Skip to Content

Sang Tak Beralamat

Foto saiful bahri

 

“Sempurnalah hidup mati orang-orang yang beralamat. Celakalah hidup mati orang-orang tanpa alamat!” Demikianlah bunyi prasasti batu kubur berhuruf Jawi Kuno. Prasasti batu kubur itu telah patah terbengkalai di sebuah komplek pekuburan kumuh tengah kampung.

Bunyi prasasti itu kedengaran sepintas seperti mengada-ada. Tetapi setelah lama kurenung-renung, ternyata kata-kata yang tersurat itu sungguh bijak bak kata mutiara. Semakin kurenung-renung semakin pancarkan berlaksa nuansa, semakin cocok dan menohok ambang adaku. Ya, adaku! Heh, adakah adaku? Jika aku ada, dimanakah adaku? Dimanakah alamatku?

Terperangkap pada galau menggelisah seperti itu, seketika itu juga kepalaku berdenyut kencang. Semestaku berpusing-pusing. Aku seperti sedang digelinding. Rasa haruku menyengat. Rasa piluku mengilu. Sekujur tubuhku serasa dihimpit-himpit beribu batu. Aku rasakan remuk. Aku rasakan luluh, pupus mencair, lalu melarut dalam bungkam sebuah pingsan.

Ketika aku tersadar dari amuk pingsan itu, hari-hariku jadi hambar. Sungguh tawar kulewati hidup mati orang-orang tak beralamat. Pergiku dan pulangku selalu saja tak menentu. Alamat-alamat yang kutuju seakan menggaib di depan harap dambaku. Tak gusar, pantang lelah menyerah, kutelisik lagi jalan berliku dengan kaki bersaput debu, terus saja kucari-cari alamatku.

Dalam pencarian itu, orang-orang yang beralamat, tak kenal waktu mencercaku, memfitnah-fitnah, mengumbar iri, meludahi dengki, mempersakit-sakitkan hati, biar aku gundah agar segera mengaku kalah, untuk tidak lagi mencari-cari alamat, biar aku selamanya tak beralamat. Orang-orang yang beralamat itu tega-teganya bersuka ria mempersulitku untuk jemu berbungkah tabu disaat-saatku cari-cari alamatku. Orang-orang yang beralamat itu sepertinya tak rela jika aku berlamat. Padahal aku dan orang-orang itu sama-sama manusia, yang akan lebih sempurna jadi manusia jika sama-sama punya alamat. Sungguhpun begitu, walau segala syirik, segala dengki terus mereka belit-belitkan kepadaku, aku tak akan pernah berhenti. Aku akan tetap mencari alamatku.

Sudah tak berbilang musim aku mencari-cari alamatku. Ujung usiaku sudah tinggal sejengkal lagi. Dalam sepi pencarian itu aku sering mengutuk diri, mengapa alamatku selalu menjauh dariku? Padahal dari kejauhan ini, aku sudah melihat dengan jelas kalau di samping tikungan lorong kampung yang rimbun berhutan rumbia itu, terhampar indah sepetak mungil tanah alamatku. Tatapi ketika kubergegas mendekatinya, seketika itu juga alamat itu menggaib, berganti dengan tebing-tebing karang terjal yang berjurang curam. Jauh di bawah sana ombak-ombak samudra menghempas tiada henti, meluluh lantak anganku pada alamatku.

Pencarian haru, pencarian pilu! Pencarian semu bakal membatu! Tergagap dan terguguplah aku ketika dalam khusyuk pencarian itu, tiba-tiba aku bersua dengan orang-orang yang ingkar alamat, orang-orang muak alamat, orang-orang yang dustakan alamat, orang-orang yang memuja-muja alamat, orang-orang yang luput alamat, orang-orang yang takut alamat, orang-orang yang selalu saja salah alamat….

Dalam putus harap itu aku berharap, biarlah alamatku itu adalah aku ini!

 

Ujöng Blang, 31 Januari 2009

 

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler