Skip to Content

Sebuah Luka Lama

Foto sofyan al-wardhi

 

Sebuah luka lama masih bersembunyi diantara Aku dan suamiku. Sebuah luka yang tak pantas membekas malah masih terasa nyerinya kini. Sudah delapan belas tahun Aku dan suamiku menikah. Namun tak ada kemesraan yang menyela dalam hidupku dan suamiku. Kami dianugerahi seorang anak perempuan setelah tiga tahun kami menikah. Namun setelahnya tidak. Hingga saat ini kami hanya mempunya satu orang anak. Namanya Dea. Dan kami tinggal di dalam rumah yang cukup mewah, luas dan megah. Namun sepi dan senyap isinya.

Kasihan Dea, padahal di tarap seusianya merupakan tarap mendapatkan perhatian khusus dari keluarganya minimal dari orang tuanya. Tapi Aku tidak pernah memberikan kasih sayang selayaknya seorang ibu kepada anaknya. Aku terlalu menggunakan perasaan tiap kali bertatap muka atau bahkan mendengar nama suamiku saja. Sehingga menomor duakan atau bahkan menyita perhatianku terhadap Dea.

Semua ini karena ulah suamiku. Kalau saja dulu dia tidak memulainya, Aku pasti akan dengan mudah memeluk Dea dan tersenyum dihadapan suamiku. Sudah sering Aku meminta cerai pada suamiku, namun ia selalu menolak. Dia mengaku masih mencintaiku. Dan tidak bisa dipungkiri, sesungguhnya Aku juga benar-benar masih mencintainya. Sebenarnya Aku juga tidak mau meminta cerai. Tapi entah kenapa mulut ini berkicau terus untuk minta cerai.

Aku terlalu sabar menjadi isteri. Padahal Aku tahu bahwa suamiku selingkuh dengan wanita lain. Namun tak pernah ada pertengkaran atau pecah piring di rumahku. Aku juga tidak pernah menangis. Aku hanya menahan semuanya dengan berdiam diri. Mungkin kalau Aku banyak berbasa-basi akan tumpah juga air mataku.

Untuk menahan agar butiran permataku tidak tumpah, Aku juga menahan untuk tidak banyak berbasa-basi dengan Dea. Bahkan kami tidak pernah ngobrol berdua. Tegur sapapun jarang. Aku juga mengerti perasaan Dea. Pasti ia sangat terpukul lantaran tidak ada interaksi dengan kami, selaku orang tuanya. Dea seperti hidup sendiri. Rasanya, ia hidup tanpa kami. Dan rasanya kami sudah mati. Dea, Sabar ya, nak!

Suatu hari, Aku sedang iseng jalan-jalan di supermarket kota. Untuk menghilangkan suntuk, Aku pergi sendirian ke supermarket tersebut. Saat Aku sedang memilah-milah gaun, Aku melihat suamiku bergandengan tangan dengan Nana, rekan kerjaku. Ugh, betapa sakitnya Aku yang saat itu merupakan isteri sah dari mas Gito, menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri bahwa seorang mas Gito bergandeng tangan dengan kolega kerjaku sendiri. Rasanya berpuluh-puluh batu menyohok kearahku. Sesak hati ini. Sesaat Aku menenangkan diri dengan duduk di balkon sekitar lokasi. Dengan beristighfar berulang-ulang, sesakku pun reda. Ingin hasratku untuk melabrak mereka. Tapi Aku merasa bahwa itu bukan cara yang baik. Bagaimana jika orang-orang tau, seorang nyonya yang kaya raya sedang marah-marah di supermarket. Mau ditaruh dimana mukaku. Akupun memilih untuk pulang.

Aku selalu menceritakan hal ini kepada kakakku, mbak Nova. Kakakku selalu menyarankanku untuk meminta gugatan cerai. Tapi tetap saja Aku yang membandel. Aku tidak ingin bercerai dengan suamiku. “Santi, kamu gila ya, San! Kamu rela suami kamu selingkuh. Kenapa kamu diam aja diperlakukan seperti itu. Aku gak bisa ngeliat kamu diremehin gitu aja, San. Aku akan melakukan sesuatu sama suami kamu. Aku gak perduli San, Aku akan membebaskan kamu dari belenggu ini. Secara kamu itu adikku!” kemarahan mbak Nova berapi-api saat Aku menceritakan keadaanku.

“Udahlah mbak, Aku gak kenapa-napa kok. Lagian Aku masih mencintai suamiku. Biarlah Aku seperti ini. Asal Aku tidak cerai dengan suamiku.”

Aku yakin mbak Nova pasti menganggapku bodoh, gila, stres, eror dan sejenisnya. Jelas-jelas suami selingkuh masih saja dikasih hati. Tapi Aku serius dengan ucapanku. Aku akan terus berdoa kepada tuhan supaya suamiku diberi kesadaran. “kamu gak kasihan sama Dea, San? Lebih baik Aku ambil Dea untuk tinggal bersamaku. Aku gak mau keponakanku juga ikut sengsara karena ulah suamimu itu.!” Mbak Nova meminta Dea untuk tinggal dirumahnya. Syukurlah akhirnya anakku menemukan jalan untuk tidak berbaur dengan masalahku dan suamiku.

Akupun meminta mbak Nova datang ke rumah untuk menjemput Dea. Setelah ditanya oleh mbak Nova, Dea bersedia untuk tinggal bersama tantenya yang tidak lumayan jauh tempat tinggalnya dari rumahku. Dea menyalamiku sambil menghujani pipinya dengan mutiaranya. Baru saat itulah Aku merasakan sedih yang teramat dalam. Dimana Aku harus berpisah dengan Dea, anakku. Seketika itu Aku memeluk Dea erat-erat. Baru saat itulah Aku menangis di depan Dea. Aku tak mampu berkata apa-apa. Mereka pun lekas pergi.

Tidak lama kemudian suamiku pulang. Aku sudah menyiapkan makanan diatas meja makan. Namun dia hanya pulang untuk mengganti pakaiannya saja. Dan setelah itu ia pergi lagi. Aku hanya menggelengkan kepala. Berhari-hari kelakuannya selalu seperti itu. Hanya pulang untuk mengganti pakaian. Sedangkan Aku yang harus mencucinya. Lama makin lama kesabaranku hilang. Aku mulai berpikir kritis. Enak saja laki-laki itu hanya pulang mengganti pakaian untuk berganti-ganti selingkuhan. Sadis!

Aku menelpon mbak Nova dan menceritakan semua ittikadku untuk benar-benar meminta gugatan cerai kepada suamiku. Aku memintanya untuk datang pada pukul dua sore. Akupun menunggunya datang. Aku menunggu di ruang tamu sambil menonton tv.

“Assalamualaikum! San, kamu yakin dengan tekadmu itu?” mbak Nova bertanya ragu.

“Waalaikumsalam, iya mbak. tekadku sudah bulat. Aku bener-bener akan meminta gugatan cerai pada lelaki bajingan itu, mbak.”

“hemh, oh ya San. Tadi Aku suruh Dea untuk datang ke sini juga satelah pulang sekolah! Eh, San, pakaian siapa itu?” mbak Nova bertanya heran melihat pakaian yang berserak di sekitar bawah sofa.

Akupun menceritakan kepadanya apa yang hendak ku lakukan. Aku sengaja menutupinya dengan selimut agar ketika mas Gito pulang dia tidak curiga. Aku akan melemparkan semua pakaian itu ke wajah busuknya itu. Tok! Tok! Tok! Itu pasti suara ketukan pintu mas Gito. Aku pura-pura bermuka manis. Aku membukakan pintu untuknya. “Eh, pulang mas! Tuh, mbak Nova datang!” mas Gito keheranan melihat tingkahku. Ia kelihatan gugup setelah kuperlakukan mesra. “Oh, Dea gak ikut, mbak?” dia bertanya kepada mbak Nova dengan gugup. “Entar pulang sekolah Dea bakalan datang kok, To!” Mas Gito pun permisi untuk mengganti pakaiannya.

Seperti biasa, pasti ia akan menjenguk selingkuhannya yang lain. Setelah keluar dari kamar, mas Gito menghampiriku yang sedang nonton tv bersama mbak Nova. Ia pamit untuk pergi lagi. Ia pun mencium keningku. Huh, sok mesra. “Aku pergi dulu ya, dek!” mas Gito pamit dengan rasa tidak bersalah. “Iya mas. Hati-hati ya, mas!”

Setelah ia berjalan kearah pintu Aku mengambil pakaian yang sengaja ku letakkan di bawah sofa. “mas, tunggu sebentar!” mas Gitopun berbalik badan. Ketika mas Gito membalikkan wajahnya, Aku langsung melemparkan pakaian yang ada di tanganku. Seketika itu emosiku memuncak. “mas, silahkan pergi dan jangan kembali. Sudah cukup sabar Aku menahan perasaan ini. Aku sengaja diamkan kelakuan kamu mas. Tapi kamu gak pernah ngertii perasaan Aku!”

“sudahlah dek!” mbak Nova menghela.

“gak mbak belum selesai!”

“Waktu itu kamu jelan berdua dan bergandengan tangan dengan rekan kerjaku kan, mas. Namun Aku diam mas. Aku cinta padamu mas. tapi dimana otak kamu.”

“San, dengari Aku dulu!” mas Gito berusaha memotong amarahku.

“Jangan potong amarahku mas! Selama ini Aku buta mas. Aku rela dikatakan gila dan bodoh oleh orang-orang karena kelakuanmu. Kamu sadarkan mas, kalau kamu itu numpang di rumahku! Kamu dulu seorang lelaki miskin yang pengangguran. Kalau tidak ku pungut, mungkin kamu sudah mati di rubungi lalat. Tapi kamu malah memakan kesempatan ini dengan rakus. Sampai-sampai kamu melukai pemiliknya. Dimana otakmu mas?” amarahku tak terkendali.

Aku nyerocos sampai-sampai tak memberikan celah padanya untuk berbicara. Tiba-tiba saja Dea datang dan membawa piala karena menjadi juara umum di sekolahnya. Dea melihat adegan pertengkaran kami. Aku langsung menyuruh Dea datang kepadaku. Aku langsung memeluk erat tubuh Dea. “maafkan ibu ya,nak. Selama ini ibu tidak pernah ada untukmu! Sampai-sampai kamu mendapatkan kemenanganpun ibu tidak tahu!” baru ini Aku berbicara dengan Dea. Kamana Aku selama ini.

“Mas, coba kamu lihat anak yang memegang piala ini. Dia anak kita kan mas? Dia pintar mas. Kemana kita selama ini. Kamu yang bawa Aku pergi ke lubuk derita mas. Anak kita jadi korban mas. Kamu sadar kan. Memang kamu benar-benar tidak punya hati mas. Mulai sekarang Aku minta kamu ceraikan Aku mas. Aku gak tahan!” mbak Nova langsung memelukku dan Dea.Dea yang tengah dalam pelukanku  menangis sejadi-jadinya.

Setelah beberapa hari, kamipun kepengadilan. Namun proses perceraian itu sangat lama. Setelah sebulan barulah keputusan dari hakim keluar. Dan Aku sah bercerai dengan suamiku. Legah rasanya. Hidup tanpa pikiran yang rumit. Sebuah luka lama yang ku idam-idamkan untuk sembuh, akhirnya diberi kesembuhan oleh Yang Maha Kuasa.

Dea pun kembali tinggal bersamaku. Kini Aku bisa lebih memperhatikan Dea. Hidupku kini lebih tenang dan bahagia bersama Dea. Kami lebih mudah menghela napas kini. Namun kasihan Dea. Ia tidak pernah mendapat kasih sayang dari seorang ayah. Kami keburu bercerai sebelum mas Gito sempat mencium keningnya. Maafkan ibu ya Dea!

Komentar

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler