Skip to Content

Satu Hari Sejuk Pagi (Cerpen)

Foto Steven Sitohang

Pagi ini langit nampak pucat, lelah, dan muram. Masih tersisah butiran air matanya pada daun di pepohonan, pada kursi kayu taman. Ya, tiap jalan yang kakiku lewati basah akibat tangis marahnya tadi malam. Burung-burung terbang gelisah coba berikan rasa simpati dengan bernyanyi, lagu yang sangat mengiba hati. Angin gemulai bersiul lembut meraba celana jeans robekku hingga bulu di tanganku, yang paling aku nikmati ketika kawanan angin ini bermain dengan rambut seleherku. Amat mesra. Sangat berbeda.

 

Entah kenapa cuaca lembab ini yang sering aku benci, sekarang terasa bersahabat. Ingin rasanya aku sekedar bersantai malas menikmati kopi panas di Taman Menteng dan membaca “Tetralogi Buru” di sana, atau menegak berapa gelas anggur merah murahan sambil memetik gitarku ‘tuk selesaikan bait terakhir karya baruku. Tak ada selembar kertas mata uang atau logamnya, tak seratus perak pun ada di kantong ini yang bolong, tiada seorang pun mau meminjamkannya. Memaksaku kembali menghibur mereka lebih dulu, dan memainkan lagu-lagu yang ‘tak lagi bernafsu.

 

Cuaca sejuk pagi ini penuh dengan gairah dari dalam diri, bahkan membuatku lupa untuk mandi karena sejuknya, dan sekarang aku sudah ada di pusat ibu kota, di Jalan Sudirman. Sudah menghasilkan Rp. 12,200 dari bus 300. Entah siapa pada tahun 2014 ini yang tega memberi 200 perak, tapi aku akan coba menghargainya seperti ia menghargai satu karya seni yang tak dikenal. Aku turun di Komdak, dan berjalan santai di bawah rintik-rintik kecil bersama sebatang jarum menuju halte Benhil. Dari situ aku akan menuju Blok M. Ini adalah rute biasaku. Hampir setiap hari aku suka jalur ini.

 

Halte Bendungan Hilir yang diselimuti awan abu-abu. Nama dari satu bendungan yang adalah aliran anak sungai menuju Ci Liwung dan terus mengalir ke lautan ‘tak berujung, satu rute yang selalu mereka juga suka lewati. Orang banyak menyebutnya “BENHIL”. Di sini lah cuaca muram yang aku benci menampakkan perbedaannya, gerimis rasa persahabatannya, meneteskan gairah sekaligus keindahan ‘tak berdua.

 

Dengan masih nikmati rokok yang sesukanya permainkan jantung dan paru-paruku. Aku melihat sepasang bola mata, besar dan bersih. Berwarna coklat binar, sayu dan bersinar. Berpadu dengan alis lentik yang berayun ke atas dengan highlight yang tebal. Ketiganya sangat pantas ditopang oleh timbunan hidung yang menjulang kedepan, yang menghirup dan menghembuskan udara dengan perlahan. Aku lihat ia sedang berkicau dengan dua temannya, kicauan tenang yang membentuk garis menawan pada pipi, kicauan dari bibir nan pandai berdansa dengan lincah, tipis dan berwarna merah muda.

 

Orang itu berdiri menunggu busnya ke tempat kerja, menggantungkan tas kecil di lengan kanan dan memeluk kertas-kertas entah apa dengan tangan kirinya. Kedua tangan yang diselimuti kulit putih bagai daratan di utara, yang ditutupi oleh salju empuk dan dihinggapi bulu yang terlihat sangat lembut. Ia mengenakan kemeja putih, menjelaskan keindahan bentuk badannya, dipadu  blazer hitam, lalu terlihat rambut coklat berombaknya tergantung disana dan dilindungi oleh atap halte yang indah tak terawat. Semuanya semakin sempurna ketika kelincahan dansanya membentuk senyuman seperti busur panah yang sempurna. Semoga ada satu untukku.

 

Wahai langitku, sekarang aku tahu mengapa engkau amat muram, sangat sedih, dan layu. Karena engkau baru saja ditinggalkan malaikatmu, yang jatuh dengan perlahan ke bumiku. Bukankah ini kebahagian bagi umat manusia, memang terkadang kebahagian tidak milik bersama, saat yang sama yang lain bisa dimiliki derita. Sebenarnya derita memiliki arti yang sederhana, dan mungkin sudah biasa karena selalu ada di mana kita dilahirkan. Tanpa sadar manusia terkepung olehnya dan sulit untuk dihempaskan. Maka kebahagian adalah sesuatu yang mewah, dan dibutuhkan lebih tenaga untuk memeras sari-sarinya hingga tetes akhir kenikmatan”.

 

Seperti yang jarang aku lakukan, dan seperti kehilangan menit sesaat, aku sedang bernyanyi untuk mereka di bus ini dengan syair ini yang keluar begitu saja. Bus sedang melintas di atas jalan utama, seberang senayan. Dengan gerimis indah pun melintas diagonal di luar jendela. Gadis itu masih asik ngobrol dengan kawannya di kursi tengah-tengah sana. Dan pandang mataku terus menghinggapi tingkah lakunya, semoga gadis itu tidak mengeja aku layaknya orang aneh yang sedang berdiri di tubir kegilaan.

 

Setelah memeras sari-sarinya hingga tetes akhir kenikmatan, bukalah pintu hati untuk seseorang sebagai manusia. Tetesan itu akan lebih bernilai tingkatnya jika dengan ketulusan niat saling berbagi, untuk saling menerima. Tingkat tertinggi adalah cinta. Dan sesungguhnya sulit memahami akan arti “pandangan pertama” tentangnya. Adalah benar kepercayaan atas segala hal ada tahapan, dan untuk menuju suatu tempat cobalah bergandengan tangan, dan yang paling mudah dan penuh tantangan adalah yang alami, yang mampu menimbulkan hubungan sehat dalam koridor dan norma positif, seperti nektar pada kupu-kupu dan penyerbukan yang dilakukan bunga-bunga. Proses saling memberi manfaat.

 

Tak pernah aku merasakan gerimis pagi sealami ini, semua seperti siluet. Angin-angin nampak nyata pengaruhi segala rasa. Roda-roda menerjang genangan air langit. Membuatku sadar akan kenyataan. Kesadaran akan gerimis perasaan yang bergerak lambat di suatu tempat. Pernah kalian membayangkan tempat paling aman untuk bersembunyi? Bersembunyi dari segala perhatian akan indahnya kesejukan gerimis yang mungkin datang. Di pojok tempat itu lah aku sekarang merasakan kenyamanan yang paling nyaman. Cukup sederhana jika tak bisa dikatakan mewah. Kemewahan satu cuplikan nyata manusia dengan payungnya dalam warna hitam-putih.

 

Seorang ibu keluar dari bus, melebarkan payung untuk anaknya agar terhindar dari basah. Aku berjalan di belakang ibu itu dan membantu anaknya turun dari bus bersama sepasang bola mata besar dan lainnya. Aku terus memperhatikannya, ia berlari dan menaiki jembatan penyebrangan, dan hilang ketika satu pohon mangga besar menghalangi pandangan. Sekarang aku sendiri bersama mereka dengan kopi panas dalam gelas plastik dan duduk di kursi trotoar jalan yang dilindungi terpal biru. Ku lihat jam tangan seseorang menunjukan pukul 08:48. Dan matahari pun masih segan untuk menampakan dirinya dengan utuh. Memaksaku kembali masuki tempat paling aman untuk bersembunyi, bersama kopi dan cipratan air akibat terjangan roda-roda kendaraan.

 

Kopi hitam murah dalam genggaman. Mengalir pada cerobong tenggorokan, menampakkan satu lukisan. Satu muka yang lima menit lalu hilang. Muncul dan hilang pada pagi yang menantang, karena angin sejuk kemalasan dan gerimis yang memamerkan keindahan. Setengah gelas kopi telah tertelan, bersama dengan waktu di mana mata besar itu bersinar membuat sang pemilik sinar abadi cemburu. Dan para serdadu burung bernyanyi dengan tangga nada bahagia pada suasana yang seakan murka, akibat kecewa tanpa perhatian yang dikalahkan oleh satu lukisan muka dengan bibir tersenyum dalam sanubari. Dan tersadar bahwa gelas plastik yang tergenggam sekarang tanpa isi.

 

Pada satu persimpangan yang hanya dapat dilalui oleh pejalan kaki, aku kembali membuka tempat gitarku (hardcase), dua kali aku diusir oleh pemilik toko baju dan sepatu. Lalu aku menemukan satu tempat, di sebelah telepon umum yang sudah pensiun akibat bergebiarnya teknologi yang suka memperbudak manusia. Bersama beberapa pot tumbuhan yang sering kita lihat di pinggir jalan, aku meletakkan hardcase-ku terbuka dan kembali tuan enam dawai berbunyi dan berbicara bersama mulutku, kembali dengan nada. Seperti tunas bambu yang coba ku ikat dengan pita merah lambang rasa kesatuan.

 

Di depan panggung sederhanaku terdapat rumah makan cina, dengan pengunjung yang sudah ramai. Ya, satu panggung yang penuh dengan rejeki. Seperti ornamen Chai Shen yang diberikan seseorang kepada seorang lainnya untuk membawa keberuntungan ke dalam rumah. Aku sudah 5 tahun meninggalkan rumah orang tuaku di Sumatra Utara sana, dan itu artinya aku lah sang Chai Shen, berusaha memperoleh keberuntungan dan kebaikan ke dalam hardcase, yang suatu hari nanti akan ku bawa pulang ke rumah.

 

Rumah di mana tanahnya dapat ditanami tumbuhan kebahagian. Di bawahnya terdapat mata air yang kaya akan kejernihan untuk kesehatan. Sebagai pemilik, kita diharuskan sedikit lagi berusaha menggunakan ketulusan sapu tangan untuk menghapus tiap air mata dan menggali beberapa jauh agar menjadikannya mata air. Karena air mata jelas tak disukai oleh benih walau dibantu oleh pupuk paling ampuh sekali pun. Ketika kehangatan rumah mempercepat tiap akar menjalar, tumbuhan itu akan menjadi pohon yang menghasilkan buah dengan segala sari perasaan. Dan perasaan itu lah yang harus terus dilindungi dengan selimut berbahan paling lembut, - kulit manusia yang memberikan pelukan selamat malam. Yang menyelimutinya pun akan terus juga belajar menggunakan sapu tangan dengan baik satu dengan yang lainnya.

 

Ketika membawakan 2 lagu berjudul “Kopi Dalam Genggaman” dan “Rumah Mata Air”, aku kembali melihat bola mata besar itu, tanpa sadar sebatang jarum yang telah terbakar kembali hinggap di jariku. Aku hisap dan keluarkan kenikmatan asap, bersamanya aku lihat dia melangkah masuk ke dalam restoran cina, lalu memilih tempat di luar bersama payung besar berwarnah merah tertancap ke tanah. Ia sangkutkan blazer hitamnya di punggung kursi, duduk, dan tangannya mencari sesuatu dalam tas kecil. Sekarang dia sedang asik menggelitik telepon genggamnya dengan kedua ibu jari. Hal yang sudah biasa untuk dilihat ketika seseorang sibuk dengan telepon genggamnya. Nampak serius untuk merangkai kata, kemudian akan tersenyum kecil seketika.

 

Ingin rasanya hati ini berkenalan dengan si pemilik mata besar nan indah itu. Ingin rasanya melihat senyumnya kembali, akibat lelucon sehat yang aku miliki. Dorongan ini memiliki emosi yang lucu, dengan keinginan yang jujur, sedikit aku perfikir untuk menipu, seakan-akan aku pun pekerja kantoran yang mengenakan kemeja dan dasi, pasti perkenalan akan lebih mudah dilakukan. Dengan secangkir kopi bermerek, ia berbicara santai mengenai pekerjaan dan rencana akhir pekan. Hingga ia melupakan sepatunya yang sedikit sudah kotor akibat lumpur, dan aktifitas aneh dengan telepon genggamnya.

 

“Jadi ke mana rencanamu?”

“Aku hanya akan di rumah, membaca buku yang dipinjamkan teman lamaku saat kuliah”, kata gadis itu.

“Baiklah, aku takkan memaksa. Tapi jika kamu berubah pikiran, datang saja ke tempat itu, teman-teman di Lawfirm banyak yang akan datang”

 

Aku tak sengaja dengar percakapan gadis itu dengan teman prianya, mungkin dia hanya teman satu kantor saja. Tapi mendengar kata “lawfirm” aku jadi teringat 5 tahun lalu saat pertama kali menginjakkan kaki di Ibu Kota ini, kuliah di salah satu kampus swasta dengan jurusan hukum. Prestasi akademisku tidak begitu baik hingga semester 3, kemudian ayahku meninggal. Penghasilanku tak mampu membantu, dari menulis cerpen pun belum menuai hasil, terlalu banyak cerpenku yang cocok diletakkan rapih dalam tong sampah. Hingga akhirnya aku memutuskan diri dari perkuliahan dan mencoba menghidupi diri sendiri dengan cara yang juga aku punya sendiri. Lantas terlintas di benakku satu lagu yang sempat ku tulis saat masih kuliah dulu. Setidaknya aku tidak keluar dengan tangan kosong.

 

Tersebar luas frasa berwujud kalimat. Bersetubuh diksi nan bermutu tinggi. Dengan liur, sisi gulita menyelinap. Menyulap hakiki menjadi fiksi. Memperkosa terang dengan hebat. Bercampur dalam argumentasi. Segala cingcong dari kerongkongan.  Segala bergumul dalam satu ruangan. Dalam ruangan satu asa digantungi. Seperangkat timbangan diejek, dinistai. Tiap masa depan ‘kan dapat tersembelih. Satu sisi mungkin saja jadi erangan mati. Lembutnya bahasa dalil sulit dipahami. Kupasan ahli amat jemu, sungguh palsu. Mahalnya harga ‘tuk mengerti. Kenapa takdir diserahkan ketukkan palu?. Palu yang menyerupai kilat petir. Mengejuti angkasa suasana hati. Paku terkutuk menusuk dengan mahir. Meludah, menghina dan mentertawai. Tuntutan hak dan rasa, sengaja dituli’kan. Suara hati dengan sendiri terkandangi. Kebuasan melarikan diri dari kuburan. Setan-setan hukum menggentayangi. Warna hitam gelap menghiasi. Segala isi meja hijau yang maha suci. Hanya sebelah mata yang ditutupi. Dewi Themis pun dikangkangi.

 

Hari ini seperti tidak pernah berubah. Sang surya nampak malas untuk menjalankan rutinitas. Awan gelap tetap setia di atas sana dengan rintik puitiknya. Aku rasa sudah cukup pita suara dan gitar ini bekerja. Bekerja satu harian suntuk dari berbagai macam kejadian sibuk. Sibuk bagi penjual kopi yang diharapkan lebih gesit karena banyak pesanan di bawah cuaca sejuk, sibuk bagi penjual koran dengan jas hujan mendatangi jendela tiap kendaraan, juga sibuk bagi pengacara yang mencari dan membentuk kebenaran. Ya, dia terlihat sangat lelah hari ini, pada pukul 16:50 pagi. Karena tadi aku sudah berkata, bahwa hari ini seperti tidak pernah berubah.

 

Angin lembut masih terus bermain-main bahagia. Angin yang sama ketika hari ini aku membuka mata. Angin yang tak pernah berubah suka membuat suasana. Juga suasana dalam setiap jiwa, pada kemacetan lalu lintas Jakarta. Dan bagaimana sang angin membentuknya pada gadis itu, ia melangkah bagaikan sang surya, menyapa penjual kopi dengan ramah, memesannya secangkir dan duduk di sampingku.

 

(Jatinegara, Jakarta, 13 November 2014)

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler