun-daun bisa diubah menjadi dolar, ringgit, yen dan mata uang apa saja. Batu-batu dapat diubah menjadi bongkahan emas, tembaga, roti dan sebagainya.

Ritual mengubah benda-benda itu sangat sederhana, Samurai Lima Tombol dikeluarkan dari sarungnya, ujungnya diarahkan ke benda-benda yang hendak kita ubah. Tidak sembarang orang melakukan ritual itu. Ritual itu hanya dijalankan oleh keturunan dari sang kaiser Jepang yang pertama.

Ketika terjadi ketegangan antara serdadu Jepang dan tetara Portugis dalam perebutan wilayah Timor Timur, pusaka itu raib. Saat terjadi ketegangan, serdadu Jepang si pemilik Samurai itu berhasil ditanggap dan ditawan oleh tentara Portugis di Timor Timur. Tentara Portugis menang. Serdadu Jepang menyerah kalah dan hanya bisa puas dengan wilayah Timor Barat yang sebelumnya berhasil direbut dari tangan Belanda.

 “Peristiwa itu terjadi sekitar enam puluh tiga tahun yang lalu”, kisah Usi Meko.

Menurut Usi Meko, Samurai Lima Tombol  itu kini disimpan oleh seorang kakek, anak kandung dari seorang serdadu Portugis. Kakek Lopez namanya. Ibunya orang asli Oecusie. Kakek itu sekarang tinggal di kampung sebela kali, dekat Kota Oecusie wilayah kedaulatan Timor Leste. Kakek Lopez bersedia menjual Samurai Lima Tombol itu. Harganya lima triliun rupiah.

Sambil mendekatkan mulutnya ke telinga saya, Usi Meko berbisik: “Dengar pa Yohan. Tidak hanya uang lima triliun. Tapi ditambah jua darah dan nyawa anak perawan sebagai kurban. Anak perawan itu harus berasal dari keluarga orang yang hendak membeli Samurai itu” Saya merinding mendengar dua kalimat terakhir. Itu tuju tahun lalu.

Hari beranjak malam. Setelah makan malam di rumah Usi Meko, saya dan Usi Meko bergegas menuju kampung kakek Lopez di seberang kali di balik bukit.

“Kita lewat hutan. Menyebrang kali dan mendaki bukit. Kita lewat jalan tikus. Tiga puluh menit kita akan tiba di sana”, bisikUsi Meko ketika kami keluar dari pintu rumah.

Ketika hendak menyeberang kali persis di garis batas Indonesia dan Timor Leste, Ha-Pe saya berdering. Panggilan masuk dari Hany istriku di Kupang.

Dengan berbisik saya menjawab panggilan itu: “Halo selamat malam ma”.

Dari balik Ha-Pe terdengat teriakan histeris yang membumbung ke bukit-bukit pulau. Isak tangis pecah dan tupah ke tanah yang tandus.

 “Bapa segera pulang! Tadi sore Di.. Di….Dian anak semata wayang kita, ia kecelakaan motor sepulang dari sekolah. Sekarang ia sekarat di rumah sakit”. Tet tet tet  Telephon terputus.***

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler