Skip to Content

Sang Penulis

Foto A.Junianto

Sang Penulis

Oleh: Arief Junianto

 

 

Raung sirine ambulans yang diikuti oleh kelip lampu dari atap mobil patroli polisi membuat suasana di rumah petak seluas 2 x 4 meter itu menjadi sibuk. Situasi sibuk berubah menjadi tegang ketika dua orang dokter muda dengan rompi bertuliskan DOKPOL mengeluarkan sebuah usungan usang yang entah sudah berapa liter darah jenazah yang menetes di busa tipis yang menjadi bantalannya.

Pita plastik kuning yang bertuliskan DO NOT CROSS sepanjang lebih dari 5 meter dipasang melingkar di seputar lokasi rumah itu seperti menjadi sebuah pagar besi yang menghalau masyarakat yang semakin penasaran dengan jenazah berlumur darah yang terbaring di ranjangnya itu.

Tak lama, empat orang yang dua diantaranya merupakan dokter muda tadi menggotong sebuah kantung plastik besar berwarna kuning dengan sebuah resleting kokoh tepat di tengahnya.

Terlihat jelas kalau memang darah jenasah itu masih begitu segar. Itu terlihat dari rembesannya yang membuat kantung plastik yang semula berwarna kuning menjadi berwarna aneh, setelah terembesi warna merah darah.

***

Malam seperti pecah berkeping-keping oleh lantunan instrumen musik klasik yang terdengar lembut namun menyayat mengalun. Sepinya malam, menjadi terasa lebih menyayat ketika gesekan biola dan dentingan piano yang terdengar dari komposisi-komposisi Bacht yang keluar dari kedua active speaker yang diletakkannya di samping monitor LCD hitam berdebu.

Demetik tuts keyboard seperti semakin terus beradu dengan lentingan piano, debuman cello, dan sayatan senar biola.

Jarum pendek jam di lengan kanannya menunjuk angka 10. Wajahnya seperti bersinar oleh cahaya yang keluar dari layar datar monitor di depannya. Kedua matanya semakin terpaku pada deretan huruf yang tertata rapi di sana.

“Tak makan dulu kau,” sebuah suara muncul dari ruangan terpisah yang berada di samping ruangan tempatnya sibuk oleh pekerjaannya itu.

”Sebentar. Kalau kutinggal, tak selesai lagi ini cerita,” ujarnya tanpa menoleh ke arah suara tadi.

Sudah hampir tiap malam, dia selalu berada di depan layar LCD-nya. Abjad demi abjad dirangkainya menjadi kata. Kata ditumpuknya dengan kata hingga menjadi sebuah kalimat. Kalimat ditabrakkannya dengan sesama kalimat hingga menjadi sebuah cerita.

”Bukannya cerita-cerita kau itu tak pernah selesai,” teriak suara dari dalam.

Memang, semua cerita yang dibuatnya tak pernah usai. Sebagai seorang penulis amatiran, sebenarnya dia bisa dibilang cukup produktif. Tapi masalahnya hanya satu: pada akhir cerita.

”Sudahlah. Makan dululah kau sini,” teriak suara dari dalam sekali lagi.

Begitu bangganya ia dengan cerita-cerita yang ditulisnya. Sejuta mimpi ia susun di kepalanya saat melihat file-file ceritanya. Mulai dari penerbitan kumpulan ceritanya menjadi sebuah buku, hingga pada bayangan dirinya yang tengah membacakan cerita cerita di depan ribuan penulis dunia dalam sebuah acara penghargaan.

Sebagai seorang penulis amatiran, ia memang berbeda dengan penulis cerita yang seperti dibayangkan oleh anak sekolah. Kening yang mengerut tebal, kacamata tebal, koleksi buku tebal. Dan rekening tabungan dengan saldo hasil uang penghargaan yang juga sudah barang tentu tebal.

Tak pernah ia membaca buku-buku sastra, buku-buku cerita, baik lokal maupun yang kelas dunia. Tak pernah pula ia mengenal teori-teori dan teknik menulis cerita. Tak pernah ia mengenal realisme sosialis seperti milik Pramoedya, tak pernah ia mengenal cerita Kuntowijoyo yang filosofis, tak pernah pula ia mengenal cerita-cerita milik STA yang religi dan moralis.

Baginya, teori yang paling akurat adalah secangkir kopi yang diminumnya saat duduk di warung ujung gang saat sore dan pagi. Baginya, yang paling mempengaruhi ceritanya adalah tetangga-tetangganya, kawan-kawannya, dan tentu saja Arsy, seorang perempuan manis bermata bulat yang selalu setia memasakkannya sepiring telur dadar.

”Makin hari, telur dadarmu semakin sempurna, sayang,” celetuknya usai menyantap telur dadar yang sebelumnya telah siap di atas meja makan.

Sesempurna rajutan kalimat di tiap paragraf yang telah memenuhi kepalanya. Sebuah kejadian tadi siang sudah memenuhi tiap sela otaknya. Jemarinya seperti sudah tak sabar untuk mengacak-acak tuts keyboard hingga menjadi sebuah cerita.

Cerita tentang tetangganya, yang berjarak 5 petak dari rumahnya, seorang ibu muda yang ditinggal suaminya pergi berdinas di daearah perbatasan. Sejak 10 tahun lalu, suaminya yang seorang perwira Angkatan Darat pergi meninggalkannya, ibu muda itu selalu membuka pintu dan menyiapkan makan malam besar di atas meja. Tak pernah ada sepucuk surat atau sedering telepon yang mengabarkan keadaan suaminya. Bahkan komandannya sendiri pun tak tahu dimana suaminya berada.

”Yang kami tahu, kesatuan suami ibu, sudah kami tarik 2 tahun lalu. Tak ada anggota yang terlewat satu pun,” ujar komandan selalu begitu saat dihubunginya melalui telepon.

Kali ini, lantunan biola yang terdengar melantun bukan lagi komposisi milik Bacht, melainkan milik Vivaldi. Meski tidak se-menyayat milik Bacht, gesekan biola pada komposisi Vivaldi mampu membuat suasana kamar yang temaram menjadi lebih muram.

”Akhirnya selesai juga,” ujarnya dengan ragu-ragu.

”Hanya sampai di situ? Sepertinya masalah kau masih tetap saja. Cerita itu belum selesai,” bisik lembut suara perempuan merambati daun telinganya.

Kalau sudah begitu, seperti biasa, malam akan segera berlanjut dengan aroma peluh dan suara lenguh.

Paginya, secangkir kopi hangat, coba diperiksanya koleksi cerita yang telah ditulisnya lebih dari 1 tahun ini.

”Atau jangan-jangan memang beginilah akhir ceritanya,” gerutunya saat membaca satu per satu cerita yang mencapai puluhan itu.

Tanpa ujung cerita. Itulah akhir ceritanya. Seperti ampas kopi di cangkirnya. Mengambang. ”Sebuah ending yang mengambang. Itu kan kebanggaanmu,” suara perempuan itu kembali tiba-tiba terdengar dari balik selimut tebal yang kumal.

Diperiksanya cerita-cerita yang lain. Sepasang mahasiswa yang entah kuliah di kampus mana, yang pasti mereka adalah pasangan yang tinggal serumah tanpa adanya pernikahan.

Pernah suatu malam, yang berlanjut pada malam-malam selanjutnya, pasangan itu tengah bercumbu di kursi dengan kordyn setengah terbuka. Si perempuan terlentang dengan tangan dan kaki terikat di leher kursi. Sebuah Ritual Percintaan. Begitu judul yang ditulisnya.

Begitulah. Cerita-cerita itu seperti tanpa ujung. Cerita-cerita itu hanya terfokus pada klimaks, tanpa ada sebuah penyelesaian terhadap klimaks itu sendiri. Dia pun tak tahu kenapa bisa begitu. Padahal dia sadar sekali, bahwa sebuah cerita hakikatnya memang harus memiliki ujung untuk mengakhiri.

Dia sadar, sebuah cerita memang harus punya ujung untuk mengakhiri dirinya. Sebuah cerita tidak bisa dibiarkan begitu saja lepas tanpa batas. Itulah bedanya cerita dengan realita. Jika cerita harus punya ujung, maka tidak dengan realita. Realita harus tidak berujung. Relita harus tetap berarung. Sebab dengan mengarung, dia tahu arti dari makna realita sebenarnya: bertarung.

”Kalau sudah begini, mana bisa laku itu cerita-ceritamu. Mana bisa kita dapat uang. Mana bisa kita makan. Mana bisa kita bayar kontrakan ini,” suara perempuan itu menyadarkannya, ketika secangkir kopi perlahan mulai membasahi bibir bawahnya.

”Sudahlah. itu urusanku. Kalau kamu sudah tidak sanggup, kamu boleh pergi,” bentaknya kemudian.

Begitulah, seperti cerita-ceritanya, selain begitu saja mengalir, pertengkaran itu seperti pula tak punya akhir. Sudah kesekian kalinya mereka saling pergi. Saling meninggalkan pertanyaan yang memang keduanya merasa tak perlu mencari jawabannya.

***

Beberapa pria berseragam dengan memakai sarung tangan plastik memegang sebuah saput hitam yang telah dioleskan arang. Beberapa wartawan yang telah datang menambah riuh suasana kamar petak itu. Blits kamera yang saling bersahutan keluar dari kamera mereka. Seperti merekam setiap jejak yang tertinggal di sana.

Belasan, bahkan mungkin puluhan warga yang tinggal di sekitar kamar petak itu pun seperti mendapatkan komando untuk segera berkerumun. Mendongak. Mengintip. Mereka saling berbisik.

”Dari keterangan warga, korban yang bernama Bagong Subeki ini memang sempat cek cok dengan pacarnya. Tapi dari barang bukti yang kami temukan, sementara kami menyimpulkan bahwa korban meninggal karena bunuh diri. Lompat dari lantai 5 komplek ini,” tegas salah seorang lelaki berjaket hitam pada beberapa wartawan yang mengerubunginya.

Teras rumah yang bergenang darah. Aroma anyir menusuk seiring dengung lalat-lalat gemuk. Mayat sudah tak ada. Raung sirine ambulans terdengar menjauh. Beberapa lembaran kertas yang berisi cerita-cerita berserak dengan bercak noda darah yang telah mengampas.

Cahaya layar datar monitor komputer yang memancar dengan sebait tulisan di layar putihnya: Terkadang realita adalah cerita. Cerita adalah realita. Jika dalam ceritaku tak kau temukan akhir, mungkin pada realitaku, akan kau temukan itu, dalam bentuk aroma darah yang anyir. Terima kasih, Arsy. Engkau telah meninggalkanku. Sungguh terima kasih. Engkau meninggalkanku. Itulah akhir dari segalanya. Dari cerita sekaligus realita. Salam. Lelakimu. Bagong.

 

Surabaya, 2011

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler