Skip to Content

Senja Duka

Foto Resna Jafar

Cahaya indah mentari sudah tebarkan kehangatannya pagi ini, menyinari hatiku yang beku, dan menelisik hangat masuk ke semua sum-sum tulangku, jantungku ikut berdekup tak beraturan ditengah perasaan yang was-was ini. Aku masih saja belum beranjak dari tempat duduku sejak fajar menyingsing tadi, jam di arlojiku pun sudah menunjuk ke angka 09.39, aku masih belum bisa melupakan bayangan saat kepergian wanita terindahku itu, masih kental bayangan wajahnya saat aku terakhir kali melihatnya yang kini menyisakan kesedihan yang mendalam dan membekas dihatiku. Kedekatan yang sudah terjalin selama 3 tahun lebih kini harus terpisahkan tanpa sebab dan alasan yang jelas, masih tersimpan indah dihatiku bayangan saat pertama kali bertemu diujung indahnya lembayung senja diatas hamparan pasir putih dan sayup angin dengan deburan ganas ombak pantai selatan yang mengigit sawah-sawah disepanjang jalan bayah yang disaksikan oleh benteng-benteng bekas peninggalan sejarah. Pertemuanku saat itu menambah lengkap keindahan senja minggu sore, ditengah bayangan indahku yang kembali mengulang masa-masa indah bersamanya aku dikagetkan dengan suara yang jelas akrab dengan telingaku dan tepukan di pundaku.

“kau masih akan tetap seperti ini, duduk, menunggu dia kembali, menangis, dan selalu berharap cemas diujung kerisauanmu?” ibuku bertanya dengan nada penuh kasih sayang.

“sudahlah kau lupakan saja wanita itu, wanita yang selalu kau kait-kaitkan dengan keindahan senja, bahkan kau berkata pada ibu dia adalah bidadari langit yang tercantik dan turun ke bumi disaat lembayung senja datang untuk menemuimu and meyempurnakan jalan hidupmu, tapi sekarang ibu tak setuju dengan perkataanmu itu, ibu lebih suka menyebutnya Hantu Senja” ibuku berkata sambil menyodorkan segelas teh hangat dan duduk tepat di sisi kananku.

 “Maksud ibu apa menyebut wanita senjaku sebagai Hantu senja, atas dasar apa ibu berkata seperti itu dan memvonisnya?” Jawabku sedikit kesal.

“kau masih saja membela wanita itu, jelas-jelas dia yang mebuatmu terpuruk seperti ini, dia pergi tanpa ada kata pamit atau sebuah perpisahan diujung senja yang indah, tapi yang terjadi dia tak pernah melakukannya, dia pergi darimu dengan sesuka hatinya tanpa memikirkan keadaanmu saat dia pergi meninggalkanmu, dia yang menjatuhkanmu dalam ketakutan yang mendalam, bayangannya selalu menghantuimu setiap hari, dan dia pula yang membuatmu tak bisa berkarya lagi, apa masih pantas kau sebut dia bidadari, ingatlah perjalananmu masih panjang, kau tak bisa terus-terusan seperti ini, kau hanya seperti mayat hidup”ibuku menerangkan dengan nada tinggi cerminan kekesalan.

“ ibu tak pernah tau apa yang kurasakan, dia sangat berpengaruh dalam hidupku, dia adalah masa depanku, bahkan harapanku adalah dia yang akan menjadi ibu dari anak-anaku kelak, aku sudah tak bisa melupakannya”

“tapi kenyataan yang terjadi tak seperti harapanmu bukan, dia malah meninggalkanmu, dan bagaimana pula kau akan terus hidup jika kerjaanmu hanya duduk menunggunya, dan bagaimana pula kau bisa melupakannya jika tak pernah ada usaha dari dirimu sendiri?”

Aku langsung berdiri dan pergi ke kamarku tanpa sedikitpun kata keluar dari mulutku, hanya cerminan kekesalan yang tersirat diraut wajahku, aku terus mengurung diri dikamarku hingga malam pancarkan sinar bulan yang terang yang masuk melalui celah-celah angin dijendelaku. Aku coba membuka jendelaku melihat indah sang bulan yang selalu setia temani malam, bahkan ketika sang bintang tak ada bersama mereka, hatiku bearndai ketika kulihat kemesraan di atas langit itu, jika saja kisah cintaku dengan wanita senja itu seperti sang bulan dan malam, mungkin sempurnalah hidupku dengan gambaran sang bintang sebagai anak-anaku kelak, sungguh jauh pemikiranku, aku harus segera menghapus bayangan wanita itu dalam benaku, kata dari ibu ada benarnya juga, aku tak bisa terus-terusan seperti ini, menunggu, menunggu dan menunggu, kerjaanku terbengkalai, wajahku carut marut, rambutku aut-autan, bahkan aku tak ingat kapa terkahir kali aku bersisir didepan kaca. Akhirnya kuputuskan untuk mencoba melupakan wanita senjaku itu sesuai saran ibuku, aku harus tetap hidup, aku tak bisa terus-terusan memikirkannya, masih banyak kerjaan yang lebih penting menungguku selain memikirkannya,  baiklah besok aku akan pergi kedermaga tampatku bertemu dengannya dulu ketika dia masih setia temani hariku, aku akan membuang semua kenangan indah tentangnya, kan kubuang jauh semua pemikiran tentangnya, aku harus bangkit, aku harus bangkit, itu lah kata-kata yang terus mengaum dalam hatiku, menggebu-gebu seperti layaknya rakyat indonesia yang rindukan kmerdekaan, Baiklah sekarang lebih baik aku tidur dalam ketenangan hatiku terus berontak untuk tetap meimikirkan wanita itu, disatu sisi aku harus bisa melupaknnya karena aku tak bisa treus-terusan seperti ini, namun disisi lain kau tak ingin melupakannya karena dia adalah keindahan hidupku. Malam itu aku tidur dengan hati yang terus berkecamuk memikirkan antara melupaknnya atau terus mengingatnya. Aku bangun lebih dulu dari sang fajar, aku terus duduk memikirkan keputusan mana yang akan ku ambil sembari mengerakan penaku dan membiarkannya menari pada secarik kertas kosong, cahay terang mulai terlihat di ufuk timur sinarkan cahaya kehidupan, ayam-ayam mulai berkokok menunggu sang majikan lemparkan makanan, dan orang-orangpun mulai sibuk dengan aktivitasnya masng-masing, aku coba beranjak keluar, kulihat ibu sedang sibuk menjemur pakaian, aku mulai pergi kekamar mandi coba merasakan indahnya air dipagi hari yang sudah lama sekali tak kurasakan, aku juga mulai berani menggenggam sisirku kembali dan coba merapihkan rambutku, kutatap dicermin ternyata betapa hancurnya aku selama ini.

“Kau mau kemana, tumben sekali kau sudah rapih” ibuku bertanya, yang tanpa kusadari ternyata sudah memperhatikanku sedari tadi.

“maafkan aku bu, selama ini aku tak pernah mendengarkan kata ibu, aku hanya bermimpi dan menunggu hal yang tak pasti, dan soal kemarin aku minta maaf aku sudah membentak ibu, sekarang aku akan kembali ke kehidupan normalku, mejadi aku yang dulu” ratapku lrih pada ibu.

“syukurlah sekarang kau sudah sadar, dan semoga kejadian ini kau jadikan pelajaran”
Ketika matahari tepat berada di ubun-ubun, aku masih saja menggerakan penaku membiarkannya menari, namun hanya sia-sia, saat kulihat ke arah kertas tersebut ternyata masih kosonk, kemana inspirasiku, kenapa difikiranku hanya ada namamu, kenapa hatiku terus berkecamuk, saat matahari mulai condong kebarat, kuputuskan untu pergi kedermaga melihat indahnya senja dan mebuang semua kenangan kelam di masa silam, langkahku terus kuayun kearah barat menuju dermag sambil terus kutepis bayangan wanita senja itu dalam fikiranku, sesampainya disana kududuk ujung dermaga sambil ku ayunkan kakiku, nyanyian ombak yang begitu selaras denga sayup angin laut yang bertiup membuat hatiku serasa tentram dan sedikit demi sedikit bisa kutepiskan bayangan tentangnya. Kutatap nanar indah lukisan alam sampai diujung cakrawala, sampai sebuah suara membuyarkan lamunanku akan kekagumanku pada sang alam, suara yang selalu kurindukan, dan suara yang selam ini kutunggu-tunggu.

“Kau masih sering ketempat ini?”

Kutatap arah suara itu dan betapa kagetnya aku ternyata dia adalah wanita senjaku, ku tatap dalam-dalam wajah yang kurindukan itu, binar-binar air dimataku hampir jatuh, rasa rindu yang selama ini mnyiksa batinkupun terasa terobati, namun coba kutepis semua itu karena janjiku untu melupakan si wanita senja itu.

“aku dengar kau masih menungguku, maaf selama ini aku pergi meninggalkanmu tanpa ada kata apapun” wanita itu bersuara dengan nada menyesal.

“kemana saja kau selama ini, kenapa kau ingkari semua janjimu untuk lewatka  semua senja yang indah hanya berdua denganku diujung dermaga ini, kau sudah hancurkan semua harapanku dan kepercayaanku?”

“maaf kan aku, aku tak bermaksud untuk membuamu kecewa, namun  keadaanlah yang mendesakku”

“keadaan?”
“ya keadaan, jujur akupun merasakan hal yang sama denganmu, hari-hariku terasa tak sempurna, selalu ada yang kurang tanpa hadirmu, namun bagaimana pun jua aku harus melupakan semua bayangan indah tentangmu”

“Maksudmu?”

“orang tuaku terlilit hutang yang besar pada juragan karjo, dan mereka tak mampu membayarnya, untuk bisa melunasi semuanya hanya dengan cara aku menikah dengan sang juragan, sebenarnya hatiku berontak akan semua itu namun rasa kasian yang mendalam terhadap orang tuaku, meluluhkan semua rasa dihatiku” jelasnya panjang lebar.

“lantas kau menikah dengan sang juragan?”

“ya itulah satu-satunya cara yang bisa kulakukan untuk bisa melunasi semua hutangku, maafkan aku, aku tak bermaksud merusak smua senja indah yang aku janjikan akan kita lewati bersama”

Betapa hancur dan berderaynya hatiku setelah mendengar penjelasannya, hatiku bagai diiris silet berkarat hingga hancur, namun ku coba menghadapi semua itu dengan  tenang, aku coba menutupi semuanya walaupun air mataku mendesak untuk keluar.

“ya aku mengerti akan keadaanmu, kalapun aku yang ada di posisimu aku juga pasti melakukannya”  ungkapku dengan mata berkaca-kaca.

“sekali lagi aku minta maaf, dan aku tak bisa berlama-lama disini, aku harus segera pergi, satu pesanku carilah wanita senja yang baru, jangan pernah kau ingat semua kenangan indah kita”

Kembali dia pergi dari hadapanku, wanita yang selama ini kurindukan kini hilang dan lenyap dari pandanganku, terus kutatap dia hingga diujung pandangan sampai tak terlihat, dan kembali senjaku kali ini menjadi sebuah ironi senjaku kini hanyalah sebuah senja duka langit jingga itu terasa kelabu, nyanyian ombak itu mengiris hati.

Komentar

Foto sugianto

Sedih...

Bikin pilu pembaca,,, atau yang demikian itu realis....

Tulis komentar baru

Materi isian ini bersifat rahasia dan tidak ditampilkan ke publik.


Terpopuler Hari Ini

Sebulan Terakhir

Terpopuler