Skip to Content

Sebatang Rokok Diujung Kematian

Foto Resna Jafar

Sampai sekarang aku masih bertanya-tanya, apa sebenarnya tujuanku hidup. Apakah aku hidup hanya untuk menunggu mati? Namun mengapa kematian itu tak kunjung datang, padahal aku sudah siap lahir batin jika harus bertemu sang pencipta. Delapan puluh tahun sudah aku menghirup indahnya aroma kehidupan, namun aku tak pernah tau makna dari kehidupan, yang aku tau selama ini aku hanya bercumbu dengan sebatang rokok dan bersenggama dengan asap. Seperti biasanya tembakau yang ku gulung dengan lembaran kertas papir putih ini selalu setia menemaniku. Dua tahun sudah lamanya aku ditinggal pergi sang juita malamku, sehingga gelapnya malam yang hanya diterangi lampu corong ini aku lewati hanya bersama sebatang rokok.

            Tak terasa ayam-ayam telah menyambut kedatangan sang fajar, matahari pun perlahan mulai menampakan senyumnya, dan nafas-nafas kehidupan pun mulai terasa kembali. Pagi ini aku tak punya aktifitas yang akan membuatku lelah dan menyita waktuku, sawahku sudah selesai aku bersihkan dari rumput-rumput yang mengganggu padi ku untuk tumbuh, sehingga hari ini mungkin aku hanya akan berleha-leha digubuk tuaku ini sambil kembali menunggu izrail menjemputku. Perasaanku tiba-tiba berubah, hatiku mulai tak tenang, batuk yang sudah satu bulan lamanya bersemayam dalam tubuhku ini tak kunjung pergi, “mungkin tuhan mendengar doaku, kalau aku ingin segera bertemu dengan-Nya” aku berbisik dalam hati. Entah apa penyebab dari penyakitku ini, entah karena faktor usia atau mungkin karena rokok yang sudah setia menemaniku sejak umurku lima belas tahun. Aku tidak terlalu menggubris tentang hatiku yang bertanya apa penyebab penyakitku ini.

            “Semoga setelah aku sampai dirumah-Mu tuhan, aku bisa kembali bertemu dengan istriku lagi” aku terus menggerutu dalam hati. Nafasku kini mulai terasa sesak, aku tak bisa menghirup udara seperti biasanya, aku merasakan hanya ada aroma kematian yang kuhisap. Aku kembali mengambil sebatang gulungan tembakauku dan mulai menyalakan korek yang rasanya berat sekali untuk ku angkat. Dan asap-asap itu kembali membuatku tersenyum hingga lupa bahwa sekarang aku tengah berada diujung kehidupan. Menjelang hisapan terakhirku batuk ini tak bisa lagi ku hentikan, rasa sakit di dadaku tak mampu lagi ku tahankan, aku memasukan gulungan tembakauku pada sebuah asbak yang kubuat dari batok kelapa. “sekarang sudah pasti kalau aku tidak akan lagi menghirup aroma kehidupan, selamat tinggal tembakauku, dan semoga kita bertemu kembali juitaku dipelaminan” gumamku terengah-engah. “lailahailaulah muhamaddurasulullah”.

            Aku melihat seorang kakek tua tengah terkapar disebuah gubuk dengan asap rokok yang masih mengepul. “Kenapa dia mirip denganku?” hatiku heran. Kemudian aku hanya mengikuti sebercak cahaya dan sebuah suara yang terus memanggil-manggil namaku. Aku terus menatap kakek tua itu hingga berada diujung pandangan. Aku tidak sadar entah sejak kapan aku bisa terbang, namun yang pasti cahaya dan suara yang ku ikuti itu berada diatas langit, tapi aku tetap bisa mengikuti cahaya dan sumber suara itu.

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler