Skip to Content

Sastra Mamahayu Hayuning Bawana

Foto Ida Bagus Gde Parwita

SASTRA MAMAHAYU HAYUNING BAWANA

 

Oleh : Ida Bagus Gde Parwita

 

Hakekat manusia dan semua mahluk di dunia ini adalah keterbatasan. Dalam melakoni keterbatasan itu kita menyadari betapa penting arti manusia lain bagi dirinya. Walau terkadang hal ini terlupakan.  Mpu Tantular sang maha Kawi Sastra yang mencetuskan ajaran “Bhinneka tunggal ika” yang menjadi semboyan bangsa mengingatkan kita sekalian. Perbedaan yang dimiliki manusia, perbedaan kemampuan, bakat, dan perbedaan segalanya diperuntukkan untuk saling melengkapi dalam membangun satu keindahan dan kenikmatan bersama di atas dunia ini.

Bung Karno dalam amanatnya pada Kongres Kebatinan Indonesia di Gedung Pemuda Jakarta, tanggal 17 Juni 1958 mengharapkan agar keputusan yang dihasilkan oleh kongres “Mamayu hayuning bawono, mamayu hayuning bongso, mamayu hayuning negoro”.

Nampak betapa kesadaran yang dikehendaki manusia dalam menghargai kehidupan sesamanya. Kehidupan telah menjadi milik bersama, sama sekali bukan hanya milik sendiri. Pandangan demikian adalah pandangan menuju masa depan yang panjang,  sungguh menjadi suatu panggilan membangun kebersamaan yang dalam. Tentulah amat disayangkan bila makna perbedaan yang dimiliki manusia menjadi alat untuk memperdaya manusia lainnya. Perbedaan dijadikan alat membangun egoisme dengan pemanfaatan sekelompok manusia yang sepaham menuju kehancuran manusia lainnya.

Sastra hendaknya menjadi jalan untuk membangun rohani. Sastra yang memangku kebenaran universal menghargai perbedaan sebagai jembatan menuju kehidupan bersama yang lebur dalam keindahan sebagai layaknya aneka bumbu dengan rasanya masing- masing melebur dalam sebuah kenikmatan masakan, tanpa egoisme untuk lebih mengutamakan satu rasa saja.

Sastra yang membangun keindahan lewat bahasa merangkum daya pikir dan rasa. Kedalaman  sastra menjadi pola laku dalam melakoni keseharian hidup. Kalaupun kini banyak orang memburu kebebasan dengan mendobrak  sumbatan – sumbatan sosial dari kekuasaan para penguasa, atau kekuatan sosial politik diantara manusia, namun sastra mengajarkan sebaliknya. Kebebasan sastra dilakoni dengan mendobrak diri sendiri, jiwa sendiri dengan pola pengendalian keinginan-keinginan, yang sesungguhnya adalah suatu pengekangan.  Kekuatan mengekang segala indria inilah kekuatan jiwa yang sesungguhnya. Vivekananda sebagai mana disitir oleh Bung Karno dalam perjalanannya sepanjang negeri India menggugah hati rakyat India agar memiliki jiwa yang berkobar-kobar, jiwa yang terbuat dari dahsyatnya petir dan guntur, jiwa yang mengabdi pada cinta  tanah air dan bangsa.

Para tokoh yang agung, penguasa yang bijak senantiasa berpegang pada sastra sebagai penerang jiwa. Penempatan sastra sebagai penerang jiwa bukanlah untuk kepentingan sekelompok orang saja, apalagi hanya untuk diri sendiri, tapi suatu gerak menuju hilangnya kesengsaraan dunia. Karena itulah sang Mahayogi Vivekananda bertualang menjelajah hingga ke ujung-ujung India, bahkan hingga Sang Budha Gautama, Nabi Muhammad, Nabi Isa bertualang melenyapkan  kesengsaraan di atas dunia ini.

    Tidak kurang dari Dang Hyang Nirartha memberi gambaran orang – orang yang alpa sastra yang membawanya kepada bencana sebagaimana diungkap dalam bait kekawin Nirartha pakreta: “apan tan hana len nimittaning amangguh ala sinaputing putek hati/ sangkeng karmika wreddhi kopa dadi lobha temahanika moha tan surud” ( karena tiada lain yang menjadi penyebab orang mendapat celaka diselimuti oleh kegelapan pikiran/ dari perbuatan yang ditumbuhi sifat keakuan timbullah keserakahan yang berlanjut dengan kebingungan yang tiada henti).  Ternyata jiwa yang dilandasi kedalaman sastra ataupun jiwa yang alpa sastra akan selalu bergerak mengikuti perjalanan manusia, karena jiwa itulah yang menghidupi manusia dan mendatangkan baik atau buruk, dipuja atau dicaci di hadapan manusia lainnya.

Dalam perjalanan manusia diakui ataukah tidak, ketika dalam kesulitan, sakit, atau segala geraknya tak mampu menjawab semua rintangan yang dihadapi maka ia akan berpaling pada kebesaran yang maha kuasa melalui amanat sastra. Kehidupan keseharian manusia dalam menuju tercapainya keseimbangan, keselarasan, dan keserasian akan memedomani sastra sebagai sumber. Orang Bali melaksanakan beraneka jenis upacara, di Jawa dilangsungkan beraneka hajatan, bahkan setiap umat yang tak mengingkari kitab suci menempuh jalan sastra dalam kehidupannya. Maka bukanlah hal yang tanpa arti bila seorang yang telah menghayati hakekat sastra berkehendak melenyapkan kesengsaraan dunia, dan umat manusia. Sastra yang mamahayu hayuning bawana, menyempurnakan keselamatan atau keindahan dunia.

                                                             

       

                                                             

Komentar

Foto Ida Bagus Gde Parwita

Sastra Mamahayu Hayuning Bawana

Sastra adalah pedoman berfikir, berucap, dan bertindak. Apalagi sastra agama, ini yang harus didahulukan. Setidaknya bagi Bung Karno, Vivekananda, atau Dang Hyang Nirartha. Kita baru tahu setelah diungkapkan oleh Beliau. Jangan kita merasa lebih

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler